Tiga tahun menikah, kudapati suami dan adikku berzina di tempat kerja mereka. Sakit dan hancur, aku pun mulai mempersiapkan serangkaian pembalasan untuk pengkhianatan keduanya. Kalau kumulai dengan berselingkuh juga, seharusnya tidak masalah, bukan?
View More“Nadine, seragam kamu ketat banget. Itu lekukan dadanya sampai kelihatan begitu. Apa nggak ada seragam yang lebih longgar?”
Teguran itu terlontar dari bibir Alma ketika melihat sang adik, Nadine, yang baru saja ingin berangkat kerja. Masalahnya, seragam yang dikenakan adiknya tersebut tidak hanya ketat di bagian dada dengan belahan rendah, tapi juga membingkai lekukan pinggul Nadine dengan sempurna. Nadine ‘kan perawat, kenapa pakaiannya malah kurang seronok seperti itu? “Dari dulu seragam perawat juga begini, Kak. Jangan norak deh.” Nadine yang ditegur kakaknya langsung membela diri. Ia kemudian melirik kakak iparnya. “Coba aja tanya sama Mas Arhan.” Alma melihat suaminya yang tampak acuh tak acuh. “Iya, Al. Seragam perawat sekarang memang begitu.” Arhan, suami Alma, menyahut seperlunya seiring memasukkan tas berisi keperluan kerjanya ke dalam mobil. Hal tersebut membuat Alma mengernyit. Bingung. Pasalnya, meski sudah tidak bekerja di rumah sakit, Alma tidak pernah melihat tenaga medis berpakaian seksi seperti adiknya saat ini. Rasanya … kurang pantas dilihat, menurut Alma. “Tapi—” “Ya sudahlah, Kak.” Nadine memotong kalimat Alma dengan nada kesal. “Namanya juga aturan rumah sakit, kita bisa apa?” Baru saja Alma ingin membalas, Arhan sudah terlebih dulu angkat suara. “Kamu sudah lama nggak kerja sih, makanya nggak ngerti. Udahlah, nggak usah sok pinter. Nanti malah bikin kami telat lagi ke rumah sakit. Ayo Nadine, naik,” perintah pria tersebut seiring masuk ke dalam mobil. Melihat itu, Nadine tersenyum penuh kemenangan. “Tuh ‘kan, Kak! Bang Arhan jadi marah sama Kakak. Makanya, Kak. Jangan banyak komentar deh. Yang dokter beneran aja diem,” celetuk Nadine sebelum mengikuti kakak iparnya masuk ke dalam mobil. Sebelum benar-benar pergi, Arhan membuka jendela dan berkata pada Alma, “Kami nanti pulang malam, kamu nggak perlu tunggu dan makan aja sendiri.” Tidak lupa pria itu menambahkan, “Jangan lupa juga tutup gerbang.” Kemudian, mobil yang mengangkut suami dan adiknya itu pun melesat pergi, sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi Alma untuk bicara. Alma menghela napas berat. Hatinya terasa sangat perih, seperti … direndahkan karena dirinya hanya ibu rumah tangga dan tidak lagi bekerja. Sejak menikah dengan Arhan tiga tahun lalu, Alma memang berhenti meniti karirnya sebagai dokter. Semua atas permintaan Arhan dan ibunya yang berharap Alma fokus dengan keluarga dan melahirkan keturunan sebelum kembali bekerja. Meski awalnya Alma tidak punya masalah, belakangan ini Alma sedikit menyesalinya. Semua karena sikap sang suami, yang juga berprofesi sebagai dokter, makin lama makin dingin. Seperti tadi, tidak jarang Arhan menepis kalimat Alma dengan kalimat menyakitkan, mengatakan dirinya tak lagi bekerja dan sok tahu. Kadang, tak elak Alma merasa sedikit cemburu pada Nadine, adiknya itu. Bukan hanya bisa bekerja di tempat yang sama dengan suaminya, tapi obrolan mereka terkesan lebih nyambung. Seakan … Nadine dan Arhan lebih cocok menjadi pasangan— “Hush, mikir apa sih kamu, Alma?” tegur Alma kepada dirinya sendiri. Baru saja Alma hendak masuk usai menutup pintu gerbang, tiba-tiba saja seseorang memanggilnya. “Mbak Alma!” Spontan, Alma menoleh dan melihat salah seorang tetangga melambai ke arahnya. “Bu Retno?” “Mbak Alma, sini dulu lah! Ngobrol-ngobrol sini!” sahut Bu Retno, yang diikuti senyuman ramah ibu-ibu lain di depan gerobak tukang sayur itu. Tidak enak menolak, Alma pun keluar dari pekarangan dan menghampiri gerombolan ibu-ibu tersebut. “Pagi, Ibu-ibu. Lagi belanja?” ucapnya berbasa-basi. “Iya, Mbak,” jawab ibu-ibu yang lain sambil mulai senyam-senyum penuh arti. Kemudian, sejumlah dari mereka saling melirik dan menyenggol, sampai akhirnya Bu Retno yang memutuskan untuk angkat suara. “Mbak Alma, maaf nih saya mau tanya, memangnya Mbak Alma nggak risih lihat suami sama adeknya sedeket itu?” “Hah? Gimana, Bu?” tanya Alma bingung. Bu Retno melirik kiri dan kanan, seakan memastikan tidak ada yang mendengar kecuali ibu-ibu yang ada di sana, lalu berbisik, “Itu loh, Mbak. Adik sama suami Mbak tiap hari berangkat kerja bareng, pulang bareng, memangnya Mbak Alma nggak takut suaminya malah jatuh hati, terus selingkuh sama adiknya?” Deg! Alma tampak terkejut mendengar ucapan tetangganya. “Ya ampun, Bu. Kok ngomongnya gitu…” balasnya, sedikit sulit menerima tuduhan tersebut. “Aduh, Mabk. Nggak jarang loh Mbak zaman sekarang kakak sama adik ipar selingkuh, apalagi kalau dua-duanya satu profesi begitu! Wajib hati-hati! Kami sih ngebilangin aja.” Ibu-ibu lain langsung mengangguk-angguk, seakan mendukung omongan Bu Retno. “Apalagi, udah nggak jarang kami lihat Mas Arhan sama adik Mbak Alma jalan-jalan berdua di mal dekat sini. Ya kok aneh, kakak-adik ipar malah lebih sering jalan bareng dibandingkan sama Mbak Alma yang istrinya.” Detik itu, Alma yang tadi masih santai dan merasa ini hanya gosip tetangga biasa, langsung membeku. “Apa, Bu?” tanya Alma. Bu Retno mengerjapkan mata, seakan kaget dengan reaksi Alma. “Loh, Mbak Alma nggak tahu? Mas Arhan sama adik Mbak Alma itu kayaknya hampir tiap hari Sabtu deh pergi ke mal sebelah situ.” (Bersambung)Pagi-pagi sekali Felix sudah menepikan mobil di depan rumah Alma. Dari dalam, Felix turun dengan wajah segar meski matanya sedikit sembab. Semalaman ia hampir tidak tidur, bayangan tentang pria asing yang masuk ke rumah Alma terus mengusik pikirannya. Tanpa sarapan, ia langsung menjemput. Ia ingin memastikan Alma baik-baik saja, sekaligus menegaskan bahwa mulai hari ini, dirinya tak akan lagi membiarkan Alma sendirian. Bel rumah berbunyi. Tak lama, seorang pelayan membuka pintu.“Pak Felix? Wah, pagi sekali …” ucapnya terkejut. Felix hanya tersenyum tipis. “Alma ada di rumah?” Pelayan itu mengangguk, lalu mempersilakan Felix masuk. Di ruang tamu, aroma kayu jati dan wangi bunga segar dari vas besar memenuhi udara. Felix duduk di sofa panjang, menyandarkan tubuh sambil melirik jam di pergelangan tangan. Baru pukul setengah tujuh. Untuk ukuran jam segini, kedatangannya memang terlalu pagi. Tapi ia tidak peduli. Di lantai atas, Alma baru saja keluar kamar mandi. Tubuhnya masih dibal
Clara tersenyum lebar sambil meraih tangan Maharani. “Rani, ayo kita pulang, ya. Felix dan Dokter Alma yang akan mengantarmu sekarang.” Suaranya lembut, manis, seolah berusaha menenangkan hati Maharani yang sejak tadi terlihat gusar. Maharani mengangguk kecil. Wajahnya mencoba tersenyum, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kekecewaan. Pandangannya sekilas melirik William yang berdiri di ambang pintu. “Om William, Aku pulang dulu,” katanya lirih. William mengangguk singkat. “Hati-hati di jalan.” Tanpa banyak kata lagi, Maharani mulai mendorong roda kursi sendiri, lalu Felix dengan sigap membantu mendorongnya menuju teras. Alma berjalan di belakang mereka setelah lebih dulu berpamitan pada William. Lampu-lampu taman rumah William menyinari langkah mereka, menimbulkan bayangan panjang di tanah. Maharani duduk di kursi depan mobil, tepat di sebelah sopir. Begitu pintu tertutup, ia langsung melirik kaca spion dengan tatapan kesal. Matanya menangkap pemandangan yang membuat dadanya se
Ruangan itu masih hening. Semua mata terpaku pada Vico yang berdiri dengan wajah memerah, napasnya naik turun. Ucapan lantangnya baru saja merusak suasana obrolan yang seharusnya penuh kehangatan. Alma tetap duduk tegak, kedua tangannya tenang di pangkuan. Senyumnya tipis, nyaris tak terbaca, seolah tak terpengaruh oleh tudingan yang baru saja diarahkan kepadanya. Felix menoleh pada Alma dengan kening berkerut. Bisnis apa yang sedang dijalankan Alma? Namun ia tidak mungkin menanyakannya sekarang. Perlahan ia berdiri, bicara dengan suara tenang tapi tegas. “Paman Vico, saya rasa Alma tidak melakukan sesuatu yang salah. Memiliki bisnis di luar bukan berarti beliau tidak serius mengurus rumah sakit dan pasiennya. Justru sebaliknya, itu menunjukkan kemampuan manajerial dan pengalaman yang lebih luas.” Vico mendengus, bibirnya mencebik. “Ah, kamu selalu membelanya, Felix. Tapi coba pikir, rumah sakit itu bukan mainan. Kita bicara tentang warisan keluarga, reputasi besar yang dibangun p
Makan malam belum dimulai. Para tamu masih bercakap-cakap ringan, menunggu tuan rumah yang paling dihormati muncul. Felix terlihat sibuk memastikan semua orang nyaman, sementara Alma duduk tenang di kursinya, menjaga senyum tipis agar tidak tampak kaku. Dalam hati, ia masih merasakan sedang diawasi oleh Hilmawan dan Vico dari ujung meja. Tak lama kemudian, terdengar suara bariton dari arah dalam rumah.“Maafkan sudah menunggu.” Semua kepala sontak menoleh. William Mahesa, sosok yang selama ini dihormati seluruh keluarga, melangkah masuk dengan tenang. Aura wibawanya membuat suasana seketika berubah hening. Di belakangnya, Clara mendorong kursi roda yang di atasnya duduk seorang gadis, yaitu Maharani. Gadis itu tampak lebih segar, meski tubuhnya masih terlihat lemah. Alma menelan ludah saat matanya menangkap Clara begitu telaten mengatur posisi selimut Maharani, memastikan kaki gadis itu tidak kedinginan. Tatapan lembut Clara pada Maharani bagai seorang ibu yang penuh kasih. Sekila
Pak Adnan kembali melangkah masuk ke ruangan khusus tempat Alma masih duduk sendirian. Suara pintu berderit membuat Alma menoleh. Ekspresi pria beruban itu tampak serius, namun tetap penuh hormat seperti biasanya. “Dokter Alma,” ucapnya sambil menunduk sedikit. “Baru saja saya mendapat kabar. Salah satu pemilik perusahaan besar, Pak Hilmawan, ingin bertemu langsung dengan pemilik perusahaan ini. Apakah Ibu bersedia menemuinya?” Alma terperanjat. Nama itu kembali menyeruak, sama seperti beberapa jam lalu ketika ia berpapasan di lorong. Hatinya langsung diliputi tanda tanya. Apa maksud Hilmawan meminta bertemu dengannya? Alisnya mengernyit, namun ia tetap menjaga nada suaranya tetap tenang. “Untuk apa Pak Hilmawan ingin bertemu saya, Pak Adnan?” Adnan menarik napas pendek sebelum menjawab. “Saya dengar, Pak Hilmawan ini punya kebiasaan mendekati orang-orang berpengaruh demi melancarkan bisnisnya. Beliau sering mengundang para pejabat makan malam di rumahnya. Tidak jarang, hubungan p
“Dok, mari saya antar ke ruangan khusus dulu sebelum presentasi dimulai.” Riko menghampiri Alma dengan sopan. Ia sedikit menunduk, lalu memberi isyarat agar Alma mengikutinya melewati lorong panjang gedung pertemuan itu. Alma masih bisa merasakan sisa degup jantungnya setelah berpapasan dengan Hilmawan dan Vico tadi. Namun ia tetap melangkah tegak, meski sorot matanya tampak dingin. Riko membuka pintu ganda besar berlapis kaca buram, lalu menoleh sambil berkata pelan, “Ruangan ini dulu dipakai Pak Aditya setiap kali beliau berkunjung. Semua rapat penting, termasuk negosiasi besar, sering dilakukan di sini. Saya harap Bu Dokter merasa nyaman.” Alma melangkah masuk. Seketika napasnya tercekat. Ruangan itu luas, dindingnya dilapisi panel kayu jati, lampu gantung kristal menggantung elegan, dan sebuah meja panjang berlapis kaca hitam berdiri di tengah dengan kursi-kursi kulit berjejer rapi. Di sudut, terdapat rak besar berisi buku-buku tebal tentang ekonomi, properti, dan kedokteran.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments