Share

Pedang ini Berbicara

Author: Deschya.77
last update Huling Na-update: 2023-03-23 15:17:30

Sesampainya di sanggar, Akandra menidurkan Pandya pada salah satu ranjang di ruang kesehatan dalam sanggar.

Tabib Suma langsung memeriksa kondisi Pandya. Namun, sedetik kemudian dia dibuat terkejut dengan apa yang dirasakannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi pada Pangeran?" tanya sang tabib. 

Akandra hanya menjawab dengan gelengan kepala. Pria itu pun bingung dengan apa yang dia lihat, saat menemukan Pandya tadi.

Tabib Suma lantas melanjutkan pemeriksaanya. '

Dia merasakan ada tenaga dalam yang cukup kuat di dalam tubuh Pandya. Bahkan, tampak lebih baik dari anak seusianya. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah mengetahui jika sang Pangeran memilikinya.

Hanya saja, pemikiran itu disimpan oleh tabib Suma. Dia pikir kondisi sang Pangeran ada sangkut pautnya dengan pemimpin padepokan.

Tabib Suma menganggap ini hal yang memang seharusnya seorang ayah lakukan kepada anaknya.

"Tuan tidak perlu khawatir," ucap Tabib Suma. "Pangeran Pandya kondisinya sudah lebih baik."

"Benarkah?" tanya Akandra meyakinkan. "Apa luka tusuknya tidak terlalu dalam?"

"Luka tusukan pedang sudah saya obati. Dan luka itu akan segera sembuh. Saya hanya perlu meracikkan beberapa obat herbal, agar Pangeran dapat segera pulih," jelas Tabib Suma.

"Kalau begitu, segera buatkan obat itu!" perintah Akandra

Tabib Suma pun pamit undur diri, sedangkan Akandra hanya mengangguk sebagai jawaban.

Akandra mengambil sebuah kursi dan meletakkannya tepat di sebelah ranjang Pandya. Sambil mengamati wajah Pandya, ada rasa syukur dan bersalah secara bersamaan yang merasuk di dalam diri Ksatria Penjaga Timur Padepokan Nagendra.

*****

"Pandya, apa kamu sudah sadar?" tanya Akandra saat melihat Pandya mulai mengerjapkan mata.

"Paman?" tanya Pandya bingung, "Bukankah aku sudah meninggal?"

"Tidak, Pandya," ucap Akandra sambil menggenggam tangan Pandya. "Kamu masih selamat, maafkan paman yang terlambat menyelamatkanmu."

Seingat Pandya, hal terakhir dalam ingatannya adalah saat berkomunikasi dengan suara dari alam baka.

Tapi kini dia sudah kembali ke dalam sanggar, dan berada dalam ruang kesehatan.

"Bagaimana caraku bisa kembali ke sanggar?" tanya Pandya memastikan.

"Paman menemukanmu tergeletak sambil berlumuran darah, di bagian bawah hutan terlarang ajaran pedang," jawab Akandra. "Paman cukup kesulitan untuk menemukanmu. Tapi, untunglah ketika Paman datang kamu masih bernapas walau dengan luka tusuk yang cukup dalam."

Mendengar jawaban dari sang paman, membuat Pandya semakin bingung.

"Kenapa Pandya?" tanya Akandra khawatir. "Apakah masih ada yang sakit? Di bagian mana?"

"Tidak paman," jawab Pandya, "Aku hanya bingung dengan apa yang terjadi. Semalam seperti ada yang membantuku, dan membunuh semua pembunuh bayaran itu."

"Jadi benar ada yang membantumu?" tanya Akandra dengan antusias.

Pandya mengangguk. "Tapi, aku tidak dapat melihat siapa yang menolongku. Bahkan, aku tidak menyangka bisa selamat seperti ini."

"Kalau begitu ada yang ingin Paman tanyakan lagi. Tunggu sebentar!"

Akandra berlari kecil dan keluar dari ruang kesehatan, dan kembali dengan membawa sebuah pedang.

"Pedang siapa itu, Paman?" tanya Pandya heran.

"Justru, paman yang ingin bertanya padamu. Pedang siapa ini?" tanya Akandra. "Saat paman temukan kamu, pedang ini ada di genggamanmu dengan penuh darah."

Pandya menggeleng. "Aku bahkan baru kali ini melihatnya. Aku tidak tahu itu milik siapa."

"Awalnya, paman kira kamu yang membunuh para pembunuh bayaran itu dengan pedang ini," ucap Akandra.

"Apa yang paman pikirkan?" tanya Pandya tidak habis pikir, "Bukankah paman tahu kalau aku tidak memiliki tenaga dalam? Bagaimana mungkin aku bisa membunuh mereka semua?"

"Lalu apa yang terjadi tadi malam, Pandya?" tanya Akandra semakin penasaran. "Aku ingin menanyakan hal ini sejak menemukanmu tadi."

"Entahlah, Paman," jawab Pandya frustasi. "Aku juga tidak terlalu ingat apa yang terjadi."

Melihat Pandya kesulitan, Akandra tidak mendesaknya lagi. Dia meletakkan pedang yang dibawanya tadi, di atas kabinet belakang kursi yang dia duduki.

"Sudahlah, kalau memang tidak ingat tidak perlu dipaksakan. Paman sudah sangat senang kamu bisa selamat," ucap Akandra menyudahi. "Sebaiknya kamu segera mandi, paman sudah tidak tahan dengan baumu."

Pandya langsung mengendus bau tubuhnya. Ternyata, apa yang dikatakan oleh sang paman memang benar.

Tubuhnya yang bercampur keringat dan darah, membuat bau busuk yang menusuk hidung.

Pandya lantas turun dari ranjang. Ia mengambil pedang yang belum pernah dilihatnya itu.

Pedang itu penuh dengan darah.

Jadi, pantas jika pamannya menganggap dirinya yang membunuh semua pembunuh bayaran itu.

'Tapi, siapa cahaya putih yang membantuku itu? Apa orang itu juga yang meninggalkan pedang ini untukku?' tanya Pandya dalam hati.

"Hei, anak muda!" teriak suara asing. "Tidak perlu bingung, aku masih ada disini."

Mendengar suara yang tiba-tiba, membuat Pandya reflek menjatuhkan pedang yang dia pegang.

"AARGH!!!" erang suara asing itu, "Kenapa kau malah menjatuhkanku? Sial!"

Pandya yang masih bingung hanya bisa melongo melihat pedang yang ia jatuhkan.

Meskipun, dia belum yakin kalau memang pedang itulah yang tadi mengajaknya bicara. Tapi, asal suara itu terdengar dari pedang yang dipegangnya tadi.

"Apakah yang berbicara pedang ini?" tanya Pandya ragu. "Bagaimana sebuah pedang dapat berbicara?"

Bersambung...

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kebangkitan Pewaris Seribu Pedang   Sang Pewaris

    Ribuan aura berbentuk pedang itu langsung berjatuhan, dan menancap di tubuh semua pasukan beserta Tuan Huda. Tidak ada satu orangpun yang selamat dari pedang-pedang itu.Tuan Urdha yang melihat sang anak, merasa sangat bangga dengan kemampuan yang berhasil dicapainya. Dan dirinya menjadi paham, dengan alasan Pandya memintanya membuat perisai untuk dirinya beserta anak-anak dan para istrinya.Dan bertepatan saat Pandya mengeluarkan jurus itu, para saudaranya telah sadarkan diri setelah dibuat tidak sadarkan diri oleh sang ayah. Dan saat mereka melihat apa yang dilakukan oleh Pandya, mereka semua terdiam takjub dengan apa yang terlihat di depan mata.Tibra pun dalam hati akhirnya mengakui kekuatan Pandya dan kekalahannya. Seberapa keras dirinya berlatih selama ini, dan seberapa besar tuntutan yang harus diembannya, tidak membuat kekuatannya bisa bersaing dengan Pandya.Tibra beserta keempat saudara Pandya yang lain, hanya korban dari keegoisan dan keserakahan para orang-orang tua di seki

  • Kebangkitan Pewaris Seribu Pedang   Jurus Seribu Pedang

    Setelah berteriak dengan lantang, Tuan Huda semakin menggencarkan serangannya. Dia bahkan sudah merencanakan serangan, dengan bekerja sama dengan para pasukannya untuk membuat sebuah pola sihir tanpa disadari oleh Pandya.Pandya terus terdorong walaupun tanpa terluka, mengingat jumlah orang yang menyerangnya secara bersamaan bukan hanya puluhan orang—tapi bahkan ratusan orang. Puluhan orang berterbangan setelah satu serangan yang Pandya lakukan, namun puluhan lainnya ganti menyerangnya lagi. Dan itu terus berlanjut, karena sejak awal Tuan Huda merencanakan penyerangan saat Pandya sudah dalam keadaan kelelahan.Apalagi, saat ini tidak ada satu orang pun yang menolong Pandya. Sebenarnya Tuan Urdha yang masih ada di tempat itu berencana untuk keluar dari perisai yang dibuatnya, namun pikirannya itu langsung dihentikan oleh Pandya.‘Aku masih merasa aneh dengan keadaan ini!’ ucap Sakra dalam pikiran Pandya.‘Bukankah dengan ini kita jadi lebih bisa menyatu?!’ sahut Pandya dengan seringa

  • Kebangkitan Pewaris Seribu Pedang   Serangan Kedua

    SRIIING!Sebuah sihir kutukan yang ditujukan pada Pandya, berhasil ditangkis dengan perisai sihir yang dibuat oleh Sakra. Pandya yang melihat itu cukup terkejut, karena sejak tadi dirinya tidak melihat Sakra sama sekali dan tiba-tiba saja muncul dihadapannya.‘Sakra! Darimana saja kau?!’ tanya Pandya bersemangat dalam hati.‘Entahlah, sesuatu terjadi padaku. Tapi, aku sama sekali tidak ingat apa yang terjadi!’ sahut Sakra dengan suara lirih.Pandya menatap pedang Sakra sekilas, sebelum dirinya kembali disibukkan dengan serangan-serangan yang semakin menjadi. Para pendekar, tetua dan bahkan pemimpin dari lima Ajaran menyerbu mereka secara bersamaan.WHUUUUSH!ZHIIIING!BLAAAAR!Pandya dan seluruh pengikutnya semakin terdorong, walaupun Tuan Agha sudah membantu sebagai perisai utama. Namun, dengan kekuatan dan jumlah yang dimiliki musuh jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pengikut yang Tuan Urdha dan Pandya miliki. Belum lagi aliansi yang dimiliki saudara-saudaranya yang sudah memilik

  • Kebangkitan Pewaris Seribu Pedang   Pertempuran

    “Apa maksud, Pemimpin?!” tanya Tibra terkejut dengan ucapan Tuan Urdha.“Kau sama sekali tidak memperdulikan aku, tapi kau bersikap seolah ingin melindungiku! Apa kau pikir karena aku sudah tua jadi bisa kau bodohi?!” teriak Tuan Urdha yang terlihat kehabisan kesabarannya.Semua terdiam. Tidak ada yang berani menjawab, karena ruangan itu kini penuh sesak dengan tenaga dalam yang luar biasa besar yang dikeluarkan oleh Tuan Urdha. Namun, seperti ada isyarat khusus yang dimiliki oleh Tibra, para tetua yang berada di luar ruangan masuk secara bersamaan sambil menekan tenaga dalam yang besar itu.“Apa yang kalian lakukan?!” teriak Tuan Huda marah, sambil melototkan mata tajam ke arah para tetua.“Maafkan kami, Pemimpin! Tapi, kami setuju dengan ucapan Pangeran Tibra! Jika perkamen itu tersebar, maka akan sangat banyak pemberontakan yang akan terjadi!” jawab salah satu tetua dengan kemampuan yang cukup hebat diantara yang lainnya.“Bukankah pemberontakan ini kalian yang buat?! Aku tidak mel

  • Kebangkitan Pewaris Seribu Pedang   Menggagalkan Penyerbuan

    “Mereka membuat kesepakatan berlainan dari yang aku ajukan. Tapi, mereka berjanji untuk memberikan balasan yang setimpal dari perkamen itu,” jawab Tuan Huda sambil was-was dengan reaksi yang akan diberikan oleh Pandya.“Jadi, maksudmu mereka saat ini mulai mencoba mengambil alih kepemimpinan secara paksa?!” Pandya mulai meninggikan suara, sambil menahan amarahnya.“Bukan hanya padepokan, sanggar Klan milikmu juga mereka datangi saat mereka tahu kau sedang tidak ada di tempat!” tambah Tuan Huda yang membuat Pandya langsung membuka sub ruang yang dibuatnya, dan berlari meninggalkan ruangan itu dengan tergesa.Setelah mendapatkan seluruh senjatanya termasuk pedang Sakra, Pandya langsung menggunakan jurus meringankan tubuh miliknya dan melesat meninggalkan Padepokan Janardana dalam sekejap.WHUUUSH!Sakra yang langsung tahu apa yang terjadi dari pikiran Pandya, ikut merasakan amarah yang tidak jauh berbeda. Begitu pula Akandra, yang sejak tadi masih menunggu mereka di luar gerbang Padepok

  • Kebangkitan Pewaris Seribu Pedang   Perbantuan Tanpa Tawaran

    “Aku yakin kau akan menggunakan ini untuk membuat kesepakatan dengan para saudaraku. Apa aku salah?!” tanya Pandya dengan santai.Tuan Huda tidak langsung menjawab. Dia cukup terkejut, karena tidak mengira jika pemimpin Padepokan Nagendra memberitahukan aibnya sendiri kepada seseorang.“Hahaha…, ternyata kau cukup cerdik, Nak! Tapi, kalau kau mengetahuinya, apa kau memiliki tawaran yang lebih baik untukku?!” tanya Tuan Huda setelah kembali tertawa untuk menutupi rasa terkejutnya.Bukannya menjawab, Pandya kembali menggulung perkamen yang dibukanya tadi. Setelah memasukkan perkamen itu kembali ke balik jubahnya, dia mengeluarkan sebuah perkamen yang lain.“Sayangnya aku tidak memerlukan tawaran yang lebih baik, karena kau akan membantuku tanpa tawaran apapun!” jawab Pandya santai sambil memperlihatkan perkamen yang baru.Tuan Huda mengernyitkan dahinya, kemudian membaca isi perkamen yang baru saja dibuka oleh Pandya. Dan rasa terkejutnya semakin besar, saat melihat isi perkamen itu.“Ka

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status