LOGINTerusir dari Kahyangan setelah kehilangan Gelang Kahyangan, simbol kehormatannya, Rakasura terdampar di bumi, menghadapi dunia penuh siluman yang mengancam. Bersama Ayu, seorang gadis desa pemberani, ia berjuang untuk merebut kembali gelang tersebut dan mengungkap rencana gelap yang bisa menghancurkan dunia manusia dan Kahyangan. Namun, dalam pertempuran ini, ia menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar kehormatan—tujuan sejati hidupnya.
View MoreKabut belum sepenuhnya sirna ketika fajar perlahan menjalar di lembah. Cahaya pertama yang menembus sela pepohonan tampak pucat, seperti sinar yang kehilangan keberaniannya setelah malam yang panjang. Rakasura membuka matanya perlahan, mendengar sayup desiran air di kejauhan. Udara dingin masih menusuk, namun tak lagi menggigit. Hening itu terasa berbeda, seolah dunia baru saja menarik napas panjang setelah ketegangan yang tak berujung.Ayu sudah terjaga lebih dulu. Ia duduk di atas batu besar, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya menatap jauh ke arah lembah yang tertutup kabut. Tangan kanannya memegang selendang, sementara tangan kirinya mengusap batu di sampingnya perlahan, seolah sedang menenangkan sesuatu yang tidak kasatmata.Tirta masih tidur, tubuhnya meringkuk di balik jubah yang lembap. Napasnya teratur, sesekali terdengar dengkuran kecil. Rakasura menatapnya sebentar, lalu berjalan mendekati Ayu."Kau tidak tidur sama sekali?" tanyanya pelan.Ayu menggeleng tanpa menoleh.
Setelah gema terakhir dari pertempuran itu sirna, lembah kembali tenggelam dalam diam. Kabut yang tadi terbelah oleh cahaya dan suara kini perlahan menutup lagi, seolah ingin menelan semua yang baru saja terjadi. Bau tanah hangus dan getah terbakar masih menggantung di udara, namun rasa gentar yang tadi menyelimuti mereka kini berganti dengan kelelahan yang dalam.Rakasura berdiri di tengah bebatuan, napasnya teratur tapi berat. Gelang di pergelangannya tampak redup, seperti bara yang hampir padam. Ia menatap ke arah jalur di mana makhluk bayangan terakhir tadi lenyap, lalu menunduk, memandangi tanah yang masih berasap.Ayu berjalan pelan menghampirinya. Raut wajahnya tidak lagi tegang, namun di balik ketenangan itu, ada sorot mata yang lelah dan khawatir. “Kau terluka?” tanyanya perlahan.Rakasura menggeleng. “Tidak. Tapi gelang ini... terlalu banyak menyerap yang seharusnya tidak ia tanggung.”Tirta datang menyusul, wajahnya kotor oleh debu dan abu. Ia mengusap peluh dengan lengan b
Udara di lembah itu diam. Tak ada suara burung, tak ada desir angin. Hanya sisa abu yang melayang perlahan, membentuk pusaran samar di atas tanah. Di tengahnya, Rakasura berdiri dengan tubuh nyaris tak bergerak. Napasnya berat, tapi matanya masih menatap ke arah di mana bayangan dirinya tadi menghilang.Cahaya gelang di pergelangannya kini tenang. Tidak berdenyut, tidak bergetar, seolah sedang menunggu. Tapi di antara keheningan itu, ada sesuatu yang baru—gema halus, seperti bisikan yang datang dari dalam gelang sendiri."Kau sudah menatap dirimu sendiri, Rakasura," suara itu bergaung lembut. Bukan suara asing, melainkan pantulan dari dirinya sendiri. Suara yang pernah ia dengar di masa ketika masih menjadi dewa langit. "Tapi apakah kau sudah mengenali dirimu sepenuhnya?"Rakasura menutup mata. Dalam gelap, ia melihat kilasan masa lalu: istana langit yang runtuh oleh kesombongannya, petir yang ia lempar ke bumi, dan wajah-wajah manusia yang ia remehkan. Lalu berganti menjadi wajah Ayu
Sisa gema pertempuran masih terasa di udara ketika mereka bertiga memasuki ruang yang lebih luas. Cahaya yang berdenyut dari gelang di pergelangan Rakasura memantul di dinding-dinding batu, memperlihatkan relief-relief kuno yang menggambarkan sosok-sosok bersayap dan manusia yang berlutut, tangan terentang ke arah langit. Udara di sini tidak lagi hanya dingin, tetapi sarat getaran, seperti suara yang nyaris terdengar namun menahan diri untuk tidak pecah.Rakasura melangkah pelan. Kakinya menyentuh permukaan lantai yang licin, namun setiap pijakan terasa seolah menyentuh nadi bumi. Gelang di pergelangannya berdenyut makin kencang, seakan mengenali tempat ini. Ayu berdiri di sampingnya, wajahnya pucat namun mata bersinar. Tirta berjalan sedikit di belakang, jemarinya menggenggam pusaka kecil yang diberikan oleh ayahnya dulu."Ini… ruang inti perjanjian lama," gumam Rakasura lirih. "Semua jalan yang kita tempuh mengarah ke sini." Kata-katanya tidak sekadar penegasa






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.