Terusir dari Kahyangan setelah kehilangan Gelang Kahyangan, simbol kehormatannya, Rakasura terdampar di bumi, menghadapi dunia penuh siluman yang mengancam. Bersama Ayu, seorang gadis desa pemberani, ia berjuang untuk merebut kembali gelang tersebut dan mengungkap rencana gelap yang bisa menghancurkan dunia manusia dan Kahyangan. Namun, dalam pertempuran ini, ia menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar kehormatan—tujuan sejati hidupnya.
View MoreKahyangan, negeri para dewa, memancarkan keagungan yang tak terbandingkan. Pilar-pilar emas menjulang tinggi, langit di atasnya berpendar biru keperakan, dan lantai kristal memantulkan sinar seperti berlian. Namun, di tengah keindahan itu, suasana penuh ketegangan menggantung di aula utama. Para dewa berdiri melingkar, menatap seseorang yang berlutut di tengah aula.
Rakasura, Dewa Perang yang gagah perkasa, kini tampak tak berdaya. Tubuhnya yang biasanya memancarkan cahaya ilahi kini tampak redup, dan matanya tertunduk menahan rasa malu. Ia tahu kesalahannya terlalu besar untuk diperbaiki. “Rakasura,” suara Maha Dewa menggema, setiap kata menggetarkan ruangan. “Kau tahu gelang apa yang dipercayakan padamu itu? Gelang Kahyangan, simbol kehormatanmu sebagai Dewa Perang, dan kini gelang itu berada di tangan siluman.” Rakasura menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, tetapi kenyataan terlalu pahit untuk dibantah. Beberapa hari yang lalu, gelang itu dirampas saat ia berada di tengah pertarungan melawan pasukan siluman yang menyerang gerbang Kahyangan. “Gelang itu bukan hanya milikmu, Ia adalah pusaka yang menjaga keseimbangan antara dunia fana dan Kahyangan. Kehilangannya membawa malapetaka.” Ucap Maha Dewa dengan nada menahan amarah. “Dewa Agung, Aku tidak akan membiarkan ini berlanjut. Aku bersumpah untuk menemukan Gelang Kahyangan dan membawanya kembali." Ucap Rakasura dengan nada bergetar Para dewa lain saling pandang. Janji itu terdengar mulia, tetapi keraguan tersirat di wajah mereka. Maha Dewa menghela napas panjang sebelum mengangkat tongkat emasnya. "Kau akan mendapat kesempatan, Rakasura. Tetapi hukumanmu tak dapat dielakkan. Sebagai akibat dari kelalaianmu, kau akan diturunkan ke dunia fana. Di sana, kau harus membuktikan bahwa kau layak memegang kembali Gelang Kahyangan.” Cahaya biru menyilaukan melingkupi tubuh Rakasura. Sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata lagi, ia merasa tubuhnya terlempar dari Kahyangan, jatuh menembus langit. Saat Rakasura terjatuh perlahan lahan seluruh baju zirah megah miliknya perlahan luruh menjadi abu. Semua perangkat dewanya yang ia dapatkan sebagai penghuni kahyangan hilang tak bersisa. Yang tersisa dari Rakasura hanyalah bajunya yang menjadi lusuh dan pedsngnya yang kehilangan auranya. Di tengah jatuhnya Rakasura dari khayangan, perlahan kesadarannya menghilang. Ketika kesadarannya kembali, Rakasura mendapati dirinya terbaring di tengah hutan. Aroma tanah basah dan dedaunan menyengat hidungnya. Ia menggerakkan tubuhnya perlahan, merasakan setiap sendi yang terasa lemah. “Ini... dunia fana,” gumamnya, suaranya terdengar parau dan lirih. Keadaan Rakasura sangat memprihatikan, badannya penuh luka lebam, bibirnya pucat dan kering. Ia duduk dan memandang sekeliling. Pohon-pohon raksasa menjulang di sekitarnya, cabang-cabangnya membentuk kanopi yang hampir menutupi langit. Suara aliran sungai terdengar samar di kejauhan, bercampur dengan kicauan burung dan gemerisik dedaunan. Saat ia mencoba berdiri, rasa sakit menusuk kakinya. Tanpa Gelang Kahyangan, tubuhnya jauh lebih lemah dari biasanya. Ia mengutuk dirinya sendiri karena membiarkan gelang itu jatuh ke tangan musuh. Langkah-langkah ringan di kejauhan menarik perhatiannya. Rakasura menoleh dan melihat seorang gadis tengah memungut ranting-ranting kering kemungkinan untuk dijadikan kayu bakar. Gadis itu tampak muda, sekitar belasan tahun, dengan rambut hitam lebat yang diikat ke belakang. Ketika mata mereka bertemu, gadis itu terkejut dan mundur selangkah. “Siapa kau?” tanyanya, suaranya setengah berbisik, setengah takut. Rakasura tidak langsung menjawab. Ia menatap gadis itu, sembari mencoba mencari alasan yang masuk akal karena tak mungkin jika ia mengaku sebagai dewa yang diusir dari istana Kahyangan. “Aku... hanya seorang pengembara,” jawab Rakasura akhirnya, menyembunyikan identitasnya. Gadis itu tampak ragu, tetapi setelah melihat luka di tubuh Rakasura, ia mendekat. “Kau terluka,” katanya, menunjuk luka di lengan Rakasura. “Ini bukan apa-apa,” Rakasura berbohong. Namun, gadis itu tidak percaya. Ia menarik lengan Rakasura dengan lembut. “Ikut aku ke desa. Ayahku bisa mengobatimu.” Gadis itu, memutuskan untuk membantunya setelah melihat banyak luka lebam di tubuhnya. Ia membawa Rakasura ke desanya yang kecil dan sederhana. Dalam perjalanan mereka berbincang untuk mencairkan suasana canggung diantara mereka. “Siapa namamu wahai nona? Terimakasih telah membantuku” “Namaku Ayunda” “Nama yang indah, perkenalkan aku Rakasura” Pipi Ayu memerah mendengar pujian dari Rakasura, ia berusaha fokus membantu Rakasura berjalan menuju desanya. Rakasura dibantu Ayu menuju desa yang berada di tepi hutan. Penduduk desa, yang kebanyakan petani, menatap Rakasura dengan rasa ingin tahu dan sedikit kewaspadaan. Namun, mereka memperlakukannya dengan ramah, menyediakan makanan dan tempat istirahat. Malam itu warga memutuskan untuk membiarkan Rakasura untuk tinggal sementara di balai desa. Namun, malam itu, kedamaian desa terganggu. Sekawanan siluman kecil menyerbu saat Rakasura mencoba tidur. Desa tiba-tiba digemparkan oleh suara jeritan. Ia keluar dari balai desa dan melihat api melalap salah satu rumah. Sekelompok makhluk hitam setinggi paha laki-laki dewasa dengan mata merah bersinar menyerang desa, menculik anak-anak dan menakuti penduduk. Rakasura langsung mengambil pedangnya. Meski kekuatannya jauh dari penuh, ia melawan para siluman dengan pengalaman bertarungnya yang luar biasa. Setiap tebasan pedang menghancurkan makhluk-makhluk itu, dan akhirnya, ia berhasil menyelamatkan anak-anak yang diculik. Saat memantau situasi Rakasura melihat tiga siluman yang sedang berusaha memasuki salah satu rumah warga. Rakasura tanpa pikir panjang menendang salah satu dari makhluk itu, mengalihkan perhatian mereka. Kini perhatian tiga makhluk itu tertuju padanya. Terlihat 3 makhluk setinggi paha orang dewasa berkepala kadal berbadan kera. Salah satu makhluk itu melompat mencoba menyerang bagian kepala Rakasura. Serangan itu berhasil dihindari Rakasura dan sejurus dengan itu ia menebaskan pedangnya pada makhluk kedua yang berlari menuju ke arahnya. Satu makhluk telah diatasi dengan mudah. Kini posisi Rakasura terjepit oleh dua siluman yang tersisa membuatnya berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Dua siluman itu melompat menyerang secara bersamaan membuat Rakasura tak sempat menghindar. “Hiyaaa!!!” Rakasura mengerahkan sisa tenaganya yang belum pulih dan melakukan tebasan memutar. Membelah dua siluman itu sekaligus. Rakasura lanjut berkeliling desa dengan para warga untuk memastikan bahwa tak ada lagi makhluk yang tersisa. Terlihat beberapa siluman yang tersisa kabur setelah melihat aksi Rakasura menebas dua siluman dengan satu tebasan. Penduduk desa bersorak, menganggap Rakasura sebagai pahlawan. Namun, di balik kegembiraan itu, hati Rakasura dipenuhi kegelisahan. Ia tahu ini hanyalah awal dari perjalanan panjangnya untuk merebut kembali Gelang Kahyangan.Langkah-langkah mereka bergema di lorong bercahaya samar. Setelah ujian Tirta berakhir, jalan yang terbuka kini membawa mereka semakin jauh ke dalam perut kabut. Tidak ada suara selain detak langkah dan bisikan samar dari dinding-dinding kabut yang berdenyut, seakan tiap molekul udara memiliki ingatan sendiri. Tirta masih terengah, wajahnya pucat, namun matanya menatap jauh ke depan dengan tekad baru yang sulit diuraikan dengan kata-kata.Rakasura berjalan di depan, cahaya gelang di pergelangannya kini berdenyut lebih konsisten, seakan mengenali bahwa salah satu simpul ujian telah dilewati. Ayu mengikuti di samping Tirta, sesekali menoleh padanya, memastikan pemuda itu benar-benar pulih. Namun jauh di lubuk hatinya, Ayu merasa resah—seolah giliran dirinya semakin dekat.Lorong itu melebar menjadi ruang besar. Atapnya menjulang tak terlihat, seakan malam itu sendiri melengkung di atas mereka. Di tengah ruangan berdiri sebuah kolam dangkal, airnya tenang tanpa riak
Jalan cahaya di balik Gerbang Awan terasa tidak berujung. Rakasura, Ayu, dan Tirta seperti melangkah dalam lorong tanpa waktu. Tidak ada tanah yang jelas, tidak ada langit yang bisa dipastikan. Hanya pijakan cahaya yang muncul setiap kali kaki mereka terangkat, seolah lorong itu membentuk dirinya seiring keberanian mereka melangkah.Kabut tipis menyelimuti segalanya, tapi kali ini bukan kabut lembap dari hutan. Ia berkilau, seperti uap perak yang melayang, kadang berputar membentuk pusaran singkat, lalu menghilang tanpa jejak. Sesekali, gema langkah mereka tidak hanya terdengar di bawah, tapi juga di samping dan atas, seakan suara itu memantul dari dinding-dinding tak kasatmata."Aku benci tempat ini," gumam Tirta dengan suara rendah. Ia memeluk tubuhnya sendiri, meski udara di sini tidak benar-benar dingin. "Rasanya... seperti ada yang berjalan di sampingku, tapi tidak kelihatan."Ayu menoleh, tatapannya penuh kewaspadaan. "Kau tidak salah. Tempat ini bukan sek
Kabut menyingkir perlahan, membuka ruang asing yang seolah-olah tak terikat lagi pada hutan yang baru saja mereka tinggalkan. Jalan bercahaya di bawah kaki Rakasura, Ayu, dan Tirta bergetar pelan, seakan menegaskan bahwa setiap langkah mereka sedang dicatat oleh sesuatu yang lebih tua dari ingatan manusia. Aroma lembap tanah lenyap berganti dengan wangi samar—paduan antara kemenyan terbakar dan udara besi. Mereka berada di dunia lain, sebuah lorong yang tidak lagi tunduk pada hukum bumi.Rakasura berjalan paling depan. Mata emasnya menyapu dinding kabut yang perlahan memadat menjadi permukaan cermin raksasa. Tak hanya satu—ratusan, ribuan. Cermin-cermin itu tersusun di sepanjang jalan, berdiri tegak dalam lengkungan yang tak pernah berakhir. Ada yang setinggi manusia, ada pula yang menjulang seperti menara. Namun anehnya, tak ada satu pun cermin yang benar-benar memantulkan diri mereka sebagaimana mestinya. Bayangan yang muncul di balik kaca seolah hidup dengan ke
Embun pagi menempel di setiap permukaan, membuat jalur batu yang mereka lalui licin seperti kaca. Kabut tipis menggantung rendah, membentuk tirai abu-abu yang menyembunyikan hutan di kiri dan kanan jalur. Dari kejauhan terdengar suara burung-burung yang baru bangun, suaranya samar, seakan ragu-ragu untuk menembus keheningan. Udara dingin menusuk hingga ke tulang, memaksa setiap tarikan napas menjadi uap yang cepat menghilang.Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap walau mata tetap awas. Ia menunduk sesekali, memperhatikan bekas-bekas kaki yang tercetak samar di permukaan batu. Ada yang baru, ada pula yang telah mulai terhapus hujan. "Kita tidak sendirian di jalur ini," ucapnya tanpa menoleh.Tirta yang berjalan di belakangnya menegakkan tubuh, wajahnya serius untuk ukuran dirinya yang biasanya ringan. "Bekas kaki binatang, atau manusia?" tanyanya. Suaranya tidak keras, seakan takut mengganggu kabut yang rapuh.Rakasura mengangguk pelan. "Manusia. Lihat bentuknya, masih jela
Malam turun dengan lambat, seakan enggan menelan cahaya terakhir dari senja yang masih menggantung di ujung cakrawala. Langit berubah menjadi kanvas berlapis, ungu bercampur jingga lalu meredup ke dalam biru pekat yang akhirnya ditutupi kilauan bintang. Di lembah sunyi yang baru saja mereka tinggalkan, gema suara masih terasa samar, bagai jejak melodi yang enggan hilang sepenuhnya.Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap tapi tatapannya tak pernah benar-benar lepas dari kegelapan di sekeliling. Gelang di pergelangannya berdenyut dengan cahaya tipis, seolah merespons sesuatu yang tak terlihat oleh mata biasa. Ayu berjalan tepat di belakangnya, jari-jarinya sesekali menyentuh daun-daun yang bergoyang diterpa angin malam. Tirta menyusul di belakang, menggenggam tombaknya dengan erat, meski wajahnya tampak lebih sibuk memandangi bintang daripada jalan setapak."Sunyi di sini terasa berbeda," gumam Tirta sambil menoleh ke kanan dan kiri. "Bukan seperti di lembah t
Langit sore menjelma kanvas oranye yang luas, membentang di atas hutan yang seolah tak pernah habis. Awan-awan tipis melayang perlahan, menyerap warna senja, sementara cahaya matahari terakhir jatuh di sela dahan-dahan tinggi. Jalan setapak yang mereka lalui menurun dan menanjak silih berganti, seakan menguji kesabaran serta kekuatan kaki. Namun di balik itu, ada kedamaian yang sulit dijelaskan: suara alam telah kembali, dan setiap desir angin membawa cerita yang pernah hilang.Rakasura berjalan di depan, langkahnya mantap walau bahunya menanggung beban yang tak terlihat. Gelang di pergelangannya berdenyut halus, merespons perubahan langit seolah ikut bernapas bersama dunia. Ia tak lagi melihat benda itu hanya sebagai tanda hukuman, melainkan sebagai jembatan. Di belakangnya, Ayu dan Tirta menyusuri jalan dengan kecepatan lebih lambat, mata mereka sibuk menyapu pemandangan di sekitar. Sesekali, Ayu berhenti untuk menyingkirkan ranting atau batu agar Tirta tidak tersandung.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments