Share

3. Rencana

Kuminta waktu untuk berpikir, menjanjikan paling lama sebulan. Waktu yang terlalu cepat untukku memutuskan, tapi mungkin akan menjadi waktu terlama untuk mereka yang tak sabar akan konaknya. Ah, manusia, betapa dosa menjanjikan keenakkan sampai kau mengabaikan segalanya.

Memohon-mohon ia meninggalkan niat mendua sepertinya tak akan mempan. Terlihat Mas Danang mulai sering menghilang dan desas-desus tentang mereka pun bermunculan.

“Mama Almira, itu kok April pindah sering dikunjungin Denok sama bapaknya?”

“Iya dengar-dengar bapaknya Almira pernah datang sendiri malah, ngantar sesuatu gitu. Hati-hati loh zaman sekarang biar kayak anak sama bapak tetap bisa tertarik.”

“Hu uh, Mbak Aya, bisa kejadian itu. Aku juga ngilu lihat akrabnya April sama Mas Danang, kok lain gitu ya tatapan matanya, beda kalau sama anak sendiri kan kelihatan banget dari mata, Mbak.”

Saat kumpul arisan warga sebulan sekali ini, aku malah dihujani rentetan pertanyaan dan tanggapan ibu-ibu dengan kabar itu. Terlebih Mas Danang absen datang, tak seperti biasa. Bahasan mereka mulai dari kenapa April pindah, juga Mas Danang sering tercuri mengarahkan kendaraan ke rumah bekas Pak Idris itu kutanggapi senyum saja. Sebab kenyataannya memang begitu. Aku sudah tak kaget lagi.

“Ibu-ibu doain saja yang terbaik.” Satu-satunya kalimat tanggapanku.

“Lah kalau beneran gimana Mama Almira ini, nggak cukup doa aja sebaiknya sebelum terjadi dicegah dulu. Jangan dibiarin!”

“Bener, Mbak. Sebelum terlambat kayak istrinya Pak Dul yang sampe kelahi di jalan itu ya gara-gara dibiar-biarkan, eh malah mlendung benaran.”

Sudah terlanjur terjadi, mau dicegah bagaimana?

Para emak-emak yang kepo menembakiku dengan ribuan tanya lain. Ah, lihat ini, Mas. Aku sudah berusaha menutupi, tapi kamu sendiri yang tak bisa menahan diri.

Keputusan memang sudah terselip di benak, tinggal siapkan diri untuk tidak menangis saat waktu itu tiba. Luka hati sudah tak berbentuk, ia hanya bertahan untuk bisa tetap melihat senyum anak-anak.

*

Bertukar pikiran dengan seorang teman yang berprofesi sebagai notaris, aku ingin menyelamatkan hak anak-anak. Sebab selentingan kabar April tengah belajar nyetir, dan Mas Danang menanyakan mobil seorang teman yang dijual. Itu pasti ada hubungannya.

Rekening dan ATM dua usaha kami semua atas namaku, karena selama ini aku yang mengatur keuangan. Milik Mas Danang rasanya hanya kartu kredit dan ATM bersama yang dipinjam waktu itu dariku, isinya tak seberapa. Entah darimana uang untuk bayar rumah Pak Idris itu diam-diam, jawabannya belum jelas dan malah terlihat menghindar. Baiklah aku tak ingin tahu itu, yang pasti safetybox aman.

Merasa tak mungkin menahan semua sendiri aku membuka dialog dengan orangtua Mas Danang yang sudah berumur. Terpaksa, bagaimanapun mereka pasti juga akan tahu. Ibunya menangis meminta maaf, beliau tahu perjuangan kami berdarah-darah di awal dulu.

“Apa pun keputusanmu, Aya … emak rido, semua di tanganmu. Cuma satu permintaan emak, jangan sampai anak-anakmu benci Danang. Bagaimana pun bapaknya akan menjadi wali pernikahan mereka nantinya. Tolong jangan sampai hati mereka terluka ….”

Aku pun berpikiran sama, Mak. Cukup aku saja yang berdarah jangan anak-anak, walaupun tak terhindarkan sakit itu pasti ada, dan aku hanya mengurangi.

Di rumah anak-anak mulai mencecar tanya, memang tak mungkin kusumpal telinga mereka untuk tak mendengar isu di luar. Apalagi Mas Danang menghindari mereka, mungkin karena tak punya jawaban.

Pada si sulung yang beranjak dewasa aku cukup mudah menjelaskan apa yang akan terjadi setelah ini. Kami sempat bertangisan lama via video call. Lalu pada tiga putriku di rumah, kumulai perlahan dengan lebih mengakrabkan diri pada mereka. Nonton drakor kesukaan Syifa, ikut renang kecintaan Naya, dan mengalihkan kemanjaan Denok di malam hari biasa pada April kini padaku.

Waktu berkualitas bersama mereka membuatku merasa kembali remaja, menyeimbangkan obrolan dengan keseruan topik asing di telinga. Yah, walaupun belum begitu nyambung, aku merasa cukup sukses melakukannya.

Dua minggu berlalu, mereka terlihat siap menerima berita buruk ini. Sengaja kuajak mereka nginap di hotel Aqua, sebuah hotel bintang empat di kota ini. Dalam kondisi tenang dan senang kami berempat kumpul, duduk melingkar di atas bed ukuran king.

“… jadi … Ayah akan nikah dengan Kak April?!”

Walaupun perlahan kuungkap tetap saja Naya dan Syifa tersentak, keduanya langsung menangis memelukku. Dalam isak kami kuyakinkan kalau semua akan baik-baik saja. Semua akan tetap seperti semula. Tidak ada yang akan berubah.

“Apa kami akan panggil Kak April Mama juga?” Si bungsuku bertanya dengan polosnya.

Aku tersenyum, mengecup keningnya penuh rasa. “Tidak harus, kalian tetap seperti biasa saja.”

Naya dan Syifa sudah menyeka air mata, tapi memeluk lenganku kiri kanan.

“Mama beneran gak apa …?”

Lagi-lagi aku tersenyum. “Ayah ingin bahagia dengan menambah keluarga baru. Kita ingin lihat Ayah bahagia ‘kan?”

Hanya Denok yang mengangguk, sementara Naya dan syifa menatapku penuh tanya. Entah apa yang ada di pikiran mereka sekarang.

*

Hari ini kurasa sudah waktu yang tepat. Tidak harus menunggu sebulan Mas Danang mendengar jawaban.

Aku melajukan mobil ke rumah itu. Rumah yang dibeli untuk April, dan sudah kuurus balik nama atas Almira. Kebetulan surat lengkapnya masih di tangan Pak Idris karena ternyata baru dibayar separuh.

Mas Danang sempat marah besar terlebih saat tahu pemasukan usaha kami kubekukan dalam satu rekening.

“Kenapa tanpa persetujuanku?!” desisnya geram, tentu tanpa terdengar dari luar kamar.

“Kalau rumah itu kan aku yang lunasin sisanya, Mas. Itu jadi hak Almira. Kebetulan dulu pernah janji belikan rumah untuknya. Bukannya janji adalah utang?” sahutku waktu itu dan membuat mukanya merah.

“April biar belajar mencintai Mas Danang dari nol. Ingat kita dulu gimana merintis, Mas,” lanjutku tetap setenang mungkin.

“Dulu ya beda, kita belum punya apa-apa-“

“Dan, aku bertahan karena cinta pada Mas Danang yang tak punya apa-apa. Rela berbagi mie instan sebungkus untuk berdua. Itu bukti cintaku, Mas. Kalau April minta Mas nikahi karena cinta, biar ia mulai semua dari awal.”

Hari itu ia pergi tanpa kata dan makin betah di luar rumah. Sudah pasti ia ke sini, itu mobilnya terparkir tenang di halaman.

Buta oleh cinta Mas Danang terlihat tak punya malu. Akulah yang merasa malu atas kelakuan mereka ini, malu atas nama anak-anak.

Pintu depan setengah terbuka, aku masuk tanpa salam. Terlihat satu set sofa baru dengan meja kaca bulat dialasi taplak sulam mawar. Kapan mereka belanja? Uang dari mana?

Mas Danang kaget lihat aku sudah sampai dapur. Mereka sepertinya habis makan. Lelaki yang mulai tumbuh satu dua helai uban di kepalanya itu habis cuci tangan. Dan April baru keluar dari kamar mandi terhenti sejenak melihatku.

Jadi Mas Danang pilih makan di sini?

“Dik … ada apa?”

Ada apa katanya? Aku hampir tertawa.

Mata ini bergantian melihat dua orang itu. Terutama perempuan yang mengenakan celana kain di atas lutut cuek mulai membersihkan meja. Seolah aku makhluk tak terlihat.

Hebat kamu, Mas. Belum dapat jawaban dariku sudah berani berduaan begini? Apa Mas gak pikirkan apa kata orang-orang? Di mana rasa malu itu?”

“Mas … aku ke sini mau jawab setuju Mas Danang nikahi April ini. Aku tetap bertahan, dan dia itu akan jadi maduku.” Kutekan kalimat terakhir.

Mas Danang terlihat lega. Sementara April memasang muka masam, sudah pasti ia berharap aku diceraikan.

“Aku yang akan nikahkan kalian malam ini juga.” Kutatap April yang terlihat terkejut, menunjuk mukanya.

“Kamu, datang nanti bada magrib. Aku sudah siapkan kejutan buat kalian, yah sebuah pesta kecil-kecilan. Semua warga harus tahu kan kalau kamu akan jadi maduku. Bukankah begitu, Mas?” Aku beralih lagi pada Mas Danang yang sekejap kaku.

“Dik … kami sudah nikah siri di kampung April. Tidak perlu undang-“

Kutahan rasa sesak yang langsung menyengat. Rupanya benar tidak sabar mereka. Diri ini sudah tak dianggap.

“Kalau nikah diam-diam orang tidak tahu kalau April maduku, Mas. Bukankah kamu memang mau diakui kan April? Gak enak lo nanti kalian dikira kumpul kebo!”

Merah padam muka Mas Danang.

“Datang nanti malam. Aku sudah undang tetangga, Mas. Ini cara terbaik untuk menjaga wajah Mas Danang tetap dierhitungkan orang. Biarkan kalian nikah dua kali atau tiga kali, itu tak masalah. Aku mau anak-anakku menyaksikan kalau pernikahan itu ada, bukan hubungan terlarang ayahnya. Jangan egois, Mas! Apa yang mereka dengar dari orang lain itu lebih menyakitkan dibanding ini!”

Aku berbalik, melangkah cepat ke luar dengan perasaan tak karuan, dan bola mata ini perih dan memanas. Berusaha kulawan nyeri, sayang kalau harus menangis lagi. Bukankah anak-anak lebih suka kalau aku tertawa. Soraya, kamu pasti kuat …!

Beberapa tetangga melihat heran ke sini, aku mengangguk kecil sambil melempar senyum kaku sebelum masuk mobil. Biarlah mereka menduga-duga. Aku sudah tak sabar melihat dekor rumah dan ramainya ibu-ibu berkumpul di rumah nanti, menyaksikan bagaimana kunikahkan suamiku.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status