Share

2. Keinginannya Poligami

Aku bukan manusia super kuat, penuh sabar, dan penuh maaf. Meskipun aib ini masih kugenggam tanpa siapa pun tahu kecuali Tuhan dan dua pelakunya, aku butuh waktu mendinginkan kepala untuk tetap berpikir jernih.

“Ini, buat bayar kos. Saatnya kamu belajar bertanggung jawab pada diri sendiri. Aku sudah lepas tangan,” tekanku pada April di kamarnya sore ini. Saat ia baru pulang dengan sangat terlambat dari kampus.

Satu juta rupiah untuk bekal ia keluar dari rumah. Masalah lain harus belajar dipikirkannya sendiri. Anak kampung tak tahu diri ini harus sadar kalau apa yang diperbuat itu salah, dan aku sama sekali tidak menerima perbuatannya.

Tak menjawab satu kata pun April mulai menyiapkan barang-barangnya.

“Mau ke mana Kak April, Ma?”

Lewat depan kamarnya yang terbuka lebar aku dan April saling pandang, tampak ia tersenyum pada Syifa yang memang cukup dekat dengannya hari-hari.

“Kak April mulai nanti tinggal di kos dekat kampusnya,” jawabku.

“Kenapa pindah, Ma? Yahh gak asyik, aku kan suka jalan sama kak April.”

“Syifa, ayo mama antarin lesnya. Tuh bentar lagi mulai.” Aku menunjuk jam hampir pukul 2.

Anak ketigaku itu menurut, ia gegas menyambar tas.

“Oh ya biasanya jalan ke mana aja sama kak April itu?” Di mobil aku mengorek informasi.

“Kita pulang sekolah kadang mampir dulu ke rujak es krimnya Mang Adul, Ma.”

Syifa bilang kalau April yang bayar.

“Trus kalau pulang les kita sering sempatin juga jalan ke bawah jembatan Kahayan, Ma. Nongkrong bentar.”

Kuelus kepala Syifa. “Nongkrong? Ngapain aja itu? Mama belum pernah nongkrong,” ujarku setengah bercanda.

“Gak ngapa-ngapain, sih, cuma lihat air sambil cemilin batagor goreng. Kak April juga yang traktir. Kadang kita bareng banyak kawannya ketemu di sana. Ohya ada kawan Kak April itu mukanya mirip Kim Bum. Cakep banget!”

“Kim Bum?”

“Itu yang jadi Yi Rang di film Korea Tale Of Gumiho.”

Hah?! Aku kemudian tertawa kaku. Mungkinkah aku sudah terlalu tua sampai tidak tahu siapa orang yang disebut Syifa.

“Tau cakep juga nih sekarang?” alihku menyeimbangi pembicaraan putri remajaku ini.

“Iya dong, Ma. Kalau masih suka sama lawan jenis kan artinya normal.”

Itu kalimatku dulu saat kakaknya mulai suka lawan jenis, dan diulang oleh remaja 15 tahun ini dengan semringah. Di tengah masalah Mas Danang aku juga tengah bergelut menjaga putri-putriku yang beranjak remaja.

Sepanjang jalan kami ngobrol santai seperti biasa, tapi kali ini aku lebih banyak jadi pendengar. Dikhianati dengan seseorang yang jauh lebih muda membuatku merasa … agh tidak, aku masih cantik dan segar, hanya mungkin aku kurang paham dunia anak muda saja, wajar ini karena puluhan tahun ini fokus pada membangun usaha kami. Aku tak boleh merasa rendah diri.

“Ma, kelewat!”

“Oh!” Kaget, refleks kuinjak rem, sampai terhenti. Untung laju mobil santai dan jalanan lengang sehingga tak membahayakan.

“Mama kok melamun?”

“Enggak, Fa. Ini tadi mama gak lihat pinggir.”

Sedikit mundur kuarahkan kendaraan ke halaman lab Bahasa tempat les Syifa.

“Nanti mama juga kah yang jemput?”

Gadis bermata kecil ini bertanya sebelum turun.

“Iya dong. Kita boleh nongkrong bentar nanti pulangnya, mama akan ajak Denok juga.”

“Wahh, oke, Ma. Syifa seneng banget. Kita cuci mata bareng biar seger,” celotehnya membuatku tertawa lepas.

“Cuci mata ya pake air. Bukan liat cowok cakep.”

“Haha. Dah, Ma. Assalamuallaikum.” Ia mencium tanganku, lalu turun.

"Waallaikumsalam ...."

Sejenak menatap punggung Syifa, aku kembali kulajukan mobil ke rumah. Apa si April itu sudah pergi?

.

.

“Mau ke mana, Mas?”

Di halaman Mas Danang membuka lebar bagasi mobil.

Sebelum menjawab ia melirik putriku Denok tengah membawa kipas angin, menaruhnya ke bagasi. Ternyata sudah penuh barang April di situ.

“Ma, ayok antar Kak April pindah ke rumah baru kita.”

Rumah baru? Aku saling pandang dengan Mas Danang.

“Pak Sam. Antarkan mereka, nanti aku nyusul,” perintah Mas Danang pada supir yang biasa di pabrik malah ada di sini.

Kutahan gemuruh di dalam dada melihat Denok ceria ikut masuk ke mobil bersama April. Orang yang dulu kusayangi seperti anak itu melewati tubuhku begitu saja seolah tanpa melihat. Diri merasa remuk dijatuhkan oleh sikapnya.

Bagaimana ia lupa kalau sebelum ini dirinya itu siapa?

Xpander hitam itu melaju meninggalkan halaman.

“Kita bicara, Mas!” lirihku penuh tekanan pada lelaki yang menatapku datar itu.

Ia masuk, aku mengikutinya. Pintu kukunci, lalu tarik tangannya ke kamar.

Ruang tempat kami memadu kasih 21 tahun lamanya, juga ruang tempat kami menyelesaikan masalah dalam suara rendah. Karena kamar ukuran 5 x 6 inilah rumah tangga yang kami bangun bagai surga untuk anak-anakku. Tidak pernah ada keributan, kata kasar apalagi piring terbang. Aku selalu mampu meredam tiap goncangan bersamanya. Untuk kali ini aku merasa sudah tak yakin.

“Apa maksudnya rumah baru, Mas?” Aku bertanya tepat di depan mukanya. Menelisik apa yang ada di pikirannya.

Ia membalas tatapanku. Awalnya terlihat ragu namun kemudian seperti menantang.

“Kalau kamu pindahkan April ke kos apa kata orang, Dik?”

“Lalu?”

“Aku beli rumah Haji Idris yang belum laku itu.”

“Apa, Mas?!” Derap jantungku bertalu. Tangan terkepal gemetar.

“April itu bagian keluarga kita. Aku beralasan ia pindah menjaga rumah baru itu.”

Bola mataku panas tapi pada bibirku yang gemetar ini malah keluar senyum miring.

“… a-apa ini sudah Mas Danang rencanakan? Mana mungkin beli rumah dadakan trus langsung bisa ditempati, Mas. Kapan bersih-bersihnya? Kapan deal harganya? Baru tadi aku suruh April ke luar pergi .…” Gemetar hebat kutahan emosi yang mau meledak. Kubiarkan air mata kembali berderai.

Ia terdiam menghindar tatapan mataku.

“Mas beli rumah itu diam-diam?” Menggeram kuat menahan diri membuat rahangku sampai terasa kaku.

“… iya, sebulan lalu.”

Ingin kudorong dadanya, menjadi pembunuh dengan menghajarnya membabi buta. Sungguh, baru kutahu ia lelaki tak berperasaan. Kenapa aku baru menyadari sekarang? Ia yang berubah ataukah mataku selama ini tertutupi cinta?

Kepatuhanku sudah disalahgunakan. Kelembutanku menghadapinya justru makin membuat ia menyerang diri sampai sebegini tak berkutik. Ia tahu aku pasti akan berusaha keras yang terbaik untuk anak dan dirinya, karena itu ia terlihat santai dengan kesalahan ini.

Ya Allah … apa aku masih sanggup menahan diri?

“Dik … aku akan menikahi April … tolong berikan restumu.”

Bagai ada pisau tumpul menusuk dada, memaksa sampai menembus hati terdalam. Aku ingin menjauhkan mereka, agar dosa itu terhenti, tapi kenapa … ia malah ingin menggapainya ….

“Poligami lebih baik daripada aku berzinah, Dik.”

Belum puas, ia menaburkan lagi segenggam garam di atas lukaku.

Susah payah kuraup udara agar tetap sehat dan sadar. Aku wajib menyadarkan diri bahwa lelaki ini memang manusia tercela sekarang ini. Harus kulepaskan rasa cinta yang menggunung, menaruh kembali pada tempatnya.

“Apa aku memang tak mampu lagi memuaskanmu, Mas? Sampai kamu butuh dia?” Kutelan rasa perih ini.

“Maaf, pahami aku … pikiran ini masih berdosa.”

Kuhela napas panjang. Baiklah, aku paham maksudnya. Bayangan yang lebih muda dan segar pastilah selalu melekat di benak.

“Beri waktu aku berpikir, Mas ….”

Ia menyentuh pundakku sembari meminta maaf, lalu keluar. Tak lama terdengar suara mobil meninggalkan halaman.

Tubuhku yang duduk di sisi ranjang langsung luruh, terbaring pada kasur penuh kenangan. Nyeri ini luar biasa sakit. Tak terbayangkan, seseorang yang pernah tulus kusayang telah sukses merebut hati belahan jiwa.

Isakku semakin reda. Menyakiti diri dengan tangis sejadi-jadinya sama sekali tak akan berguna. Bukankah di sana pasti mereka tengah tertawa? Hahaa, baiklah mungkin saatnya aku harus ikut berbahagia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status