Semua Bab Kehancuran Usai Suami Berkhianat : Bab 1 - Bab 10
76 Bab
1. Noda dan Pengakuan
“Aku khilaf, Dik ….”“Gimana bisa khilaf sampai sejauh itu, Mas …?”“Maaf ….”Hanya itu yang terus suamiku ucap. Maaf, maaf, dan khilaf, seolah tak ada kata lain yang sanggup keluar dari mulutnya. Ia tertunduk, pun matanya basah. Lelakiku ikut terisak. Aku tak bisa memahami apa yang ia rasakan sebenarnya.Mas ... sadarkah kau sudah torehkan luka teramat dalam, yang sekarang menganga di hati ini. Lupakah kau, saat anak kampung itu kita jemput, dengan janji akan menyekolahkannya, menolong mengangkat derajat keluarganya?Apa yang sampai membawamu terjerumus begitu dalam ...?Dosa apa yang kami buat sampai menanggung ujian ini, ya Rabb ….Aib suamiku ini, kami berdua bicarakan sambil berbisik di kamar, duduk berhadap-hadapan.Seberapa pun berat, aku tak ingin anak-anak yang begitu menghargai ayahnya turut terpukul atas kejadian ini...Tiga tahun lalu ....“April akan kami jaga, Bu. Tidak usah Ibu khawatir. Kebetulan waktu saya juga banyak di rumah, jadi insyaallah masih bisa mengawasi pe
Baca selengkapnya
2. Keinginannya Poligami
Aku bukan manusia super kuat, penuh sabar, dan penuh maaf. Meskipun aib ini masih kugenggam tanpa siapa pun tahu kecuali Tuhan dan dua pelakunya, aku butuh waktu mendinginkan kepala untuk tetap berpikir jernih.“Ini, buat bayar kos. Saatnya kamu belajar bertanggung jawab pada diri sendiri. Aku sudah lepas tangan,” tekanku pada April di kamarnya sore ini. Saat ia baru pulang dengan sangat terlambat dari kampus.Satu juta rupiah untuk bekal ia keluar dari rumah. Masalah lain harus belajar dipikirkannya sendiri. Anak kampung tak tahu diri ini harus sadar kalau apa yang diperbuat itu salah, dan aku sama sekali tidak menerima perbuatannya.Tak menjawab satu kata pun April mulai menyiapkan barang-barangnya.“Mau ke mana Kak April, Ma?”Lewat depan kamarnya yang terbuka lebar aku dan April saling pandang, tampak ia tersenyum pada Syifa yang memang cukup dekat dengannya hari-hari.“Ka
Baca selengkapnya
3. Rencana
Kuminta waktu untuk berpikir, menjanjikan paling lama sebulan. Waktu yang terlalu cepat untukku memutuskan, tapi mungkin akan menjadi waktu terlama untuk mereka yang tak sabar akan konaknya. Ah, manusia, betapa dosa menjanjikan keenakkan sampai kau mengabaikan segalanya.Memohon-mohon ia meninggalkan niat mendua sepertinya tak akan mempan. Terlihat Mas Danang mulai sering menghilang dan desas-desus tentang mereka pun bermunculan.“Mama Almira, itu kok April pindah sering dikunjungin Denok sama bapaknya?”“Iya dengar-dengar bapaknya Almira pernah datang sendiri malah, ngantar sesuatu gitu. Hati-hati loh zaman sekarang biar kayak anak sama bapak tetap bisa tertarik.”“Hu uh, Mbak Aya, bisa kejadian itu. Aku juga ngilu lihat akrabnya April sama Mas Danang, kok lain gitu ya tatapan matanya, beda kalau sama anak sendiri kan kelihatan banget dari mata, Mbak.”Saat kumpul arisan warga sebul
Baca selengkapnya
4. Persiapan Menikahkan Suamiku
“Ma, Naya pulang sekolah langsung ke rumah Tante Laras aja.” “Iya, Nay. Mama sudah checkin ke Aqua lagi, dua adikmu Syifa di sana sama Tante Wid, apa gak gabung aja? Ajak Tante Laras skalian biar rame.” Aku sengaja bawa kami nginap lagi malam ini, menghindari rumah tentunya. Sebenarnya bisa nginap di rumah saudara, tapi keputusan menikahkan Mas Danang mengundang banyak tanya, aku sedang malas bahas itu berulang-ulang. Bukankah cukup sekali kujelaskan dan mereka harusnya faham. Pengulangan tanya hanya membuka luka yang sudah kubalut. “Nanti deh Nay pikirin, ada tugas kelompok juga ini, Ma, besok dkumpul.” “Iya, Sayang, kerjakan aja dulu. Nanti kita ketemu.” “Mama di mana?” Naya mungkin dengar suara vacum comedo yang menyedot di cuping hidung. “Em,” Aku terjeda pegawai salon permisi akan menyedot bagian dagu. “ini mama di salon, lagi bersih-bersih komedo.” “Ah, coba tau tadi Nay ikut.” “Boleh dong lang
Baca selengkapnya
5. Dia Tampak Bangga Menjadi Maduku
Makin banyak yang datang, tapi tidak anak-anakku mereka bersikukuh memilih tidak ingin melihat ini. Aku paham, asal mereka tahu saja kalau bapaknya sudah menikah itu cukup.Aku duduk lesehan di antara para tamu, menyaksikan semua sampai kata sah dari pernikahan terpaut usia 26 tahun itu terucap. Genggaman erat tangan teman-teman makin menguatkanku untuk tak menangis.“Terima kasih atas keikhlasannya Bu Soraya. Kami atas nama keluarga meminta maaf yang sebesar-besarnya,” tandas paman April yang sebelumnya kupaksa datang untuk menjadi wali.Ia datang sendiri dengan wajah banyak tertunduk, sama seperti yang dilakukan keponakannya itu. Sementara ibunya April tak menampakkan batang hidung sama sekali, sudah pasti malu, merasa bersalah Mas Danang diam-diam menikahi anaknya beberapa hari lalu di rumahnya, tanpa sepengetahuanku.Aku tak menjawab kalimat basa-basi itu. Terlalu sulit untuk banyak bersandiwara, berpura menerima pa
Baca selengkapnya
6. Kita Sudah Berbeda
“Ma apa boleh aku nginap di rumah kak April?” Terdengar ragu Denok berkata begitu. Aku yang tengah melihat surat kerjasama dengan perusahaan pengolahan kayu lekas menyingkirkan berkas ke sisi meja, menatap wajah anakku yang terlihat segan.Senyum kuberikan, lalu menyentuh pipinya lembut. “Boleh aja, Sayang. Kenapa enggak, Ayah kan juga ada di sana.”Matanya berbinar senang, tapi terasa menggores silet di dalam dada.“Makasiih, Ma. Mama baiiik banget!” Tubuhku dipeluk dan pipi ini diciumnya gemas.Gadis manja kelas 2 SMP itu segera menelepon seseorang sambil berjalan ke kamar.“Kak April Mama bolehin. Jemput aku, ya! Oh Ayah? Oke aku siap-siap dulu.”Udara terasa sulit kuhela. Denok … masih begitu akrab dengannya.Kenapa ada nyeri terasa menyengat?Secara kasat mata aku menunjukkan ppenerimaan atas kehadiran April di antara diri dan mas Danang, tanpa
Baca selengkapnya
7. Kasihan Sekali Kamu, Mas
Cukup di benak kutahan rasa terkejut. Pernah berfirasat akan begini akhirnya, melihat bagaimana borosnya mereka menghambur uang, hanya tak menyangka kalau secepat ini terjadi.Aku tetap diam menunggu ia selesai bicara.“… aku ada cicilan besar dan tambang lagi ngadat.” Wajahnya terpasang memelas.“Sebesar berapa kok sampai terpikir jual pabrik, Mas?”Ia memberanikan diri menatapku. “Hutang di bank hampir milyaran, Dik … belum lagi yang pribadi, ini gara-gara aku main saham.”“Yang online itu?” Ia mengangguk lemah. “Ya Allah sejak dulu aku menentang keras Mas lakuin itu. Resikonya besar.”“Terlanjur … rumah mungkin akan disita. Sebagian isinya diambil Jumri, puluhan juta uangnya kupinjam.”Aku menghela nafas berat. “Kalian boros sekali. Belum setahun sudah mandi hutang. Kenapa bisa kelepasan begitu?&rdquo
Baca selengkapnya
8. Mulai Lelah
Ia menegakkan badan mukanya mendekat dengan mata tajam. “Sudah lama kubiarkan keuangan kamu kuasai, Soraya. Kamu pikir aku bodoh. Dari awal menikahi April aku banting tulang sendiri!”Wah, wah rupanya ia selalu memikirkan bagiannya dalam pekerjaanku. Ke sini ku kira baik-baik saja, tapi ternyata menyimpan bara yang masih merah.Aku bangkit. “Kita bicara di kamar, Mas!”“Di sini saja. Denok akan paham, biar tahu ibunya itu seperti apa!’Astagfirrullah ….Aku kembali duduk.“Kita perlu membagi harta yang ada, aku punya keluarga tang harus kunafkahi, Aya. Keperluan pribadiku. Mana hasil dari pabrik yang sekarang makin laku? Mana bagianku? Selama ini aku diam tanpa mau tanya, berharap kamu sadar ada hakku di sana. Tapi memang
Baca selengkapnya
9. Permintaan Syifa
“Ayo, makan yang banyak.” Aku menyuapi Syifa yang masih pucat. Bibirnya putih dan kering. Kemarin Hb-nya sempat drop, sampai butuh transfusi sekantung darah. Awalnya aku mau memberi darah ini, tapi kondisi kelelahan membuat fisikku tak memenuhi syarat. Akhirnya pakai dari yang tersedia di rumah sakit saja. Kami memindahkannya dirawat di rumah sakit, ini sudah hari ketiga. Alhamdulillah, hasil pemeriksaan sementara tidak ada yang serius, walaupun masih butuh pemeriksaan lanjut. Keadaannya mulai membaik. Jantungku sempat dag dig dug terus menerus melihat kondisinya kemarin, kini bisa menarik napas lega.  Mas Danang juga menyusul, ia tak tega melihat keadaan Syifa saat Nay meneleponnya via video. Ya Rabb … keadaan kemarin terasa menampar diri. Aku tersadar saat-saat kritis itu hanya ada kekuatan lewat munajat pada-Nya. Tuhanku … satu-satunya tempat berharap s
Baca selengkapnya
10. Perempuan Tanpa Muka
Bungsuku berubah.Apa itu hanya perasaanku yang sensitif? Ia menghindar kontak mata kalau kami bicara, itu pun kupaksa, sebab saat kami berpapasan selalu ada alasan Denok menghindar.“Denok ada masalah apa, Sayang? Bilang ke mama, mama pasti dengar.” Aku mengikutinya ke kamar, ia urung mau menutup pintu dan menguncinya dari dalam, seperti yang dilakukan akhir-akhir ini.Bibir kecil itu terkatup. Ia berbaring memiringkan badan membelakangiku.“Ngantuk. Capek.”Mau kuusap punggungnya tapi ditepis.“Denok … mama minta maaf kalau ada salah. Tapi mama belum tahu salahnya di mana? Coba bilang, biar mama bisa perbaiki.”“Gak ada. Aku mau tidur.” Hati ini tersayat saat buah hati memilih menyi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
8
DMCA.com Protection Status