Vannia rela meninggalkan semua kemewahan yang ia miliki demi bisa bersama dengan Renvier. Namun, setelah menikah keluarga Renvier malah selalu mengucilkannya dan menginjak harga dirinya setiap hari. Tak sampai di situ, Renvier bahkan berselingkuh dengan sahabat Vannia bernama Anya. Di tengah lautan luka tersebut, mampukah Vannia bertahan dan memperjuangkan cintanya? Atau Vannia malah menghancurkan kedua penghianat itu? "Ambil saja suamiku, Anya. Tapi jangan salahkan aku jika merenggut kewarasanmu dengan cara yang menyakitkan!"
View More"Kau memang sahabat baikku, Vannia. Tapi jika soal cinta, aku tak bisa mundur begitu saja. Lagipula, suamimu lebih memilihku, bukan?"
Wanita gila! Itu umpatan yang hati Vannia keluarkan ketika mulutnya tak bisa berkata-kata karena rasa sakit yang menghujam hatinya. Bibirnya bergetar menahan tangis dan amarah. Sudah kepergok chatingan mesra dengan suaminya, Anya—sabahat terbaiknya—sama sekali tak menunjukkan raut merasa bersalah.
PRANG!
Anya sangat terkejut ketika Vannia mengempaskan ponsel miliknya ke lantai kafe dengan keras, membuat ponsel mahal itu terpental dan retak. Buru-buru Anya memungut ponsel itu dengan tampang kesalnya pada Vannia.
"Vannia!"
"Apa?!" tantang Vannia berani. Ia menunjuk wajah Anya dengan perasaan penuh rasa kecewa. "Jadi selama ini kau bermain di belakangku bersama suamiku? Kau bukan sahabatku, Anya. Kau iblis!"
"Ya. Aku memang iblis yang suamimu cintai. Haruskah aku berbangga diri menjadi seorang iblis sekarang?" Anya tertawa tanpa rasa bersalah.
"Sudah berapa jauh hubungan kalian?" tanya Vannia dengan nada dingin dan tatapan yang tajam.
"Sejak kau menantangku siapa yang menikah lebih dulu," sahut Anya santai. "Vannia, kau itu sahabat yang terlalu lugu bagiku. Kau pikir aku tak pernah iri dengan pencapaian yang kau peroleh sejak kita duduk di bangku sekolah? Kau bahkan sudah berkali-kali merebut pria yang aku cintai. Sudah cukup pria incaranku tertuju padamu. Sekarang, giliran suamimu yang harus bertekuk lutut di hadapanku," lanjutnya dengan percaya diri.
Anya tersenyum senang seraya membuka tas miliknya. Ia mengambil sebuah undangan yang bertuliskan namanya dan juga nama suami Vannia yaitu Renvier. Tangan bergetar Vannia menerima undangan itu dengan hati yang mencelos.
"Kami akan menikah secara tertutup di gedung pernikahan milik keluarga Renvier. Awalnya kau bukanlah tamu yang kami harapkan, tapi karena kau telah mengetahuinya ... maka datanglah. Kau selalu ingin melihat aku menikah, bukan? Aku sudah mengabulkannya."
Vannia menarik napasnya dalam-dalam. Ia mendelik ke arah Anya sambil berjalan perlahan menuju wanita itu. Bukannya takut, Anya malah berdiri dengan angkuh seakan-akan Vannia tak bisa melukainya sedikitpun.
"Silakan ambil suamiku. Tapi jangan berpikir kau akan mendapatkan kebahagiaan yang kau impikan, Anya. Lihatlah bagaimana sahabatmu yang lugu ini menjadi duri di setiap langkah yang kau ambil di samping suamiku!" tegas Vannia sebelum meninggalkan ruangan private kafe tersebut.
Vannia dengan derai air mata berjalan tanpa memedulikan orang-orang yang menatapnya keheranan. Vannia menuju parkiran, membuka mobilnya, dan masuk ke dalamnya. Tangisannya pecah di sana. Vannia memukul-mukul setir dengan perasaan yang teramat sakit melebihi apapun.
"A-apa kekuranganku sehingga kalian mengkhianatiku? Aku telah menjadi istri yang baik. Aku juga telah baik dengan sahabatku. Tapi mengapa mereka malah menyakitiku seperti ini? Aku telah meninggalkan semuanya demi cintaku padamu, Renvier. Tapi kau dengan mudah meninggalkanku dengan selingkuhanmu!"
Vannia segera menjalankan mobilnya meninggalkan kafe itu. Tekadnya untuk balas dendam semakin bulat. Vannia yang terkenal dengan kepribadian lembut dan mudah tersenyum, akan berubah menjadi Vannia yang kuat dan tak terkalahkan.
"Aku tak pernah rela cinta yang kurajut dengan sepenuh hati kau lukai begitu aja! Aku akan merelakan, tetapi tidak membiarkan kalian bahagia. Mari tetap hidup berdampingan dengan luka yang akan kita kecap bersama."
Pulang dari kafe, Vannia langsung disambut oleh tatapan sinis mertuanya juga iparnya. Biasanya Vannia akan buru-buru meminta maaf karena terlalu lama di luar, tetapi kali ini tidak. Vannia melewati mereka berdua di ruang tengah, Vannia hanya menyapa seadanya.
"Ibu, Berlina. Aku pulang. Aku masuk kamar dulu," sapa Vannia seadanya. Ia buru-buru ingin melangkah pergi. Namun, tiba-tiba punggungnya dilempar sebuah kipas tangan berwarna merah oleh iparnya. "Akhh!" ringisnya seraya menoleh ke arah pelaku.
Berlina, wanita yang lebih tua dua tahun dari Vannia itu bersedekap dengan tatapan meremehkan pada Vannia. Ia langkahkan kaki jenjangnya yang berbalut highhell putih itu menuju Vannia.
"Ada apa ini? Kau mulai berani mengacuhkan kami?" gertak iparnya itu.
Vannia mengembuskan napas pelan. Ia akan berusaha bersabar di hadapan Berlina. "Maafkan aku, Berlina. Tapi aku sedang dalam kondisi hati yang buruk. Aku ingin segera beristirahat dan melupakan semuanya."
Tiba-tiba Berlina tertawa dengan lantang. Bibir merah merona itu kemudian membentuk sebuah senyuman ke arah Vannia yang kebingungan. "Apa kau sudah mengetahuinya?"
"M-maksudmu apa, Berlina? Apa yang aku sudah ketahui?"
Berlina berjalan menuju meja ruang tengah, lalu mengambil sebuah undangan. Ia menunjukkan undangan itu pada Vannia.
"Kau pasti sudah melihat undangan ini dari calon menantu terbaik keluarga ini, bukan? Bagaimana? Bukankah aku dan ibu memilihkan jodoh yang baik untuk suamimu?" kata Berlina dengan tampang yang penuh kebanggaan.
Vannia menggeleng tak percaya. Ternyata perselingkuhan suaminya adalah bagian dari rencana licik mertua dan iparnya sendiri. Vannia tak percaya itu. Ini sudah sungguh sangat keterlaluan!
"Jadi kalian mengetahui semua ini? Bu, Berlina, selama ini aku menerima sikap buruk kalian terhadapku karena aku berusaha menerima kalian sebagai keluargaku juga. Tapi jika kalian berusaha menghadirkan orang ketiga dalam rumah tangga kami, aku tak akan pernah merelakan hal itu! Aku tak akan pernah memaafkan kalian!" cetus Vannia kembali berlinang air mata.
Dadanya kembali sesak oleh rasa sakit. Rasanya ia ingin berlari ke sandaran hidupnya. Tapi malangnya, sandaran hidupnyalah yang telah mengkhianatinya.
Mertua Vannia—Marisa—berjalan dengan tatapan angkuh mendekati menantunya yang tak pernah ia anggap. Marisa berdecih remeh menatap wajah air mata Vannia.
"Dengar, Vannia. Aku sudah menyuruhmu untuk meninggalkan putraku bahkan sebelum kalian menikah. Tapi apa yang kau lakukan? Kau menentangku dan tetap menikah dengan Renvier. Jadi sekarang, terimalah konsekuensi yang telah kau pilih. Renvier tetap akan menikah dengan Anya meskipun kau melarangnya atau Renvier sendiri yang menolak pernikahan itu!"
Vannia tak sanggup lagi berada di sana. Ia segera naik tangga untuk menuju kamarnya. Vannia membuka pintu dengan kasar. Ia mendapati Renvier yang duduk di sisi ranjang dengan kepala yang menunduk dan tangan bertautan ke depan.
"Renvier, sekarang kau jawab pertanyaanku dengan jujur. Apakah benar kau mencintai Anya dan akan menikahinya?"
Pria perawakan atletis dengan potongan rambut low fade itu pun akhirnya mendongkak dengan raut wajah yang serba salah. Awalnya Vannia berharap suaminya akan mengatakan tidak. Namun, ternyata ia salah menduga.
"Iya, Vannia. Aku mencintai Anya dan akan segera menikah dengannya."
"Tapi apa salahku hingga kau mengkhianatiku seperti ini, Reinvier?!" Vannia menangis sesegukan di hadapan pria itu hingga ia kesulitan untuk melanjutkan kata-katanya. "Aku rela meninggalkan semuanya untuk bisa bersamamu. Aku dengan sabar menahan semua tekanan yang ibu dan kakakmu berikan padaku. Tapi apa yang kau lakukan? Kau mengkhianati cintaku?"
Reinvier berdiri menghadap Vannia. Pria dengan perawakan tinggi itu menatap Vannia serba salah, tetapi ia juga tampak kesal secara bersamaan.
"Ini semua salahmu karena selalu membawa sahabatmu ke rumah ini atau saat kita pergi berdua. Jadi bukan salahku yang tertarik pada sahabatmu, bukan? Satu lagi, Vannia, aku tak akan menceraikanmu karena aku mencintai kalian berdua."
Hancur sudah perasaan Vannia. Wanita itu langsung terjatuh berlutut di hadapan Renvier dengan isak tangis yang menggema di ruang kamarnya. Renvier yang tak ingin melihat tangisan itu, memilih pergi dari kamar meninggalkan Vannia.
"Kau menusuk jantungku, Renvier. Kau jahat sekali," racau Vannia.
Setelah semua ini, apakah Vannia akan melakukan ancamannya terhadap Anya? Atau ia akan memilih mundur dari cinta tulusnya pada Renvier?
"Apa maksudmu!" Renvier langsung mencengkram kerah kemeja Zein dan sedikit mendorongnya, menciptakan pekikan dari Vannia."Renvier, hentikan!"Renvier tak peduli dengan teriakan Vannia. Matanya berapi-api menatap Zein yang justru berekspresi kelewat santai sekali. "Kau bilang apa tadi? Selingkuhan pertama istriku? Berani kau mengatakan hal itu di depan suaminya sendiri?!" hardik Renvier.Zein tetap tenang dan tak menjauhkan tangan Renvier yang mencengkram kemejanya. "Mengapa kau begitu marah? Kau bahkan tak hanya menyelingkuhi Vannia, tapi kau menikahi sahabatnya. Apakah tak ada kesadaran dari dirimu sendiri betapa kejamnya itu?"Renvier merasa tertampar dengan kata-kata itu. Cengkramannya tak sekuat awalnya. Maka dengan mudah Zein menjauhkan dirinya dari Renvier."Vannia, jika kau sudah selesai bicara dengan pria ini, apa kau bersedia makan siang bersamak?" tanya Zein berbicara dengan nada lembut.Vannia melirik ke arah Renvier yang juga menatapnya. Senyuman miring Vannia terukir, la
Vannia berangkat ke sebuah gedung yang akan dijadikan sebuah tempat resort yang multifungsi sebagai tempat pameran juga. Bisnis inilah yang menjadikan perusahaan yang ia kelola saat ini bekerja sama dengan perusahaan Renvier.Sesampai di gedung besar itu, Vannia melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke dalamnya. Ia langsung diberi hormat oleh beberapa pekerja yang berpapasan dengannya."Vannia," panggil seseorang dari arah belakang.Vannia pun langsung menoleh, mendapati sosok Renvier berdiri di belakangnya. Vannia mencoba bersikap biasa-biasa saja, kendati jantungnya berdetak dengan cepat lantaran harus kembali berdekatan dengan Renvier."O-oh, Renvier. Kau sudah datang rupanya."Renvier mengangguk sambil tersenyum tipis. "Mari," ajaknya mempersilakan. Mereka pun berjalan berdampingan untuk melihat-lihat isi gedung tersebut.Suasana canggung itu sangat kentara terasa. Sesekali Vannia melirik ke arah Renvier yang juga melirik ke arahnya. Aduh, mengapa mereka seperti orang yang sedang PDK
Deretan mobil yang tertata di dalam garasi panjang dipandangi oleh Vannia satu per satu. Ia langkahkan kakinya yang dibalut highhell hitam menuju ke sebuah mobil Lamborghini berwarna merah, lalu telunjuknya terangkat ke arah mobil tersebut."Aku ingin mobil yang ini," pintanya pada seorang sopir yang sedari tadi menemaninya memilih mobil."Baik, Nona," sahut sopir tersebut langsung bergegas untuk mengeluarkan mobil tersebut.Di sisi lain, keluarga Renvier sedang melakukan makan siang bersama di rumah. Hari pertama menjadi bagian dari keluarga Renvier, Anya berusaha sebaik mungkin. Ia menyajikan makanan yang telah ia pesan sebelumnya. Marisa sebagai mertua sangat senang sekali melihat bagaimana menantu barunya sedang berusaha melayani mereka."Kau memang menantu yang terbaik, Anya. Sudah lama aku menginginkan menantu sepertimu. Malangnya, Renvier malah memilih wanita seperti Vannia. Kau dan Vannia sangat berbeda. Vannia benar-benar tak bisa menjaga penampilan ketika di rumah. Dia hanya
Tempat tidur yang awalnya diisi oleh suaminya, sekarang tak ada siapa-siapa di sana. Suaminya sekarang berada di kamar sebelah untuk memadu malam pertama dengan istri barunya, Anya. Ia tak pernah berpikir jikalau sahabatnya sendiri akan merebut suaminya seperti ini. Padahal Anya adalah sahabat terbaiknya."Tidak-tidak. Aku tak boleh lemah. Ya, aku tak boleh lemah. Aku harus kuat agar mereka terutama Anya tak memandangku rendah. Sudah cukup aku mengalah dan merendah selama ini menjadi istri dari Renvier. Mulai besok, aku adalah diriku yang baru," monolog Vannia menyakinkan dirinya.Malam yang gelisah itu berhasil dilalui oleh Vannia dengan baik.Pukul tujuh pagi Vannia sudah rapi dengan tampilannya. Tepat saat ia keluar kamar, suaminya keluar dari kamar pengantin. Tanda-tanda merah di tubuh Renvier yang tak mengenakan atasan langsung membuat Vannia memalingkan wajahnya."Vannia," panggil Renvier ketika Vannia hendak beranjak pergi begitu saja.Vannia menghentikan langkahnya tepat di sa
Vannia mengenakan gaun biru muda yang mewah dan elegan, memakai anting indah, highhell yang memukau, dan rambut tertata rapi dengan sempurna. Inilah diri Vannia yang akan hadir di pernikahan suaminya dengan sahabatnya. Hari ini ia akan menjadi wanita tersakiti sekaligus menjadi dirinya yang berbeda yang jauh lebih terhormat dari sebelumnya."Sesuai sumpahku, aku akan menjadi duri di perjalanan pertama kalian menempuh kehidupan setelah mengkhianatiku."Vannia keluar dari kamarnya. Ia menuruti tangga dengan sangat anggun. Di bawah sana, Marisa dan Berlina yang hendak segera berangkat, terpukau melihat bagaimana cantik dan anggunnya penampilan Vannia. Tak seperti yang mereka pikirkan."Mau berangkat bersama dengan mobilku, Ibu, Berlina?" tawarnya dengan ramah.Berlina langsung berdecih. "Kau menawari kami berangkat bersama dengan mobilmu? Kau pasti sudah sakit jiwa karena suamimu menikah dengan sahabatmu sendiri hari ini. Bukankah begitu?""Itu benar. Sadarlah, Vannia. Kau tak memiliki m
"Kau memang sahabat baikku, Vannia. Tapi jika soal cinta, aku tak bisa mundur begitu saja. Lagipula, suamimu lebih memilihku, bukan?"Wanita gila! Itu umpatan yang hati Vannia keluarkan ketika mulutnya tak bisa berkata-kata karena rasa sakit yang menghujam hatinya. Bibirnya bergetar menahan tangis dan amarah. Sudah kepergok chatingan mesra dengan suaminya, Anya—sabahat terbaiknya—sama sekali tak menunjukkan raut merasa bersalah.PRANG!Anya sangat terkejut ketika Vannia mengempaskan ponsel miliknya ke lantai kafe dengan keras, membuat ponsel mahal itu terpental dan retak. Buru-buru Anya memungut ponsel itu dengan tampang kesalnya pada Vannia."Vannia!""Apa?!" tantang Vannia berani. Ia menunjuk wajah Anya dengan perasaan penuh rasa kecewa. "Jadi selama ini kau bermain di belakangku bersama suamiku? Kau bukan sahabatku, Anya. Kau iblis!""Ya. Aku memang iblis yang suamimu cintai. Haruskah aku berbangga diri menjadi seorang iblis sekarang?" Anya tertawa tanpa rasa bersalah."Sudah berap
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments