Di sebuah gedung 20 lantai…
Elvin Wright duduk di belakang meja kerjanya, membiarkan komputer menyala sementara ia termenung saat mengenang kembali akan kejadian aneh yang dialaminya di ruang perawatan Jessica Wright —adik angkatnya— yang sedang terbaring koma.
Sikap dan cara berbicara remaja bernama Anna Briel yang sempat berdebat dengannya disana —sebelum akhirnya kejang-kejang dan jatuh pingsan— membuat konsentrasinya dalam bekerja menurun selama beberapa jam belakangan ini. Elvin bahkan masih duduk termenung di kantornya walau hampir seluruh karyawan di kantor itu telah pulang.
“Kakek juga merasakan sesuatu yang janggal dari dirinya, kan?” pikir Elvin, mengingat Norman Wright yang biasanya tidak pernah tertarik berinteraksi apalagi berhubungan dengan orang asing —kecuali sedang bertransaksi bisnis— malah meminta untuk tetap tinggal untuk melihat kondisi Anna sementara ia kembali ke kantornya.
Saat itu Norman Wright sebenarnya berada tepat di belakang Elvin ketika mereka memergoki Anna hendak melakukan sesuatu pada selang oksigen Jessica, tapi Anna tidak menyadari kehadiran Norman karena terlalu fokus pada Elvin.
Elvin terjaga dari lamunannya saat sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Panggilan dari asisten pribadinya yang ia minta untuk menyelidiki latar belakang Anna Briel dan kini melaporkan hasil dari penyelidikannya.
“Baiklah, aku akan membuka emailku sekarang dan besok biar aku sendiri yang akan pergi menyelidikinya.”
Elvin beralih pada komputer, membuka email dan mempelajari laporan yang sudah asisten pribadinya rangkum secara singkat.
“Bisa masuk ke Wright Entertainment karena bantuan Jessica? Jessica membantu seseorang?” Elvin tersenyum kaku, tidak bisa membayangkan Jessica yang dikenalnya sebagai pribadi yang angkuh dan kasar itu bisa membantu orang lain untuk mendapatkan pekerjaan. “Apa benar hanya itu hubungan mereka?”
Elvin mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, mengingat kembali semua tingkah laku Anna yang sangat mirip dengan Jessica.
“Bagaimana mungkin sikap dua orang berbeda bisa terlihat sama?”
❀❀❀❀❀❀❀
Jessica dan Sherly kembali ke rumah dengan diantarkan orang suruhan dari keluarga Wright. Jessica tidak mengerti kenapa Norman sampai seperhatian itu pada Anna dan Sherly, tapi dia juga tidak ingin menanyakannya pada pria yang mengantarkan mereka untuk mengobati rasa penasarannya.
Sesampainya di rumah sederhana keluarga Briel yang sangat sempit itu, keduanya tidak menemukan siapapun sedang berada di rumah. Dari ingatan Anna, Jessica mengetahui kalau ibu-nya Anna pasti sedang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di beberapa keluarga, sedangkan ayahnya yang tidak bertanggung jawab itu kemungkinan sedang berada di tempat perjudian, atau sedang mabuk bersama teman-temannya.
‘Jadi ini kamarmu, Anna?’
Jessica menatap berkeliling, memperhatikan kamar berukuran 2x2 meter yang sangat sempit dan tidak memiliki ranjang sama sekali. Dari ingatan Anna, Jessica melihat jika Anna dan adiknya hanya tidur beralaskan selimut tipis di lantai semen dari kamar ini. Mereka juga tidak memiliki lemari pakaian. Hanya ada kardus-kardus bekas yang digunakan untuk menyimpan pakaian dan buku-buku pelajaran mereka di sana.
‘Andai aku bisa mengambil sedikit saja uang di tabunganku… Tsk, Dewa sialan itu! Ada ya Dewa yang suka ikut campur urusan manusia?’
Jessica menarik napas panjang, berusaha membuang kekesalan pada sang Dewa dari pikirannya. Ia kemudian menghampiri kardus-kardus kecil yang tertata rapi di pojok ruangan, memperhatikan isinya dan merasa agak sedih saat menemukan beberapa potong pakaian Anna yang sudah tua dan hampir jabuk.
Jessica teringat kembali pada beberapa bulan belakangan saat melihat Anna mengenakan beberapa pakaian yang ada di tangannya saat ini, dan saat itu dia pernah berpikir untuk membelikan Anna pakaian baru agar tidak dipandang remeh oleh sesama rekan aktris junior yang terlihat jelas mencibir bahkan sampai mengasingkannya.
‘Sayang sekali aku tidak sempat membelikan pakaian baru untuknya.”
Jessica kemudian berdiri, menatap keadaan ruangan itu sekali lagi dan bergumam, “Jangan khawatir, Anna, aku bukan hanya akan membelikanmu pakaian baru. Aku akan membuat impianmu tercapai. Ini bukan karena misiku sendiri, tapi aku benar-benar akan melakukannya untukmu! Lihat saja, saat kau sudah kembali ke tubuhmu nanti, kau tidak akan hidup seperti ini lagi,’’ tekad Jessica.
❀
Jessica baru bertemu ibu Anna di senja hari. Wanita paruh baya itu langsung memeluk dirinya dan menangis tanpa mengucapkan atau bertanya apa pun.
Sebagai seorang ibu rumah tangga yang bekerja sendirian untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka, Rosana Briel bahkan sampai tidak berani menanyakan kondisi putrinya itu sama sekali.
Bukan karena ia tidak peduli pada putrinya sendiri. Dia sangat peduli bahkan sangat mengkhawatirkan kondisi kesehatannya. Rosana yang harus bekerja sepanjang hari merasa sangat bersalah pada putrinya yang —karena keadaan— tidak sempat dikunjunginya saat berada di rumah sakit.
Rosana harus pergi dari satu rumah ke rumah lain untuk bekerja. Jika dia melewatkan satu rumah saja karena memakai waktunya untuk mengunjungi Anna, ada kemungkinan baginya tidak akan dipanggil lagi oleh orang yang memberikannya pekerjaan, sedangkan untuk mendapatkan satu pekerjaan saja —bagi dirinya yang sudah lanjut usia— sangatlah tidak mudah.
Dari pagi hingga malam hari, Rosana hanya memiliki waktu sebanyak 1 jam. Waktu yang biasanya digunakan untuk pulang ke rumah, memasak makan malam untuk suami dan kedua putrinya sebelum kembali bekerja lagi hingga jam 10 malam.
Rumah sakit yang membatasi jam kunjungan hanya sampai jam 9 malam tidak memberikan Rosana kesempatan untuk menjenguk Anna hingga ia akhirnya tidak berkesempatan untuk bertemu putri sulungnya itu.
“Maaf Ibu tidak sempat mengunjungimu.”
Hanya kalimat itulah yang terdengar dari mulut Rosana setelah memeluk Anna cukup lama.
“Tidak apa-apa Ibu. Saya baik-baik saja,” sahut Jessica, yang akhirnya tidak bisa membendung air matanya, merindukan pelukan seorang ibu yang sudah lama tidak dirasakannya.
‘Tidak apa-apa kan kalau aku memeluk ibumu seperti ini? Aku berjanji akan menjaga ibumu juga.’
Rosana kemudian meminta Anna dan Sherly untuk bergegas mandi sementara dia sendiri akan menyiapkan makan malam.
“Apa kau bisa menunggu di luar seperti biasanya setelah makan malam?” tanya Rosana pada Anna yang ia kira masih belum sepenuhnya pulih dari cidera akibat tertabrak sepeda, padahal Anna sudah sangat sehat.
Jessica mengerti maksud dari pertanyaan tersebut dan langsung menganggukkan kepala. Dari ingatan Anna, ia tahu jika Anna dan Sherly selalu melakukan hal itu setiap hari demi menghindari bertemu ayah mereka yang biasanya pulang dalam keadaan mabuk. Jika mereka tidak melakukannya, bisa saja Roman Briel yang sedang dalam pengaruh alkohol itu memukuli, atau bahkan menyeret mereka ke tempat perjudian untuk ‘dijadikan modal’ berjudi. Jadi mereka akan pergi dari rumah sambil menunggu ayah mereka tertidur.
“Kau yakin, Nak? Apa kau sudah benar-benar pulih?”
“Saya baik-baik saja, Bu,” sahut Jessica tegas, tidak ingin membuat ibunya khawatir. Dan lagi ia memang merasa jika tubuh Anna sangat sehat bahkan lebih kuat dibandingkan tubuh aslinya yang sebenarnya rutin berolahraga. 'Lagian tubuh ini terasa sangat kuat dan sehat.'
Jessica pergi mandi setelah Sherly. Di dalam kamar mandi ia menatap pantulan wajah Anna di cermin cukup lama sambil mengucapkan janjinya lagi jika ia akan membantu ibu dan adik gadis itu, juga membuat impian Anna tercapai sambil menunggu waktu yang tepat untuk membalas dendam mereka berdua pada Joseph Thiago.
“Aku akan benar-benar akan menjadi dirimu mulai saat ini, Anna. Aku berjanji akan mengangkat kehidupan mu, ibu, juga adikmu mulai sekarang,” gumamnya dengan tekad kuat di dalam hati.
❀❀❀❀❀❀❀
Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3
Karena sudah menjadi kebiasaan sejak masih berada di tubuh aslinya, Jessica —yang mulai saat ini akan disebut sebagai Anna— terbangun sebelum fajar menyingsing. Saat itu masih pukul 4 pagi dan dia tidak melihat Sherly lagi di sampingnya. “Dia bangun lebih pagi dariku?” Saat ia sedang bertanya-tanya, ingatan Anna muncul begitu saja dalam benaknya —seperti biasanya—, menggambarkan rutinitas Sherly yang memang sudah terbiasa bangun di pagi hari untuk pergi bekerja sambilan dan baru akan kembali lagi pada pukul 5.30. “Dia bekerja sebagai penyapu jalan setiap pagi? Astaga, apa dia tidak akan terkena masalah karena bekerja seperti itu di bawah umur?” Ingatan berikutnya adalah ingatan mengenai kebiasaan Anna. Di pagi hari, Anna biasanya akan mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak untuk sarapannya, sarapan ayahnya, juga sarapan Sherly. Sementara ibunya —sama seperti Sherly— sudah berangkat sejak jam 4 pagi untuk bekerja sebagai pembantu di beberapa rumah tangga. “Jadi
“Astaga! Bikin kaget saja!” umpat Anna kesal, melihat Dewa yang menghukumnya itu sudah berdiri di depan pintu rumah. “Mau pergi ke mana sepagi ini? Bukannya kau harus pergi ke sekolah?” “Kau sendiri, apa yang kau lakukan sepagi ini di depan rumah orang? Apa kau tidak sibuk? Bukannya kau Dewa?” Anna yang merasa kesal setelah dikejutkan sang Dewa, balik bertanya dengan tatapan marah. “Kau tidak berhak mengetahui pekerjaanku.” “Kau juga tidak ber— Aaaaaahhhhh…! Kau f**k! Aaaaaaahhhh…” Anna merasakan sengatan listrik kecil di dalam tubuhnya tiap kali berniat berbicara kasar pada sang Dewa. Tahu penyebabnya, ia pun dengan sangat terpaksa menahan diri untuk tidak mengucapkan kalimat kasar lagi walau sebenarnya sangat ingin menghamburkan semua kalimat kasar yang ada dalam benaknya pada sosok yang sangat dibencinya itu. “Masih berani berbicara kasar padaku?” “...T-tidak.” “Cuma itu?” “Apa lagi yang harus kukatakan?!” “Belajarlah meminta maaf jika kau sudah melakukan kesalahan.” “Sal
Tidak seperti yang Silvia inginkan, Anna justru tertawa terkekeh. Ekspresi cerah dan tenangnya masih tidak berubah. “Kau menanyakan pertanyaan aneh. Sekarang aku akan bertanya padamu. Kalau aku diam dan tidak menganggapimu yang sedang berbicara padaku, apa kau tidak akan marah? Bukankah itu tidak sopan?” “Kau—” “Kalau aku salah, tolong katakan di mana kesalahanku. Ayo kita membahasnya baik-baik.” Merasa jika Anna sedang membuatnya terlihat bodoh, Silvia yang tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini sepanjang hidupnya, secara refleks maju mendekat, berniat untuk menyerang Anna secara fisik. “Duduk semua. Kelas akan segera dimulai.” Suara berat seorang pria menghentikan niat Silvia, juga anggota gengnya yang sudah merapat mengelilingi Anna di sekitar mejanya. Pria berusia akhir 30an itu, yang merupakan guru kelas pagi mereka, kemudian menatap ke arah kerumunan di mana Silvia dan para gengnya sedang mengepung meja Anna, lalu mengernyitkan alis dan menegur mereka, “Apa yang kal
Mengikuti kebiasaan ‘Anna’ sepulang sekolah, Anna langsung pergi ke gedung yang dikhususkan untuk para anggota klub yang menjalani kegiatan ekstrakurikuler. Karena jam pelajaran murid-murid kelas dua biasanya selalu berakhir lebih cepat 45 menit dibandingkan kelas tiga, Sherly yang sudah dibiayai ibu mereka untuk ikut salah satu klub biasanya akan berada di sana sambil menunggu jam pelajaran Anna berakhir sebelum pulang bersama ke rumah mereka. Tapi Sherly bukan sekedar mengikuti kegiatan klub musik hanya untuk mengisi waktu luang atau memanfaatkan kesempatan bersosialisasi yang ibunya berikan. Sherly sebenarnya sangat berbakat dalam bernyanyi dan sangat menyukai musik hingga ia tidak pernah absen sekalipun dari kegiatan klub, walau ia sebenarnya merasa tidak nyaman berada di antara para murid yang tergabung dalam klub musiknya, hanya karena statusnya yang berasal dari keluarga miskin. Kembali pada bakat bernyanyi Sherly tadi, karena itu juga ‘Anna’ rela menyisihkan sebagian besar p
‘Oh, astaga... Mereka ini...’ Entah kenapa Anna merasa sedikit malu karena terlalu banyak mengobrol —yang tidak mungkin akan dilakukannya andai berada dalam tubuh aslinya— dengan para murid sekolahan ini, yang memiliki rentang usia 13-14 tahun lebih muda dari usia aslinya. “Senang bisa mengobrol dengan Kakak,” ucap salah satu siswi, yang hanya dibalas Anna dengan senyuman kaku. Dirinya yang dulu biasanya tidak mau membuang waktu untuk mengobrol bersama para junior yang berusia jauh lebih muda karena menganggap jika berbicara pada mereka tidak akan menambah pengetahuannya sama sekali. Jessica yang sangat haus akan pengetahuan baru biasanya selalu mencari lawan bicara yang ia nilai akan menambah wawasannya saja. “Ternyata Kak Anna menyenangkan juga ya diajak ngobrol,” ucap siswi lain. Anna berpaling pada siswi itu sembari memaksa tersenyum ramah. “Benarkah?” “Iya… Habisnya Kakak biasanya cuma duduk diam saja. Seperti tidak ingin diajak berbicara,” sahut siswi itu, menanggapi pertan
Bukan hal mudah untuk meyakinkan operator CCTV agar bersedia menunjukkan rekaman dari kamera pengawas sekolah. Bukan karena hal itu terlarang, namun lebih pada siapa orang yang memintanya. Andai yang meminta adalah siswa lain, mungkin operator akan mengizinkan dengan mudah. Karena yang memintanya hanyalah Anna ‘si anak beasiswa’, maka operator yang bertugas langsung mengabaikannya. Siapa yang tidak mengenal Anna dan Sherly Briel di sekolah para anak orang kaya ini? Hanya kedua siswi itulah batu di antara ratusan berlian yang bertaburan di SMA paling bergengsi ini. Karena itulah tidak ada yang tidak mengenali mereka, sekaligus memedulikan mereka jika sedang dalam masalah. “Adikku… Adik saya kemungkinan sudah diculik. Saya cuma ingin memeriksa rekaman CCTV saja,” Anna berusaha meyakinkan operator yang sebenarnya terlihat lebih muda dari usia dirinya yang asli jika berada dalam tubuhnya sendiri, hingga hampir saja ia bicara agak ketus padanya. Melihat Anna bersikukuh dengan permintaan
Begitu tiba di sisi luar gerbang sekolah, Anna langsung melihat Sherly yang sedang duduk dengan kepala tertunduk di antara Silvia dan anggota gengnya. Anna sama sekali tidak pernah menyangka jika Silvia akan membawa Sherly pergi bersama mereka karena sepengetahuannya —tentu saja dari ingatan ‘Anna’— Silvia tidak pernah mau mengganggu Sherly. Silvia takut jika William yang disukainya itu akan semakin membencinya karena sudah mengganggu teman sekelasnya, karena William sudah pernah mengatakan pada Silvia jika dia tidak suka gadis perusuh seperti dirinya saat Sherly menyatakan perasaannya dulu. “Akhirnya kau datang juga. Kau pasti kebingungan mencarinya, kan? Yah…, andai dia punya ponsel, aku pasti akan mengirim pesan padamu. Kalian miskin sekali sih, sampai ponsel saja dia tidak punya?” ejek Silvia yang sudah berdiri sejak melihat kemunculan Anna yang sudah ditunggunya di tempat itu hampir satu jam lamanya. Anna yang masih mengatur napas setelah berlari tanpa henti dari lantai 4 gedu
Anna melambaikan tangan pada Sherly yang akhirnya mau diajak William pergi setelah dibujuknya dengan susah payah. Apa yang ingin dilakukannya nanti adalah hal yang sangat rahasia. Anna tidak ingin Sherly mengetahuinya, karena itulah dia memaksa Sherly dan William pergi sementara dia tetap tinggal —walau Anna sebenarnya tidak peduli jika William sampai tahu akan apa yang ingin dilakukannya. Clap… clap… clap… Suara tepuk tangan Silvia membawa perhatian Anna kembali pada gadis itu. Seperti tahu apa yang sedang Anna pikirkan —saat melihat Anna menatap dua buah benda yang berada di atas gerbang sekolah mereka—, Silvia menatap ke arah dua CCTV di atas gerbang sekolah mereka sambil tersenyum dan melambaikan tangannya, seakan ingin menyapa orang yang berada di belakang monitor pemantau kamera keamanan itu. “Kau pikir apa yang kami lakukan padamu di sini akan sampai ke tangan Polisi, hah?” Silvia menghampiri Anna dan tersenyum mengejek padanya. “Jangan pikir kau bisa meminta barang bukti d