Sontak saja aku merasa panik hingga berlari menuju ruang tamu. Namun, langkahku seketika berhenti saat melihat Mas Anang dan Ibu mertua sudah duduk di ruang tamu. Selain itu, ada Hanin yang tengah duduk sambil memangku tubuh Melati. Sepertinya mereka baru saja bicara. Tapi, langsung diam saat melihat keberadaanku.
“Kamu sudah selesai Mbak?” Tanya Hanin langsung berdiri. Aku hanya bisa menganggukan kepala dengan wajah bingung.“Ayo kita pergi ke rumah sakit sekarang. Biar Melati bisa cepat di tangani. Jangan di bawa ke rumah praktik dokter saja. Keponakan suamimu saja bisa di bawa ke rumah sakit. Kenapa Melati tidak bisa?” Sindir Hanin sambil menatap ke arah Mas Anang dan Ibu mertua yang hanya bisa menundukan kepalanya. Mereka memang segan pada Hanin karena masih mengharapkan harta dari orang tuaku.“Ehm. Adik iparku yang mentransfer langsung biaya anaknya di rumah sakit Nin. Aku hanya mengantarnya saja.” Hanin tertawa tidak percaya. Kentara sekali jika tawanya adalah tawa mengejek.“Jangan berbohong padaku Mas. karena Dokter yang menangani keponakanmu itu adalah pacarku.” Mas Anang sontak mendongakan kepalanya.“Kebetulan saat itu aku melihat kalian di rumah sakit. Aku juga yang sudah memberi tahu Mbak Harum. Bukan dia yang mencari tahu sendiri.” Terang Hanin menyangkal tuduhan Mas Anang jika aku sudah keterlaluan karena mengintai keluarganya tiga bulan yang lalu. Saat itu Mas Anang bahkan menuduhku meninggalkan rumah tanpa ijin darinya karena sampai tahu tentang ia yang mengantar keponakannya ke rumah sakit hingga mengambil cuti dari kantor.Aku memang tidak memberi tahu Mas Anang dan Ibu mertua tentang orang yang memberilu informasi ini adalah Hanin. Jika tidak mereka akan menuduhku dengan perkataan lain yang menyakitkan.“Sudahlah Nin. Mbak ambil dompet dan hp di kamar dulu. Kamu bisa tunggu di mobil sama Melati.” Leraiku tidak ingin Mas Anang semakin marah lalu menyalurkan kemarahannya itu padaku nanti malam.Kebiasaannya jika ia sudah tersinggung karena ucapan Hanin atau beberapa orang yang menyindirnya. Karena aku lebih memilih pria biasa seperti dirinya daripada pria kaya yang dulu akan di jodohkan denganku oleh Papa.“Aku tunggu di luar Mbak.” Aku menganggukan kepala lalu segera berlari masuk ke dalam kamar utama lagi.“Permisi Mas Anang dan Tante Munah.” Sayup-sayup aku masih bisa mendengar suara Hanin yang berpamitan di depan.Karena terlalu terburu-buru, aku memilih untuk tidak berganti baju dan hanya memakai cardigan untuk menutupi daster lusuh yang aku pakai. Tas selempang berisi dompet dan hp juga sudah aku pakai. Baru saja aku hendak melangkah keluar, Mas Anang sudah masuk ke dalam kamar dengan wajah marah. Terlihat sekali jika dia sedang menahan amarahnya.“Kan sudah aku bilang. Jangan pernah suruh Hanin datang ke rumah ini hingga ia bisa bertemu denganku. Apa kamu dengar yang ia katakan tadi? Adikmu itu sudah menghinaku habis-habisan.” Seru Mas Anang tidak terima.“Bukannya minta maaf karena dulu sudah menuduhku sembarangan, sekarang kamu mau marah padaku lagi Mas? Seharusnya kamu yang harusnya sadar diri. Kalau sejak tadi kamu mengijinkan aku pergi ke rumah praktik dokter untuk memeriksakan Melati, aku tidak akan menghubungi Hanin.”“Jadi, semua ini salahku hah?”PLAKTubuhku sudah terhuyung ke belakang hingga punggungku menabrak lemari. Entah apa yang terjadi selanjutnya karena aku sudah pingsan setelah tubuhku di timpa kardus berat yang jatuh dari atas lemari.Saat membuka mata, hal pertama yang aku lihat adalah langit-langit putih. Aku menolehkan kepala ke kanan karena merasa tanganku kebas akibat terlalu lama di genggam. Kedua mataku membulat kaget saat melihat keberadaan Mas Anang disana. Sontak saja aku segera menarik tanganku dari genggaman Mas Anang. Hal itu membuat suamiku jadi terbangun. Aku sendiri sudah bangun lalu memundurkan tubuh hingga badanku menempel di dinding.“Akhirnya kamu bangun juga Rum. Merepotkan saja.” Raut wajah Mas Anang terlihat sangat lega. Walaupun mulutnya tetap saja memarahiku seperti biasa.“Lihat keadaan kamu sekarang. Seandainya saat itu kamu tidak memanggil Hanin ke rumah, aku tidak akan marah lalu menampar kamu hingga terdorong ke lemari. Lagian kenapa juga kamu meletakan tumpukan kardus kosong itu di atas lemari?” Cerca Mas Anang tidak mau berhenti. Melemparkan kesalahannya padaku.Padahal dia yang bersalah sudah membuatku seperti ini. Tapi, sama sekali tidak ada kata maaf yang terucap dari bibirnya. Sebaliknya, Mas Anang justru menyalahkanku seolah memanggil Hanin adalah sumber masalah kami. Apa salahnya meminta bantuan adikku untuk membawa Melati ke rumah sakit?“Tunggu dulu. Melati.” Aku terlonjak kaget lalu segera turun dari tempat tidur.Tubuhku sempat terhuyung sejenak. Untungnya aku tidak jatuh karena sudah berpegangan pada tiang infus. “Apa yang kamu lakukan Harum? Jika kondisimu lebih para lagi, Hanin akan menyalahkan aku.” Bentak Mas Anang khawatir dengan kepala yang terus menoleh ke arah pintu.Bentakan Mas Anang tadi membuat para pasien dan keluarga mereka yang menunggu di ruangan ini ikut menolehkan kepala ke arah kami. Dia bahkan sudah menarik tangan kananya yang bebas dari selang infus. “Lepaskan aku Mas. Aku ingin melihat keadaan Melati. Badannya tadi pagi panas sekali. Kalau panasnya belum turun juga bagaimana? Sudah dua hari ini Melati sakit.” Kataku khawatir.“Kondisi Melati sudah membaik Mbak.” Suara Hanin yang baru datang membuat Mas Anang seketika melepaskan cekalannya di tanganku.“Mbak Harum berbaring aja lagi.” Hanin sudah menuntunku untuk kembali naik ke atas tempat tidur.“Habiskan cairan infus ini. Baru kita akan pergi ke ruang rawat Melati.” Dadaku berdegup kencang karena khawatir.“Bagaimana kondisi Melati Han? Apa putriku baik-baik saja? Badannya tadi pagi panas sekali. Melati juga belum sempat sarapan karena aku hendak membawanya langsung ke rumah sakit. Sejak kemarin Melati mengeluh kalau tenggorokannya sakit.” Tanyaku beruntun tanpa jeda. Pandanganku sempat sekilas melihat Mas Anang yang berdiri di sisi ranjang sambil menundukan kepalanya.“Melati mengalami radang tenggorakan. Tapi, Melati tidak mengalami amandel. Dia hanya perlu di rawat selama dua hari saja di rumah sakit sampai kondisinya membaik.” Aku menghela nafas lega. Rasanya tidak sabar menunggu cairan infus ini akan habis.“Setelah Melati sembuh, lebih baik kita pulang ke rumah Papa dan Mama, Mbak. Ada aku saja Mas Anang berani melakukan kekerasan padamu. Lihat pipimu yang memar. Kamu pasti sering di tampar sama suamimukan?” Seru Hanin dengan suara yang sengaja di keraskan.Membuat pandangan Ibu-ibu yang ada disana seketika menajam menatap ke arah Mas Anang. “Bu, bukan begitu Nin. Aku tidak sengaja mendorong Harum sampai jatuh tadi.”“Aku tidak percaya.” Cibir Hanin dengan raut wajah marah.“Sudahlah Nin. Mas Anang benar. Dia tidak sengaja mendorongku tadi.”Mendengar nama Papa dan Mama di sebut membuatku menelan ludah gugup. Masih terngiang perkataan Papa dan Mama saat menjenguk Melati yang baru lahir. Melihat kondisiku saat itu, Mama masih menawari aku agar ikut pulang bersama mereka. Tapi, saat itu aku menolak karena berpikir jika Mas Anang bisa berubah suatu saat nanti. Dengan begitu Melati bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah.“Itu berarti ini adalah pertemuan terakhir kita secara pribadi. Kalian bisa datang untuk bersilaturahmi saat lebaran. Tapi, selain itu Papa dan Mama tidak bisa menemuimu sampai kamu berubah pikiran. Satu hal yang perlu kamu camkan adalah orang seperti Anang tidak akan bisa berubah. Kecuali dia sudah berpisah dari Ibunya.” Kata Mama kala itu dengan sorot mata kecewa.Mama bisa bicara seperti itu karena cerita Hanin tentang kondisi rumah tangga kami. Selain mengharapkan jika Mas Anang bisa berubah, aku juga tidak mau anakku akan tumbuh tanpa sosok Ayah di sisinya. Setiap malam dalam sujudku aku selalu berdoa jika Mas Anang dan Ibu mertua akan di berikan hidayah untuk berubah dan menyadari jika selama ini mereka sudah berbuat dzalim padaku dan Melati.“Aku keluar sebentar untuk melihat keadaan Melati ya sayang. Sekalian menjemput Ibu untuk datang ke rumah sakit.” Belum sempat aku menjawab, Mas Anang sudah terburu-buru berjalan keluar. Hanin hanya memutar bola matanya tidak peduli.“Mbak Harum pasti berbohong padakukan? Karena masih ingin melindungi marwah suami di depan banyak orang.” Todong Hanin padaku tidak percaya.Untuk apa aku menceritakan masalah rumah tangga padanya selama ini jika Hanin tidak bisa menebak dengan pasti sikap Mas Anang? Aku menganggukan kepala malu karena sempat menjadi perhatian semua orang yang ada di ruangan ini tadi.“Aku minta maaf Mbak. Aku terlalu marah pada Mas Anang hingga ingin mempermalukannya di depan umum seperti tadi. Tidak seharusnya aku mencampuri masalah yang satu ini.” Aku menggelengkan kepala lalu menggengam tangan kanan Hanin.“Jangan minta maaf seperti itu. Sudah menjadi keputusanku untuk bertahan bersama Mas Anang. Ini semua aku lakukan agar Melati tumbuh dengan menenal sosok Ayahnya.”“Aku rasa semua ini sudah cukup Mbak. Jangan bertahan lagi dengan Mas Anang hanya karena Melati. Karena anak kamu juga sudah tersakiti dengan sikap Ayahnya.” Bisik Hanin dengan suara rendah agar tidak terdengar oleh orang lain di sekitar kami.Keningku berkerut bingung tidak mengerti. “Apa maksud kamu Nin?”“Ya ampun. Ternyata kakakku ini sudah jadi korban manipulasi pikiran sama suami sendiri.” Gumam Hanin lalu menatap mataku dalam.“Sudah cukup membuat Melati tahu siapa Ayah kandungnya. Karena walaupun Melati baru berumur empat setengah tahun, dia sudah paham tentang sikap pilih kasih yang di lakukan oleh Mas Anang. Terutama pada keponakan Mas Anang yang umurnya hanya beda satu tahun saja dengan Melati.” Terang Hanin memulai penjelasannya.“Aku yakin Melati sudah mengalami trauma karena sikap Mas Anang selama ini. Melati tidak hanya akan sakit secara fisik. Tapi, juga secara psikis.”“Darimana kamu bisa tahu hal itu Nin?” Tanyaku masih berusaha untuk menyangkal kenyataan.“Dari sahabatku yang sedang menjalani masa residennya di rumah sakit jiwa.” Jawab Hanin mantap.“Aku tidak bisa menjelaskan banyak hal disini. Intinya Mbak Harum harus membawa Melati pergi dari rumah itu. Kalau bisa Mbak Harum bilang saja ingin bercerai dari Mas Anang.” Aku menggelengkan kepala pelan.“Maaf Nin, aku belum yakin. Karena Papa dan Mama belum bisa memberikan maaf mereka padaku.” Hanin hanya bisa menghela nafasnya prihatin karena hubunganku dengan Papa dan Mama belum juga membaik.“Kita bicarakan hal itu nanti. Cairan infus Mbak Harum sudah habis. Biar aku panggilkan suster dulu untuk mencabut infusnya.” Adikku itu beranjak pergi keluar dari ruang rawat ini.Aku juga sudah tidak sabar untuk segera pergi ke ruang rawat Melati. Lima menit kemudian, terdengar langkah kaki beberapa orang yang mendekati tempat tidurku. Namun, bukan sosok Hanin dan suster rumah sakit ini yang aku lihat. Melainkan Ibu mertua dan Mas Anang yang sudah menatapku dengan wajah penuh amarah.“Hebat ya kamu sudah membuat harga diri Anang jatuh di mata para tetangga. Seharusnya sejak awal kamu tidak memanggil Hanin untuk datang ke rumah. Lihatlah Melati yang hanya sakit radang tenggorokan saja. Karena kamu, Hanin sudah mengatai Anang sebagai suami yang tidak becus dan menagabaikan keluarganya.” Kata Ibu mertua tanpa henti. Tanpa memperhatikan jika banyak orang yang sudah memegang kamera tengah merekam kami. Mas Anang juga tidak sadar jika Ibunya tengah mempermalukan diri sendiri sehingga menarik perhatian orang lain.“Maaf ada apa ini ribu-ribut?” Tegur suster yang datang bersama Hanin. Ibu mertua langsung gelagapan hingga tanpa sadar mundur menyentuh tembok. Aku menghela nafas lega saat meljhat adikku sudah masuk.“Nggak ada masalah apapun suster. Hanya masalah keluarga saja. Maaf sudah membuat keributan.” Jawabku masih berusaha untuk menutup aib keluarga kami. Membuat aku bisa mendengar beberapa Ibu-ibu yang berbisik kagum padaku. “Oh begitu. Tolong jangan buat keributa
“Baiklah jika Bu Munah tidak setuju. Papa saya akan membawa masalah penganiayaan pada Mbak Harum ke jalur hukum saat Mbak Harum mengajukan gugatan cerai. Dan Mas Anang akan membayar mahal sekali untuk waktu empat setengah tahun karena tidak memberikan Mbak Harum dan Melati nafkah dengan layak. Mungkin jumlahnya akan lebih dari seratus juta. Apakah Mas Anang sanggup untuk membayar uang sebesar itu?” Ibu mertua sudah terlihat gelisah. Padahal Hanin hanya menggertak saja. “Belum lagi dengan nafkah per bulan yang akan di bebankan pada Mas Anang. Jika Mas Anang melanggar, mudah saja bagi Papa membuat Mas Anang keluar dari pekerjaannya.” Sekali lagi Hanin membawa nama Papa untuk menakuti mereka. Padahal belum tentu Papa mau membelaku.“Ibuku hanya bercanda saja Nin. Tentu saja aku akan menyerahkan semua gajiku pada Harum. Asal Harum mau memaafkan aku.” Tangan Mas Anang terlihat memegang tangan Ibunya agar tidak bicara lagi.“Iyakan Bu?” Mas Anang mengedipkan matanya berulang kali.“Iya.” J
Ya ampun. Bagaimana ini? Kalau Papa dan Mama semakin marah padaku, mereka pasti tidak akan mau untuk membantuku lagi. Sia-sia sudah ancaman yang di berikan Hanin pada Mas Anang dan Ibu mertua. Hanin menjelaskan kondisi Melati pada Papa dan di rumah sakit mana Melati sudah di rawat. Selain itu, Hanin juga menceritakan tentang rencana kami pada Papa. Membuat aku melotot tidak setuju. Tidak lama kemudian, Papa sudah minta Hanin menyerahkan hpnya padaku.Selama lima tahun ini aku sudah tidak pernah bicara berdua saja dengan Papa. Membuat dadaku berdegup kencang. Tanpa terasa air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Mengingat kesalahan masa lalu saat aku sudah mengabaikan nasihat Papa dan Mama demi bisa menikah dengan Mas Anang.“Jangan menangis Mbak. Bicara berdua saja dengan Papa disini. Biar aku yang beli makanan di kantin.” Bisik Hanin menguatkan saat menyerahkan hpnya padaku. Aku hanya bisa menganggukan kepala lalu dengan cepat menghapus air mata yang menggenang agar orang-orang
“Nggak percuma Mas Anang selama ini pencitraan sebagai orang yang taat agama. Jadi, kalau Mbak Harum menuduhmu nggak akan ada yang percaya. Pasti banyak tetangga kalian yang akan lebih percaya pada Mas Anang daripada Mbak Harum.” Langkah kaki Hanin yang mendekat membuatku seketika meletakan jari telunjuk di depan bibir agar Hanin tidak bicara dulu. Mengerti dengan isyarat yang kubuat, Hani berjalan perlahan lalu berdiri di sebelahku. Kami berdua menguping percakakan keluarga Mad Anang.“Sudahlah jangan bahas rencana kita di rumah sakit. Kalau ada suster dan dokter yang mau masuk bisa gawat. Apalagi kalau Harum dan Hanin sampai mendenagr perkataan kalian tadi. Kita bisa bicarakan semuanya lagi di rumah atau lewat hp.” Tegur Ibu mertua sehingga aku tidak bisa mendengar lebih banyak lagi. Karena percakapan mereka sudah beralih pada hal lain, Hanin mengajakku untuk masuk ke dalam kamar sekarang.“Kita masuk sekarang, Mbak.” Aku menganggukan kepala lalu membuka pintu tepat di hadapan Mas A
Tubuh Mas Anang seketika menegang mendengar peringatan dari Rasyid. Membuat aku berusaha menahan tawa. Setelah kepergian keluarga Hanin, Mas Anang dan Ibu mertua kembali duduk di sofa. Aku sudah menggelear seprai tipis yang tadi di bawakan oleh Rasyid. Lengkap dengan bantal dan guling.“Ibu nanti tidur di atas sofa saja biar nyaman. Aku dan Mas Anang akan tidur di bawah.” Ujarku pelan tanpa menatap ke arah Ibu dan anak itu. Entah bagaiaman raut wajah mereka saat ini.“Nggak usah Rum. Biar Ibu saja yang tidur di bawah. Kasihan Anang kalau badannya pegal. Diakan masih harus kerja besok.” Aku hanya bisa memutar kedua bola mataku malas. Di usia yang sudah setua itu saja Ibu mertuaku tetap memanjakan Mas Anang seolah dia masih anak kecil. Sampai Ibu mertua tidak memberikan perhatiannya sebagai seorang Nenek pada Melati.“Jangan Bu.” Ucapku tegas membuat senyum di wajah Mas Anang seketika luntur. Mulai malam ini, aku akan membuat mereka tidak bisa mengaturku lagi.“Kalau aku membiarkan Ibu
Raut wajah Ibu mertua sudah berubah menjadi datar mendengar jawaban Papa. Walaupun senyum tetap tersungging di bibirnya. “Kenapa Pak Besan? Kalau Harum kerjakan lumayan untuk tambah pemasukan keluarga. Biar bisa membantu Anang mendapatkan uang.” Papa tetap menggelengkan kepalanya.“Mencari uang itu sudah tanggung jawab suami. Istri bisa membantu kalau memang nafkah yang di berikan tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya membesarkan anak. Tapi, setahu saya gaji Anang itu sudah lebih dari tujuh juta per bulan. Cukuplah untuk kebutuhan kalian dir umah ini. Di tambah dengan kebutuhan Melati yang sudah sekolah. Karena saya yakin putri kami bsia mengelola gaji suaminya dengan baik.”Ibu mertua dan Yara jadi salah tingkah karena Papa tahu jumlah gaji Mas Anang. Maklum saja karena perusahaan tempat Mas Anang bekerja masih rekanan bisnis dengan perusahaan Papa. Kadang kala aku mendengar Mas Anang bercerita pada Ibu mertua jika dia datang ke perusahaan Papa karena kontrak kerja sama d
“Kenapa kamu terkejut seperti itu Rum? Hubungan kita dengan orang tuamukan sudah membaik. Aku juga ingin bisa bekerja di perusahaan keluargamu seperti Rasyid. Lagipula kamu sendiri menolak bekerja untuk membantuku memenuhi biaya hidup kita. Kalau aku bekerja di perusahaan keluarga sendirikan gampang. Bisa langsung dapat jabatan tinggi. Atau minimal jabatan yang setara dengan perusahaan tempatku kerja sekarang." Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil memijat pelipis yang mendadak pening. Walaupun aku sudah menduga hal ini, rasanya tetap mengesalkan sekali.“Bukan begitu caranya Mas. Aku memang belum pernah cerita sama kamu kalau Rasyid itu bekerja di perusahaan Papa murni karena dia lolos seleksi lima tahun lalu. Terus menikah dengan Hanin. Jadi, seolah menantu Papa bisa bekerja disana dengan mudah. Padahal nggak begitu kenyatannya. Rasyid itu benar-benar merangkak dari bawah untuk sampai ke jabatannya sampai sekarang. Sama seperti kerja kerasmu di kantor. Bahka Rasyid menolak jaba
“Kok begitu Pak Besan? Bukannya sudah biasa seorang istri bekerja untuk membantu suaminya?” Tanya Ibu mertua yang terlihat tidak setuju. Tapi, tangan Mas Anang langsung memegang tangan Ibunya agar diam.“Baik Pa. Sudah tugas saya untuk memberikan nafkah pada anak dan istri. Jika Harum mendapat rezeki dari Papa, saya sama sekali tidak berhak atas uang itu. Saya juga tahu jika uang istri adalah uang istri.” Lagi-lagi Mas Anang lebih memilih untuk mengalah. Berbeda dengan Ibu mertua yang sempat protes tadi.Syukurlah tidak ada perdebatan malam ini. Walaupun raut wajah Ibu mertua masih tampak tidak setuju dengan surat perjanjian yang sudah di tanda tangani oleh anaknya itu. Setelah sholat isya’, Papa dan Mama langsung masuk ke dalam kamar tamu. Aku menemani Melati membuat PR di dalam kamar. Saat keluar dari kamar Melati yang sudah tertidur, tidak kudapati keberadaan Mas Anang dan Ibu mertua di ruang tengah. Biasanya mereka akan mengobrol sambil menonton sinetron kesukaan Ibu.Karena meras