Share

Bab 3

Sontak saja aku merasa panik hingga berlari menuju ruang tamu. Namun, langkahku seketika berhenti saat melihat Mas Anang dan Ibu mertua sudah duduk di ruang tamu. Selain itu, ada Hanin yang tengah duduk sambil memangku tubuh Melati. Sepertinya mereka baru saja bicara. Tapi, langsung diam saat melihat keberadaanku.

“Kamu sudah selesai Mbak?” Tanya Hanin langsung berdiri. Aku hanya bisa menganggukan kepala dengan wajah bingung.

“Ayo kita pergi ke rumah sakit sekarang. Biar Melati bisa cepat di tangani. Jangan di bawa ke rumah praktik dokter saja. Keponakan suamimu saja bisa di bawa ke rumah sakit. Kenapa Melati tidak bisa?” Sindir Hanin sambil menatap ke arah Mas Anang dan Ibu mertua yang hanya bisa menundukan kepalanya. Mereka memang segan pada Hanin karena masih mengharapkan harta dari orang tuaku.

“Ehm. Adik iparku yang mentransfer langsung biaya anaknya di rumah sakit Nin. Aku hanya mengantarnya saja.” Hanin tertawa tidak percaya. Kentara sekali jika tawanya adalah tawa mengejek.

“Jangan berbohong padaku Mas. karena Dokter yang menangani keponakanmu itu adalah pacarku.” Mas Anang sontak mendongakan kepalanya.

“Kebetulan saat itu aku melihat kalian di rumah sakit. Aku juga yang sudah memberi tahu Mbak Harum. Bukan dia yang mencari tahu sendiri.” Terang Hanin menyangkal tuduhan Mas Anang jika aku sudah keterlaluan karena mengintai keluarganya tiga bulan yang lalu. Saat itu Mas Anang bahkan menuduhku meninggalkan rumah tanpa ijin darinya karena sampai tahu tentang ia yang mengantar keponakannya ke rumah sakit hingga mengambil cuti dari kantor.

Aku memang tidak memberi tahu Mas Anang dan Ibu mertua tentang orang yang memberilu informasi ini adalah Hanin. Jika tidak mereka akan menuduhku dengan perkataan lain yang menyakitkan.

“Sudahlah Nin. Mbak ambil dompet dan hp di kamar dulu. Kamu bisa tunggu di mobil sama Melati.” Leraiku tidak ingin Mas Anang semakin marah lalu menyalurkan kemarahannya itu padaku nanti malam.

Kebiasaannya jika ia sudah tersinggung karena ucapan Hanin atau beberapa orang yang menyindirnya. Karena aku lebih memilih pria biasa seperti dirinya daripada pria kaya yang dulu akan di jodohkan denganku oleh Papa.

“Aku tunggu di luar Mbak.” Aku menganggukan kepala lalu segera berlari masuk ke dalam kamar utama lagi.

“Permisi Mas Anang dan Tante Munah.” Sayup-sayup aku masih bisa mendengar suara Hanin yang berpamitan di depan.

Karena terlalu terburu-buru, aku memilih untuk tidak berganti baju dan hanya memakai cardigan untuk menutupi daster lusuh yang aku pakai. Tas selempang berisi dompet dan hp juga sudah aku pakai. Baru saja aku hendak melangkah keluar, Mas Anang sudah masuk ke dalam kamar dengan wajah marah. Terlihat sekali jika dia sedang menahan amarahnya.

“Kan sudah aku bilang. Jangan pernah suruh Hanin datang ke rumah ini hingga ia bisa bertemu denganku. Apa kamu dengar yang ia katakan tadi? Adikmu itu sudah menghinaku habis-habisan.” Seru Mas Anang tidak terima.

“Bukannya minta maaf karena dulu sudah menuduhku sembarangan, sekarang kamu mau marah padaku lagi Mas? Seharusnya kamu yang harusnya sadar diri. Kalau sejak tadi kamu mengijinkan aku pergi ke rumah praktik dokter untuk memeriksakan Melati, aku tidak akan menghubungi Hanin.”

“Jadi, semua ini salahku hah?”

PLAK

Tubuhku sudah terhuyung ke belakang hingga punggungku menabrak lemari. Entah apa yang terjadi selanjutnya karena aku sudah pingsan setelah tubuhku di timpa kardus berat yang jatuh dari atas lemari.

Saat membuka mata, hal pertama yang aku lihat adalah langit-langit putih. Aku menolehkan kepala ke kanan karena merasa tanganku kebas akibat terlalu lama di genggam. Kedua mataku membulat kaget saat melihat keberadaan Mas Anang disana. Sontak saja aku segera menarik tanganku dari genggaman Mas Anang. Hal itu membuat suamiku jadi terbangun. Aku sendiri sudah bangun lalu memundurkan tubuh hingga badanku menempel di dinding.

“Akhirnya kamu bangun juga Rum. Merepotkan saja.” Raut wajah Mas Anang terlihat sangat lega. Walaupun mulutnya tetap saja memarahiku seperti biasa.

“Lihat keadaan kamu sekarang. Seandainya saat itu kamu tidak memanggil Hanin ke rumah, aku tidak akan marah lalu menampar kamu hingga terdorong ke lemari. Lagian kenapa juga kamu meletakan tumpukan kardus kosong itu di atas lemari?” Cerca Mas Anang tidak mau berhenti. Melemparkan kesalahannya padaku.

Padahal dia yang bersalah sudah membuatku seperti ini. Tapi, sama sekali tidak ada kata maaf yang terucap dari bibirnya. Sebaliknya, Mas Anang justru menyalahkanku seolah memanggil Hanin adalah sumber masalah kami. Apa salahnya meminta bantuan adikku untuk membawa Melati ke rumah sakit?

“Tunggu dulu. Melati.” Aku terlonjak kaget lalu segera turun dari tempat tidur.

Tubuhku sempat terhuyung sejenak. Untungnya aku tidak jatuh karena sudah berpegangan pada tiang infus. “Apa yang kamu lakukan Harum? Jika kondisimu lebih para lagi, Hanin akan menyalahkan aku.” Bentak Mas Anang khawatir dengan kepala yang terus menoleh ke arah pintu.

Bentakan Mas Anang tadi membuat para pasien dan keluarga mereka yang menunggu di ruangan ini ikut menolehkan kepala ke arah kami. Dia bahkan sudah menarik tangan kananya yang bebas dari selang infus. “Lepaskan aku Mas. Aku ingin melihat keadaan Melati. Badannya tadi pagi panas sekali. Kalau panasnya belum turun juga bagaimana? Sudah dua hari ini Melati sakit.” Kataku khawatir.

“Kondisi Melati sudah membaik Mbak.” Suara Hanin yang baru datang membuat Mas Anang seketika melepaskan cekalannya di tanganku.

“Mbak Harum berbaring aja lagi.” Hanin sudah menuntunku untuk kembali naik ke atas tempat tidur.

“Habiskan cairan infus ini. Baru kita akan pergi ke ruang rawat Melati.” Dadaku berdegup kencang karena khawatir.

“Bagaimana kondisi Melati Han? Apa putriku baik-baik saja? Badannya tadi pagi panas sekali. Melati juga belum sempat sarapan karena aku hendak membawanya langsung ke rumah sakit. Sejak kemarin Melati mengeluh kalau tenggorokannya sakit.” Tanyaku beruntun tanpa jeda. Pandanganku sempat sekilas melihat Mas Anang yang berdiri di sisi ranjang sambil menundukan kepalanya.

“Melati mengalami radang tenggorakan. Tapi, Melati tidak mengalami amandel. Dia hanya perlu di rawat selama dua hari saja di rumah sakit sampai kondisinya membaik.” Aku menghela nafas lega. Rasanya tidak sabar menunggu cairan infus ini akan habis.

“Setelah Melati sembuh, lebih baik kita pulang ke rumah Papa dan Mama, Mbak. Ada aku saja Mas Anang berani melakukan kekerasan padamu. Lihat pipimu yang memar. Kamu pasti sering di tampar sama suamimukan?” Seru Hanin dengan suara yang sengaja di keraskan.

Membuat pandangan Ibu-ibu yang ada disana seketika menajam menatap ke arah Mas Anang. “Bu, bukan begitu Nin. Aku tidak sengaja mendorong Harum sampai jatuh tadi.”

“Aku tidak percaya.” Cibir Hanin dengan raut wajah marah.

“Sudahlah Nin. Mas Anang benar. Dia tidak sengaja mendorongku tadi.”

Mendengar nama Papa dan Mama di sebut membuatku menelan ludah gugup. Masih terngiang perkataan Papa dan Mama saat menjenguk Melati yang baru lahir. Melihat kondisiku saat itu, Mama masih menawari aku agar ikut pulang bersama mereka. Tapi, saat itu aku menolak karena berpikir jika Mas Anang bisa berubah suatu saat nanti. Dengan begitu Melati bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah.

“Itu berarti ini adalah pertemuan terakhir kita secara pribadi. Kalian bisa datang untuk bersilaturahmi saat lebaran. Tapi, selain itu Papa dan Mama tidak bisa menemuimu sampai kamu berubah pikiran. Satu hal yang perlu kamu camkan adalah orang seperti Anang tidak akan bisa berubah. Kecuali dia sudah berpisah dari Ibunya.” Kata Mama kala itu dengan sorot mata kecewa.

Mama bisa bicara seperti itu karena cerita Hanin tentang kondisi rumah tangga kami. Selain mengharapkan jika Mas Anang bisa berubah, aku juga tidak mau anakku akan tumbuh tanpa sosok Ayah di sisinya. Setiap malam dalam sujudku aku selalu berdoa jika Mas Anang dan Ibu mertua akan di berikan hidayah untuk berubah dan menyadari jika selama ini mereka sudah berbuat dzalim padaku dan Melati.

“Aku keluar sebentar untuk melihat keadaan Melati ya sayang. Sekalian menjemput Ibu untuk datang ke rumah sakit.” Belum sempat aku menjawab, Mas Anang sudah terburu-buru berjalan keluar. Hanin hanya memutar bola matanya tidak peduli.

“Mbak Harum pasti berbohong padakukan? Karena masih ingin melindungi marwah suami di depan banyak orang.” Todong Hanin padaku tidak percaya.

Untuk apa aku menceritakan masalah rumah tangga padanya selama ini jika Hanin tidak bisa menebak dengan pasti sikap Mas Anang? Aku menganggukan kepala malu karena sempat menjadi perhatian semua orang yang ada di ruangan ini tadi.

“Aku minta maaf Mbak. Aku terlalu marah pada Mas Anang hingga ingin mempermalukannya di depan umum seperti tadi. Tidak seharusnya aku mencampuri masalah yang satu ini.” Aku menggelengkan kepala lalu menggengam tangan kanan Hanin.

“Jangan minta maaf seperti itu. Sudah menjadi keputusanku untuk bertahan bersama Mas Anang. Ini semua aku lakukan agar Melati tumbuh dengan menenal sosok Ayahnya.”

“Aku rasa semua ini sudah cukup Mbak. Jangan bertahan lagi dengan Mas Anang hanya karena Melati. Karena anak kamu juga sudah tersakiti dengan sikap Ayahnya.” Bisik Hanin dengan suara rendah agar tidak terdengar oleh orang lain di sekitar kami.

Keningku berkerut bingung tidak mengerti. “Apa maksud kamu Nin?”

“Ya ampun. Ternyata kakakku ini sudah jadi korban manipulasi pikiran sama suami sendiri.” Gumam Hanin lalu menatap mataku dalam.

“Sudah cukup membuat Melati tahu siapa Ayah kandungnya. Karena walaupun Melati baru berumur empat setengah tahun, dia sudah paham tentang sikap pilih kasih yang di lakukan oleh Mas Anang. Terutama pada keponakan Mas Anang yang umurnya hanya beda satu tahun saja dengan Melati.” Terang Hanin memulai penjelasannya.

“Aku yakin Melati sudah mengalami trauma karena sikap Mas Anang selama ini. Melati tidak hanya akan sakit secara fisik. Tapi, juga secara psikis.”

“Darimana kamu bisa tahu hal itu Nin?” Tanyaku masih berusaha untuk menyangkal kenyataan.

“Dari sahabatku yang sedang menjalani masa residennya di rumah sakit jiwa.” Jawab Hanin mantap.

“Aku tidak bisa menjelaskan banyak hal disini. Intinya Mbak Harum harus membawa Melati pergi dari rumah itu. Kalau bisa Mbak Harum bilang saja ingin bercerai dari Mas Anang.” Aku menggelengkan kepala pelan.

“Maaf Nin, aku belum yakin. Karena Papa dan Mama belum bisa memberikan maaf mereka padaku.” Hanin hanya bisa menghela nafasnya prihatin karena hubunganku dengan Papa dan Mama belum juga membaik.

“Kita bicarakan hal itu nanti. Cairan infus Mbak Harum sudah habis. Biar aku panggilkan suster dulu untuk mencabut infusnya.” Adikku itu beranjak pergi keluar dari ruang rawat ini.

Aku juga sudah tidak sabar untuk segera pergi ke ruang rawat Melati. Lima menit kemudian, terdengar langkah kaki beberapa orang yang mendekati tempat tidurku. Namun, bukan sosok Hanin dan suster rumah sakit ini yang aku lihat. Melainkan Ibu mertua dan Mas Anang yang sudah menatapku dengan wajah penuh amarah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status