Share

Chapter 2: Pengoleksi Mobil Mewah

Glenn menertawakan kepercayaan diri yang begitu tinggi itu dan masuk ke dalam lift dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya.

"Apa yang kau tertawakan?" ujar Narendra marah.

Glenn menghentikan tawanya sejenak dan berkata dengan santai sebelum lift itu tertutup, "Kau terlalu banyak mengkhayal, Narendra.”

"Me-ngkhayal?"

Glenn tersenyum meremehkan.

“Ya. Ingat, kau itu hanya keponakan ayahku. Tidak akan mungkin ayahku mewariskan perusahaan ini kepadamu,” ucap Glenn datar.

Begitu pintu lift tertutup, Narendra mengamuk. Ia menendang tempat sampah besar. Tak dia pedulikan para karyawan yang melihat ke arah dirinya dengan tatapan penuh tanya.

"Awas saja kau, Glenn. Awas saja!" ujar pria itu.

Sementara itu, Glenn yang baru saja tiba di unit apartemen Gardenia Hills miliknya itu terkejut luar biasa saat melihat Fero, asisten perbadinya itu berdiri di depan pintu apartemen dengan beberapa koper besar di dekatnya.

"Apa yang kau lakukan di depan sini? Kenapa koper-koperku kau bawa ke luar?" tanya Glenn keheranan.

Fero menjawab dengan terbata-bata, "Anda tidak diizinkan tinggal di dalam lagi, Tuan Muda."

"A-apa maksudmu?" Glenn melotot kaget.

Fero menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Itu Tuan Muda ... ada yang membeli gedung apartemen ini, Tuan."

Glenn membuang napasnya dengan kasar. Seketika ia paham, "Ayahku. Ah, tentu saja hanya dia yang bisa melakukan semua ini."

Glenn lalu berkata, "Pulanglah ke rumah ayahku. Aku akan meminta orang untuk membantumu."

Fero agak kaget. "Lalu Anda bagaimana, Tuan?"

Glenn menjawab, "Kau pikir aku anak kecil yang bingung saat dipermainkan orangtuanya, Fer?"

"B-bukan seperti itu, Tuan Muda."

"Kau tak perlu pikirkan itu."

"Tapi Anda nanti akan pulang, Tuan?"

Glenn mengangguk, "Tentu saja. Tapi sebelum itu, aku harus memberi kejutan pada ayahku dulu."

Mendadak Fero merasakan firasat tidak enak, terlebih lagi saat ia melihat senyum miring tuan mudanya tersebut.

Sepeninggal Fero, Glenn melajukan mobilnya menuju ke sebuah showroom mobil. Kedatangannya langsung membuat kegaduhan.

"Hei, itu si Glenn Brawijaya kan? Apa yang sedang dia lakukan di sini?" bisik salah seorang wanita muda.

Karena temannya menggelengkan kepalanya, ia beralih pada seorang sales, "Apa yang dilakukan oleh Glenn Brawijaya di sini? Apa Brawijaya Corporation memiliki saham di showroom ini?"

"Oh, tidak Nona. Tuan Muda Glenn adalah pelanggan tetap di showroom ini. Beliau termasuk pelanggan platinum kami," ucap sales wanita itu.

Sang wanita muda tertarik, "Pelanggan platinum?"

"Ya. Pelanggan yang membeli mobil di showroom kami sebanyak 12 buah mobil per tahunnya," jawabnya.

"Luar biasa, 12 mobil per tahun, Angela. Gila, dia benar-benar kaya!" seru teman wanita itu.

Angela berseru, "Dia memang kaya, Jen. Jelas sekali. Brawijaya Corporation memang sangat besar. Cabang dan anak perusahaannya ada di mana-mana."

"Tapi jika dia sekaya itu, kenapa dia pergi sendirian ke showroom mobil? Kenapa dia tidak meminta anak buahnya saja?"

"Tuan Muda Glenn pernah mengatakan jika mobil itu sangat penting baginya. Dia memang sangat teliti, Nona dan juga memiliki selera yang sangat bagus. Tak mengherankan jika dia selalu datang langsung ke show room ini," jelas sales itu.

Angela manggut-manggut.

"Berikan aku series terbaru dari MCB ini!" ujar Glenn.

"Apa Anda ingin mencobanya dulu?" tanya karyawan yang terlihat akrab dengan Glenn.

Glenn menggelengkan kepalanya, "Tidak. Aku sedang terburu-buru. Aku hanya akan memilih warnanya saja."

"B-baik, Tuan Glenn."

Tak sampai tiga puluh menit, Glenn sudah membawa mobil baru itu keluar. Decak kagum terdengar begitu jelas saat ia mengemudikan mobil barunya itu dengan kecepatan lambat.

"Ayah, aku pulang," gumamnya saat ia memasuki gerbang rumah keluarga Brawijaya.

Rumah yang dijaga oleh belasan pengawal berseragam hitam yang kini juga sedang memandang tuan muda mereka dengan sorot mata bercampur aduk.

Fero berlari-lari kecil menghampiri tuan mudanya begitu ia melihat Glenn turun dari mobil. "Tuan Muda."

Glenn mengangguk dan mengedipkan sebelah matanya pada asisten pribadinya itu. Fero menelan salivanya dengan susah payah, "Anda membeli mobil baru lagi, Tuan Muda?"

"Seperti yang kau lihat, ini series terbaru MCB. Baru keluar dua hari yang lalu."

Fero melongo, "Bukankah Anda sudah membeli mobil baru satu minggu yang lalu, Tuan Muda?"

"Iya. Lalu kenapa?"

"Anda kan hanya diizinkan membeli mobil satu kali dalam sebulan. Ayah Anda ... Tuan Andi ...."

Glenn tersenyum miring, "Tak masalah, Fer. Lagi pula, 12 miliar itu tak ada apa-apanya untuk ayahku."

Fero terbelalak kaget, "Tu-Tuan. Minggu lalu Anda baru menghabiskan 4 miliar untuk series Porsas."

Glenn tersenyum lebar, "Itu series favoritku."

"Lalu ini, Tuan?"

"Ini jadi favoritku selanjutnya. Kau lihat ini? Sangat unik." Glenn menyentuh body mobil itu dengan begitu bangga.

"Iya, saya setuju Tuan Muda. Tapi ... tapi ...."

Glenn sontak menoleh jengkel, Fero sontak mengatupkan mulutnya kembali.

Melihat Fero sudah terdiam, Glenn pun melemparkan kunci mobilnya pada salah satu pengawal, "Parkir tepat di depan pintu utama."

Fero melotot kaget.

Ah, dia mengerti sekarang. Tuan mudanya pastilah hanya sedang berusaha membalas kekesalannya pada sang ayah dengan cara itu.

***

Andi Brawijaya baru saja membanting ponsel mahalnya setelah mendapatkan info dari sekretaris pribadinya jika putranya baru saja membeli mobil baru lagi. Ia membuat pengunjung restoran itu menoleh ke arahnya dengan kaget.

"12 Miliar," gumamnya pelan.

"GLENN!" teriaknya, suaranya mendadak naik satu oktaf.

"Anak kurang ajar itu."

Napasnya mulai tak beraturan lagi.

"Apa yang harus aku lakukan pada berandal itu?" teriaknya mulai frustrasi.

Edgar yang berdiri tepat di belakang tuannya tersebut hanya bisa terdiam bagai patung.

Jeda beberapa saat sebelum akhirnya ia berkata dengan sangat berat, "Edgar, hubungi sekretarisku. Batalkan meeting sore ini. Kita pulang sekarang."

"Ta-tapi Tuan-"

"Kau tidak mendengarku ya?" ujar Andi tajam.

Edgar langsung menunduk, "Dengar, Tuan. Tapi meeting ini sudah pernah ditunda, Tuan. Akan sangat-"

"Kau mau mengajari aku, Ed?"

"Ti-tidak, Tuan. Baik, baik. Akan saya lakukan," putus Edgar cepat, tak ingin menjadi sasaran kemarahan sang tuan.

Andi tak berkomentar dan langsung saja angkat kaki dari tempat itu.

Edgar menghela napas panjang, "Mereka sama saja. Tidak ada yang mau mengalah."

***

"Kenapa kau baru pulang, Glenn?" tanya Amelia Brawijaya yang tengah duduk sambil membaca majalah di ruang bersantai.

Glenn menjawab, "Memangnya kenapa aku harus cepat-cepat pulang?"

"Apa kau tak ingin bertemu dengan ibumu?"

"Kita sudah bertemu sekarang. Apa mau Ibu?"

Amelia mendesah, "Mau sampai kapan kau akan bersikap seperti ini terus?"

Glenn yang baru saja duduk itu langsung saja berdiri, "Kalau Ibu mau bertemu denganku hanya untuk menceramahiku, lebih baik aku masuk ke kamarku saja"

Amelia meletakkan majalah itu di atas meja, "Glenn, kau sudah 25 tahun. Sebentar lagi perusahaan akan beralih ke tanganmu. Kalau kau bersikap seenakmu terus, bagaimana kau akan memimpin perusahaan kita?"

Glenn membalas, "Kenapa aku tak boleh bersikap seenaknya sementara kalian berdua boleh?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status