Share

Kembalinya Sang Pewaris
Kembalinya Sang Pewaris
Penulis: Zila Aicha

Chapter 1: Bangun dari Mimpimu!

“Buatkan aku kopi!" Glenn memerintah.

Fero terbelalak, "Sekarang, Tuan?"

Glenn menatap jengkel, "Kenapa? Kau tidak mau membuatkannya?"

Fero menggeleng cepat, "Tapi ini pukul dua belas malam, Tuan Muda. Kalau Anda minum kopi sekarang, besok Anda akan bangun terlambat. Anda akan-"

"Cerewet. Buatkan saja!" potong Glenn kesal.

Fero melirik cemas ke arah jam dinding tapi ia akhirnya memilih melakukan perintah sang tuan. Ia pun hanya membutuhkan beberapa menit saja menyajikan kopi itu.

Glenn lalu menikmati kopinya sambil berdiri di depan jendelanya dan baru pergi tidur di pukul empat pagi.

Beberapa jam setelahnya, Fero sudah hampir menyerah saat ia tak berhasil juga membangunkan Glenn. Namun, di usahanya yang kedua puluh sembilan, itu membuahkan hasil. Glenn bangun pukul sepuluh.

"Fer, siapkan pakaianku!" titah Glenn.

Sementara itu, di Brawijaya Corporation yang merupakan perusahaan telekomunikasi nomor satu di Indonesia, terlihat Andi Brawijaya sedang duduk mematung di kursinya.

"Kita mulai saja rapatnya!" putusnya kemudian.

"Kita tidak menunggu Glenn, Mas?" tanya Satria, adik Andi Brawijaya yang menjabat sebagai direktur keuangan.

Andi menjawab datar, "Tidak."

"Tapi proyek ini harusnya menjadi tanggung jawab Glenn, Mas," ujar Satria.

Andi bergelut dengan hatinya. Selain malu karena saat ini hanya putranya saja yang belum datang, dia juga luar biasa marah karena lagi-lagi dia tak dianggap oleh sang putra.

Dua jam sebelumnya dia telah memperingatkan putranya itu soal meeting yang harus dihadirinya pagi ini melalui sebuah pesan singkat. Namun, nyatanya putra tunggalnya itu telah mempermalukan dirinya lagi di depan semua dewan direksi perusahaannya.

"Biarkan saja."

Diam-diam Satria tersenyum miring dan memulai meeting itu.

Satu jam kemudian, pintu ruangan itu terbuka. Semua mata sontak menatap ke arah pintu itu dengan tatapan bertanya.

"Maaf, Ayah. Aku terlambat," ujar Glenn saat ia muncul dengan begitu santainya.

Beberapa di antara orang-orang penting itu saling melirik, sementara Andi Brawijaya telah melotot marah pada putranya. "Kau tahu ini jam berapa, Glenn?"

"Sebelas lebih tiga puluh menit," jawab Glenn santai dan ia duduk di kursi dekat sang ayah.

"Apa kau lupa rapatnya dimulai pukul sepuluh?" tanya Andi, berusaha keras meredam amarahnya.

"Tidak."

Andi mengertakkan giginya, "Kalau kau tidak lupa, kenapa kau baru datang sekarang?"

"Karena aku baru bangun jam sepuluh."

Jawaban santai itu sontak membuat Andi semakin murka. Ia pun melempar sebuah map yang berisi file yang sedang mereka diskusikan sebelumnya dengan jengkel ke arah Glenn. Map itu membentur dada Glenn.

Semua orang tersentak kaget. Tetapi Glenn hanya melirik kertas-kertas itu sekilas dan tetap diam tanpa ekspresi.

Andi yang napasnya memburu berkata, "Meeting sudah cukup hari ini!"

Satu per satu dari jajaran direksi itu pun ke luar dari meeting dan kini tinggal menyisakan Andi dan Glenn berdua saja.

"Apa maumu sebenarnya? Katakan pada Ayah!" ujar Andi dengan napas memburu.

"Tidak ada."

Andi berujar, "Apa kau tidak bisa bersikap dengan benar sekali saja? Mau sampai kapan kau akan bertindak seenaknya dan mempermalukan ayahmu seperti ini?"

"Bersikap benar bagaimana, Ayah?" tanya Glenn dengan begitu santainya.

"Bersikap layaknya pria terhormat, Glenn."

Glenn mengangkat alisnya, "Oh, seperti apa itu? Tidak mungkin seperti Ayah kan?"

Sudut alis Andi berkedut. Ia berujar pelan, "Apa maksudmu?"

"Pikirkan saja sendiri!" ujar Glenn.

Ia lanjut berkata, "Meeting-nya sudah selesai kan Ayah?"

Belum sempat Andi bereaksi, Glenn sudah bangkit dari kursinya dan melangkah menuju ke luar ruangan. "Aku pulang dulu, Ayah."

"Pulang bagaimana maksudmu? Kau punya banyak pekerjaan yang harus kau lakukan, Glenn."

“Glenn!” pekik Andi.

Glenn menguap, "Tapi aku ngantuk sekali, Ayah. Aku tidak yakin bisa melakukan pekerjaan dengan benar. Dari pada Ayah marah karena aku melakukan kesalahan, lebih baik aku pulang."

"Glenn, kau tidak bisa seperti ini terus. Glenn-"

"Ayah, perusahaan ini tidak akan bangkrut hanya karena aku tidak masuk kerja kan?"

"Kau-"

"Aku pulang dulu dan sampaikan maafku pada ibu karena aku tak bisa menemuinya dulu," ucap Glenn dengan begitu santainya.

Andi Brawijaya menggebrak mejanya begitu putranya ke luar dari sana.

Dengan tidak sabar dia kembali memanggil Edgar, "Lakukan sekarang juga!"

"Baik, Tuan."

Glenn merasa puas telah membalas sang ayah yang telah mengacaukan pestanya semalam. Dengan senyum yang menghiasi bibirnya, ia berjalan menuju lift tapi senyumnya itu lenyap begitu saja saat ia berpapasan dengan salah satu orang yang tidak ia suka.

"Bersikaplah begini terus, Tuan Muda Brawijaya. Semakin kau berandal, semakin aku senang," ucap Narendra dengan ekspresi senang yang sangat tercetak jelas di wajahnya.

Glenn balas tersenyum sinis, "Seberandal apapun aku, aku tetap pewaris resmi perusahaan ini."

"Jangan terlalu percaya diri dulu, Glenn!" peringat Narendra.

Glenn tertawa, "Kenapa aku tak boleh percaya diri? Jelas-jelas aku satu-satunya putra ayahku."

Narendra memang tak bisa menghapus fakta itu.

Melihat Narendra terdiam, Glenn berkata dengan cepat, "Oh, atau jangan-jangan kau menginginkan perusahaan ini, Rendra?"

Narendra terdiam, Glenn tertawa sampai badannya terhuyung-huyung. "Ternyata memang benar. Astaga, apa kau sungguh percaya bisa mewarisi perusahaan ini?"

Narendra berujar, "Kenapa tidak? Kalau kau tidak becus, posisi itu bisa saja jatuh ke tanganku."

Glenn membalas dengan sinis, "Bangun dari mimpimu, Ren! Itu tidak akan pernah terjadi."

"Kita lihat saja nanti," ujar Narendra dingin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status