"Kok lemes gitu? Ada apa?" tanya Mas Alif begitu aku datang.Aku mencoba mengulas senyum mencoba mengalihkan, "sudah dapat plaris 'kah?""Sudah," jawabnya singkat, "ada masalah apa lagi?"Aku menarik napas dalam, menelaah kembali yang terjadi. Masalah datang begitu bertubi-tubi. Mengapa niat baik kami, malah jadi mencoreng muka kami sendiri. Ketulusan ini bahkan disalah gunakan oleh mereka yang masih terbilang bocah bau kencur."Dek, kok jadi melamun?" tanya Mas alif lagi."Di sekolah pun, Aira bikin masalah.""Soal apa itu?""Tadi Bu Diah tanpa sengaja menanyakan soal kebenaran tentang Yanti. Betul apa tidak dia keponakanku.""Lalu ...,""Ya aku jawab memang betul, sebab pas daftar dulu, Bu Diah kan gak tahu, makanya dia memastikan. Anehnya, malah Bu Diah menananyakan soal kekurangan uang pembangunan.""Kenapa dengan uang pembangunan, belum kamu bayar atau masih kurang?" cecar Mas Alif."Sudah terbayar sebagian, kurangannya aku janjikan satu bulan. Tetapi, sebelum jatuh tempo sudah k
Ternyata sampai di sana pun, tidak ada Yanti. Bahkan Bibinya Sari juga heran, bagaimana Yanti bisa ada di kota. Karena selama ini yang dia tahu, gadis tengil itu ada di rumah Neneknya. Wanita itu malah pesan sama Sari, untuk tetap tinggal bersamaku. Bila nanti Yanti ketemu, dia juga minta dikabari. Aku pun pamit dan segera meninggalkan tempat tersebut. Sambil melajukan motor, aku berpikir hendak mencari kemana lagi. Perasaanku mengatakan, gadis tengil itu belum pergi jauh dari rumah. Tiba-tiba saja, aku kepikiran mencari di Ibu angkat Sari yang selama ini memperkerjakan Sari tanpa gaji.Memasuki gang kecil tempat tinggal Ibu angkat Sari, entah emosiku memuncak. Motor sengaja kulajukan perlahan. Tepat sebelum rumahnya, aku sudah berhenti. Kuparkir motor agak jauh dari rumahnya. Lalu aku berjalan menuju ke sana.Sepasang sandal japit merah gambar hello kitty milik Firda ada di teras Kumala Ibu angkat Sari. Aku masuk ke teras rumah yang tanpa pagar itu, bayangan dari kaca depan mempe
Aira bagiku adalah wanita istimewah. Dia tidak hanya Ibu bagi anak-anakku. Tetapi dia juga Ibu dan kakak, bagi adik-adikku. Sikapnya yang penuh perhatian dan belas kasih, membuat siapa aja menyayanginya.Satu hal yang membuatku kadang heran. Baik Abang maupun adik-adikku begitu dekatnya. Meminta makanan maupun baju tanpa ada rasa sungkan sekalipun. Aira juga tidak pernah mengeluhkan tentang saudara-saudaraku yang meminta ini dan itu. Tak sekalipun dia meminta ganti uang padaku, karena telah membelanjakan permintaan Abang sama adek-adekku.Hingga Bang Hendro sakit pun, orang yang pertama dikasih tahu adalah Aira, istriku. Sayangnya, Bang Hendro tidak sempat tertolong waktu itu. Setelah Bang Hendro meninggal, aku dan istriku memutuskan untuk mencari anak-anak dari pernikahan pertamanya dengan Aminah.Hingga salah satu kubawa mereka pulang dari panti asuhan, Yanti. Sedang Sari si Sulung, belum kami ketemukan. Baru setelah Yanti kami jemput, Sari datang menyusul ke rumah. Gadis itu akhirn
"Arrgghh benar-benar tidak tahu diri kamu! Maumu apa sebenarnya?!" tantangku kecewa pada Yanti.Dia mendongak .... "Sekarang maumu gimana?!"Sikapnya sudah benar-benar kelewatan. Menguras habis kesabaran, untung saja dia bukan anak kandungku. Kalau iya, sudah jadi perkedel anak itu di tanganku."Jawab Yanti! Jangan diam saja! Itu lho Om-mu tanya." Kulihat Rudi pun terbawa emosi sama denganku. Lain dengan Kumala yang bersikap sebaliknya. Terlihat sekali jika Kumala melindungi gadis pengecut itu."Oke ... saya akan kasih kamu dua pilihan. Pertama, jika kamu tetap ingin tinggal di sini, maka sekolahmu harus berhenti sampai di sini ...."Yanti mendongak dengan raut wajah terkejut. Mungkin dia tidak pernah mengira, jika kami akan melakukan hal itu."Bukan hal itu saja ... saya sebagai pengganti wali dari orang tuamu, memutuskan pula untuk mengakhiri ikatan kita sebagai keluarga."Kali ini bukan hanya Yanti yang terhenyak, Sari, Kumala, Rudi bahkan Pak Wongso kaget begitu mendengar ucapank
Sampai di toko sudah hampir jam sepuluhan, dengan cekatan aku membuka dibantu oleh kedua anak buahku. Kalau hari Minggu begini, banyak orang jalan-jalan atau sekedar mencuci mata menghabiskan waktu luang.Tetapi ada pula yang sengaja datang dari luar kota, untuk mencari barang yang memang mau dijual lagi maupun untuk persiapan lebaran. Tentu saja, bagi yang ambil banyak akan dapat harga grosir, lain dengan yang eceran. Bagi pedagang seperti kami, jika pengambilan banyak, kami hanya main omzet saja. Beda ceritanya kalau eceran. Terkadang kami ambil laba sekitaran sepuluh ribu hingga lima belas ribu, karena adanya resiko mati ukuran dan warna.Tak terasa karena kesibukan yang tak henti-henti, waktu pun bergulir dengan cepat begitu saja. Suamiku tidak datang ke toko, karena masih menyelesaikan masalah Yanti. Aku juga sengaja tidak meneleponnya, takut saling mengganggu.Hari sudah hampir senja ketika aku tiba kembali di rumah. Kulihat Mbak Romlah sudah selesai dengan tugasnya. Makanan pu
"Ibu sudah sarapan?" "Sudah tadi, Nak. Kok tumben belum berangkat?"Pagi ini sengaja aku tidak berangkat bareng Mas Alif. Karena rencananya mau nunggu Uswatun dulu dari pasar. Sambil menunggu, aku menyiapkan bahan-bahan yang hendak kuracik."Yanti jadi tinggal ma siapa, Nduk?" tanya Ibuku hati-hati."Sama orang tua angkatnya Sari itu Buk, kenapa memangnya?"Kulihat Ibu mengerjapkan matanya. Pandangannya menerawang lalu berkaca-kaca. Sesaat kemudian terdengar beliau bicara lagi."Ibuk ini bukannya mau adu domba, tapi ... kalau tidak bilang, kasihan kamu.""Soal apa, Buk?"Aku mengalihkan perhatianku sejenak dari bumbu-bumbu yang hendak kuracik. Ingin tahu, perihal apa yang hendak dibicarakannya."Gak sekali dua kali, si Yanti itu datang bawa teman. Bahkan temannya ada bilang. Owh, tua bangka ini ya Yan? Kasih racun saja biar cepat mati!" ucap temannya sinis pada Ibu."Astaghfirrullah ... Ibuk kenapa gak bilang sama aku?" "Nduk ... Nduk, kamu itu seharian kerja pontang-panting, masa d
[Kayanya, rumahmu ada hantunya, Mbak. Baru aku tinggal sebentar ke bawah, uangku yang tinggal selembar satu-satunya di dompet, raib entah kemana. Untung uang yang dari pean aku umpetin di balik sakuku.] "Allah ... bencana apalagi ini?" keluhku kesal setelah membaca pesan dari Uswatun.Segera saja kuhubungi Uswatun. Sampai nada dering kelima, masih belum juga diterimanya panggilanku. Baru ketika untuk kedua kali akan menghubunginya lagi. Sebuah pesan masuk darinya.[Rumahmu beneran ada tuyulnya lho, Mbak. Masa iya, uangku tiba-tiba sudah di selipan baju yang masih kutaruh di atas kasur?! Sampai bingung jadinya.]Dahiku berkerut membaca pesan darinya. Tak mungkin bukan, dalam sekejap hilang, terus bisa balik lagi. Apalagi kalau tuyul yang ambil, pasti sudah hilang uang itu.[Sari masih tidur?][Masih ... malah sampai ngorok-ngorok.]Kukantongi ponselku, tak lagi membalas pesan Uswatun. Biar nanti setelah pulang, aku tanyakan lagi. Segera aku naik ke lantai atas, tempat di mana usaha ka
Ponselku seketika berdering, ketika aku hendak mengangkatnya, Sari turut masuk ke dalam kamar. Aku bingung harus gimana, sementara Mbak Aira terus-terusan meneleponku.Sambil mengawasi Sari, aku mengirim pesan pada Mbak Aira.[Ada Sari Mbak, nanti saja aku jelaskan di rumah.]Langsung centang biru, tetapi tanpa balasan darinya. Aku mematikan ponselku, lalu menaruh di atas nakas tempat tidur."Kamu mau cari apa Sar?"Sari tampak kebingungan menjawab pertanyaanku, tangannya sibuk menggaruk kepalanya. Salah satu tanda jika orang itu melakukan kesalahan. Yang kupelajari dari salah satu buku psikologi.Tampak Sari memunguti remahan-remahan dan juga membersihkan makanan yang berhamburan di sela-sela lipatan baju. Aku keluar kamar, menuju musholla kecil yang berada di pojok. Memakai mukena yang sudah ada di sajadah, kemudian bergegas sholat Dhuhur. Begitu selesai sholat, kulihat Sari telah usai pula membereskan pekerjaannya tadi. Segera kuambil mukena yang tadi dirubungi semut dan bercak ma