Jejak Luka

Jejak Luka

Oleh:  Muzdalifah Muthohar  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 Peringkat
57Bab
2.0KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Selama dua puluh tahun keberadaannya dilupakan, kini sang ayah datang mengemis maaf. "Bulek mengerti perasaanmu, Ram. Tapi bagaimanapun juga dia orang tuamu," ucap Lilik ketika sudah berada di dekat Ramon. "Orang tua? Orang tua apa yang menelantarkan anaknya? Orang tua apa yang hanya mengejar kesenangannya sendiri, tanpa memikirkan nasib anaknya? Dua puluh tahun Bu Lek, dua puluh tahun? Pernah dia peduli padaku? Pernah sekedar nanya kabarku. Pernah? Nggak pernah, Bu Lek. Baginya aku ini sudah mati, Bu Lek. Jadi jangan salahkan kalau aku juga menganggapnya mati." "Ya, Bu Lek tahu. Ayahmu salah, sangat salah. Tapi lihatlah keadaannya sekarang. Apa kamu nggak kasihan? Kamu nggak iba? Sudah miskin, istrinya sakit pula," ucap Lilik berusaha menyentuh hati Ramon. "Hh! Iba? Apa dia punya rasa iba ketika ibu memintanya mengantar ke rumah sakit? Apa dia merasa iba melihatku sebatang kara? Nggak kan, Bu Lek?" Pantaskah seorang penghianat macam ayahnya mendapat maaf? Baca sampai tamat ya, terimakasih ....

Lihat lebih banyak
Jejak Luka Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Muzdalifah Muthohar
Cerita ini beda, rugi kalau nggak baca
2023-01-11 03:54:16
0
57 Bab
Bab 1
#Jejak_Luka 1[Mas, Kapan pulang?] tulis Marini dalam pesannya. Gelisah wanita berperut buncit itu menanti jawaban sangat Suami. Semenit, dua menit, hingga satu jam berlalu, pesannya tak kunjung terjawab. [Mas, perutku mulai mules] tulis Marini lagi, tapi lagi-lagi tak terbalas. Sibuk apa suaminya, hingga tak sempat membaca dan membalas pesannya. [Mas, cepet pulang. Antar aku ke rumah sakit] Dengan menulis pesan seperti itu, dia berharap suaminya segera pulang setelah membaca pesannya. Tapi sayang, sang suami tak merespon sama sekali. Sepertinya laki-laki itu sengaja tak membuka ponselnya, tak ingin diganggu. Marini bukan tak tahu suaminya dimana dan sedang apa. Laki-laki itu sedang berada di rumah istri barunya, perempuan yang baru dinikahi dua bulan yang lalu. Sebagai pengantin baru tentu mereka tengah asik memadu kasih. Tak peduli di sini istri tuanya sendirian menahan sakit sejak kemarin. Sebenarnya Marini tak ingin mengganggu kebersamaan suami dan madunya, tapi dalam kead
Baca selengkapnya
Bab 2
#Jejak Luka 2Sebenarnya ada praktek bidan di ujung gank dekat rumahnya, tapi Marini lebih memilih melahirkan di rumah sakit. Di sana peralatannya lebih canggih, kalau terjadi sesuatu bisa langsung ditangani. Sedangkan di bidan peralatannya seadanya. Dia tak mau ambil resiko. Marini memacu mobilnya dengan kecepatan sedang, sambil terus meringis menahan sakit. Bayangan-bayangan kejadian yang membuat kondisi kesehatannya makin memburuk, melintas di mata wanita berparas cantik itu. "Kenapa harus sekarang, Mas? Kenapa tidak menunggu aku beres lahiran?" lirih Marini di kamar mereka berdua, sementara Alina masih menunggu di ruang tamu. "Aku mencintainya. Aku nggak sanggup menunggu lebih lama. Aku ingin menikahi Alina secepatnya, dengan atau tanpa ijinmu." Rupanya cinta sudah membutakan hati Hadi. Laki-laki 40 tahun itu sudah seperti ABG labil yang tak bisa dinasehati. Bahkan tak peduli, bagaimana hancurnya perasaan sang istri mendengar pengakuannya. Bagi Hadi, menikahi Alina adalah mutla
Baca selengkapnya
Bab 3
#Manusia_Durjana#Jejak_Luka 3Rumah itu dipenuhi tetangga, tenda sudah terpasang, meja kursi sudah tertata rapi. Sebuah mobil jenazah datang merapat, yang disambut tangis sanak saudara dan semua orang yang hadir di sana. Kebaikan-kabaikan Marini, sikap ramah Marini kembali terngiang di benak mereka. Tak ada yang menyangka, wanita cantik itu tak berumur panjang. Apalagi mendengar tragisnya cerita, yang menyebabkan kecelakaan. Hadi turun dari mobil, dengan kaca mata hitam dan bertengger di hidungnya. Sementara Alina memakai baju serba hitam, bergelayut manja di lengan suaminya. Seolah menunjukkan dia sedang berduka, padahal dalam hatinya bersorak gembira, karena berhasil memiliki Hadi sepenuhnya. Semalam dia mendapat kabar dari Pak Nano, teman kerja sekaligus tetangganya. Bahwa Marini mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju rumah sakit, dan nyawanya tak terselamatkan. Bukan sapaan hangat didapat, melainkan tatapan sinis dari mereka yang ada di sana, terutama ibu-ibu. Pihak yan
Baca selengkapnya
Bab 4
Acara kirim doa hari ketujuh sudah selesai digelar. Selama tujuh hari itu Hadi hanya datang sebagai tamu. Bukan tuan rumah yang sedang berkabung, dia juga tak menginap di rumah itu. Hadi lebih memilih pulang bersama istri mudanya. Kesedihan tak nampak di wajahnya. Apalagi dengan kehadiran Alina yang selalu bergelayut manja di lengannya, membuat siapapun yang hadir menatap mengelus dada. Tapi namanya orang sedang jatuh cinta, mereka tak ambil pusing."Kenapa harus ngundang dia sih, Mas? Bikin kesel aja!" protes Lilik pada Irwan, kakak pertamanya. Saat melihat mobil Hadi masuk ke pekarangan rumah Marini. Lilik tentu tidak lupa bagaimana sikap kakak iparnya itu, selama tahlilan digelar.sekarang seluruh keluarga besar Almarhumah Marini berkumpul untuk membahas masa depan Ramon dan segala peninggalan Marini. "Bagaimanapun juga dia itu suami Marini, ayahnya Ramon. Dia juga harus diajak berembug tentang masa depan Ramon selanjutnya," jelas Irwan. "Memang dia peduli? Kepala laki-laki itu i
Baca selengkapnya
Bab 5
Harta kalau didapatkan dari cara yang curang, maka tidak akan berkah dan justru jadi masalah. Ini juga yang dialami Hadi dan Alina. Setelah melewati debat panjang, akhirnya Irwan bersedia mengganti uang Hadi yang digunakan untuk merenovasi rumah Marini. Uang 50jt yang diberi oleh Irwan, digunakan Alina untuk bersenang-senang. Shoping-shoping, perawatan dan berbagai hal unfaedah. Uang sebanyak itu akhirnya menguap begitu saja, tanpa rupa. "Mas, bagi duit dong! Aku mau luluran ke salon," rengek Alina pada suaminya. "Uang? Kamu yang bener dong, sayang. Baru kemarin gaji Mas sudah kamu ambil semua, hanya menyisakan uang bensin. Kok sekarang minta lagi? Ini baru tanggal 15, lho. Emang kamu pakai buat apa saja uang sebanyak itu?" tanya Hadi jengkel. Meski begitu suaranya tetap lembut, dia sama sekali tak berani membentak Alina. Walaupun istrinya ini melakukan kesalahan. Bibir Alina langsung mengurucut mendengar ucapan suaminya. "Ya buat macem-macem, Mas. Namanya juga orang hidup, masih
Baca selengkapnya
Bab 6
Hadi terpaku di tempatnya, demi melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Ramon, putra semata wayangnya dari Marini. Dia tumbuh menjadi pemuda tampan berbadan atletis. Sosok yang sudah lama dia rindukan, tapi ego dan istrinya menghalangi untuk bertemu. Sebenarnya Hadi ingin sekali memeluk Ramon, tapi tapi tangannya tiba-tiba kaku dan sulit digerakkan. "Ayah." Susah payah Ramon menyebut nama, yang bertahun-tahun tak pernah terucap dari bibirnya. Atas desakan Lilik, akhirnya Ramon bersedia menemui ayahnya. Mengabari dan memintanya hadir dalam acara wisuda Ramon, yang kurang beberapa hari lagi. "Sebesar apapun kesalahannya, dia tetap ayah kandungmu. Orang yang mengukir jiwa ragamu, darahnya mengalir dalam tubuhmu. Sekuat apapun kamu menolak, kenyataan itu tidak bisa dipungkiri. Mau sampai kapan kamu menyimpan kebencian ini? Sampai ayahmu mati? Kalau sampai itu terjadi, kamu akan menyesal sepanjang umurmu," nasehat Lilik beberapa hari yang lalu. "Percayalah, meski terlihat tidak perd
Baca selengkapnya
Bab 7
"Kita periksa ke dokter aja, Ma. Makin hari badanmu makin kurus, takutnya ada penyakit serius," ucap Hadi mengkhawatirkan keadaan istrinya. Beberapa bulan terakhir ini, Alina mengeluh mudah lelah, berat badannya menurun drastis. Tapi tiap diajak periksa ke dokter dia selalu menolak dengan alasan yang tidak jelas. "Nggak pa-pa, Pa. Aku hanya kecapekan aja. Dipakai tidur juga baikan," tolak Alina. "Tapi kamu makin kurus, lho.""Namanya juga banyak kerjaan, banyak pikiran, ya wajar kalau aku makin kurus. Lagipula selera makanku akhir-akhir ini menurun, mungkin itu penyebabnya." Hadi hanya bisa menghela nafas mendengar ucapan istrinya. Rasa bersalah semakin menyesakkan dada. Sebagai suami dia merasa gagal, tak mampu membahagiakan istrinya. Sejak dia pensiun, Alina terpaksa banting tulang buka jasa laundry. Uang pensiun Hadi tak mencukupi kebutuhan mereka, karena masih punya cicilan di bank. Sewaktu Hadi masih menjabat kepala dinas, gaya hidup Alina bisa dibilang hedon. Semua yang mele
Baca selengkapnya
Bab 8
Hadi menatap pilu Alina yang tergolek lemah di ranjang perawatan. Tubuhnya nampak kurus dan pucat. Wanita itu tak pernah mengeluh, meski lelah bekerja, meski penyakit menggroti tubuhnya. Alina banyak berubah, sejak kehidupan mereka mengalami penurunan. Rasa bersalah semakin menyiksa Hadi, melihat keadaan Alina yang menyedihkan macam itu. Tak ada lagi wanita modis dengan barang brandednya, tak ada lagi sikap angkuh dan tatapan merendahkan. Semua seolah hilang tak bersisa, bahkan wajah cantik Alina sekarang terlihat seperti tengkorak hidup. Hadi menyeret kursi plastik ke sisi kanan ranjang, lalu mendudukinya. Dipandanginya wajah pucat istrinya yang terlelap itu. Membuat percakapannya dengan dokter tadi kembali terngiang. "Setelah operasi, apa istri saya bisa sembuh, dokter?" tanya Hadi pelan. "Peluangnya fifty-fifty, Pak. Berdoa saja, semoga Tuhan memberikan kesembuhan pada Ibu," ucap Dokter itu bijak. Bayangan tentang rangkaian pengobatan yang akan menguras tenaga dan menghabiskan
Baca selengkapnya
Bab 9
"Kamu ingin bertemu Ramon? Untuk apa?" Masih teringat jelas dalam ingatan Hadi, bagaimana ketusnya Alina saat Ramon datang dulu. Kenapa tiba-tiba sekarang ingin bertemu? Memang Ramonnya mau? Mengingat hubungan mereka tak pernah akur sejak dulu. "Aku ingin minta maaf," lirih Alina. Hadi mengangguk pelan, tanpa berani menatap Alina. "Tolong temui Ramon secepatnya, aku takut umurku nggak sampai." Lagi-lagi Hadi hanya bisa mengangguk lemah. Menemui Ramon? Dia juga sebenarnya ingin sekali bertemu dengan anak sulungnya itu, memeluk dan mendekapnya menuntaskan segala rindu yang lama terpendam. Tapi dengan keadaan yang sekarang, jujur dia merasa malu. Apalagi selama dua puluh tahun mereka putus komunikasi, Hadi melalaikan kewajibannya terhadap Ramon. Belum lagi pertemuan terakhir mereka juga tak berakhir baik. Apa Ramon sudi menemuinya? Pikiran-pikiran itu kini memenuhi kepala Hadi. "Pa! Kenapa diam saja?" tanya Alina sambil memegang lengan Hadi. "Hah! Nggak pa-pa. Aku menemui dokter dul
Baca selengkapnya
Bab 10
"Mas Hadi? Ini beneran, Mas Hadi?" Lilik menatap tak percaya laki-laki renta yang ada di depannya. Sisa kegagahan dan ketampanannya seolah tak bersisa. Tak ada tatapan angkuh yang dulu selalu dia tunjukkan. Yang ada hanya wajah tua yang nampak lelah, dengan tatapan melasnya."Iya, Lik. Ini aku," lirih Hadi. "Ma, kakek itu siapa?" bisik Sesil penasaran. "Pak De Hadi, ayahnya Kak Ramon." Sesil hanya ber "Oh" ria. Dia memang pernah mendengar cerita tentang Hadi, tapi baru kali bertemu. "Sudah, kamu taruh nampannya di meja! Terus masuk sana!" perintah Lilik dengan suara pelan. Hadi jauh-jauh datang, setelah dua puluh tahun berlalu, pasti ada hal penting yang ingin dibicarakan. Dan Lilik tidak mau Sesil tahu, ini urusan orang dewasa. Sesil segera melakukan perintah ibunya, tanpa banyak bertanya. "Monggo diunjuk minumannya, Mas," ucap Lilik sambil duduk di kursi tepat di seberang Hadi. Lilik tersenyum getir, melihat Hadi menenggak minuman dalam gelas hingga tandas. Tanpa dijelaskan, L
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status