Bab 18. Cemburu Mulai Membakar Deva
“Hem, ada yang lepas kangen sepertinya?” Deva tiba-tiba datang mengagetkan keduanya.
“Pak Deva!” Fajar sontak menunduk.
“Maaf, Mas! Kami bukan lepas kangen. Aku hanya sedang berbicara dengan dia. Aku meminta tolong pada tukang kebun Mas ini agar jangan pernah membujuk-bujuk anakku. Sok baik dan perhatian yang dia tunjukkan saat ini sudah basi! Jangan coba-coba meracuni pikiran Rena! Aku tidak suka dia dekat-dekat dengan anakku!” ketus Alisya kemudian berlalu.
Sebenarnya ada was-was yang menyeruak di hati wanita itu. Ketakutan menyergap. Alisya takut Fajar mengambil Rena dari sisinya. Dan ini semua, Devalah penyebabnya. Andai saja Deva tak menampung mantan suaminya itu, tentu tak akan ada kesempatan Fajar mendekati Rena.
<
Bab 19. Deva Mengusir Keluarga Mantan Suami Alisya“Engga mau Ma! Rena mau sama Papa Fajar aja! Rena enggak mau sama Mama! Mama enggak sayang lagi sama Rena! Mama cuma sayang sama Kak Tasya dan Adek Dante saja! Papa Deva juga enggak pernah sayangi Rena …! Papa Fajar … Rena enggak mau pulang!” Rena memeluk erat leher Fajar.“Rena … kamu?”Bagai disambar petir, Alisya tersengat. Apa yang dia khawatirkan telah menjadi kenyataan. Rena memilih ikut papa kandungnya. Masihkan Deva tak paham akan kesalahannya?“Mas …?” lirihnya menoleh kepada Deva.“Bagaimana ceritanya, kenapa bisa Rena balik ke sini?” sergah Deva menatap tajam tepat di bola mata Fajar.
Bab 20. Sonya Memasang Perangkap Baru “Tolong kosongkan tempat ini! Kalian berdua aku pecat!” tegas Deva lalu berbalik pergi dengan langkah panjang! “Mas Deva! Kok, dipecat? Mas!” Intan berusaha menjejeri langkah Deva. “Deva, ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan! Ini masalah pribadi, kenapa kau kaitkan dengan pekerjaan, ha!” teriak Fajar tak lagi memnaggil Deva dengan sebutan ‘Pak’. Deva menghentikan langkah dan langsung berbalik. “Yayasan Pendidikan ini milikku! Suka –sukaku memecatmu kapanpun aku mau, paham! Lagi pula, apa kau tak berpikir, siapa yang mau menerima seorang mantan narapidana sepertimu bekerja di tempat terhormat seperti ini, meskipun hanya sebagai tukan kebun, hah! Pakai otakmu!” sergah Deva seraya menunjuk tepat ke arah Fajar. “Mas, ini cuma masalah sepele. Hanya karena Rena mau nginap di sini, Mas sedemikian marahnya. Apakah salah jika seorang anak sesekali nginap di rumah ayah kandungnya? Enggak, kan, Mas?” sergah Intan dengan wajah memelas. “Sepele? k
Bab 21. Menjadi Supir Pribadi Seorang Wanita Kesepian“Saling mengobati?” sergah Fajar terperangah.“Eem, anu. Saya itu sebenarnya eeeh, gimana ya, bilangnya. Eeem … saya itu sebenarnya sangat sakit hati sama Alisya. Dia merebut Mas Deva dan Tasya dari saya. Coba Mas Fajar liat gimana perjuangan saya untuk bisa bertemu dengan Tasya putri saya. Harus sembunyi-sembunyi seperti ini saat dia di sekolahan,” tutur Sonya dengan ekspresi paling sedih.Fajar mulai terenyuh.“Saya tahu, Mas Fajar juga pasti sakit hati sama Mas Deva karena telah merebut Alisya dan Rena dari Mas fajar, iyakan?” lanjut Sonya memancing sasaran.Fajar tak menyahut, meski dalam hati mengiyakan.“Mas, saya sedih banget. Tapi setelah Mas Fajar juga ngalamin apa yang saya alami, saya merasa lebih sedikit bersemangat. Merasa ada teman senasip, seperti itu. Mas Fajar mau, ya, kerja jadi supir mama saya, biar kita bisa lebih dekat, dan saya merasa punya teman, sesekali pengen curhat sama Mas Fajar juga. Mau, ya, Mas?!”
Bab 22. Sengatan Listrik di Tubuh Mawar“Saya yang minta maaf, Bu,” sahut Fajar buru-buru meraih selimut dan menutupi tubuh sang majikan.“Terima kasih,” ucap Mawar pelan sambil memejamkan mata.Wanita itu masih merasa pening yang amat sangat. Pening bukan pening biasa. Tapi pening karena menahan hasrat yang bertahun-tahun tak pernah tersalur. Andai tak dirangsang, mungkin dia bisa saja menahan. Tetapi nyatanya bukan seperti itu. Rahman selalu mengobarkan api asmara di tubuhnya. Namun tak pernah bertanggung jawab sampai akhir.Pria yang sudah menikahinya sejak dua tahun yang lalu itu selalu duluan, menyudahi tanpa mendinginkan. Ibarat menahan larva panas yang sedang mencari saluran. Kawah itu menggelegak di dalam, tetapi lahar tak pernah bisa dia muntahkan.“Saya keluar dulu, Bu. Kalau ada apa-apa pangggil saja saya!” pamit Fajar, menatap wajah Mawar yang terlihat masih meringis.“Terima kasih, Fajar!” ucap Mawar membuka kelopak mata. Wanita itu tak sadar kembali melirik ke bagi
Bab 23. Ketegasan Alisya Membuat Alina Ternganga“Tidak Fajar! Tolong jangan pergi! Aku mohon!” lirih suara wanita itu memohon. Sepasang tangannya melingkar di leher, tubuh padat yang hanya berbalut lingrey menempel erat di punggung Fajar.“Maaf, Bu. Ini tidak benar! Anda majikan saya.” Fajar tetap berusaha menguasai diri.“Tidak penting kamu siapa, Fajar! Asala kamu tahu, pening yang saya derita itu karena suami saya. Dia selalu menyiksa saya. Hampir setiap malam dia meminta saya melayaninya di atas raanjang, namun dia tak pernah peduli dengan saya,” tangis Mawar pecah seketika. Wanita itu menempelkan wajahnya di bahu Fajar. Air mata mengalir deras membasahi baju kaos yang menepel di tubuh sang supir.“Jangan menangis, Bu!” Fajar melepas rangkulan tanagn wanita itu di lehernya, lalu berbalik menghadap tepat ke wanita itu.“Aku sangat menderita Fajar. Mas Rahman tak pernah pedulikan aku,” isak wanita itu kian menjadi.“Maksud Ibu bagaimana? Saya lihat Bapak sangat menyayangi Ibu. Dia
Bab 24. Bom Waktu Di hati Anak- anak.“Sepertinya kali ini dia ingin melakukan yang lebih! Dia ingin telanjang langsung di depan mata suami saya!”“Tutup mulutmu, Alisya!” Alina meradang. Sementara Sonya hanya mencebik, menatap Alisya dengan sorot amarah penuh dendam.“Deva, lihat istrimu! Lihat perempuan yang selalu kau banga-banggakan ini! Dia ngelawan mamamu di depan hidungmu, tapi kau diam saja?!” Perempuan enam puluh tahunan itu menunjuk lurus wajah putra kesayangan.“Keputusan Mama juga aneh, kenapa tiba-tiba Mama menempatkan Sonya sebagai sekretaris di kantor ini? Harusnya Mama membicarakan hal ini terlebih dahulu denganku, bukan tiba-tiba memutuskan seperti itu!” tukas Deva datar.“Kau? Kau juga nyalahin mama?”“Bukan nyalahin, Ma! Tapi, apakah Mama tidak sadar, kalau Mama itu ….”“Cukup, Deva! Terserah kau setuju atau tidak! Sonya akan tetap bekerja di sini! Dia punya hak di perusahaan ini!”“Terserah Mama!”“Dan kau Alisya! Kau boleh memilih! Jika kau merasa tidak nyaman
Bab 25. Usaha Sonya dan Alisya Zonk!“Anak-anak itu seperti menyimpan bom waktu saja kurasakan, Mas. Aku begitu was-was, sepertinya waktu ledaknya sudah semakin dekat. Aku sangat takut,” lirih Alisya semakin sedih.“Kamu terlalu berlebihan, Sayang! Itu perasaan kamu saja. Sudah, sini, kamu tenang, ya! Tidak akan terjadi apa-apa!” Deva meraih tubuh istrinya, membawanya ke dalam dekapan, mencoba memberinya ketenangan.“Aku merasa anak-anak semakin menjauhi aku, Mas. Aku berpikir, apakah ini karena aku terlalu sibuk di kantor, sehingga mereka merasa diabaikan, lalu mereka memilih menjauh? Aku jadi terpikir untuk mengikuti saran, Mama. Aku akan resign saja.”“Begitu? Aku tidak akan menghalangi apapun keputusan kamu, Sayang. Jika memang dengan resign, kamu akan kembali dekat dengan anak-anak, aku akan mendukung. Bagaimana baiknya menurut kamu saja.”“Tapi, aku ragu bila aku resign, Mas. Apalagi setelah ada Sonya di sana.”“Sonya, hahahahaha ….” Deva terkekeh pelan.“Kenapa Mas tertawa?”
Bab 26. Kesepakatan Para Mantan“Mas Fajar! Tunggu!” panggil Sonya saat Fajar mulai menyalakan mesin mobil.“Mbak Sonya? Maaf, ada apa?” Fajar kembali mematikan mesin mobil.“Mama saya enggak keluar lagi, bukan? Mas Fajar sudah selesai tugas?”“Sudah, ini mau pulang. Kata Bu Mawar, saya boleh bawa pulang mobilnya, karena besok pagi-pagi sekali saya harus kembali ke sini, Bu Mawar minta diantar entah ke mana saya belum tahu, tapi kata beliau saya harus cepat datang. Ada apa, ya, Mbak?”“Saya mau bicara sama Mas Fajar, kalau Mas enggak capek, kita ngobrol sebentar sambil ngopi di cafe, gitu?”“Sepertinya serius?”“Ya, ini penting banget buat saya.”“Baik kalau begitu, silahkan masuk, nanti saya antar pulang lagi, buat apa bawa mobil dua, benar bukan?”“Ya.”Sonya membukan pintu mobil, lalu duduk di samping Fajar. Perlahan mobil berjalan, membelah malam yang kian merambat. Sebuah café langganan Sonya menjadi tujuan. Sonya memesan meja khusus saat masih dalam perjalanan. Meja yang selalu