"Maaf Kartika. Aku minta maaf, memang itu adanya. Pilihan ada di tangan kamu. Aku ikut apapun keputusannya," ucap Mas Faiz dengan menggenggam kedua tangan ini. Matanya yang sendu menatapku, seolah ada penyesalan tergambar disana.
Aku tepis tangannya dan segera berdiri dan mengambil tasku. Pilihan macam apa itu? Dimadu atau bercerai.
Seakan-akan keputusan ada di tanganku. Terasa aku seperti masuk perangkap, sehingga harus bilang iya dengan apa yang mereka mau.
Enak saja!
Setelah pernikahan kami yang sudah tiga tahun seperti tidak berbekas. Apalagi melihat tatapan matanya.
Huuff ....
Dia seakan memposisikan dirinya adalah korban, dan seakan hidupnya ada ditanganku. Pura-pura tidak mau, padahal dia bisa menolak keputusan orang tuanya.
Kalau dia mau."Kartika! Jangan pergi!" teriaknya dengan tangan direntangkan ingin menggapaiku. Berkelit aku dari tangannya. Beberapa tamu di restoran ini menoleh ke arah kami karena keributan ini.
Aku segera berlari meninggalkannya dan sesekali menoleh ke belakang.Bruk!"Maafkan saya!" ucapku menundukkan badan setelah menabrak seorang lelaki, dan langsung berlari tanpa melihatnya lagi.
Setiba di tempat parkir, aku menoleh ke belakang berharap Mas Faiz akan mengejarku. Tidak ada sosoknya, apalagi bayangannya.
Bukankah kalau mau dia bisa mengejarku?Hatiku terasa sakit.
Merasa tidak dibutuhkan dan terbuang.Aku kira dia mengajakku makan di luar karena dia sudah sadar bahwa akulah satu-satunya orang yang di cintainya.Ternyata tidak!
Sikapnya yang tidak tegas membuatku memilih mundur dan di sinilah aku sekarang, ditengah-tengah hamparan tomat.
***
"Kartika! Sudah selesai ditimbang?!" teriak Bulik Surti.
Dia adalah adik ibuku yang di kampung sebagai pengumpul hasil bumi. Ada beberapa pengepul di kampungku, tetapi buliklah yang paling ramai. Selain orangnya ramah, dia juga tidak menekan harga rendah ke petani.
"Aku ambil secukupnya. Yang penting masih ada untung, walaupun sedikit." Itu yang selalu dikatakan.
Tidak jarang pengepul lainnya meneror Bulik Surti karena tidak mau menurut dengan mereka yang mematok harga rendah ke petani.Statusnya yang seorang janda, sering kali menjadi bahan gunjingan mereka untuk mengadu domba petani dengan para istrinya.
Mereka tega menyebar gosip kalau petani setor ke bulik karena dia janda genit. Bahkan, ada juga seorang istri yang datang melabrak. Walaupun berakhir dia minta maaf dan pulang dengan membawa bekal dari bulik.
Bulik Surti memang orang yang baik.
"Kartika, kalau nimbang sambil melamun kapan selesainya? Capek?" kata Bulik sambil tersenyum. Dia langsung mengangkat keranjang tomat untuk di timbang.
Di usianya yang sudah kepala empat, dia masih terlihat cantik, segar dan kuat. Entah kenapa setelah meninggalnya Paklik Yanto, dia tidak mau menikah lagi.
"Juragan Surti! Biar Mang Diman yang angkat!" teriak Mang Diman yang baru memarkir mobil bak.
Juragan Surti, itu panggilan orang kampung di sini.Tergopoh dia menghampiri kami untuk membantu menimbang keranjang-keranjang tomat ini. Dia Mang Diman, sopir termasuk tenaga serabutan yang bekerja di Bulik Surti.
"Harga tomat sekarang anjlok ya, Bulik. Aku sampai tidak tega dengan petani yang setor," ucapku mengingat kejadian tadi pagi.
Petani berbondong-bondong memikul tomat dan pulang hanya membawa uang tidak seberapa.
Sudah satu minggu aku membantu Bulik Surti. Itupun atas paksaan ibu karena kawatir keadaanku yang selalu murung memikirkan nasib yang tidak jelas ini.Benar kata ibu, membantu disini membuatku lebih bersemangat. Pikiranku tidak terpusat lagi dengan Mas Faiz yang sudah mencampakkanku.
"Yah begitulah. Harga hasil pertanian akan anjlok ketika musim panen," kata Bulik.
"Tetapi, tidak segitunya. Satu kilo dua ribu tiga ratus. Parkir saja dua ribu. Apa tidak bisa dinaikkan atau digenapkan, gitu?"
"Itu sudah harga mentok, Tik. Harga di sini sudah paling tinggi. Aku ngikuti harga tengkulak yang ngambil ke sini," terangnya.
Kasihan sekali petani, harga segitu bisa untuk apa? Mereka serba salah, dijual harganya rendah, kalau tidak di jual barangnya busuk. Sedangkan kebutuhan sehari-hari mereka tidak bisa menunggu lama.
Kampung kami dianugerahi tanah yang subur. Tomat, cabai dan sayur-sayuran adalah andalan petani di sini.Sayang sekali, kesuburan tanah di sini tidak membuat petani subur secara ekonomi. Harga hasil pertanian yang rendah ketika musim panen mengakibatkan kondisi ekonomi mereka tidak berkembang.
"Harga segitu saja, aku sering diteror dengan tengkulak lainnya. Sering kali mereka memanfaatkan status jandaku ini, mereka membuat gosip-gosip tidak jelas! Kamu juga harus hati-hati. Apalagi kamu janda, masih muda, cantik lagi," ucapnya dengan menepuk bahuku.
Aku tersenyum kecut, mengingat nasibku yang sekarang, ini. Diumur dua puluh lima tahun, sudah menjanda.
"Bulik, lebih baik seperti sekarang ini. Dari pada punya suami tetapi batin tersiksa!" ucapku sambil meringis.
Pondok ini terletak di pinggir desa, dekat dengan lahan pertanian. Ada bangunan permanen yang digunakan untuk kantor kecil Bulik Surti dan didepannya bangunan gudang untuk menerima setoran para petani.
Ketika kami asik berbincang datang mobil jeep warna merah masuk ke halaman pondok. Setahuku, itu mobil buatan luar negeri yang harganya selangit. Aku tahu karena Mas Faiz pernah menginginkannya.
Kami menoleh bersamaan melihat mobil itu yang terasa asing buat kami.Keluar seorang pemuda berkaos putih, celana jeans hitam ada sobek dilutus sedikit dan menggunakan kaca mata hitam. Badannya yang tinggi dan terbalut baju yang bersih membuatnya kelihatan kontras dengan keadaan di desa ini.
Apalagi kulitnya yang terlihat putih bersih, jauh dari sebutan orang desa.
Siapa dia?
*****
"Terima kasih, Sayang. Aku bahagia sekali!" ucapnya dengan menciumku bertubi-tubi. Di meja terlihat kotak yang terbuka dengan stik di tengahnya dengan garis dua berwarna merah di layarnya. Alhamdulillah. * "Kamu bahagia, kan?" tanyanya kembali. Kami sudah tidak duduk berhadapan lagi, kursi dia ganti dengan sofa panjang menghadap pemandangan alam dari lantai dua sambil menunggu pesanan makanan datang. Kami duduk berdampingan dengan tangannya merangkul pundakku. Proteksinya naik satu tingkat, makanan semua atas pesanan Mas Ilham, yang sebelumnya dipastikan di internet bahwa aman untuk ibu hamil. Termasuk minuman yang aku minum. "Lebih dari bahagia, Mas. Hatiku lega sekarang. Selama ini, terus terang aku tertekan," ucapku dengan menurunkan badan sedikit dan menyandarkan kepala di bahunya. "Yang paling lega itu aku." "Kenapa?" "Karena, mereka serius latihan berenangnya. Ini buktinya!" selorohnya sambil tertawa. Aku tersenyum mengingat bagaimana usaha kami untuk tujuan ini. Set
Mas Ilham memandang Pak Lurah, kemudian berganti memandangku. Dibukanya amplop tersebut dan dibaca kertas yang ada di dalamnya. Senyumnya seketika mengembang dan menatapku seperti tak percaya."Iya kalian mendapatkan penghargaan sebagai pemuda yang menginspirasi di tahun ini. Minggu depan, kita bersama-sama ke Pusat!" ucap Pak LurahTernyata kiprah kami terdengar sampai pusat, dan itu kebanggaan tersendiri untuk kami."Baiklah, Pakde Lurah. Kami permisi dulu," permisi kami sebelum meninggalkan Balai Desa.***"Mas Ilham, aku ke cafe yang kita pernah ke sana. Yang ada pisang krispynya," ucapku sambil menggelendot manja di lengannya. Hari ini hari minggu, jadi hanya ada kami berdua di sini. Waktunya, aku bermanja tanpa takut terpergok seseorang."O, yang di cafe itu. Kenapa? Mau napak tilas?" ucapnya berpaling ke arahku dan mencium sekilas pipi ini."Pingin pacaran.""Lho, ini sekarang sudah pacaran. Kurang mesra apa? Minta lebih?" ucapnya merengkuh tubuhku sambil menatapku dengan mata
Hari itu merupakan langkah awal, desa kami untuk berubah. Agrowisata Tomat sudah di buka, dan usaha kami mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Dinas Pertanian dan Dinas Pariwisata datang menjadi saksi lahirnya pembaharuan ini. Semua berjalan lancar.Mas Ilham mendatangkan media cetak dan itu sangat tepat untuk promosi.Hanya hitungan minggu, Agrowisata Tomat ramai pengunjung. Kamipun sibuk memaksimalkan fasilitas yang ada. Memperbaiki beberapa sistem yang kurang.Mas Ilham berusaha merinovasi terus menerus sampai mereka pengelola dari desa bisa mandiri. Usaha ini buka tidak ada halangan. Pernah beberapa pengepul tomat datang untuk menyampaikan inspirasi. Mereka kawatir tidak akan mendapatkan tomat lagi dari petani. Pak Lurah dan Mas Ilham langsung turun tangan. Mas Ilham memberikan skema pemasaran tomat, mereka diajari untuk mengembangkan bisnis mereka. Sehingga tidak terjebak dengan usaha yang tanpa pengembangan.Para pengepul akhirnya kembali dengan rasa puas. Dari kejadian ini,
Kami memarkir motor di halaman dan langsung menghampiri Ibu di teras rumah yang tersenyum-senyum."Assalamualaikum, Bu!" ucap Mas Ilham dan mencium tangan Ibu. Tangannya langsung ditariknya ke dalam. Mereka meninggalkanku sendiri di teras, huh! Benar-benar mengesalkan."Nak Ilham pasti lapar, kan. Sudah saya siapkan soto daging. Makan sekarang?" "Sebentar saya ke kamar mandi dulu, Bu. Capek keliling desa!" ucap Mas Ilham dengan tersenyum, dia langsung bergegas pergi. "Tika! Suamimu itu diurus yang benar. Tadi pagi kamu kasih sarapan tidak? Sekarang kalian tinggal berdua saja, kamu jangan semena-mena pada suami. Diperhatikan kebutuhannya. Dulu di rumah Bu Aisyah, Mamanya yang memperhatikan. Sekarang dia tanggung jawabmu!" kata-kata Ibu mulai berentetan panjang sekali. "Sudah, Bu. Tadi pagi kami sarapan roti. Ibu tidak usah kawatir," ucap Mas Ilham setelah keluar dari kamar mandi. "Apa?! Cuma roti? Mana bisa untuk menambah stamina? Sudah sekarang kalian makan!" teriak Ibu. Aku dan
"Terima kasih atas kunjungannya ke Agrowisata Tomat di Desa Panggah Mulyo. Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi, kalau ada umur yang panjang, boleh berjumpa di Agrowisata Tomat ini."Lela menutup simulasi pemandu wisata untuk pembukaan hari besuk. Disambut tepuk tangan Pak Lurah beserta perangkat desa.Walaupun sebagai sekretaris pengelola, dia juga ikut andil di lapangan. Mas Ilham menunjuknya sebagai pelatih dan mengawasi para pemandu. Ternyata kecerewetannya sangat berguna di program ini. Itulah kelebihan Mas Ilham, mengatur dan menempatkan orang sesuai kemampuan dan kemauan seseorang.Semua warga di sini bersiap menyambut hari besuk. Semua ketua RW dan RT mengatur warganya untuk berbenah bersih-bersih desa. Kelompok tani bersiap merapikan lahannya. Tumbuhan tomat dipangkas daun-daun kering dan dahan yang mengganggu. Para pemuda juga sibuk di pos yang sudah di tentukan. Para pelaku UMKM sibuk merapikan lapak dan produknya. Semua satu kampung sibuk, apalagi Pak Lu
“Apa enaknya, tidak ada acara belah duren!" Celetukan itu yang membuat Pak Bambang kehilangan satu gigi depannya. Kejadian itu sempat membuat desa heboh, banyak yang menuding Pak Bambang keterlaluan walaupun di belakang tetap ada kasak kusuk membenarkan perkataannya. Termasuk aku sendiri."Mas Ilham, benar yang diucapkan dia. Seumur hidup kamu tidak mempunyai momen itu. Aku iklas, kalau kamu ingin menikah lagi," ucapku yang memang tidak mungkin memberikan dia sesuatu itu."Gila, kamu! Kau pikir aku kambing, yang asal kawin untuk darah perawan yang hanya sesaat itu!" teriak Mas Ilham."Mas Ilham, aku hanya tidak ingin kamu menyesal. Kenapa kamu marah? Kau pikir aku senang dengan menawarkan ide ini?!" "Dasar istri bodoh! Sini istri bodohku yang membuatku jadi orang bodoh juga," ucapnya merengkuh tubuh ini."Kok kamu ikutan bodoh?""Iya iya, lah. Ganteng gini dapet janda," ucapnya sambil berkelit dari cubitanku."Kartika, menikah itu bukan beralasan janda, perjaka ataupun perawan. Teta