Drrrt ... drrrt ... drrrt ... Ponselku berbunyi lagi, video call.Mas Ilham lagi.Orang ini selalu mengganggu saja. Kalau tidak aku angkat, pasti akan menerorku sampai pagi. Aku harus pura-pura tadi sudah tertidur, supaya dia tidak terlalu lama.Segera aku bergegas ke kamar, masuk ke selimut, lampu aku matikan dan tertinggal lampu tidur yang temaram. Tak lupa, rambutku aku urai dan acak sedikit. Pura-pura bangun tidur.Ok, siap.Aku pencet tombol OK. "Halo, ada apa, Mas. Aku sudah tidur," ucapku pelan dengan pasang wajah mengantuk dan suara malas.Di layar ponsel, dia masih terlihat segar. Berkaos tanpa kerah berwarna putih dengan rambutnya terlihat basah. Apa dia cuci rambut di malam seperti ini? Habis ngapain?"Sudah tidur? Maaf, ya. Kamu sih, tidak jawab pesan saya," ucapnya dengan tersenyum lebar menunjukkan lesung pipitnya."Maaf, aku tadi tidur.""Aku saja baru selesai kerja. Itu masih berantakan!" ucapnya tanpa menanggapi ucapanku. Kemudian dia mengarahkan ponselnya ke seluru
Masih pukul setengah enam, terlalu pagi untuk bersiap. Aku orangnya simple, yang penting bersih, rapi dan tidak bau, ditambah riasan tipis saja. Mungkin karena itu, aku kelihatan lebih muda daripada wanita lain yang seumurku.Aku langsung beranjak menuju kamar, sebelum Ibu mengomel karena tidak menurut kata-katanya. "Assalamualaikum."Langkahku terhenti dan melihat ke arah pintu. "Mas Ilham! Kenapa pagi-pagi sudah di sini? Ini masih terlalu pagi!" teriakku kaget.Aku membukakan pintu untuknya. Pintu kami ada dua rangkap. Pintu kayu yang selalu kami buka dan pintu dalam yang hanya setinggi satu meter dari bawah.Dia begitu rapi, kemeja panjang warna biru tua dan rambut klimis disisir rapi ke belakang. Dahinya yang putih bersih terpampang di sana, kontras dengan baju yang dia pakai."Sengaja aku ke sini pagi-pagi, mau bantuin kamu paking saus," ucapnya sambil melangkah masuk. Bau segarnya tercium sekilas, terasa menenangkan. Padahal, aku orang yang paling tidak suka bau parfum. Tetap
"Personal Branding itu proses pemasaran melalui membangun citra dari kita sendiri. Contohnya seperti mas yang di ujung itu, menjadi sebutan Mas Keripik. Atau, Mbak Kartika menjadi Mbak Tomat eh, Mbak Saus Tomat!" ucapnya dan disambut tertawa dengan semua peserta yang spontan menoleh ke arahku.Ish, bikin malu saja!Pertemuan di Balai Desa berakhir sampai pukul tiga. Setelah terjeda waktu salat kemudian dilanjutkan tanya jawab dan diakhiri makan siang."Tika, tolong saya ambilkan soto. Tidak pakai seledri, ya," kata Mas Ilham yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Tanpa menunggu jawabab, dia menyodorkan piring yang hanya berisi nasi putih dan mangkuk kecil kosong. Tidak memberiku kesempatan berkata tidak. Memang brondong satu ini ahli kalau memaksa orang.Aku ambilkan suwiran ayam, tauge, potongan telur rebus dan keripik kentang dan disiram kuah."Terima kasih, ya. Sudah memakai syalnya. Kelihatan cantik," bisiknya ketika aku menyerahkan makanannya. "Mas Ilham, jangan aneh-aneh.
“Beri kami waktu lagi, Ma. Kami akan lebih berusaha,” ucapku sambil menatap Mas Faiz. Berharap dia menguatkan apa yang aku katakan.Alih-alih mengucapkan kata-kata, dia justru mengalihkan pandangan ke arah lain. Seakan menunjukkan kalau dia juga menyerah.“Mungkin ini takdir yang menempatkan kita harus mengambil keputusan yang kadang tidak sesuai harapan. Mama harap kamu mengerti posisi Mama dan memaklumi keputusan yang akan diambil.”Mata ini menatap mertuaku dengan tidak mengerti ujung dari ucapannya. Dia tidak melanjutkan ucapan, justru menekan dada yang terlihat kesulitan bernapas.“Mama istirahat saja, ya.”Aku menatap mereka dengan perasaan tidak percaya. Sadar akan apa yang dimaksud, setelah mencoba mencerna kata-katanya. Pengabdianku sebagai istri dan menantu seakan menguap begitu saja. Harga seorang wanita dimata mereka hanya sekedar pencetak anak, bukan seorang teman hidup.Suamiku yang sebagai sandaranku pun tidak disampingku lagi. Tanpa ada sepatah katapun untuk mempertaha
Dengan mata masih sembab, aku menghampiri ibu yang sedang memasak. Aku memeluknya dari belakang, hangat badannya membuatku nyaman. Teringat aku saat kecil, aku dan Mas Firman berebut untuk memeluk ibu. Bahagia rasanya. Hari ini, toko di marketplaceku aku off selama tiga hari. Aku akan ke percetakan merubah semua labelku, nomor telponnya aku hapus. Kejadian kemarin, membuatku berfikir bahwa kemungkinan yang tidak diharapkan bisa saja terjadi. Beberapa pesanan yang sudah masuk, bisa aku kirim dengan stok yang ada. "Ibu memasak Coto Makasar kesukaanmu. Ini bagus untuk menambah tenaga," ucap ibu sambil menaruhnya dimangkok kecil dan di tabur bawang goreng. "Ini di makan dulu. Ibu tidak mau kamu sakit! Ibu tidak sempat membuat buras, ini tadi belu lontong di tukang sayur" ucapnya ketika kami duduk di meja makan. Aroma gurihnya berpadu dengan aroma bawang goreng menguap menggodaku. Ditambah perasan jeruk nipis dan sambal. Hhmm .... Perpaduan rempah-rempah, kaldu daging dan kental
"A-aku sayang kepadamu," ucapnya dengan menggeser kursinya ke arahku.Hatiku yang sejak tadi berdebar semakin bedegup kencang. Ini anugrah atau cobaan?Cangkir Capucino yang sedari tadi aku pegang, aku letakkan di atas meja.Aku tersenyum kemudian tertawa terkekeh, bersamaan usahaku menekan desiran yang menyelusup begitu dalam. Memenangkan logika yang ada untuk menyingkirkan rasa yang mulai mencandui hati ini. Aku tidak mau terjebak dengan rasa picisan ini."Mas Ilham, sadar tidak ucapan yang baru saja. Jangan terkecoh dengan rasa sesaat. Itu hanya perasaanmu karena kebetulan sekarang hanya aku temanmu. Kita belum lama kenal, bahkan kita belum saling tahu. Iya, kan?" kataku berusaha meyakinkannya.Dia menggeleng tanpa menyurutkan tatapan yang meneduhkan ini. Aku menghela napas, berusaha menguatkan diri dan tidak terhanyut dengan romansa yang dia ciptakan."Maaf, saya wanita dewasa yang tidak mau terjebak dengan perasaan seperti itu. Atau bermain-main dengan perasaan hati seperti an
Hari mulai beranjak siang, kami meneruskan perjalanan ke percetakan. Seperti rencanaku semula, aku menghapus nomor ponselku pada label saus. Sebagai gantinya aku cantumkan alamat dan sosial media yang khusus aku buat untuk produk ini.Kami masih harus menunggu dua jam sampai label selesai dicetak. Sengaja aku belum mencetak dalam jumlah besar, masih ada yang harus aku perbaiki..Kami menunggu di tempat makan di seberang jalan percetakan."Kenapa kamu menghapus nomor telponmu? Karena mantan suami kamu menghubungimu? Bukankan lebih baik kamu ganti nomor pribadi saja? Jadi, nomor lama tetap untuk produk ini," tanya Mas Ilham."Tidak. Itu bukan alasan yang utama. Walaupun karena peristiwa kemarin yang mempercepat keputusanku," kataku. Kami berdiri antri untuk pesan makanan.Tempat makan ini seperti warteg, lauk dan sayur berjejer di estalase dan kita tinggal menunjuk apa saja yang kita mau."Aku pilihkan saja, deh," ujarnya di belakangku."Mas Ilham, aku tidak tahu selera kamu," kataku d
"Kartika .... Kartika."Suara memanggil terdengar samar. Aku buka mataku secara berlahan, wajah Mas Ilham yang tersenyum tepat di depan wajahku."Kamu tertidur," ujarnya kemudian duduk di sebelahku."Maaf," ucapku sambil duduk tegak merapikan baju dan rambutku. Tersadar, karena empuknya sofa dan dinginnya ruangan, aku sudah menyerah pada pelukan mimpi."Inilah ruang kerjaku. Aku sudah lama tidak singgah di sini!" teriaknya."Sebenarnya tidak terlalu jauh dari kampung. Kenapa sampai lama tidak singgah ke sini. Apa tidak pengaruh terhadap pekerjaan?" Aku lontarkan pertanyaanku yang sedari tadi bercokol di kepalaku "Karena aku keasikan di kampung. Nemenin kamu," jawabnya terkesan asal."Jangan ngaco, Mas. Kita baru kenal belum ada satu bulan, baru beberapa minggu. Nemenin yang lain, kalik!" ucapku sambil tertawa. Alasan yang lebih mirip dengan rayuan gombal.Dia menghela napas panjang dan menoleh ke arahku. "Aku lama di Kalimantan. Kamu cemburu?" "Tidak. Atas dasar apa aku harus cembur