Mata Una mendadak terbuka. Ia menemukan boneka sapi biru masih setia tersenyum. Cahaya putih juga mulai menyeruak lewat jendela. Sudah pagi. Ternyata sedikit kilas itu tanpa sengaja membawa Una terlelap melangkahi malam.
Una meregangkan badan. Mood bangun paginya yang kosong lantas terisi gelisah ketika kembali mengarahkan pandangannya ke boneka sapi. Wajahnya menyiratkan pertentangan hati dan otak, memperdebatkan apakah keputusannya sudah benar. Lalu Una bangun. Ia membiarkan boneka sapi tergeletak di kasur. Ketimbang terbawa lamunan, sebaiknya bergerak membuat sarapan. Una memasak, kali ini untuk dirinya sendiri. Santap paginya ditemani satu kursi kosong di meja makan. Bel berbunyi, dan entah mengapa membuat Una antusias. Una bergegas. Ia masih semringah ketika membuka pintu. Namun, senyum itu hilang kala menemukan kehadiran pria yang sama sekali tidak ia kenal. “Una Martadinata?” Pria itu menunjukkan lencana. “Ikut kami ke kantor, kami punya beberapa pertanyaan.” *** Matahari bersinar cerah membawa keceriaan bagi manusia penghuni istana keluarga Hazerstein. Setidaknya untuk Felix. Sementara sang tuan lagi-lagi harus dilanda penasaran akibat mata yang ditutup sembari didorong berjalan. “Aduh, Felix, kamu mau membawaku ke kandang buaya lagi, ya?” “Tidak, Tuan. Tenang saja.” “Terus kita mau ke mana?” Felix tak memberi jawaban. Pria mancung itu hanya tersenyum sambil terus mendorong pelan majikannya menuju aula istana. Reza yang tak tahu apa pun hanya bisa pasrah ketika Felix kemudian memintanya berhenti. Kain penutup mata Reza kemudian dibuka. Butuh beberapa detik bagi pria berwajah oval itu untuk beradaptasi dengan cahaya. Ia lantas terkesima. Tujuh orang wanita kewarganegaraan Jerman dengan berbagai tampilan berjejer tersenyum menawan. “Felix, kamu membawa aku ke kantor marketing baru, ya?” Sang pelayan hanya bisa tersenyum, kemudian melangkah mendekati para wanita cantik di depan Reza. “Bukan, Tuan. Mereka adalah para wanita yang sudah masuk daftar seleksi untuk menjadi istri Anda.” “Hah?!” Reza terbeliak. “Ayolah, Tuan Reza. Anda tentu ingat dengan tugas utama Anda, bukan? Tentang meneruskan dinasti?” Reza menggaruk belakang lehernya. “Buset, benar juga. Tapi apa benar-benar harus sekarang?” Si pelayan bermata bulat menghela napas. “Tuan, jika ini tentang istri Anda di Indonesia, sebaiknya Anda melupakannya. Sudah saatnya menempuh hidup baru.” Pil nasihat yang pahit, tapi Reza harus menelannya. Hidup terus berlanjut. Daripada bersedih, Reza memilih duduk di singgasananya, memasang senyum dan mempersilakan sang pelayan memulai acara audisi jodoh. Lima kulit putih, dua kulit gelap, ada yang pirang, ada juga yang berambut hitam terurai. Gaya mereka necis dan tampak berada. Semuanya langsing. Semuanya sama memancarkan pesona. Satu per satu wanita itu maju memperkenalkan diri dan apa keunggulan mereka. Sepanjang perkenalan, Reza manggut-manggut dengan wajah serius. Felix juga terlihat cukup percaya diri melihat tuannya bersungguh-sungguh dalam menilai calon istri. Lima belas menit, dan para wanita itu kembali ke posisi berdiri mereka. Felix mendekat, membungkuk pada sang majikan. “Bagaimana, Tuan?” Reza mengangguk, masih dengan tatapan serius. “Cukup sulit.” “Pilihannya?” “Bahasanya.” Reza melotot. “Aku gak ngerti mereka ngomong apa, Felix!” “Mereka semua bicara bahasa Jerman, Tuan.” “Ya siapa bilang itu bahasa Minang?! Sebenarnya aku malah bingung kenapa bahasa Indonesia kamu yang fasih.” “Pelayan keluarga elite global dituntut untuk menguasai delapan belas bahasa agar bisa berkomunikasi dengan keturunan atau mitra di negara lain, Tuan.” Reza lantas mendongak dan memijat kening. “Minimal terjemahkan mereka tadi ngomong apa.” Dan itulah yang Felix lakukan. Durasi acara pun bertambah panjang seiring alih bahasa dari si pria mancung. Namun, hasilnya sama. Pipi Reza tetap saja menggembung mengembuskan napas isyarat pusing memilih. “Felix, boleh kita jalan-jalan keluar?” *** Burung besi menerjang langit, menerobos awan menuju perjalanan panjang. Cuacanya bagus. Aroma makan siang ala penerbangan tak sebanding dengan masakan istana Hazerstein, tapi cukup untuk mengisi kekosongan. Giliran Felix yang menempelkan hidung mancungnya pada jendela. Ia menghela napas. Kemudian pelayan setia itu menengok pada sang majikan yang bersandar rileks di kursi sambil menikmati kunyahan makan siang. “Jalan-jalan keluar, sih, jalan-jalan keluar, Tuan. Tapi tidak sampai berangkat ke Swiss juga.” “Ya mau bagaimana lagi, Felix? Acara cari jodoh di istana juga bikin pusing. Lagian di darat, pasti satu dua orang mengenali wajahku dari berita.” Felix menghela napas lagi. “Untung saja saya sudah mengatur semuanya agar Anda bisa lolos ke penerbangan ini. Jadi, kenapa Swiss?” Tangan Reza berhenti bergerak di atas santapan. Senyumnya simpul. “Itu tempat janji cinta yang kubuat bersama Una.” “Anda mau ke sana untuk mengobati rasa rindu?” Reza menggeleng. “Cintaku sudah mencampakkanku, Felix. Seperti katamu, saatnya mulai hidup baru. Aku mau ke sana untuk membuang sisa-sisa mimpiku.” Gemuruh mesin menggema di angkasa, menjadi tunggangan sang pria patah hati. *** Ruang interogasi itu berukuran dua kali tiga meter. Pengap dan didominasi warna putih kusam. Ada tiga polisi. Una gusar. Meski begitu, Una masih bisa bersikap tenang dan menjawab berondongan pertanyaan polisi dengan lancar. Hampir 20 menit Una berurusan dengan persoalan terorisme suaminya, hingga ia puyeng. Pintu diketuk. Satu polisi lain muncul dan berbisik pada pria di meja interogasi. “Bu Una boleh pulang,” kata polisi. Ternyata bukan tanpa alasan wanita berambut pendek itu dibiarkan lolos. Ada Mario yang sudah menunggu di luar pintu ruang interogasi. Sudah jelas pria bertubuh atletis itu membayar uang jaminan agar sang kekasih bebas dari tuduhan. Keduanya terus berjalan. Wajah cemberut Una awet hingga bokong mereka menyentuh kursi mobil. Kini hanya tersisa mereka berdua, dilingkupi kesunyian suara teredam, kendaraan belum menyala. Una mendengkus. “Baru bangun dijemput polisi, ditanya soal suami yang terduga teroris, dibebaskan sama selingkuhan.” “Okay, stop it.” Mario meletakkan tangannya di setir. “Apa?” “Bisa gak, kamu berhenti panggil aku selingkuhan? Setelah apa yang aku lakukan sampai tiga menit lalu, kesannya kamu masih menganggap aku tidak berharga!” Seketika Una tertegun. Nada Mario yang tak sengaja meninggi membuat mata Una berkaca-kaca. Mario yang akhirnya merasa bersalah akhirnya mendekap kepala Una dan melayangkan ciuman di ubun-ubun. “Mario ....” Una terisak. “Apa aku membuat keputusan yang salah dengan mencampakkan Reza?” Mario terkekeh. Ia menatap ke depan, lalu menyorot mata kekasihnya. “Una, aku berani membuat janji ke kamu karena aku tahu bisa menepatinya. Tidak, keputusanmu membuang Reza tidak salah.” “Aku takut kamu hanya membual seperti laki-laki itu.” Air mata Una menitik membasahi pipi. “Baiklah kalau begitu, sebut saja kamu mau apa atau ke mana sekarang? Pasti akan kuturuti.” Mendengar itu, Una memberi tatapan penuh arti pada wajah tampan pacarnya. Mulutnya rapat sesaat, takut akan salah mengucap. Namun, mata Mario terus mendesak. “Aku mau ke Swiss.” ***Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl
Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl
Dor! Letusan senapan menggema di hutan. Disusul teriakan si pria kekar. Tangannya hancur. Darah dan serpihan kulit terciprat mengenai jaket pria sopir jip. Kapak menabrak daun kering di tanah, membuat Isabelle sadar telah lolos dari maut. “Reza?” Isabelle segera menoleh, mencari sang penyelamat hidupnya. Sayang, yang hadir di antara kabut adalah si pelayan bermata bulat. Moncong senapan laras panjang masih mengacung gagah setelah muntah. Itu senapan si penjahat. Dan sekarang Felix yang menguasainya. “Aku sudah bilang, pakai senapan itu saja biar cepat!” pekik si sopir jip pada rekannya. Pria kekar masih merangkak, menangis memegangi pergelangan tangannya yang penuh darah. “Kau yang minta supaya eksekusinya tidak menghasilkan suara, psikopat keparat!” Isabelle mengambil kesempatan itu. Ia segera berlari. Sopir jip hampir menggapainya, tapi tercegah oleh letusan kedua dari senapan. Sepuluh detik, sang putri Vanlomraat pun berhasil berdiri di sebelah si pelayan setia. “No on
Tak sampai sepuluh detik panggilan itu berlangsung. Tiba-tiba terputus. Tangan Isabelle gemetar mendengar ketidakpastian yang mendebarkan. Tekadnya membulat. Ia akan mencari orang tuanya.“Tunggu, Nyonya!” Felix mencegah, berusaha tetap tak berisik. “Ini bisa jadi jebakan.”“Tapi orang tuaku—”“Anda anggota keluarga Vanlomraat yang memilih jalan jadi seorang hacker. Anda lebih pintar dari ini.”Butuh beberapa saat, tapi akhirnya ucapan Felix masuk ke nalar sang putri Vanlomraat. Ketenangan tercapai. Isabelle meraih ponselnya kembali, lalu mulai mengutak-atik perangkat lunaknya. Layar pun menampilkan peta dengan satu titik biru.“Mereka di Belanda,” kata Isabelle. “Tapi kenapa? Sepanjang hidupku, aku gak pernah melihat mereka terlibat musuh.”“Paketnya dikirim ke sini. Satu-satunya alasan masuk akal adalah musuh sudah tahu bahwa Anda adalah istri seorang Hazerstein.”Isabelle segera mengantongi ponselnya. “Aku harus ke sana.”“Sendirian? Nyonya Isabelle, itu berbahaya! Lagi pula, saya m
“Kalau kita tidak bisa menyakiti fisiknya ....” Pria bertopeng burung hantu menegakkan badan. “.... kita renggut saja apa yang dia punya.”Semua manusia bertopeng di dalam ruangan itu diam. Mereka saling melirik, menunggu orang memberi timbal balik gagasan si pria burung hantu. Nihil. Hingga akhirnya tawa Anderson pecah di balik topeng badut birunya.“Percuma! Bawahanku sudah cerita kejadian di Zurich. Hazerstein masih punya kuasa atas semua asetnya di muka bumi ini.”“Ya, aku tahu itu,” balas pria topeng burung hantu. “Tapi aku tidak sedang bicara soal asetnya. Aku bicara soal ... sesuatu yang jauh lebih berharga baginya.”Seketika rasa geli Anderson mereda. Ia membungkuk, mengumpulkan jemarinya di hidung topeng. “Menarik. Go on.”“Kalau memang informasinya adalah ‘masih ada’ Hazerstein yang tersisa, berarti seharusnya dia sedang mencari cara membangun dinastinya kembali. Dan untuk itu ....”“Dia butuh pasangan!” sambung wanita bertopeng babi.“Tapi bagaimana kita tahu siapa yang akan
Una mengucek matanya, memastikan ulang sosok di seberang jalan. Bukan. Itu bukan Reza. Namun, teori tujuh kembaran di muka bumi tampaknya juga kurang meyakinkan. Una mulai bertanya apakah berhalusinasi atau malah melihat hantu.Satu unit taksi online pun berhenti di sana, dan Reza masuk. Tak langsung jalan. Ternyata yang ditunggu adalah dua lelaki lain, yaitu Felix serta Heru yang baru saja keluar dari pagar apartemen.Tambah geramlah Una. Si wanita rambut pendek langsung bertitah untuk mengikuti mobil target. Dituruti. Persetan dengan empat kunyuk yang kesakitan di apartemen. Maka aksi buntut membuntuti pun terjadi.Sementara di taksi online, Heru masih mencoba mencerna semuanya. Ya. Tentu saja dengan wajah yang masih datar. Di kursi belakang itu, sesi tanya jawab terjadi antara Heru si budak korporat dengan Felix si pelayan keluarga elite.“Saya berterima kasih karena Anda sudah menyelamatkan saya, Pak Nacht. Tapi ini tetap saja bikin bingung. Dari mana Pak Nacht tahu saya dalam baha
Keberuntungan masih berpihak pada Heru. Ketika merasakan ada celah, ia langsung melepas bekap si penculik. Langkah seribu. Heru tak sengaja menjatuhkan tanda pengenalnya.Penculik juga tak mau kalah. Ia mendecak jengkel sembari melangkah pelan agar tak menimbulkan kecurigaan. Kode diberikan. Satu lagi pria misterius muncul bersiap membantu menjalankan tugas.Sementara Heru terus berlari. Wajahnya masih saja datar meski sedang dilanda teror. Staf lain terheran. Kala langkah Heru sudah lolos dari pintu belakang hotel, Heru tetap enggan meminta pertolongan orang sekitar.Namun, Heru baru ingat akan satu hal. Dia punya sepeda motor. Maka dengan kalap, si pria berwajah datar berlari menuju parkiran. Satu masalah. Kuncinya tercecer di suatu tempat.“Itu dia!” seru seorang pria.Heru terlonjak. Ia mempercepat larinya. Sayang, ia lemah fisik, dan lari 50 meter sudah menguras napasnya. Bahkan dalam engah, wajah Heru masih saja datar.“Tidak usah lari, Bro!” Pria asing tertawa.“Gak kok,” jawab
Angin malam masih menguping pembicaraan dua insan di balkon itu. Tak ada kekhawatiran sebab volume suara yang tak akan menjangkau wilayah lain. Mario mengernyit. Sebuah permintaan yang tak biasa, meskipun itu cukup mudah.“Siapa lagi yang mau kamu singkirkan, Sayangku?” Mario membelai lembut pipi Una. “Bukannya sumber kesialan hidup kamu sudah tidak ada lagi?”“Aku memang sudah bebas dari Reza. Tapi aku merasa ada kutu busuk lain yang menghalangi kesenanganku, nih.”Mario mengalah. Ia pun meminta informasi tentang kutu busuk yang disebut sang pacar. Una pun tersenyum, lalu mengeluarkan smartphone-nya, memperlihatkan foto profil media sosial seorang pria berwajah datar.“Heru Kalis Novian? Ada apa dengan orang ini?”Mata Una berkedip pelan, lantas menyipit kala ingatannya mundur ke dua belas jam lalu.*** Dua belas jam sebelumnya ....“Aku pergi dulu, Una,” ucap Mario yang sudah rapi.“Tunggu, Mario!”Una melangkah cepat. Memberi satu kecupan panas pengantar kerja pada lelaki kaya yang
“Ah, si yakuza pirang!” Hangat senyum Reza disusul langkah bersiap menjabat tangan.“Tuan, mundur!” Felix mencegah sang majikan. Naluri bahayanya berfungsi melihat gelagat Bowen.Sementara sang sopir tak terlalu peduli dengan ketegangan itu dan fokus pada hidangan dalam kunyahannya. “I love Indonesia.”“Bahasa Inggris aksen Asia. Pelayan yang sigap.” Bowen manggut-manggut. “Ternyata benar kau Hazerstein.”Mendengar namanya disebut, barulah Reza menyadari ancaman yang datang menjemput. Ia berpikir cepat. Dengan senyum ramah palsu dan pura-pura mengucap salam perpisahan pada Bowen, Reza menarik Felix untuk menjauh.“Oh no, you won’t.” Bowen menyeringai.Tangan Bowen masuk ke saku jas. Felix melesatkan tendangan, melindungi sang majikan. Benar saja. Sebuah pistol terjatuh ke trotoar.Saatnya kabur. Giliran Felix menarik Reza beserta sopir yang baru saja menelan kunyahan martabak. Kurang dari 20 detik, tiga orang itu sudah sampai ke dalam mobil.“Jalan!” perintah Felix.Tak banyak tanya. S