Reza baru saja dipecat dan dicampakkan oleh istrinya. Namun, di balik kemalangan itu, ia menemukan bahwa dirinya ternyata adalah keturunan terakhir keluarga Hazerstein, konglomerat elit global dari Jerman yang habis terbantai. Demi membalas kekejaman istrinya yang selingkuh, Reza pun setuju untuk membangkitkan kembali dinasti dan menjalani hidup sebagai seorang Hazerstein.
View MoreKilau berlian dan furnitur mahal ternoda oleh cipratan darah. Para tamu berpakaian elegan terkulai tak bernyawa di lantai dansa. Bau anggur tercampur aroma amis. Teriakan wanita terakhir terhenti akibat letusan senjata api.
Seorang pria berdiri. Dia adalah pemain biola yang juga berperan sebagai pelaku pembantaian itu. Ujung biolanya berasap. Melihat tugasnya sudah selesai, ia pun berjalan santai melangkahi mayat para korbannya. Namun, langkahnya terhenti. Tangan seorang pria tua memegang pergelangan kaki kirinya. âSudahlah, Tuan Hazerstein,â kata pemain biola, âsemuanya sudah berakhir.â âKau salah.â Pria tua itu merintih. âKeturunanku akan membangkitkan kekuasaanku kembali.â Si pemain biola menggaruk kepala. âYa ... maaf, nih. Saya barusan habis bunuh semua anak-cucu sampai menantu Anda.â Si pria tua tertawa di sela rintih sekaratnya. âKelak, cucu terakhirku akn henhaom viss ....â âNgomong apa kebelet, sih?â Pemain biola mengarahkan ujung alat musiknya ke kepala pria tua, lalu menembak. Tak ada lagi gerak dari si pria tua. Pemain biola menoleh, memastikan sisa kehidupan yang tersisa sudah habis. Aman. Ia lantas mengeluarkan sebuah map dari balik rompinya, lalu membaca isi dokumen dengan teliti. âHadeh ...,â keluhnya, âternyata benar masih ada satu orang.â *** Langit cerah dengan beberapa gumpal awan putih menghiasi, tapi suhunya tidak panas. Belum bising. Apartemen di tengah Kota Jurajura terlihat tenang karena penghuninya masih bersiap menyongsong pagi. Di apartemen 307, seorang pria sudah rapi dengan kemeja biru, jeans hitam, dan sepatu kets putih mengkilap. Rambutnya rapi. Wajah oval kulit kuning langsat berhias senyum percaya diri. âUna sayangku, aku berangkat!â ucapnya seraya menengok ke belakang memberi jempol. âHati-hati di jalan, Rezaâ balas istrinya yang berdaster merah muda, berdiri dengan senyum simpul. Pria bermata kacang almond itu langsung paham melihat ekspresi wajah segitiga istri tercinta. Ia mendekat. Dipegangnya kedua pundak sang belahan jiwa, lalu memberi tatapan penuh semangat. âJangan khawatir, sayangku. Habis ini, gajiku cair. Kita akan pakai itu untuk mencukupi tabungan berlibur ke Swiss!â Istrinya mengangguk, memberi senyuman lebar. âTerima kasih.â Satu ciuman didaratkan ke pipi Una, lalu Reza pun berangkat dengan riang gembira. Terjadilah keseharian Reza di kantor. Cukup normal. Sebagaimana seorang karyawan perusahaan, kegiatan pria itu tak jauh dari kertas, komputer, printer, dan stempel. Membosankan? Tidak juga. Ia diizinkan mendengar radio atau musik dari ponsel. â... dan parahnya, tidak anggota keluarga Hazerstein yang selamat. Selanjutnya, prakiraan cuaca hari ini akan hujan deras. Para pendengar, jangan lupa bawa payung, ya!â Reza berhenti mengetik. Ia menyempatkan diri melihat ke luar jendela. âNgawur banget. Cerah begini, kok.â Sebuah bungkusan hitam mendarat di meja Reza, membuatnya terkejut. Reza menoleh. Pelaku tindakan barusan adalah pria kurus bertatapan datar yang kini berdiri di hadapannya. âOleh-oleh dari wisata kemarin,â kata pria bertatapan datar, âkamu orang pertama yang kukasih.â Reza mengambil dan membuka bungkusan dengan semangat. âWah, terima kasih, Heru! Kamu memang teman terbaikku. Apa, nih?â âKerupuk testis babi.â âBerantem, yuk!â Reza memiting leher Heru dengan kesal. âKan kamu sendiri yang cerita, istrimu belakangan ini sering diam! Aku pikir masalah ranjang, jadi kubelikan itu!â Pemandangan itu seakan sudah biasa bagi karyawan lain, terbukti tak ada yang melerai. Malah mereka cekikikan. Pertengkaran jahil Reza dan teman kerjanya baru berakhir ketika sang direktur melintas. âReza, tolong ke ruangan saya,â titah Pak direktur. Kesunyian dan AC super dingin menyambut ketika Reza membuka pintu. Direktur tampak tenang. Reza sendiri masih bisa menyengir, mengusir gugup karena mengira akan kena semprot akibat tingkahnya bersama Heru tadi. Namun, ketika dipersilakan duduk, Reza malah mendengar celoteh aneh Pak direktur. Tidak kasar. Malah sebaliknya, perkataan Pak direktur terdengar bijak dan penuh motivasi. Hingga keluarlah satu kalimat yang menjadi inti pembicaraan. âKami sudah tidak bisa mempekerjakan kamu lagi, Reza.â Reza terperanjat. Berbagai protes ia layangkan atas keputusan tidak adil dan sangat mendadak itu. Percuma. Lagi-lagi hanya pesan penyemangat yang keluar dari mulut Pak direktur. Ekspresi Reza berubah, keceriaannya sirna berganti stres. âLoh, kok gitu?â Wajah datar Heru sedikit menunjukkan ekspresi terkejut setelah Reza menyampaikan berita. âAku juga gak tahu. Yang pasti aku gak bisa apa-apa sekarang.â Kini ekspresi Heru kembali datar. Namun, tetap tersirat empati atas nasib sang rekan kerja. Ia menepuk pundak Reza yang sudah selesai beres-beres. âSemoga sukses di lain tempat, Bung.â Reza hanya mengangguk dan tersenyum simpul. âTerima kasih.â Dan Reza pun pergi. Berpisah meninggalkan teman-teman kantor dan kerupuk testis babi di meja kerja. *** Awan mulai berkumpul membentuk satu gumpalan putih raksasa. Suhu masih hangat. Lalu lintas Kota Jurajura hanya berisi teriakan klakson dan muntahan polusi asap knalpot. Di dalam sebuah bus, Reza terduduk lesu. Wajahnya menunjukkan pikiran berkecamuk. Reza tak sadar sepasang mata bulat di kursi belakang bus sedang menatap tajam padanya. Di tengah kebingungan tentang masa depan Reza, bus berhenti di halte dekat sebuah pusat perbelanjaan. Ide darurat muncul. Reza segera turun, lalu memasuki pusat perbelanjaan yang ramai. Mungkin sebuah hadiah kecil bisa membantu bicara dengan Una, pikirnya. Si pemilik mata bulat membuntuti Reza. Namun, kegiatan itu terhenti akibat pundak yang bersenggolan dengan seorang pria berkacamata hitam. âAh, sorry,â ucap pria berkacamata hitam itu. Insiden kecil itu tak sampai lima detik. Namun, si pria bermata bulat lengah. Reza menghilang di dalam keramaian pusat perbelanjaan. Sementara Reza sudah selesai melakukan transaksi. Ia membeli boneka sapi kecil berwarna biru. Menggemaskan. Tanpa berlama-lama, Reza membawa hadiah sederhana itu ke halte bus, lalu berangkat pulang. Ketika tiba di depan tangga apartemen, Reza tak lantas menaikinya. Ia masih berdiri. Wajahnya murung. Ransel di punggung, tangan kanannya menenteng barang dari kantor, tangan kiri memegang hadiah untuk Una. âNaik lift aja, ah,â demikian Reza memutuskan. Tibalah Reza di depan apartemen 307, tempat tinggalnya. Koridor sepi. Reza tak perlu khawatir terhadap tetangga yang mungkin akan mengajukan banyak pertanyaan atas kepulangannya. Masalah utamanya masih menunggu di balik pintu. Pintu dibuka pelan. Terlihat sandal Una masih tergeletak di lantai. Sengaja ia tak memanggil sang istri, karena memang belum tahu harus berkata apa meski sudah memegang hadiah. Ironis. Bukannya menerima gaji, malah mendapat pemecatan. Reza melepas sepatunya, lalu berjalan pelan mencari Una. Ia menarik napas. Lelaki itu berusaha memasang senyum bahagia palsu di wajah ovalnya. Lantas kala ia menggapai ruang keluarga, tak ada siapa pun. âUna?â panggil Reza setengah berbisik. Tak ada jawaban. Reza kemudian mencari di dapur. Tidak ada. Toilet pun demikian. Hingga ketika Reza masuk ke kamarnya, barulah ia terbelalakWanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.âAda apa, Tuan?â Felix bertanya dengan panik. âApakah Anda melihat musuh?âReza membeliak. âTadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!âSang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. âHa?ââMartabak, Felix! Martabak!â Elite global itu memperl
Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.âAda apa, Tuan?â Felix bertanya dengan panik. âApakah Anda melihat musuh?âReza membeliak. âTadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!âSang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. âHa?ââMartabak, Felix! Martabak!â Elite global itu memperl
Dor! Letusan senapan menggema di hutan. Disusul teriakan si pria kekar. Tangannya hancur. Darah dan serpihan kulit terciprat mengenai jaket pria sopir jip. Kapak menabrak daun kering di tanah, membuat Isabelle sadar telah lolos dari maut. âReza?â Isabelle segera menoleh, mencari sang penyelamat hidupnya. Sayang, yang hadir di antara kabut adalah si pelayan bermata bulat. Moncong senapan laras panjang masih mengacung gagah setelah muntah. Itu senapan si penjahat. Dan sekarang Felix yang menguasainya. âAku sudah bilang, pakai senapan itu saja biar cepat!â pekik si sopir jip pada rekannya. Pria kekar masih merangkak, menangis memegangi pergelangan tangannya yang penuh darah. âKau yang minta supaya eksekusinya tidak menghasilkan suara, psikopat keparat!â Isabelle mengambil kesempatan itu. Ia segera berlari. Sopir jip hampir menggapainya, tapi tercegah oleh letusan kedua dari senapan. Sepuluh detik, sang putri Vanlomraat pun berhasil berdiri di sebelah si pelayan setia. âNo on
Tak sampai sepuluh detik panggilan itu berlangsung. Tiba-tiba terputus. Tangan Isabelle gemetar mendengar ketidakpastian yang mendebarkan. Tekadnya membulat. Ia akan mencari orang tuanya.âTunggu, Nyonya!â Felix mencegah, berusaha tetap tak berisik. âIni bisa jadi jebakan.ââTapi orang tuakuâââAnda anggota keluarga Vanlomraat yang memilih jalan jadi seorang hacker. Anda lebih pintar dari ini.âButuh beberapa saat, tapi akhirnya ucapan Felix masuk ke nalar sang putri Vanlomraat. Ketenangan tercapai. Isabelle meraih ponselnya kembali, lalu mulai mengutak-atik perangkat lunaknya. Layar pun menampilkan peta dengan satu titik biru.âMereka di Belanda,â kata Isabelle. âTapi kenapa? Sepanjang hidupku, aku gak pernah melihat mereka terlibat musuh.ââPaketnya dikirim ke sini. Satu-satunya alasan masuk akal adalah musuh sudah tahu bahwa Anda adalah istri seorang Hazerstein.âIsabelle segera mengantongi ponselnya. âAku harus ke sana.ââSendirian? Nyonya Isabelle, itu berbahaya! Lagi pula, saya m
âKalau kita tidak bisa menyakiti fisiknya ....â Pria bertopeng burung hantu menegakkan badan. â.... kita renggut saja apa yang dia punya.âSemua manusia bertopeng di dalam ruangan itu diam. Mereka saling melirik, menunggu orang memberi timbal balik gagasan si pria burung hantu. Nihil. Hingga akhirnya tawa Anderson pecah di balik topeng badut birunya.âPercuma! Bawahanku sudah cerita kejadian di Zurich. Hazerstein masih punya kuasa atas semua asetnya di muka bumi ini.ââYa, aku tahu itu,â balas pria topeng burung hantu. âTapi aku tidak sedang bicara soal asetnya. Aku bicara soal ... sesuatu yang jauh lebih berharga baginya.âSeketika rasa geli Anderson mereda. Ia membungkuk, mengumpulkan jemarinya di hidung topeng. âMenarik. Go on.ââKalau memang informasinya adalah âmasih adaâ Hazerstein yang tersisa, berarti seharusnya dia sedang mencari cara membangun dinastinya kembali. Dan untuk itu ....ââDia butuh pasangan!â sambung wanita bertopeng babi.âTapi bagaimana kita tahu siapa yang akan
Una mengucek matanya, memastikan ulang sosok di seberang jalan. Bukan. Itu bukan Reza. Namun, teori tujuh kembaran di muka bumi tampaknya juga kurang meyakinkan. Una mulai bertanya apakah berhalusinasi atau malah melihat hantu.Satu unit taksi online pun berhenti di sana, dan Reza masuk. Tak langsung jalan. Ternyata yang ditunggu adalah dua lelaki lain, yaitu Felix serta Heru yang baru saja keluar dari pagar apartemen.Tambah geramlah Una. Si wanita rambut pendek langsung bertitah untuk mengikuti mobil target. Dituruti. Persetan dengan empat kunyuk yang kesakitan di apartemen. Maka aksi buntut membuntuti pun terjadi.Sementara di taksi online, Heru masih mencoba mencerna semuanya. Ya. Tentu saja dengan wajah yang masih datar. Di kursi belakang itu, sesi tanya jawab terjadi antara Heru si budak korporat dengan Felix si pelayan keluarga elite.âSaya berterima kasih karena Anda sudah menyelamatkan saya, Pak Nacht. Tapi ini tetap saja bikin bingung. Dari mana Pak Nacht tahu saya dalam baha
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments