Una menjatuhkan kumpulan tas belanjaannya karena kehadiran sosok pria berekspresi datar. Heru. Agak mengherankan bagi Una sebab pria itu seakan angin yang tiba-tiba muncul tanpa suara. Terutama karena Heru memakai tongkat kruk yang notabene harusnya berbunyi.
“S-siapa, ya?”“Nama saya Heru. Saya teman kerjanya Reza, Mbak.”Mendengar nama suaminya disebut, Una pun memberi tatapan sinis. “Mau apa?”“Saya lihat berita kalau Reza jadi teroris. Saya cuma mau memastikan kebenarannya. Soalnya ... justru Reza yang menolong ketika saya ditembak orang tak dikenal.”Una terbeliak. “Ditembak?!”“Iya. Saya masih sempat melihat Reza dikejar seseorang. Kondisi saya begini juga pasti gara-gara tembakannya salah sasaran.”Sempat ada simpati melihat keadaan Heru. Namun, mereka sedang membicarakan Reza. Kurang dari tiga detik, ekspresi Una kembali sinis, membuang wajah ke pintu. “Wajar, sih. Dia teroris. Paling juga polisi yang menembak.”Wajah Heru tetap datar, tapi ada desakan dari nada bicaranya. “Jadi, Reza di mana sekarang? Ini apartemennya, ‘kan? Mbak istrinya Reza, ‘kan?”“Dia gak di sini lagi.” Una memutar kunci, membuka pintu dan kembali ke ketenangan.Si pria berwajah datar hanya bisa pasrah kala wanita cantik itu membanting pintu. Heru menghela napas. Meski begitu, niat membantu masih belum pudar, apalagi ketika Heru memandang lantai koridor.“Mbak, belanjaannya ketinggalan di luar.”Una mengambil semuanya, lalu kembali membanting pintu.Cerita tak lantas berakhir ketika Una sampai di dalam. Kondisi ruang apartemennya tidak jauh berbeda daripada setelah mencampakkan Reza kemarin. Sepi. Lucunya, Una yang mengharapkan kondisi itu, tapi merasa ada yang kurang di saat bersamaan.Pintu kamar di buka. Gelap. Setelah menyalakan lampu, tak sengaja jemari kaki Una tersandung sebuah kado di lantai. Ia berjongkok, memungut dan membuka kado itu. Sebuah boneka sapi berwarna biru tersenyum imut menatap Una.Seakan boneka itu hidup, Una terus melakukan kontak mata. Ia membawanya ke ranjang. Empuk, tapi sunyi. Tatapan sang boneka seakan membawa Una ke dalam lorong waktu.***Dua bulan sebelumnya ....Sudut lain Kota Jurajura terlihat lebih tenang. Sebuah rumah batu bergaya era 80-an tampak asri dengan pohon jambu. Siang yang sejuk. Reza duduk di teras bersama Una, saling menggenggam tangan sambil menikmati semilir angin.Mesra. Hanya itu kata yang bisa mendeskripsikan mereka berdua. Sesekali mereka saling melempar canda. Una tertunduk tersipu ketika Reza melontar gombalan maut.“Ahem ....” Wanita berwajah sedikit keriput datang menginterupsi. “Reza, minta tolong ke toko listrik, dong. Lampu dapurnya putus.”Reza yang baik hati tentulah tersenyum ramah menuruti permintaan sang mertua. Jalan kaki keluar pagar. Tak ada dialog hingga lelaki itu menghilang.Tinggallah Una bersama sang mama di teras itu. Mama Una mendekat. Si wanita paruh baya memasang wajah datar meski semilir angin menerpa rambut sebahu berubannya. Sementara sang putri menatap heran menunggu pembicaraan terjadi.“Udah hampir dua tahun nikah, tapi kayaknya hidup kalian gini-gini aja,” ucap mama Una. “Mana mobil kalian? Mana emas buat mama yang dia janjikan dulu?”Kening Una mengerut. Ia berusaha menjaga nada bicaranya. “Tapi, Ma, bukannya Reza sudah cukup memenuhi kebutuhan Mama? Dia tiap hari banting tulang, loh.”“Itu memang kewajiban dia! Gak ada gunanya mantu yang gak bisa bikin mertua senang.”“Mama kenapa, sih? Kayaknya dari awal aku nikah sama Reza, Mama sekali gak mendukung.”“Bukan cuma Mama,” sosok lain hadir menyela. Seorang laki-laki tegap berkepala plontos muncul dari pintu. “Andai kamu gak nangis-nangis waktu itu, aku gak sudi menjadi wali nikah kamu.”“Kakak kok ngomongnya gitu?”“Terus, apa katanya? Dia mau bawa kamu ke Swiss?” Mama Una terkekeh. “Finansial keluarga belum cukup, sok-sok mau main ke luar negeri.”Kakak Una bersandar di tembok, menyilangkan tangan. “Aku potong kuping kalau dia bisa membuat mimpi kalian itu jadi nyata. Laki tolol.”Dua lawan satu. Adu argumen yang akhirnya tidak bisa dimenangkan Una. Istri Reza itu pun tertunduk sedih karena merasa terpojok oleh dua darah dagingnya sendiri. Untungnya, mama dan kakak Una masih punya simpati.Mama Una lantas memegang pundak sang putri. “Una, Mama hanya gak mau lihat kamu hidup sengsara. Dan Mama harus jujur, kamu sudah salah pilih suami.”“Apa ini cuma tentang kepuasan Mama?” Una menitikkan air mata. “Kenapa bukan Kakak yang kasih uang?”“Karena aku juga punya keluarga, Una,” jawab sang Kakak. “Aku punya dua anak dan keuanganku juga lagi susah. Beda sama kamu. Mengerti dikit, dong!”Ingin Una kembali melayangkan protes. Namun, sang mama buru-buru mengeluarkan lidah iblis, membisik pada Una dengan kalimat lembut. Una terbius. Susunan kata sang mama merasuk ke otak membuatnya terdengar masuk akal.“Kalau kamu dapat pengganti yang lebih kaya, Mama akan berhenti ganggu kamu seperti ini. Sampai saat itu, kita perah aja Reza. Bagaimana?”Seakan pikirannya kosong, Una hanya mengangguk. “Iya, Ma.”Tiba-tiba yang dibicarakan muncul. Untung saja pembicaraan mereka sudah berhenti dan air maga Una sudah diseka.“Lampunya mana?”Reza cengengesan. “Itu dia, Ma. Aku lupa nanya Mama maunya lampu model apa.”***Satu setengah bulan sebelumnya ....“Aku berangkat kerja dulu, cintaku.” Reza mendaratkan ciuman di pipi istrinya, lalu melesat berbekal semangat.Una hanya tersenyum. Sampai suaminya menghilang di balik pintu, wanita itu masih memandang dengan penuh arti. Lalu ekspresinya perlahan berubah murung ketika kesendirian mulai berkuasa. Ruang apartemen menyaksikan keresahan Una.Wanita itu lantas berganti pakaian. Sebuah dress cokelat berenda putih, dan sendal hak berwarna kekuningan. Wajahnya dirias. Rambut pendeknya dibiarkan terurai. Sebuah penampilan yang membuat Una merasa kembali lajang, meskipun masa itu belum lama berlalu.Tanpa izin suami, Una berlenggok meninggalkan apartemen. Tujuannya? Tidak jelas. Ia hanya mengikuti naluri yang timbul akibat bisikan maut sang mama. Naluri kewanitaan untuk mencari pejantan baru.Tibalah Una di sebuah kafe di salah satu mal. Ramai. Masih pagi, tapi sudah banyak pasangan mengisi meja dan melempar canda. Una memesan espresso yang mulai dingin karena terlalu lama diaduk. Ternyata mandat dari sang mama tak segampang itu.“Excuse me, kursinya penuh. Boleh saya duduk di sini?”Una perlahan mengangkat wajah. Ia terkesima dengan sumber suara yang berdiri di hadapannya. Pria berwajah kotak dengan setelan hitam, tampak seperti konglomerat di layar kaca. Mario. Saat itulah Una menyadari harus mulai mengambil langkah.“Silakan,” kata Una. “Toh tidak akan ada yang sudi duduk bersama saya.”Mario terkekeh. “Why not? Hanya orang bodoh yang menolak kesempatan duduk bersama wanita secantik Anda.”Una melirik cangkirnya, lalu menatap tajam ke Mario. “Nasib saya seperti espresso ini. Terlalu banyak diaduk, sehingga rasa sejatinya hilang bersama suhu.”Sang pria berwajah kotak memperbaiki posisi duduknya. Ia membalas tatapan tajam Una dengan senyum menawan. “Itu perumpamaan yang menarik. Care to share?”Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl
Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl
Dor! Letusan senapan menggema di hutan. Disusul teriakan si pria kekar. Tangannya hancur. Darah dan serpihan kulit terciprat mengenai jaket pria sopir jip. Kapak menabrak daun kering di tanah, membuat Isabelle sadar telah lolos dari maut. “Reza?” Isabelle segera menoleh, mencari sang penyelamat hidupnya. Sayang, yang hadir di antara kabut adalah si pelayan bermata bulat. Moncong senapan laras panjang masih mengacung gagah setelah muntah. Itu senapan si penjahat. Dan sekarang Felix yang menguasainya. “Aku sudah bilang, pakai senapan itu saja biar cepat!” pekik si sopir jip pada rekannya. Pria kekar masih merangkak, menangis memegangi pergelangan tangannya yang penuh darah. “Kau yang minta supaya eksekusinya tidak menghasilkan suara, psikopat keparat!” Isabelle mengambil kesempatan itu. Ia segera berlari. Sopir jip hampir menggapainya, tapi tercegah oleh letusan kedua dari senapan. Sepuluh detik, sang putri Vanlomraat pun berhasil berdiri di sebelah si pelayan setia. “No on
Tak sampai sepuluh detik panggilan itu berlangsung. Tiba-tiba terputus. Tangan Isabelle gemetar mendengar ketidakpastian yang mendebarkan. Tekadnya membulat. Ia akan mencari orang tuanya.“Tunggu, Nyonya!” Felix mencegah, berusaha tetap tak berisik. “Ini bisa jadi jebakan.”“Tapi orang tuaku—”“Anda anggota keluarga Vanlomraat yang memilih jalan jadi seorang hacker. Anda lebih pintar dari ini.”Butuh beberapa saat, tapi akhirnya ucapan Felix masuk ke nalar sang putri Vanlomraat. Ketenangan tercapai. Isabelle meraih ponselnya kembali, lalu mulai mengutak-atik perangkat lunaknya. Layar pun menampilkan peta dengan satu titik biru.“Mereka di Belanda,” kata Isabelle. “Tapi kenapa? Sepanjang hidupku, aku gak pernah melihat mereka terlibat musuh.”“Paketnya dikirim ke sini. Satu-satunya alasan masuk akal adalah musuh sudah tahu bahwa Anda adalah istri seorang Hazerstein.”Isabelle segera mengantongi ponselnya. “Aku harus ke sana.”“Sendirian? Nyonya Isabelle, itu berbahaya! Lagi pula, saya m
“Kalau kita tidak bisa menyakiti fisiknya ....” Pria bertopeng burung hantu menegakkan badan. “.... kita renggut saja apa yang dia punya.”Semua manusia bertopeng di dalam ruangan itu diam. Mereka saling melirik, menunggu orang memberi timbal balik gagasan si pria burung hantu. Nihil. Hingga akhirnya tawa Anderson pecah di balik topeng badut birunya.“Percuma! Bawahanku sudah cerita kejadian di Zurich. Hazerstein masih punya kuasa atas semua asetnya di muka bumi ini.”“Ya, aku tahu itu,” balas pria topeng burung hantu. “Tapi aku tidak sedang bicara soal asetnya. Aku bicara soal ... sesuatu yang jauh lebih berharga baginya.”Seketika rasa geli Anderson mereda. Ia membungkuk, mengumpulkan jemarinya di hidung topeng. “Menarik. Go on.”“Kalau memang informasinya adalah ‘masih ada’ Hazerstein yang tersisa, berarti seharusnya dia sedang mencari cara membangun dinastinya kembali. Dan untuk itu ....”“Dia butuh pasangan!” sambung wanita bertopeng babi.“Tapi bagaimana kita tahu siapa yang akan
Una mengucek matanya, memastikan ulang sosok di seberang jalan. Bukan. Itu bukan Reza. Namun, teori tujuh kembaran di muka bumi tampaknya juga kurang meyakinkan. Una mulai bertanya apakah berhalusinasi atau malah melihat hantu.Satu unit taksi online pun berhenti di sana, dan Reza masuk. Tak langsung jalan. Ternyata yang ditunggu adalah dua lelaki lain, yaitu Felix serta Heru yang baru saja keluar dari pagar apartemen.Tambah geramlah Una. Si wanita rambut pendek langsung bertitah untuk mengikuti mobil target. Dituruti. Persetan dengan empat kunyuk yang kesakitan di apartemen. Maka aksi buntut membuntuti pun terjadi.Sementara di taksi online, Heru masih mencoba mencerna semuanya. Ya. Tentu saja dengan wajah yang masih datar. Di kursi belakang itu, sesi tanya jawab terjadi antara Heru si budak korporat dengan Felix si pelayan keluarga elite.“Saya berterima kasih karena Anda sudah menyelamatkan saya, Pak Nacht. Tapi ini tetap saja bikin bingung. Dari mana Pak Nacht tahu saya dalam baha
Keberuntungan masih berpihak pada Heru. Ketika merasakan ada celah, ia langsung melepas bekap si penculik. Langkah seribu. Heru tak sengaja menjatuhkan tanda pengenalnya.Penculik juga tak mau kalah. Ia mendecak jengkel sembari melangkah pelan agar tak menimbulkan kecurigaan. Kode diberikan. Satu lagi pria misterius muncul bersiap membantu menjalankan tugas.Sementara Heru terus berlari. Wajahnya masih saja datar meski sedang dilanda teror. Staf lain terheran. Kala langkah Heru sudah lolos dari pintu belakang hotel, Heru tetap enggan meminta pertolongan orang sekitar.Namun, Heru baru ingat akan satu hal. Dia punya sepeda motor. Maka dengan kalap, si pria berwajah datar berlari menuju parkiran. Satu masalah. Kuncinya tercecer di suatu tempat.“Itu dia!” seru seorang pria.Heru terlonjak. Ia mempercepat larinya. Sayang, ia lemah fisik, dan lari 50 meter sudah menguras napasnya. Bahkan dalam engah, wajah Heru masih saja datar.“Tidak usah lari, Bro!” Pria asing tertawa.“Gak kok,” jawab
Angin malam masih menguping pembicaraan dua insan di balkon itu. Tak ada kekhawatiran sebab volume suara yang tak akan menjangkau wilayah lain. Mario mengernyit. Sebuah permintaan yang tak biasa, meskipun itu cukup mudah.“Siapa lagi yang mau kamu singkirkan, Sayangku?” Mario membelai lembut pipi Una. “Bukannya sumber kesialan hidup kamu sudah tidak ada lagi?”“Aku memang sudah bebas dari Reza. Tapi aku merasa ada kutu busuk lain yang menghalangi kesenanganku, nih.”Mario mengalah. Ia pun meminta informasi tentang kutu busuk yang disebut sang pacar. Una pun tersenyum, lalu mengeluarkan smartphone-nya, memperlihatkan foto profil media sosial seorang pria berwajah datar.“Heru Kalis Novian? Ada apa dengan orang ini?”Mata Una berkedip pelan, lantas menyipit kala ingatannya mundur ke dua belas jam lalu.*** Dua belas jam sebelumnya ....“Aku pergi dulu, Una,” ucap Mario yang sudah rapi.“Tunggu, Mario!”Una melangkah cepat. Memberi satu kecupan panas pengantar kerja pada lelaki kaya yang
“Ah, si yakuza pirang!” Hangat senyum Reza disusul langkah bersiap menjabat tangan.“Tuan, mundur!” Felix mencegah sang majikan. Naluri bahayanya berfungsi melihat gelagat Bowen.Sementara sang sopir tak terlalu peduli dengan ketegangan itu dan fokus pada hidangan dalam kunyahannya. “I love Indonesia.”“Bahasa Inggris aksen Asia. Pelayan yang sigap.” Bowen manggut-manggut. “Ternyata benar kau Hazerstein.”Mendengar namanya disebut, barulah Reza menyadari ancaman yang datang menjemput. Ia berpikir cepat. Dengan senyum ramah palsu dan pura-pura mengucap salam perpisahan pada Bowen, Reza menarik Felix untuk menjauh.“Oh no, you won’t.” Bowen menyeringai.Tangan Bowen masuk ke saku jas. Felix melesatkan tendangan, melindungi sang majikan. Benar saja. Sebuah pistol terjatuh ke trotoar.Saatnya kabur. Giliran Felix menarik Reza beserta sopir yang baru saja menelan kunyahan martabak. Kurang dari 20 detik, tiga orang itu sudah sampai ke dalam mobil.“Jalan!” perintah Felix.Tak banyak tanya. S