Aku keluar dari kereta kuda yang mewah itu. Di sampingku berdiri para pengawalku dengan tubuh tegap dan ekspresi penuh hormat. Menatap ke depan, terlihat gerbang akademi yang asing namun familiar.
Saat aku melangkah maju, aku melihat sekeliling, banyak siswi yang menatapku dengan ekspresi berbinar di mata mereka. Mungkin dulu aku ingin mendapatkan perhatian dari gadis-gadis cantik ini, tetapi sekarang pikiranku agak kacau. Saat ini wajahku sedang murung, bagaimana tidak saat aku terbangun, aku berada di tempat yang asing, benar saja kawan, inilah transmigrasi yang sering aku lihat di banyak novel. Sebelum transmigrasi, aku berusia 25 tahun, aku anak tunggal, orang tuaku bercerai saat aku masih kecil, ekonomi keluargaku bisa dikatakan pas-pasan, pekerjaanku sebagai satpam bank membuatku cukup sulit untuk mendapatkan gadis yang aku sukai. Walaupun hidupku tak di penuhi dengan kasih sayang, namun aku mempunyai banyak sahabat, yang membuat hidupku tidak seburuk itu, dan aku mempunyai satu orang sahabat yang selalu mendampingiku sejak aku kecil, dengan banyak momen dalam hidupku, mungkin dialah yang selalu ada untuk mendukungku. Mengingat orang-orang yang kutinggalkan, dadaku terasa sesak, mengingat saat-saat terakhirku, aku berada di tempat kerjaku seperti biasa, namun hari ini terjadi perampokan dengan menggunakan senjata api, sebagai seorang satpam aku berusaha sekuat tenaga untuk melawan para perampok tersebut, alhasil aku tertembak tepat di dada. Namun kini, aku berada dalam tubuh seorang lelaki berusia 18 tahun, dan telah menjadi anak seorang saudagar kaya dengan latar belakang keluarga baik-baik, paras rupawan, dan pendidikan tinggi. Namaku Badril , tiap hari aku di jemput dan di jemput dengan kereta kuda paling mewah di jaman ini, yup benar, ini seperti di abad pertengahan . Tak usah dikatakan, saya punya terlalu banyak uang saku untuk dibelanjakan. Seringkali aku terbangun sambil tersenyum, bila teringat sesuatu, bagaimana mungkin tidak, di dunia ini sihir itu nyata, selama beberapa hari setelah transmigrasi, aku berseri-seri kegirangan, dan merasa puas dalam mimpiku. Meskipun tubuhku memiliki ketertarikan yang cukup biasa terhadap unsur-unsur sihir, kehidupanku sebelum transmigrasi sangat berbeda dari sekarang. Aktivitasku lebih berwarna setelah transmigrasi. Terus terang, siapa pun yang berada di posisi saya akan merasakan hal yang sama. Namun, segala sesuatunya tidak sesederhana yang terlihat. Ketika sedang berjalan di lorong kelas, aku melihat salah satu gadis tercantik di kampus, namanya Veronica, pemilik tubuhku sebelumnya sangat menyukai gadis ini, tapi aku pun mengerti mengapa dia menyukai Veronica. Dengan parasnya yang cantik, kulitnya yang putih susu, dengan body yang bikin ketagihan, kalau disentuh, ehm, maksudku dia cantik sekali, tiba-tiba aku mendengar suara sistemnya, melihatnya aku teringat kejadian tadi pagi. [ Ding ~ do kabedon pada Veronica, poin +10. ] "Ah sial~~." ***** Pagi hari di ruang makan. Menengok ke sekeliling, terlihat beberapa pembantu yang sudah pergi setelah selesai menyiapkan makanan, saat berjalan ke tempat ibu duduk, ia pun ikut makan bersama, duduk di hadapanku, ibu menyambutku dengan senyuman lembut. "Selamat pagi, Nak!" Saya pun tersenyum melihat senyum indahnya. "Selamat pagi Bu!" Teresa, itulah nama gadis cantik di hadapanku ini, rambut hitam sebahu, bibir merah menawan, mata birunya menatap lurus ke arahku, kupikir aku sungguh beruntung atau tidak beruntung memiliki ibu secantik itu. Beruntung gen beliau memang sudah menurun ke saya, sayang saya hanya bisa mengagumi sosok beliau, karena beliau adalah ibu kandung dari tubuh ini, pikiran liar saya pun terhenti disitu, walaupun ibu saya sibuk, beliau selalu menyempatkan diri untuk menemani saya sarapan. [Ding~ dimanjakan ibumu point +10.] Melihat kata-kata di hadapanku raut wajahku menjadi pucat, padahal aku tahu sistem akan memberikanku tugas tetapi untuk memikirkan tugas seperti ini, mungkin melihat raut wajahku, ibuku bertanya dengan cemas. "Nak, apakah kamu merasa tidak enak badan!?" "Tidak, Bu, tidak apa-apa." Ibu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiriku, tangannya yang indah menyentuh keningku. "Kau yakin? Wajahmu terlihat pucat." Saat ibu ada di sampingku, aku dapat mencium harum bunga yang segar, melihat ekspresi ibu yang khawatir, aku tersenyum malu dan berkata. "Saya rasa posisi tidur saya salah sehingga tangan saya agak kaku." Mendengar perkataanku, ibu tersenyum lembut, dengan raut wajah menggoda ia menjawab. "Benarkah, apakah kamu ingin ibumu memberimu makan!?" Dengan ekspresi malu , aku buru-buru menggelengkan kepala dan berkata. "Tidak Bu, saya bukan anak kecil lagi!" " Hehe ~, kamu selalu seperti bayi di mataku!!" Setelah itu dia duduk di sebelahku, mengambil piringku dan akhirnya menyuapiku. ***** Kembali lorong kelas. Mungkin Veronica mendengar suaraku, dia berhenti, lalu menoleh ke belakang, saat dia melihatku dia berbicara. "Apakah kamu berbicara padaku?" Mendengar suaranya yang merdu, aku membayangkan bagaimana ia mengerang di tempat tidur, membangkitkan lamunan liarku, aku melangkah mendekatinya, melihatku mendekat, Veronica mengernyit, lalu minggir ke arah dinding. Melihatnya aku tetap mendekatinya, lalu memojokkannya ke tembok. Aku mengulurkan tangan kiriku ke atas bahunya dan menghantam tembok. Melihat wajahnya yang cantik dari dekat, wangi tubuhnya pun dapat tercium. Menatap kedua mata besar dan indah itu, mulut kecilnya yang manis berkata dengan sedikit amarah. "APA YANG SEDANG KAMU LAKUKAN?" Ah, aku ingin sekali mencicipi mulut kecil manis itu, aku tersenyum kecil, lalu mendekatkan wajahku ke telinganya, dan berbisik. "Veronica, kamu terlihat sangat cantik hari ini!!" Dengan raut wajah panik, dia berusaha mendorongku, namun setelah mendengar perkataanku, tubuhnya tiba-tiba membeku, melihat ekspresi imutnya, wajahnya sedikit merah, mungkin karena marah atau malu. Tanpa menunggu jawabannya, aku menarik diri dan berjalan kembali menuju kelas. Mengabaikan orang-orang di sekitarku yang menatapku dan berbisik-bisik, mungkin mendiskusikan apa yang baru saja kulakukan. Walau aku juga merasa sedikit malu, dengan apa yang kulakukan tadi, tapi wajahku tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Begitu masuk ke dalam kelas, dan melihat wajah-wajah yang familiar, aku langsung berjalan menuju tempat dudukku, setelah duduk aku bergumam lirih. "Ah sial, aku pasti sudah gila." Menenangkan pikiran, dan menunggu kelas dimulai, saya mengambil beberapa buku tentang sejarah dunia ini dan membacanya. Kerajaan Trisakti adalah tempat saya tinggal saat ini, walaupun di benua ini terdapat beberapa kerajaan, namun Trisakti merupakan kerajaan yang wilayah kekuasaannya cukup luas, dan mempunyai sejarah yang sudah berumur ratusan tahun. Meskipun Trisakti bukan kerajaan terkuat di benua ini, kekuatan militernya tidak dapat diremehkan. Saat ini aku berada di akademi sihir di ibu kota kerajaan, kelas telah berjalan selama hampir tiga bulan untuk murid baru tahun ini, walaupun aku baru bertransmigrasi beberapa hari, aku memiliki semua ingatan pemilik tubuh ini sebelumnya. Saya berasal dari kota Jatih , yang letaknya tidak jauh dari ibu kota. Dengan kereta kuda, waktu tempuh sekitar satu setengah hari, saya datang ke ibu kota bersama ayah dan ibu saya. Ayah saya saat ini sedang berada di rumah di Jatih kota, dia pergi ke sana sebulan sekali untuk mengurus bisnisnya dan akan kembali lusa. Aku menutup mulutku dan menguap, tadi malam aku begadang untuk melatih kekuatanku yang kudapatkan dari sebuah sistem yang bernama Khodam Kraken Purba. Dengan kekuatanku saat ini aku hanya dapat mengendalikan dua tentakel tak kasat mata, seiring bertambahnya kekuatanku maka jumlah tentakel yang dapat kukendalikan juga akan bertambah. Khodam Kraken Kuno sendiri memiliki beberapa tingkatan kekuatan, saat ini saya hanya bisa menggunakan level 1 yaitu tentakelnya hanya bisa menggerakan benda mati. Seperti mengendalikan senjata dari jarak 10 meter, itulah batasan saya saat ini, mungkin orang luar yang melihatnya, akan mengira mereka menggunakan sihir telekinesis. Ketika aku tengah asyik membaca dan memikirkan beberapa hal, tiba- tiba teman sebangkuku datang dan duduk di sebelahku. Katanya, ia melihatku tengah membaca buku sejarah. "Hei, Dril , apakah kamu membaca buku sejarah? Itu tidak biasa, biasanya kamu membaca buku tentang ilmu sihir." Namanya Alex, badannya lumayan besar tapi tidak terlalu gemuk dan wajahnya biasa saja, mendengar perkataannya aku pun menjawab. "Ya, saya sedang mencari suasana yang berbeda. Kadang-kadang membaca buku lain juga cukup menyenangkan." Waktu aku lagi ngobrol sama Alex, ada dua cewek cantik yang masuk ke kelas, mereka adalah Veronica dan sahabatnya Fanny, begitu masuk banyak cowok yang berwajah, yah, laki-laki tetaplah laki-laki, pikiran mereka saat melihat cewek cantik pasti jauh dari kata suci. Merasakan tatapan seseorang, kulihat Veronica menatap lurus ke arahku dengan wajah dingin, aku pun menatap matanya yang besar, aku tersenyum tipis dan ada sedikit ketidakpastian di matanya.Gerbang Akademi Sihir Trisakti menjulang tinggi di hadapanku, ukiran rumit yang menggambarkan simbol-simbol sihir menghiasi permukaannya. Rasa semangat dan sedikit gugup bercampur di dadaku. Ini adalah awal dari perjalanan baruku di Akademi, sebuah dunia yang selama ini hanya kudengar dari cerita Helen dan buku-buku sihir .Aku melirik Anggun yang berdiri di sampingku. Wajahnya yang tenang dan sikapnya yang tegap membuatku sedikit lebih rileks."Sudah siap, Tuan Muda?" tanyanya dengan senyum lembut."Siap untuk apa?" jawabku dengan nada datar. "Siap untuk dibantai oleh para senior yang sok kuat? Atau siap untuk diberi tugas memindahkan gunung oleh para profesor yang gila hormat?"Anggun terkekeh pelan mendengar ocehanku. "Anda ini ada-ada saja. Tidak akan ada yang memindahkan gunung, kok.""Siapa tahu?" balasku dengan nada dramatis. "Ini kan akademi sihir. Mungkin saja ada ujian praktik yang mengharuskan kita memindahkan gunung den
Reiner Valerian bukanlah pedagang biasa. Di balik keramahan dan kewibawaannya sebagai saudagar sukses, tersimpan ketajaman naluri dan jaringan informasi yang luas. Ia tidak akan membiarkan putranya terancam bahaya tanpa mencari tahu siapa dalangnya.Penyelidikannya dimulai dengan menghubungi beberapa kenalannya di ibukota. Ia mencari informasi tentang siapa saja yang mungkin memiliki dendam pada keluarga Valerian atau memiliki motif untuk menyerang Badril."Aku tidak menemukan apapun yang mencurigakan, Reiner," kata seorang informannya, mantan kepala garda kota yang kini mengelola bisnis keamanan. "Keluarga Valerian memiliki reputasi yang baik di ibukota. Kau tidak punya musuh yang cukup berani untuk menyerang keluargamu."Reiner mengerutkan kening. "Lalu bagaimana dengan para penyerang itu? Mereka jelas bukan perampok biasa. Mereka terlalu terlatih dan terorganisir.""Mungkin mereka disewa oleh seseorang yang ingin mencelakai Badril secara pribadi," usul informannya. "Kau tahu, anak
Kereta kuda keluarga Valerian berhenti di depan gerbang kediaman mereka. Reiner Valerian melompat turun, disambut oleh Teresa dan para pelayan yang membungkuk hormat."Selamat datang kembali, Tuan," sapa kepala pelayan dengan ramah."Terima kasih, Sebastian," jawab Reiner sambil melemparkan senyum lelah. Perjalanan dari Jatih cukup melelahkan, meski ia puas dengan hasil perjalanan bisnisnya."Bagaimana perjalananmu, Sayang?" Teresa menghampiri Reiner dengan wajah ceria."Lancar. Kesepakatan dagang dengan saudagar di Jatih berjalan mulus," jawab Reiner sambil mengecup kening istrinya. "Bagaimana kabar Badril? Apakah dia baik-baik saja?"Senyum Teresa sedikit memudar. "Badril baik-baik saja, tapi... ada sedikit insiden di akademi beberapa hari yang lalu."Raut wajah Reiner berubah serius. "Insiden? Insiden apa?"Teresa menceritakan tentang penyerangan yang dialami Badril, Fanny, dan Veronica
POV Fanny. Perjalanan kembali ke rumah terasa panjang dan hening. Veronica sesekali mencuri pandang ke arah Badril, ekspresinya campuran antara khawatir dan penasaran. Anggun fokus mengendalikan kereta kuda, tapi aku bisa merasakan ketegangan di balik sikapnya yang tenang. Sesampainya di rumah, aku segera membantu Badril turun dari kereta. Dia masih tampak lemas, tapi berusaha untuk tidak menunjukkannya. "Kau perlu istirahat, Badril," kataku sambil menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Ya, kau benar," jawabnya dengan suara serak. Aku membawanya ke kamarku dan membantunya berbaring di tempat tidur. Dia langsung memejamkan mata, tampaknya kelelahan telah mencapai puncaknya. Aku menatapnya sejenak, lalu perlahan meninggalkan kamar. Aku perlu memberi tahu keluargaku tentang apa yang terjadi, dan aku juga harus mencari cara untuk... Ah, tapi mungkin Badril ingin merahasiakannya dulu. Aku tidak boleh melanggar kepercayaannya. Aku menemukan keluargaku di ruang keluarga, bersama Ver
Raungan Anggun memecah kesunyian malam. Bukan raungan seperti singa, tapi lebih seperti raungan badai. Angin berputar di sekelilingnya, membentuk pusaran yang menyedot dedaunan dan debu. Kilatan petir menyambar dari tangannya, menghantam penyerang berjubah hitam yang berusaha mendekat. Terdengar jeritan kesakitan dan bau hangus.Aku memfokuskan pandanganku pada penyerang yang tersisa. Aura hijau yang samar menunjukkan bahwa mereka adalah pendekar pedang level senior. Mereka tangguh, tapi Anggun dengan sihir angin dan petirnya jelas bukan lawan yang mudah. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Para penyerang ini... mereka terlalu bersemangat untuk mati. Seolah-olah mereka hanya pengalih perhatian."Fanny, Veronica! Kalian bisa gunakan sihir untuk melindungi diri, kan?" teriakku, suaraku tajam menembus kegaduhan."Tentu saja!" jawab Veronica, matanya berkilat penuh semangat. "Kami tidak akan tinggal diam saja!"Fanny mengangguk, raut wajahnya berubah serius. Ia mengangkat kedua
Bab 10 Profesor Ivana menghela napas pelan, saat mengambil kertas-kertas tugas dari meja. "Hmm... menarik," gumamku, lebih pada diri sendiri daripada pada siapa pun yang mungkin masih berada di ruangan itu. Mataku tertuju pada salah satu tugas, tulisan tangannya rapi dan tegas. Badril. Sebuah senyuman kecil tersungging di bibirku. "Sepertinya Tuan Badril cukup percaya diri dengan jawabannya," kataku lirih, merasakan kembali sengatan tantangan di matanya. Aku merapikan tumpukan kertas, merasakan debaran jantungku yang belum juga mereda. Badril memang telah mengusik ketenanganku, membangkitkan sesuatu yang sudah lama tertidur dalam diriku. Rasa penasaran, kegembiraan, dan mungkin... sedikit rasa takut. Aku berjalan keluar kelas dengan langkah gontai, pikiran masih dipenuhi oleh sosok Badril. Tantangannya, tatapannya, auranya... semuanya terasa begitu kuat dan memabukkan. Aku harus mengakui, Badril telah berhasil menarik perhatianku, dan aku tidak yakin apa yang harus kulakuka