Tanpa disangka-sangka, Nur yang baru tiga bulan bekerja di rumah majikannya, mengetahui sebuah rahasia besar di rumah itu. Ia berupaya mengumpulkan barang bukti untuk melaporkan sang majikan ke polisi. Tanpa barang bukti, laporan Nur tak diterima oleh kepolisian.
Lihat lebih banyakSudah tiga bulan ini, aku bekerja sebagai buruh cuci dan gosok. Rumah majikanku berada di Utara, sedangkan tempat tinggalku di Selatan. Berat di ongkos, memang. Namun, semua harus kulakoni agar dua buah hatiku bisa makan dan jajan.
Setiap awal bulan, gaji yang tak seberapa hanya bisa singgah. Sebab, sudah ada lobang yang menunggu untuk ditutupi. Yakni, utang di warung dekat rumah. Di sanalah kami bergantung sebelum waktu gajianku tiba. Alhamdulillah, daripada tak melihat uang sama sekali.
Menjadi janda tidaklah enak. Aku harus berjuang sendiri tanpa bantuan Ibu. Ibuku tak mempunyai penghasilan. Ia hanya diam di rumah menunggu uluran tangan anak-anaknya.
Sedih, entah mengapa nasib Ibu waktu muda bisa turun kepadaku. Beliau menjadi buruh cuci ketika Ayah telah tiada. Hal itu juga terjadi padaku. Berbeda kasus tentunya. Suamiku tak meninggal. Ia pergi memilih perempuan lain yang lebih molek dan montok. Sedangkan aku, pendek dan jelek. Padahal aku merasa tak pernah durhaka pada Ibu.
"Nur, aku ada perlu di luar. Nanti ambil cucian di kamar Felicia, ya. Dia sudah berangkat dari tadi. Aku tidak sempat mengeluarkan pakaian kotornya dari kamar," titah majikanku sesaat sebelum ia memasuki mobil.
"Baik, Nyonya."
Sebagai tukang cuci dan gosok, aku jarang sekali memasuki rumah. Tempat pembantu sebatas garasi saja. Setelah pakaian bersih dan rapi, Nyonya Vivian yang akan mengangkatnya ke dalam rumah. Hari ini sepertinya ia ada kegiatan di luar. Jadi, ia mengizinkanku untuk memasuki kamar anak tunggalnya itu.
"Tunggu Tuan pulang, baru kamu pulang ya, Nur," teriaknya seraya menjulurkan kepala saat mobil hendak keluar dari garasi.
"Baik, Nyonya."
Felicia jarang bertegur sapa denganku. Ia anak yang pendiam. Bila menaruh pakaian kotor, ia hanya sekedar menaruh tanpa bicara sepatah kata pun. Aku juga jarang mendengar mereka bercengkrama. Entahlah, mungkin malam hari disaat aku tak ada.
Helai demi helai kupisahkan antara pakaian putih dan pakaian berwarna milik Felicia. Pakaian kotornya tak bau. Tak ada aroma keringat yang menusuk hidung. Semuanya masih wangi. Hanya ada aroma pewangi pakaian yang sering kububuhkan saat mencuci dan menyetrika.
Deg!
Jantungku berdetak kencang saat memungut cel*na dalam milik Felicia. Anak seusianya seharusnya belum mengalami menstru*si. Kudengar dari sang mama, umur Felicia baru menginjak sebelas tahun. Entahlah jika ia gadis yang subur. Jorok sekali anak ini. Apa ia tak mengenakan pemb*lut saat haid?
Kembali kulanjutkan merendam cucian. Setelah direndam, aku pun sarapan dulu dengan lontong sayur yang kubeli di dekat rumah. Tadi tak ada lauk untuk sarapan. Anak-anak telah membawa bekal ke sekolah. Jadi aku tak mendapat bagian.
Selesai sarapan, aku pun memulai aktifitas menyikat dan mengucek pakaian yang telah direndam tadi. Mesin cuci tak disediakan, jadi aku harus menggunakan tangan. Jantungku kembali terpacu saat menemukan seprai terkena bercak dar*h. Seprai ini kuambil di keranjang pakaian kotor Felicia tadi. Tergesa-gesa memisahkan kain, aku tak memperhatikan seprai ini. Sepertinya bercak dar*h itu melebar karena berendam.
"Nur!" teriak seorang lelaki dari arah luar. Garasi sengaja kututup dan kukunci dari dalam agar tak ada yang masuk diam-diam.
"Iya, sebentar." Aku berlari menuju pintu garasi. Kulihat Tuan Felix tengah berdiri di samping mobilnya. Ia kembali memasuki mobil saat garasi kubuka.
Mobil Tuan Felix terparkir. Ia masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Tak lama, ia kembali dan menanyakan sesuatu yang membuatku curiga.
"Kau yang mengambil pakaian kotor Felicia?" tanya Tuan Felix dengan raut wajah cemas.
"Iya, Tuan. Nyonya Vivian yang menyuruh saya."
Kulihat ia menghembuskan napas lega. Ada apa dengannya? Mengapa ia menanyakan hal itu?
"Apa kau menemukan sesuatu yang ganjil?"
"Maksud Tuan?"
"Celana dalam. Celana dalam Felicia yang ada bercak darahnya."
"Ada, Tuan, ada."
"Apa sudah kau cuci dengan bersih?"
"Baru saja mau saya cuci, Tuan. Memangnya kenapa, Tuan?"
"Jangan banyak tanya, atau kau saya pecat."
"Baik, Tuan."
Tuan Felix berlalu seraya mengusap wajahnya dengan kasar. Jiwa ingin tahuku meronta-ronta. Aku ini tipe orang yang punya rasa curiga tinggi. Rasa curiga inilah yang membuatku menangkap basah mantan suami saat bersama perempuan lain.
Hati kecil ini bertanya-tanya. Apa yang terjadi pada Felicia hingga ada bercak dar*h? Mengapa pula Tuan Felix begitu cemas saat menanyakan celana dalam itu? Tulangku terasa lemas saat diancam akan dipecat.
"Nur."
Kembali kudengar Tuan Felix memanggil. Suaranya dari arah dalam rumah. Harus cepat kutemui agar tak disemprot olehnya.
"Ada apa, Tuan?"
"Aku lihat seprai Felicia telah diganti. Apa kau yang menggantinya?"
"Bukan saya, Tuan. Mungkin Nyonya."
"Ah, sial!"
Tuan Felix mengibaskan tangan menyuruhku pergi. Aku pun kembali melanjutkan aktififas yang sempat terhenti. Semoga ia tak memanggil lagi. Cucianku bisa tak selesai bila itu terjadi.
"Nur, aku pergi ke toko. Kunci garasinya kembali."
"Baik, Tuan."
Ia pulang ke rumah hanya untuk menanyakan hal itu. Mencurigakan, memang. Haruskah kukulik lebih jauh tentang problema di rumah ini? Ah, aku bukan siapa-siapa mereka. Mereka orang kaya. Pasti ada saja cara untuk menutupi rahasia. Tak akan ada yang mencurigai gerak-gerik mereka. Rumah ini tak terjamah oleh tetangga.
Aku akan mengorek informasi dari Laila. Ia yang mengenalkanku pada Nyonya Vivian. Karena Laila juga lah, aku diterima bekerja di sini. Kalau tidak, mungkin aku sudah mati kelaparan karena tak memegang uang.
***
Selesai sudah pekerjaanku hari ini. Saatnya berkemas dan bersiap-siap untuk pulang. Nyonya Vivian belum kembali. Aku harus menunggu Felicia pulang dari sekolah dulu atau menunggu Tuan Felix kembali dari toko.
Ting tong!
Suara bel membuatku senang. Ternyata tak perlu menunggu waktu lama. Aku bisa pulang karena seseorang telah datang.
Saat pintu garasi kubuka, kulihat wajah Felicia begitu murung. Selama ini aku tak memperhatikan wajahnya karena sibuk bekerja. Kali ini ia tak menunduk. Ia menatap wajahku dengan mata berkaca-kaca.
Aku tak berani bertanya. Ia takkan mau bercerita padaku. Ia berlari ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
***
Felicia tak kunjung keluar dari kamar. Padahal aku hendak pamit pulang. Sedikit lancang, aku pun berniat mengetuk pintu kamarnya. Tak sengaja kudengar ia berbicara dengan seseorang. Pintu kamarnya yang tak tertutup sepenuhnya, memudahkanku untuk mendengar."Aku lupa, Pi. Jangan bun*h Mami. Ampun, Pi. Aku tidak akan mengatakannya pada Mami."
Kurasa ia sedang bicara di telepon. Dari panggilan yang ia sebut, sepertinya ia berbicara dengan Tuan Felix. Ada apa ini? Apa yang terjadi di antara mereka? Mengapa kudengar Felicia seperti memohon. Apa ia diancam? Ah, ini tidak benar.
"Bi Nur?"
Tiba-tiba Felicia sudah berdiri di hadapanku. Pipinya basah oleh air mata. Bibirnya bergetar dan ia pun bersimpuh di lantai.
Tangisannya pecah. Dadaku ikut terasa sakit saat melihatnya. Sepertinya ia begitu terpukul.
"Nona, apa yang terjadi?"
Bersambung
Selimut pembungkus itu masih terlihat utuh meskipun bergelimang tanah. Namun aroma yang keluar dari dalam selimut itu serasa mampu membunuh segala pembuluh. Mungkin aroma itu telah menembus dinding-dinding tembok rumah warga karena disampaikan oleh angin siang ini.Perlahan bungkusan itu dibuka oleh beberapa petugas. Tak sulit untuk membukanya. Mereka memotong tali pengikatnya dengan gunting yang tajam. Bungkusan itu terbuka. Sesosok mayat tampak terbujur dengan anggota badan yang masih utuh.Muntah. Akhirnya kami semua tak sanggup lagi menahannya. Sebusuk inikah aroma bangkai manusia? Kupikir bangkai ayam sudah busuk. Ternyata bangkai manusia seratus kali lebih busuk hingga mengorek isi perut orang yang mencium aromanya.Nyonya Margareth sebagai ibunya saja tak sanggup mendekat. Ia jijik saat melihat jasad yang masih utuh. Awalnya ia mendekat ingin memeluk. Aroma itu membuatnya muntah dan menjauh.Plak!Lagi-lagi tamp
Nyonya Margareth mendekat. Lengan besarnya menjambak rambutku dan menyeret hingga kutunjukkan lokasi tempat Tuan Felix dikubur."Cepat tunjukkan di mana putra kesayanganku kau kubur!""Di sini, Nyonya," tunjukku pada sebuah pot besar bunga adenium. "Tapi aku hanya membantu mengubur. Aku bukan pembunuh.""Felix putraku. Felix-ku kau kubur di sini? Pantas saja bruno-ku menggaruk-garuk tanah ini waktu itu," tanya perempuan itu seraya meludahi wajah ini. Ia sama sekali tak mendengar pengakuanku. Nyonya Vivian berakting begitu sempurna. Ia ikut mendekat dan menutup mulut dengan kedua telapak tangannya."Ya ampun! Kau ... teganya kau membunuh majikanmu dan mengubur jasadnya di halaman rumahnya sendiri," ucap Nyonya Vivian pura-pura terkejut. Ia berlutut dan menangis sejadinya sambil memanggil-manggil nama Tuan Felix.Petugas melepas borgol di tanganku, lalu mendorong tubuh ini hingga tersungkur di dan tersandar di bibir pot bunga besar itu.&n
"Kau bercanda?"Tawa perempuan ber-eyeshadow warna gelap itu memecah kesunyian ruangan tempatku terbaring. Ia seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan barusan. Ia pikir aku bercanda. Namun tak lama, tawanya terhenti saat melihatku tak tertawa sama sekali."Kau serius?" tanya perempuan itu lagi. Ia menurunkan anjing yang sedari tadi duduk di pahanya. Anjing itu duduk di lantai seraya menjulurkan lidah. Apa di rumah sakit ini bebas membawa binatang peliharaan?"Aku serius, Nyonya."Wajah perempuan itu berubah sangar. Mata sipitnya ia paksa membelalak ke arahku. Lengan besarnya meraih leherku dan aku pun susah untuk bernapas."Jadi benar yang dikatakan oleh menantuku? Kau telah membunuh putraku yang merupakan majikanmu sendiri? Mengapa? Apa salah putraku?"Anjing yang sedari tadi hanya diam, menjadi gelisah saat melihat Nyonya Margareth mencekik leherku. Andai anjing itu bisa bicara, mungkin ia akan berlari ke luar d
"Apa yang terjadi padaku, Bu? Mengapa kalian sedih sekali?"Ibu menggeleng, tetapi air matanya terus mengalir. Firasatku mulai buruk. Pasti ada sesuatu yang terjadi padaku, tetapi Ibu tak mau mengatakannya."Katakan, Bu."Ibu menarik lengan Ferdy dan Teddy. Ia membawa anak-anak ke luar ruangan. Tak lama, ia kembali seorang diri. Air mata itu masih saja mengalir bagai sungai kecil di pipinya."Nur, aku tak mau kehilanganmu.""Mengapa Ibu bicara seperti itu?""Dokter bilang, kau mengalami gegar otak akibat pukulan keras. Tadi kupikir kau sudah tiada karena koma beberapa jam. Ini keajaiban. Kau benar-benar perempuan yang kuat, Nur."Saat kami mengobrol, beberapa orang petugas kepolisian memasuki ruangan. Salah seorang dari mereka membawa sebuah kayu balok yang dibungkus dengan plastik. Untuk apa balok itu? Di belakang mereka, aku melihat seorang perempuan yang menggendong seekor anjing berbulu tebal. Ibunya Tuan Felix. Untuk
"Tapi mengapa, Tuan? Apa yang dilakukan oleh Baron?""Anda bisa datang langsung ke kantor kami, Nyonya.""Baiklah."Ibu menatap wajahku dengan seksama. Ia mengangkat alis seolah bertanya, apa yang terjadi pada Baron. Tanpa bicara, aku berdiri meninggalkan Ibu di meja makan. Mungkin dengan beribu pertanyaan di benaknya."Nur, kau mau ke mana?" teriak Ibu dari luar saat aku mengganti pakaian di dalam kamar. Tangan ini gemetar tak karuan. Jantung berdebar begitu cepat seolah berpacu dengan detik jam. Gerakan tubuh ini terasa kian melambat saat kurasakan nyeri di lengan sewaktu memasukkan tangan ke dalam lengan baju. Tak sabar ingin cepat-cepat menemui Baron di sana."Argh.""Nur, kau tak apa-apa?""Sama seperti tadi, Bu. Memasukkan tanganku ke dalam lengan baju itu membuat lenganku ngilu.""Biar aku bantu.""Tak usah. Sudah selesai."Saat ke luar kamar, Ibu menghadang jalanku. Sepertinya ia begitu khawati
Tanpa sadar, telapak tanganku mendarat di pipi kanan Harry. Entah apa yang ia lakukan di rumah ini. Tanpa bertanya, ia menuduhku yang tidak-tidak."Jaga mulutmu, Harry!"Baron berdiri mematung menyaksikan adegan yang tak mengenakkan barusan. Aku tahu, ia pasti takkan senang dituduh macam-macam."Bukankah itu sebuah kenyataan? Kau begitu murahan. Berjalan dengan seorang lelaki ....""Sudah, Harry. Jangan bertengkar di depan pintu. Kau dari mana saja, Nur? Bukankah tadi kau bilang pergi ke rumah Nyonya Vivian untuk mengambil sebuah surat?" tanya Ibu memotong pembicaraan Harry. Lelaki itu menghembuskan napas dengan kasar. Matanya liar mengamati Baron dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pasti Harry merasa cemburu."Aku ...."Mulutku tak sanggup lagi melanjutkan. Getaran di bibir ini sangat kuat. Mata ini mulai panas karena genangan cairan bening. Cairan itu memaksa untuk keluar."Kau kenapa?"Semakin ditany
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen