"Sudah, Pak. Aku lihat langsung di i*******m tadi." "Bapak puas sekali melihat keterpurukan mereka, Nduk. Akhirnya balasan dari Allah langsung datang tanpa menunggu lama. Perlahan-lahan wanita sombong itu merasakan sakit yang lebih besar dari yang kamu rasakan." "Allah nggak tidur, Pakde. Setiap perbuatan buruk yang dilakukannya, tanpa sadar dia sudah menciptakan karma untuk dirinya sendiri," timpal Mas Abi. "Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Pak?" "Kita tunggu saja mereka pulang dari Singapura. Bapak akan tanya Irwan nanti perihal kepulangan mereka. Dan tanpa membuang waktu, kita langsung tagih utang pada mereka. Rasanya pasti seperti sudah jatuh, tertimpa tangga pula." ** Ternyata Bu Rahma pergi ke Singapura bersama Bang Arman. Dan berita yang diterima dari Pak Irwan, mereka tiba dengan pesawat pagi tadi dan langsung ke Jogja. Katanya Bu Rahma mau meninjau toko batik mereka di sini. "Kamu sudah siap?" tanya Bapak. "Sudah dong, Pak. Mas Abi mana?" "Kenapa tanya-t
"Tega banget kamu sama saya, Nia. Saya ini dulunya mertua kamu!""Justru karena anda itu dulunya mertua saya, makanya saya buat seperti ini. Jangan pernah lupakan apa yang pernah anda buat dulu pada saya dan Indah. Apa anda pernah mengganggap kami ada?""Berarti benar kamu mau membalas dendam padaku 'kan?""Anda pikirkan saja sendiri!" sentakku sambil menunjuk kening. "Orang seperti anda tidak patut dikasihani!"Bapak mengusap lenganku untuk menenangkan. Bara api emosiku saat ini sangat meluap-luap. Bayangan perbuatan mereka masa ketika masih menjadi menantu dan istri dari anaknya, masih menari di ingatan."Semua ini adalah balasan dari Allah atas apa yang anda lakukan pada aku dulu. Nggak harus aku yang membalas, tapi alam yang sudah membalas." Aku tertawa sinis."Terserah kalian mau bilang apa! Tapi, tolong berikan aku waktu untuk istirahat. Otakku penat!" Suaranya sudah mulai merendah sambil meremas rambutnya.Aku memandang ke arah Bapak. Ia tak memberi isyarat jawaban apa-apa. Sepe
Bab 21 "Memangnya kamu siapa? Jangan ikut campur!" Bang Arman melotot garang dengan dada sedikit dibusungkan ke depan, menantang Mas Abi. Postur lebih tinggi Bang Arman memang, namun Mas Abi lebih kekar dan berisi dibandingkan mantan suamiku itu. "Harusnya aku yang balik bertanya. Kamu siapa? Kamu itu bukan siapa-siapa bagi Kania, kecuali mantan suami." Mas Abi menekan ucapannya di kalimat "mantan suami". "Asal kamu tahu ya, Arman." Bapak kali ini ikut membuka suara. "Nak Abimanyu ini calon suaminya Kania. Pengganti laki-laki yang tak berguna seperti dirimu!" Ekspresi Bang Arman tampak terkejut. Namun ia berusaha untuk menata bahasa tubuhnya. Aku pun tak kalah terkejutnya. Kenapa Bapak bisa tiba-tiba terpikir untuk berkata demikian. Entah bagaimana ekspresi Mas Abi. Pasti ia pun tak kalah terkejutnya dari aku dan Bang Arman. "Oh, hebat banget. Padahal belum lama bercerai dariku." "Untuk apa lama-lama larut dalam kesedihan, Arman? Apalagi laki-laki sepertimu tak pantas untuk di
Cepat aku menyambar remote televisi di atas meja untuk menambah volume. Kubaca satu persatu tulisan yang tertera di bagian bawah layar. Astaghfirullah, ternyata Bu Rahma terlibat kasus pembunuhan? Tapi, pembunuhan siapa? Tanpa kusadari, ternyata aku sudah berada di depan televisi layar datar itu. Wajah yang ditutupi masker itu terus tertunduk dengan mengenakan baju tahanan berwarna oranye. "Astaghfirullah, ternyata dia membu-nuh suami dan selingkuhannya, Mbak Kania." Mas Darmo berkomentar. Aku menggeleng tak habis pikir, kenapa dia sanggup melakukan perbuatan senekat itu. Drrrt drrrt. Getaran sekaligus dering ponsel berdering di kantong dasterku. Nama Mas Abi tertera di layar. "Halo, assalamualaikum, Mas." "Wa'alaikumussalam, Kania. Kamu sudah lihat berita di televisi?" ucap Mas Abi di seberang telepon. "Sudah, Mas. Bu Rahma membu-nuh Pak Wahyu?" "Ternyata hanya masih percobaan pembu-nuhan, Kania. Barusan sudah ke luar berita terbaru. Aku tadi tanya pada Irwan. Pak Wahyu suda
Ia menatapku dengan tatapan nyalang. Tebersit rasa iba, karena tersirat kekhawatiran yang mendalam akan kondisi ibunya.Arman memang berbeda dari anak-anakku yang lain. Ima dan Ella saja tidak pernah peduli lagi, sejak tahu kalau aku ternyata memiliki utang yang banyak pada Kania--ipar yang selama ini mereka hina.Tapi, persoalan ini Arman tidak perlu tahu. Biarkanlah aku yang mengatasinya sendiri. "Tapi, Bu. Ibu kelihatannya sedang nggak baik-baik saja. Aku khawatir.""Sudahlah! Ibumu ini bukan anak-anak. Dan kamu tahu kalau ibu itu paling nggak suka diatur-atur 'kan?"Putraku itu mengangguk lirih. Ia memutar tubuhnya dan duduk di sofa.Kulanjutkan langkah menuju lorong samping yang jarang sekali ada yang melewatinya. Karena ini adalah jalan menuju gudang yang sudah tidak terpakai.Cepat kutekan nama Indra dari daftar kontak. Tak lama suara nada sambung terdengar di ujung telepon."Ya, halo, Bu Rahma? Ada yang bisa dibantu?""Oh, tentu saja. Justru karena itu lah aku meneleponmu. Ka
(Masih) POV BU RAHMAAku mulai ketar-ketir dibuat lelaki muda itu. Kurang ajar, malah dia yang balik mengancam. Kalau sampai Indra mundur dari pekerjaan ini, bisa gawat. Mana mungkin aku melakukan itu sendiri."Oke, oke, aku minta maaf sama kamu, Indra," ucapku. "Aku mohon, kamu mau membantuku ya. Tolong, Nak Indra.""Nah, begitu 'kan enak didengar, Bu Rahma. Saya ini bukan detektif abal-abal. Banyak kasus yang saya tangani dengan bayaran yang jauh lebih mahal dari bayaran anda. Jadi, jangan terlalu bertingkah, Bu."Aku meneguk ludah. Bocah ingusan ini membuatku benar-benar mati kutu.Dua hari kemudian, panggilan masuk ke ponsel saat aku tengah sarapan dengan selembar roti dan selai cokelat di atasnya. Sudah dua hari ini, perutku hanya masuk makanan seadanya. Sungguh rasanya tidak bernafsu untuk makan."Halo, Indra. Bagaimana, sudah ada kabar di mana keberadaan suami saya?" tanyaku langsung tanpa berbasa-basi."Ya sudah dong, Bu. Anda tenang saja. Sekarang saya sedang di lokasi di man
"Dasar, lelaki kurang ajar, bia-dab, breng-sek, nggak tahu diri. Ternyata uangku kamu curi demi perempuan ja-lang ini, huh?""Kamu ngomong apa sih, Dek?" tanya Bang Wahyu sok polos."Nggak usah berlagak nggak tahu!" teriakku sampai sampai terdengar membahana di kamar tersebut.Bugh. Aku terkejut karena sebuah pukulan benda tumpul mengenai tengkuk belakang. Ternyata Rossa mencoba melumpuhkanku dengan memukulkan pajangan yang terbuat dari kayu. Hanya saja pukulannya tidak terlalu kuat.Terasa sakit memang. Tapi entah kekuatan dari mana, aku tetap masih bisa berdiri meski menahan rasa sakit.Kuputar balik tubuh dan menatap tajam ke arah wanita berkulit putih itu. "Berani kamu memukul aku? Aku ini istri sah lho! Memang zaman sekarang ini semua pelakor memang nggak punya malu."Kuayunkan kembali tongkat kasti itu ke arah Rossa yang beringsut mundur.Bugh bugh bugh."Aaaaw! Ampuuun ... Sakiiit, Bu, sakiiit," teriaknya.Aku tak peduli. Pukulan terus kulayangkan ke tubuh pelakor itu."Ini c
Langit terlihat begitu mendung. Awan hitam menggumpal menyelimuti sebagian langit. Sepertinya hujan akan turun sebentar lagi.Kubenahi hijab voal-ku dari pantulan kaca jendela, lalu pandangan kembali jatuh pada langit yang terlihat jelas dari lantai tiga pabrik batik.Napas kutarik dalam-dalam, menikmati udara yang masuk dari celah jendela yang sengaja kubuka sedikit.Tak lama kemudian ponsel berdering dari dalam saku celana. Kurogoh kantong celana untuk mengambil benda pipih tersebut. Huuuf ... Kubuang napas kasar. Telepon dari Bang Arman.Aku berpikir sejenak sambil mengetuk-ngetuk ponsel. Masih menimbang-nimbang, untuk mengangkat telepon dari Bang Arman atau tidak.Lelaki itu masih saja terus menelepon meski sudah kuabaikan berkali-kali. Ah, lebih baik kuangkat saja. Setidaknya aku tahu maksud dia menelepon itu apa."Halo, mau apa lagi kamu menelepon, Bang?" angkatku ketus."Jangan ketus begitu dong, Dek," tukasnya dengan nada lembut.Bola mataku berputar malas seraya menghembuska