Thanks yang sudah mau mampir. Jangan lupa yaa, tinggalkan vote bintang lima kamu dan gem untuk Hana. Hihihi ....
Kulemparkan tatapan ke arah Bang Arman yang berdiri melipat tangan. "Saya dan suami sudah bercerai." "Sudah lama, Mbak?" "Baru kemarin ketuk palu." "Boleh tahu alasannya?" "Bapak merahasiakan siapa kami yang sebenarnya. Mereka mengira saya ini hanyalah pemetik teh biasapmo sama seperti yang lainnya. Dan mereka juga mengira Bapak dan Ibu cuma petani upahan. Selama ini mereka nggak tahu atau lebih tepatnya mereka nggak mau tahu dengan keluarga saya. Jadi, yah, begitulah. Mereka nggak henti menghina, bahkan saya nggak diizinkan untuk pulang ke rumah orang tua saya. Saat bapak dan ibu mau bertemu saya, mereka pun takk pernah mengizinkan," tuturkup panjang lebar. "Bahkan suamiku selalu tunduk pada perintah ibunya yang selalu ikut campur dengan rumah tangga kami. "Astaga. Jahat banget sih, Mbak," celetuk salah seorang wartawan perempuan. "Iya, benar. Cocok banget laki-laki begitu ditinggal, Mbak," sambung yang lainnya. Dari atas pentas, aku bisa melihat Bu Rahma, Ima dan Ella bergera
Part : 13 POV Bu Rahma Kakiku benar-benar rasanya masih lemas. Tungkai lutut ini serasa tak mampu menopang tubuh, begitu mendengar Nia--mantan menantu yang selalu kuhina. Tak tanggung-tanggung, bahkan bapak dan ibunya pun tak luput dari hinaan yang ke luar dari bibir ini. Kenyataannya dia bos dari pabrik yang selama ini menjadi tempat kami memasok batik. "Ibu ngapain sih pakai pingsan segala? Bikin malu tahu nggak," omel Ima. "Namanya juga ibu shock dan terkejut mendengar si Nia itu ternyata pewaris tunggal dan bos dari Surya Pradana Grup. Seperti mimpi rasanya." Aku tersandar sambil menatap kosong ke arah plafon. "Makanya, Bu, jangan pernah memandang orang lain dari status kaya atau nggak. Malu sendiri 'kan?" tukas Bang Wahyu. Mendengar itu, aku sontak langsung duduk tegak di kursinya. "Eh, kamu tuh diam saja ya, Bang. Suara kamu nggak dibutuhkan. Kerja saja kamu nggak becus. Lihat, toko dan kebun teh bukannya semakin maju, malah semakin merugi," rutukku kesal. "Bikin kesal s
Kulihat Bapak bersiap-siap memasukkan pakaiannya ke dalam ransel. "Bapak mau ke mana?" "Bapak mau ke Jambi. 'Kan mau mengurus pembayaran kebun sawit kita yang sudah terjual." "Bukannya Bapak bilang mau ditransfer saja. "Pembeli kebun sawit kita ternyata mau sekalian mengurus balik nama. Jadi bapak harus ke ana. Setelah itu, kita akan segera mencari tahu soal kebun teh ibunya Arman. Kemarin bapak dengar kabar dari salah satu karyawan mereka, pihak bank sudah menagih karena utang mereka sudah jatuh tempo. Kebun teh mereka sudah berada di ujung tanduk." Aku tersenyum. "Reputasi mereka pun sudah buruk di mata publik, Pak. Berita tadi malam cepat banget tersebar di sosial media." Kuarahkan ponselku ke hadapan Bapak. "Kamu menyimpan dendam sama mereka, Nduk?" Aku terdiam. Pertanyaan yang membuatku agak berpikir. "Kamu boleh membenci mereka. Tapi, Bapak harap kamu jangan sampai menyimpan dendam pada mereka ya, Nduk. Itu nggak baik. Bapak nggak pernah mengajarkan kamu seperti itu. Kita
Part : 14 POV BU RAHMA Di depan pintu ruangan direktur, langkahku terhenti. Suara tawa cekikikan wanita terdengar dari dalam. Kurang a-jar! Darahku mendidih seketika mendengar suara wanita dari ruangan suamiku. Kudorong pintu dengan penuh emosi. Awas saja kalau si Wahyu berani bermain gila dengan wanita lain. "Bang!" Bang Wahyu duduk di belakang mejanya dengan menatap laptop di depannya. Tangan kanannya menggenggam mouse. Netraku beralih pada sekretarisnya yang bernama Rossa itu. Tebakanku usianya mungkin sekitar dua puluh tiga tahunan. Perasaanku menangkap hal yang mencurigakan dari mereka berdua. Gerak gerik mereka seperti menutupi sesuatu. "Kamu ngapain di sini, Rossa?" "I-ini, Bu. Ada berkas yang mesti ditandatangani," alasannya terbata. "Lalu, kenapa pintunya harus ditutup? Terus tadi ada suara cekikkan. Suara siapa? Kamu, Rossa?" serangku dengan pertanyaan penuh selidik. "Tadi, tadi, anu--" "Jangan berprasangka dulu, Dek. Tadi Rossa memang yang tertawa. Karena tadi a
Sebenarnya aku tak yakin. Tapi, memang mau tak mau, kebun teh itu harus dijual untuk membayar utang-utang dengan Surya Pradana. Belum lagi utang dengan bank. Duh, kepala ini semakin berdenyut. "Baik, Bu. Kami beri kelonggaran untuk Ibu membayar utang-utang Ibu dengan kami, sampai satu bulan ke depan. Tapi, Ibu harus menandatangani surat perjanjian ini." Pak Rio kembali mengangsurkan sebuah map. "Apa ini?" "Surat perjanjian, Bu. Kami setuju beri kelonggaran untuk toko Ibu, asal Ibu bersedia menandatangani surat ini. Silakan Ibu baca lebih dulu." Kembali satu persatu aku membaca kata per kata yang tertulis di kertas bermeterai itu. Astaga! Aku terkejut membaca bagian akhir tulisan di surat perjanjian tersebut. Apabila aku tidak menepati janji untuk membayar utang sesuai yang dijanjikan, pihak Surya Pradana akan membawa masalah utang piutang ini ke perdata. Tubuhku terasa panas dingin. Bagaimana ini? "Ada apa, Dek?" tanya Bang Wahyu. Tak menjawab, aku hanya menyodorkan surat perj
PART : 16 "A-apa? Kamu nggak salah, Irwan?" "Nggak, Bu. Mereka 'lah yang saya ceritakan akan membeli kebun kita." "Nggak, nggak mungkin." Bu Rahma terduduk lemas. Bibir wanita itu meracau, sambil tangannya memegangi dahi. Dengan tersenyum miring, aku berjalan mendekati wanita yang tampak sangat terpukul itu. Siapa tahu dengan mendekatinya, ibunya Bang Arman itu semakin terpukul. Dalam hati aku tertawa jahat. "Memangnya sudah saling kenal ya?" tanya Irwan. "Tentu saja, Pak Irwan. Beliau ini adalah mantan mertuaku." "Mantan mertua? Bukannya besan Bu Rahma yang dulu itu cuma ...." Pak Irwan menggantung ucapannya. "Cuma petani miskin dan orang kampung?" Pak Irwan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Hai, Bu. Kita ketemu lagi tapi dalam situasi dan keadaan yang berbeda." Wanita berambut sebahu itu melirik sedetik dengan sudut matanya, lalu membuang pandangannya kembali. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin malu, kesal atau ... Ah, entah lah! Tapi, aku benar-benar pu
Selesai makan, pembicaraan mulai mengarah ke topik negosiasi. Notaris dari pihak Bapak membuka suara dan menjelaskan isi dari surat. Ternyata Bapak sekalian mengurus balik nama kebun teh itu menjadi namaku. "Silakan Ibu menandatangani surat ini," ucap notaris pria itu. Ibu tampak ragu-ragu untuk meraih pulpen yang diberikan. Sejenak ia masih memainkan pulpen. Jelas sekali raut keberatan tergambar jelas di wajahnya. "Tolong segera ditanda tangani ya, Bu. Kami nggak punya banyak waktu untuk menunggu terlalu lama," cetusku mulai kesal. Ia melemparkan tatapan tajam ke arahku. "Jangan mentang-mentang kamu itu kaya dan bisa membeli kebun teh kami, terus kamu jadi sombong, Nia!" bentaknya dengan suara tinggi. "Tapi kenyataannya memang seperti itu 'kan, Bu? Wanita sombong seperti anda, yang dulu selalu menghina aku dan keluargaku, sekarang justru sudah berada di ujung kebangkrutan 'kan? Kami yang dulu selalu anda hina, justru kami yang membeli kebun teh anda. Terus, anda juga justru memi
POV AUTHOR Pak Wahyu menghela napas. "Ya iya 'lah, Dek. Masa kamu lupa." "Jadi tadi itu bukan mimpi?" "Bukan, Dek." Bu Rahma menjerit histeris lalu kembali tak sadarkan diri. Arman yang baru saja tiba di Lembang, berlari masuk karena mendengar suara teriakan histeris ibunya. "Bu, Ibu kenapa?" tanyanya panik melihat ibunya menangis sambil meremas rambut. "Arman, huhuhu ...." Bu Rahma menangis menghambur ke pelukan putra semata wayangnya. "Kamu kapan datang, Man?" "Baru saja, Bu." "Huhuhu ... Untung kamu datang, Nak. Ibu stres, Arman." "Stres kenapa, Bu?" "Kebun teh kita sudah terjual, Man. Dan kamu tahu siapa yang beli kebun kita?" "Siapa, Bu?" "Nia, Man. Huhuhu ...." Bu Rahma kembali menangis dan membenamkan wajahnya dalam pelukan Arman. "Nia? Nia mantan istriku, Bu?" Bu Rahma mengangguk. Pikiran Arman menerawang. Yang membeli kebun ibu itu adalah Nia. Ternyata Nia memang sangat kaya, sampai mampu membeli kebun teh seluas itu. Kenapa nggak dari dulu saja aku tahu kalau