Ayunda mengalami nasib tragis. Baru saja menikah, ia justru harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya membawa wanita lain ke rumah di malam pertama. Hatinya hancur, dan pertengkaran hebat pun tak terhindarkan. Dalam emosi yang meluap, Ayunda terjatuh dari tangga dan mengalami koma selama lima tahun. Di tengah ketidakadilan yang menimpanya, hanya satu orang yang setia berada di sisinya—Ardan, kakak iparnya. Selama lima tahun itu, Ardan menjadi satu-satunya orang yang merawat dan menjaganya tanpa lelah. Ia memastikan Ayunda mendapatkan perawatan terbaik, bahkan rela mengorbankan banyak hal demi wanita yang tidak pernah benar-benar menjadi miliknya. Namun, saat Ayunda akhirnya terbangun, dunia sudah banyak berubah. Rahasia yang selama ini disimpan rapat oleh Ardan perlahan terungkap, mengguncang perasaan Ayunda. Kini, ia harus menghadapi kenyataan baru—tentang pengkhianatan, kesetiaan, dan perasaan yang selama ini tersembunyi di hati Ardan.
View MoreArdan menghela napas panjang, menatap wajah Ayunda yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Lima tahun telah berlalu sejak malam tragis itu, dan selama itu pula ia menjadi satu-satunya orang yang setia menemani Ayunda. Setiap hari, ia memastikan adik iparnya mendapatkan perawatan terbaik. Ia mengurus segala kebutuhannya, mulai dari mengganti perban luka-lukanya, memijat tubuhnya agar otot-ototnya tidak kaku, hingga membacakan cerita di sampingnya dengan harapan Ayunda bisa mendengar dan suatu hari akan bangun.
Banyak orang yang mempertanyakan keputusannya. Bahkan ibunya sendiri pernah berkata, "Dia bukan istrimu, Dan. Kenapa kamu begitu keras kepala?" Tapi Ardan hanya tersenyum pahit. Ia tahu, perasaan yang ia miliki untuk Ayunda jauh lebih dalam dari sekadar tanggung jawab keluarga. Suaminya? Lelaki yang seharusnya ada di sini? Ia bahkan tak pernah datang setelah insiden itu. Sejak Ayunda terjatuh dan koma, pria itu seperti menghilang, tenggelam dalam kehidupannya sendiri dengan wanita yang telah dibawanya di malam pertama pernikahannya. Ardan masih ingat jelas malam itu. Tangisan Ayunda yang penuh luka, teriakan yang memenuhi rumah, dan akhirnya suara benturan keras yang membuat semua orang terdiam. Saat ia menemukan Ayunda tergeletak di dasar tangga, tubuhnya gemetar hebat. Rasa bersalah menghantamnya seperti ombak besar. Seandainya saja ia datang lebih cepat, seandainya saja ia bisa mencegah semuanya …. Tapi tak ada gunanya menyesali masa lalu. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menjaga Ayunda, setidaknya sampai wanita itu membuka matanya lagi. *** Malam itu, seperti biasa, Ardan duduk di kursi di samping ranjang Ayunda. Tangan besarnya menggenggam tangan Ayunda yang terasa dingin. "Ayunda … aku tahu kau pasti lelah. Tapi bisakah kau bangun sebentar saja? Aku ingin mendengar suaramu," bisiknya lirih. Tak ada jawaban, hanya suara mesin medis yang berbunyi pelan. Tapi Ardan tetap bertahan, seperti yang selalu ia lakukan selama lima tahun terakhir. Yang tidak ia sadari, jemari Ayunda yang berada dalam genggamannya sedikit bergerak. Hal kecil yang bisa saja luput dari perhatian, tapi cukup untuk mengubah segalanya. Ardan masih terpejam saat jemari Ayunda bergerak untuk kedua kalinya. Awalnya hanya sedikit, lalu semakin jelas. Ia terlalu lelah untuk menyadarinya, pikirannya masih terjebak dalam keputusasaan yang selama ini ia pendam. Namun, suara lirih yang hampir tak terdengar membuatnya tersentak. "Ar … dan .…" Jantungnya seakan berhenti berdetak. Dengan mata melebar, ia menatap Ayunda yang kelopak matanya mulai bergerak, napasnya sedikit tersengal. "Ya Tuhan … Ayunda?" Suaranya bergetar, tak yakin apakah ini mimpi atau kenyataan. Ia menggenggam tangan Ayunda lebih erat, memastikan bahwa yang ia lihat bukan sekadar halusinasi yang selama ini menghantuinya. Kelopak mata Ayunda perlahan terbuka. Cahaya lampu rumah sakit membuatnya menyipit, sementara kesadarannya masih samar-samar. Napasnya berat, bibirnya pecah-pecah, tapi ia tetap berusaha mengeluarkan suara. "Di … di mana aku?" Air mata yang selama ini ditahan Ardan akhirnya jatuh. Lima tahun ia menunggu momen ini, lima tahun ia berdoa agar Ayunda kembali. "Kau di rumah sakit, Ayunda … aku di sini," jawabnya cepat, suaranya dipenuhi emosi yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Ayunda mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi semuanya terasa kaku. Kepalanya sakit, pikirannya kosong. Ia berusaha mengingat, tapi yang muncul hanya kepingan-kepingan ingatan yang tak utuh. Lalu, seperti kilatan petir di kepalanya, satu nama muncul. "Mahesa .…" Ardan langsung membeku. Nama itu … nama lelaki yang seharusnya ada di sini, yang seharusnya menunggunya bangun, bukan dirinya. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya, tapi ia tetap tersenyum. "Jangan pikirkan apa pun dulu. Istirahatlah," katanya lembut, menenangkan. Ayunda menatapnya dengan mata lemah, seakan ingin bertanya banyak hal. Namun, tubuhnya terlalu lelah untuk itu. Tak butuh waktu lama hingga matanya kembali tertutup, tapi kali ini bukan dalam kegelapan koma—melainkan hanya tidur biasa. Ardan menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang basah. Ia seharusnya bahagia, tapi ada ketakutan yang menghantuinya. Setelah lima tahun, Ayunda akhirnya kembali. Tapi apakah ia siap menghadapi kenyataan bahwa ingatan tentang Mahesa masih ada dalam benaknya? Bahwa mungkin, begitu ia pulih, yang pertama kali ia cari adalah pria itu—bukan dirinya? Ardan menggenggam tangan Ayunda sekali lagi, kali ini lebih erat. Ia tahu, perjalanannya belum selesai. Justru, semuanya baru saja dimulai. Ardan terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu, ke awal pertemuannya dengan Ayunda. Ia ingat betul bagaimana keluarganya menentang pernikahan Mahesa dengan gadis itu. Bukan karena Ayunda memiliki sifat buruk, melainkan karena ia berasal dari keluarga sederhana yang dianggap tidak pantas masuk ke dalam keluarga mereka. Awalnya, Ardan tidak peduli. Ia menganggap itu hanya drama yang akan berlalu dengan sendirinya. Tapi seiring waktu, ia mulai menyadari betapa tidak adilnya perlakuan Mahesa terhadap istrinya sendiri. Mahesa, dengan sikap playboy-nya, sama sekali tidak memperlakukan Ayunda sebagai seorang istri. Ia tetap menjalani kehidupannya yang bebas, sementara Ayunda dibiarkan begitu saja—terisolasi, tanpa kasih sayang, tanpa perlindungan. Di tahun kedua Ayunda koma, dalam keadaan mabuk, Ardan melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Ia memasuki kamar Ayunda, duduk di tepi ranjang, menatap wajah gadis yang tak berdaya itu. Dalam pikirannya yang kabur oleh alkohol, ia bertanya-tanya mengapa Mahesa tak pernah menjenguk istrinya sendiri. Tanpa sadar, dorongan yang selama ini ia pendam mengambil alih. Dan saat itu terjadi, ia menyadari sesuatu yang membuatnya terkejut—Ayunda masih suci. Mahesa, playboy yang selalu membanggakan petualangan cintanya, ternyata tidak pernah sekalipun menyentuh Ayunda. Kesadaran itu seharusnya menghentikannya, seharusnya membuatnya tersadar bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah dosa besar. Tapi, bukannya berhenti, ia justru semakin tenggelam dalam kesalahan itu. Ayunda menjadi candunya. Setiap malam, ia kembali, menikmati tubuh yang tak bisa melawan, menciptakan dunia di mana hanya ada dirinya dan wanita yang seharusnya tidak ia sentuh. Dan kini, Ayunda terbangun. Ardan menatap wajahnya yang mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Rasa bersalah menghantamnya seperti gelombang besar, tapi di balik itu ada ketakutan yang lebih dalam. Apa yang akan terjadi jika Ayunda menyadari semuanya? Jika ia mengetahui bahwa kehormatannya telah direnggut bukan oleh suaminya, melainkan oleh kakak iparnya sendiri? Apakah setiap malam jika dirinya melakukan Ayunda bisa merasakan? Apakah Ayunda bisa mendengar? Rasa dilema menghampiri Ardan. Selama ini dirinya terlalu naif menganggap jika Ayunda tetap akan menjadi miliknya. Tapi, sekarang dirinya harus disadarkan dengan wanita itu yang sudah sadar dari komanya. Mungkin saat ini Ayunda belum sadar, belum mengingat apa pun. Tapi waktu akan terus berjalan, dan ketika semuanya kembali padanya. Apakah Ardan siap menerima kebenciannya?Beberapa hari setelah liburan itu, tibalah waktunya Aluna dan Elvano mulai sekolah di tempat baru: sekolah internasional dengan program khusus bahasa Arab yang sudah didaftarkan oleh Dipta.Pagi itu, Aluna menyiapkan seragam barunya dengan tangan sedikit gemetar. Semua terasa asing: warna seragam, lambang sekolah, bahkan bau buku tulis barunya pun berbeda. Ia menatap bayangan dirinya di cermin, menarik napas panjang sambil berbisik, “Nuna pasti bisa.”Dipta dan Ayunda ikut mengantar sampai gerbang sekolah. Elvano berusaha tampak santai, meski dari sorot matanya, Aluna tahu kakaknya juga gugup. “Jangan takut, Nuna. Kita sama-sama kok,” katanya, mencoba menguatkan.Begitu masuk ke lingkungan sekolah, suasana benar-benar berbeda. Anak-anak dari berbagai negara berjalan tergesa sambil berbicara dengan campuran bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ada yang berkulit putih, sawo matang, hingga hitam legam—semua bercampur di satu tempat yang penuh warna.Guru-guru menyambut mereka dengan ramah, me
Keesokan paginya, mereka berangkat lebih awal menuju bandara. Matahari baru saja terbit, cahayanya masih lembut menyinari jalanan. Koper-koper besar sudah dimasukkan ke dalam mobil, dan semua anggota keluarga tampak sedikit canggung, menyembunyikan rasa haru di balik senyum.Aluna duduk di kursi mobil sambil memeluk boneka beruang kecil pemberian Adam. Tatapannya kosong memandang keluar jendela, berusaha merekam setiap sudut jalan yang sudah begitu akrab di matanya. Sementara itu, Ayunda sesekali menoleh ke belakang memastikan anak-anaknya baik-baik saja. Elea duduk di pangkuan William, tampak masih mengantuk.Sesampainya di bandara, suasana menjadi semakin emosional. Beberapa kerabat yang ikut mengantar menahan air mata. Pelukan, doa, dan ucapan hati-hati terdengar silih berganti. Dipta mengusap bahu Aluna dan Elvano sambil berbisik, “Kita mulai perjalanan baru, Nak. Jangan takut.”Tak lama kemudian, mereka pun naik pesawat. Aluna memandangi jendela, melihat Indonesia perlahan mengec
Mereka semua sudah sibuk mempacking barang-barang. Di sana, Dikta pun sudah mendapatkan tempat tinggal yang pas, nyaman, dan strategis untuk keluarganya. Ia tak mau jika sesampainya di Australia nanti keluarganya justru kesulitan. Dikta benar-benar memprioritaskan kenyamanan; menurutnya, itu adalah hal yang paling penting. Ia tak ingin anak-anak dan istrinya merasa tidak betah di tempat baru.“Anak-anak juga sudah aku daftarkan di sekolah internasional yang mengajarkan bahasa Arab. Semoga saja mereka bisa cepat beradaptasi dan belajar dengan baik,” ucap Dikta sambil menata dokumen penting di koper.Ayunda mempercayakan semua urusan itu kepada suaminya. Ia sendiri sibuk mengemas pakaian anak-anak, yang ternyata jumlahnya cukup banyak.Sementara itu, rumah mereka di Indonesia diserahkan kepada William untuk diurus. Bahkan, kalau William mau tinggal di sana pun tidak masalah, karena masih ada beberapa pembantu yang bertugas merawat rumah. Ayunda juga berpikir, mungkin suatu hari nanti si
Di detik-detik terakhir Aluna masih berada di Indonesia, Adam semakin berani mendekatinya. Bahkan sekarang Adam sudah memiliki nomor ponsel Aluna dan mereka kadang saling bertukar pesan singkat.Hari ini, Adam memberanikan diri untuk datang main ke rumah Aluna.Aluna tak menyangka saat melihat Adam muncul di depan pintu rumahnya. “Kak Adam? Kamu kok tiba-tiba ke sini?” tanyanya sedikit terkejut, tapi senyumnya tetap merekah.Adam menggaruk tengkuknya, sedikit gugup. “Hehe aku cuma mau ketemu sebelum kamu pindah. Boleh, kan?”Di ruang tamu, Ayunda juga ikut menyambut Adam. Dengan ramah, ia mengajak Adam duduk dan berbasa-basi menanyakan kabarnya.“Gimana keadaan Anggun sekarang, Dam?” tanya Ayunda hati-hati.Wajah Adam tampak sedikit suram. “Keadaannya masih sama, Tante Sepertinya kakak memang sudah benar-benar depresi. Kadang masih sering mengamuk. Sekarang masih dirawat intensif di rumah sakit jiwa,” jawabnya lirih.Ayunda mengangguk pelan, matanya memancarkan rasa prihatin yang mend
Sudah hampir satu minggu sejak kepergian Oma Ola, namun rasa kehilangan itu masih begitu terasa. Kadang, Elea masih sering menangis setiap kali ia masuk ke kamar Oma yang kini sunyi dan kosong.Aluna dan Elvano selalu berusaha menghiburnya, meski mereka sendiri juga masih merasakan duka yang sama.Ayunda yang juga masih diselimuti kesedihan, perlahan mencoba menguatkan diri. Ia merangkul bahu anak-anaknya, berusaha menanamkan keyakinan bahwa Oma Ola sekarang sudah bahagia di tempat yang lebih baik.Malam itu, mereka memilih duduk bersama di sofa panjang di ruang keluarga. Dipta duduk di sebelah Ayunda, menggenggam tangan istrinya erat, memberi isyarat bahwa ia selalu ada untuknya.Elea duduk di sebelah Aluna, sementara Elvano duduk di ujung, menatap keluarganya dalam diam. Suasana hening, tapi penuh kehangatan.Ayunda menghela napas panjang sebelum berkata dengan lembut, “Kalian harus ingat, ya kita ini keluarga, kita ini saudara. Jangan pernah ada yang saling menyakiti. Saudara itu h
Di rumah, Aluna, Elvano, dan Elea menyambut kedatangan ayah dan bunda mereka yang datang bersama Oma Ola.Akhirnya, seluruh drama itu selesai. Ayah mereka terbukti tidak berselingkuh dengan siapa pun, dan Anggun sudah ditemukan serta kini dirawat di rumah sakit. Hal tersebut membuat kakak beradik itu merasa sangat lega. Ketenangan yang sempat hilang akhirnya kembali menyelimuti keluarga mereka.Tadi, Adam juga sudah mengabari tentang kondisi Anggun yang benar-benar memprihatinkan. Elvano pun turut prihatin dengan apa yang menimpa kakak dari Adam tersebut.Begitu Ayunda dan Dipta sampai, ternyata mereka membawa kejutan untuk Elea. Sebuah kue tart cantik sudah disiapkan, lengkap dengan lilin bertuliskan angka 12.Elea tampak sangat senang. Matanya berbinar, senyumnya merekah lebar.Mereka langsung tersenyum dan kompak mengucapkan, “Selamat ulang tahun, Elea!”Elea menangkupkan tangan di dada, hampir tak percaya dengan kejutan kecil itu. “Makasih, Ayah, Bunda, Kakak-kakak,” ucapnya pela
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments