Violet masih terduduk diam usai melihat lembaran foto yang diambil dari CCTV koridor hotel. Ia tak menyangka bahwa pria yang begitu dicintai tega berdusta. Pdahal dirinya telah melakukan banyak hal demi Axe, mulai dari menolak perjodohan dengan putra sulung penguasa tambang batu bara yang bisa membuatnya berfoya-foya seumur hidup tanpa takut kehabisan uang, berselisih pendapat dengan sang ayang, hingga merelakan keinginannya untuk mewarisi perusahaan keluarga dan malah menjadi model dengan susah payah. "Aku tak peduli walau kau menangis," ucap Alvindra kala melihat mata wanita di depannya semakin merah. "Keluar sebelum satpamku menyeretmu.""Apa kau puas?" tanya Violet dengan nada rendah. Ia masih saja melotot seolah berusaha menyangkal pengkhianatan Axe. "Puas? Andai pacarmu itu tak punya keluarga, aku pasti sudah membuangnya ke laut. Aku hanya memikirkan ibu dan ayahnya yang mungkin akan menyalahkan diri atas kelakuan bejad sang anak." Tiba-tiba terdengar suara pintu yang diketuk
Lyra bangun lebih awal dari biasa. Ia menatap diri di cermin selama lebih dari sepuluh menit, memastikan jika dirinya benar-benar siap menghadapi perangkap yang pasti telah disiapkan keluarga iparnya begitu kembali. Ia juga telah membayangkan akan diomeli habis-habisan oleh Meta. Belum lagi sarkasme dari Rendra yang pasti membuat telinga berdengung saking menusuknya. Namun, itu semua membuat ia tersenyum, bersemangat akan segera kembali ke kehidupan normal dan kembali pada rutinitasnya yang padat. "Aku juga mau melihat wajah cantik itu yang lama," ucap Vindra sembari memberi pelukan hangat. "Kamu akan bosan melihatnya mulai sekarang.""Mana mungkin," sahut pria bercelana jins, "dilihat 200 tahun pun tak akan membuatku jenuh.""Memangnya kamu akan hidup selama itu?""Tentu saja tidak. Tapi jika kau berumur panjang, aku pasti akan menemanimu terus.""Bagaimana jika aku mati duluan," celetuk Lyra yang membuat si pendengar terganggu. Pria tersebut pun langsung menutupi bibir merah itu
Alvindra duduk sembari meminkan bolpoin dengan jarinya, ia merasa penat karena tidak memiliki waktu sendiri sejak memasuki kantor pagi tadi. Namun, seolah lupa bahwa itu adalah rapat, pria malah menghela napas panjang, membuat orang-orang yang hadir pada rapat rutin pun melirik ke arahnya. Para tetua yang telah bekerja lama di Grasln Company lantas mulai berbisik, mereka mengkhawatirkan nasib perusahaan bila dipegang oleh penerus yang dianggap tidak bisa menjaga wibawa di hadapan para karyawan. "Bicaralah yang keras, ini kan rapat. Kalau bisik-bisik begitu, tak akan ada yang mendengar gagasan luar biasa yang Anda sampaikan, Pak," cakap putra Malik kala tahu dirinya tengah diomongkan. "Di mana tata krama Anda dalam mengikuti rapat? Bisa-bisanya Anda bernapas sekeras itu.""Memang kenapa?" Suami Lyra menyandar ke kursi. "Orang yang menasehatiku tentang tata krama itu sedang mempertaruhkan posisinya di sini."Sontak semua orang terdiam. Mereka merasa jengkel dengan perlakuan Alvindra y
Langit kian mendung kala Vindra dan Lyra berjalan menuju mobil. Bahkan terpanaan angin begitu kencang hingga membuat rambut Lyra yang tak diikat, terbang menutupi pandangan. Sesekali ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, tetapi masih saja belum cukup. Sementara itu, Vindra tertawa melihat istrinya yang cemberut karena rambutnya susah diatur. Akan tetapi, mendadak pria tersebut merasakan aura aneh dari belakang, seakan ada orang yang menatap punggungnya dengan tajam. Seolah tak cukup, kini tampak beberapa orang berpakaian serba hitam berpapasan dengan mereka. Para pria bertubuh tinggi dan sedikit kurus, dengan kulit yang mulai berkeriput karena tak pernah dirawat. Mereka semua menatap pasangan tersebut dengan aneh, bak memastikan jika tak salah mendatangi tempat."Mereka itu target kita?" bisik salah satu pria yang memikul tongkat baseball. "Benar. Kalau berhasil membunuh pria itu, kita bisa kabur ke luar negeri dan hidup enak selamanya," jawab seorang yang lain sembari terse
"Dasar pria brengsek!" gerutu Lyra, lirih nyaris tanpa suara. Ia terus memegangi kepala yang serasa hampir pecah, perutnya juga bergejolak hebat. Entah dari gelas siapa ia minum semalam. Seumur hidup, wanita berparas ayu itu tak sekali pun mengkonsumsi alkohol. Ia takut melakukan hal bodoh dalam keadaan mabuk, sehingga citranya akan tercoreng. Namun, tadi malam adalah pengecualian. Tanpa sengaja dirinya hilang kendali dan berakhir di tempat yang aneh. Sebuah kamar dengan nuansa putih, bahkan seprai yang dipasang pun berwarna putih polos. Pendingin udara juga disetel agar menciptakan suhu rendah, terlalu rendah malahan. Lyra dapat merasakan dingin yang mengelus setiap jengkal pori-porinya. Masih setengah sadar saat dirinya menarik selimut hingga ke leher. Ia terpejam lagi, membayangkan hal indah seperti dalam dunia dongeng. Di mana para peri terbang sambil tertawa riang. Itu jauh lebih baik jika dibanding dengan berusaha memikirkan hal rumit, seperti bagaimana bisa ia bisa sampai di
Itu adalah lamaran yang amat mendadak, membuat Lyra yang rambutnya setengah acak-acakkan pun tersentak. Ditatapnya lagi Vindra dengan penuh seksama, tak tampak gurauan di raut garang tersebut. Justru penuh kepercayaan diri, seolah mustahil pinangannya diolak. Namun, Lyra harus cepat bertindak. Sekarang bukan masa yang tepat untuk sekadar kebingungan. Ia pun menarik napas dalam, lalu memberi tanggapan. "Apa yang kau dapat dengan menikahiku? Orag sepertimu pasti tidak mengambil langkah yang tidak memberi manfaat, bukan?" tanya sang wanita dengan lantang. "Kukira hanya wajah dan tubuhmu yang cantik. Ternyata kau menggunakan otakmu dengan baik." Vindra tersenyum. "Jangan pikirkan aku, fokuslah untuk bahagia. Jadi apa jawabanmu?" "Aku bersedia menikah, tapi apa profesimu? Kamu tentu harus menafkahiku nanti. Aku mana sudi menikahi gembel yang pura-pura kaya," ceteluk Lyra dengan penuh kejujuran. "Bisa saja biaya sewa hotel ini kamu limpahkan padaku dan kabur," imbuhnya. Vindra tersen
"Ayo, jangan bengong begitu." Vindra buru-buru menarik tangan Lyra.Wanita itu pun bangkit, ia berpamitan pada rekannya yang kebingungan. Namun, ia belum sempat mengakatan apa-apa. Calon suaminya sudah tak sabar lagi, mereka pun beranjak dari restoran tersebut."Tinggalkan mobil jelekmu di sini, kau naik mobilku saja." Kalimat tersebut terdengar angkuh, membuat yang mendengar merasa tak nyaman."Maaf, Tuan, tapi mobil jelekku itu dibeli dengan uang. Memangnya kamu akan menyumbang kendaraan baru yang lebih bagus?""Ide bagus, kita sekalian saja beli mobil. Berikan kuncinya pada supirku, biar dia yang memungut barang bekasmu."Lagi-lagi mulut Lyra menganga. Ia berhenti sejenak, berpikir mengapa bisa ada orang yang sesombong itu di dunia? Akan tetapi, fakta yang lebih membuat miris adalah or
"Apa-apaan anak ini?!" gumam Diana dalam hati. Ia mereguk pelan air putih, lalu sesekali melirik Lyra. Meski telah berusaha untuk tak acuh, pesona model tersebut memang tak tertolak. Namun, ini hanya berlaku bagi anggota lain di sana. Ibunda Romi mulai memotong chicken grill dan menguyahnya dengan rasa terpaksa. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa Vindra membawa seorang wanita asing ke pertemuan penting ini. Dirinya cemas pada sang putra tiri yang mau menjalin hubungan serius, sementara Romi lebih senang berganti-ganti pacar seolah mereka adalah barang yang bisa ditukar kapan pun. Tentu saja ini membuat jantung wanita beranak satu itu berdebar. "Jadi, kapan kalian akan menikah?" tanya paman Vindra. Pria itu pun tersenyum. "Pertanyaan yang bagus, Paman. Aku memang telah siap untuk meminangnya di jauh hari, tapi gadisku ini terlalu khawatir. Tempatnya bekerja melarangnya terlibat dengan skandal apa pun, karena itulah baru sekarang kami terlihat bersama.""Memang apa pekerjaan Lyra?""