Axe perlahan membuka mata usai tak sadarkan diri. Pria itu tengah bersantai di sebuah kapal pesiar sembari ditemani seorang gadis centik kala dirinya dibekuk anak buah Vindra. Dengan paksa ia diturunkan dari kapal yang baru saja hendak memulai keberangkatan. Walau mengundang keributan, orang-orang yang telah mengucap sumpah setia pada putra Malik tak gentar sama sekali. Mereka membawa paksa pria yang terus berontak itu. Hingga akhirnya tak ada pilihan, selain menyumpal mulut Axe dengan kain yang telah dilapisi obat tidur. Axe yang baru tersadar pun sejenak bingung mendapati kakinya tergantung, sementara kepalanya berada di bagian bawah. Ia berusaha berteriak, tetapi bibirnya tertutup lakban setebal satu senti. Ia juga kembali menggeliat, berpikir jika ikatannya bisa dilepas dengan mudah. Akan tetapi, tentu usaha tersebut tiada membuahkan hasil sama sekali. Justru tubuhnya terasa sakit dan lemas karena menggunakan tenaga yang besar. Dirinya tahu kalau sedang diculik, tetapi ruangan te
Vindra melanjutkan perjalanan tanpa rasa menyesal sedikit pun. Ia tak pula sedih, tetapi beban di hatinya telah berkurang. Pria tersebut buru-buru membersihkan diri dan menyemprotkan banyak sekali parfum. Sementara seluruh pakaian yang dikenakan untuk eksekusi Axe telah dibakar tanpa sisa. Ia hanya ingin segera berdamai semua kejadian buruk tersebut dan hidup dengan tenang bersama orang yang dikasihi. Sayang, waktu berlalu lebih cepat dari yang diperkirakan. Vindra tersenyum kala tiba di teras. Semenjak kematian sang bunda, baru kali ini ia merasa benar-benar lega mengingat ada sosok yang menanti di rumah. Ia lantas mengetuk pintu, menunggu dengan sabar hingga pelayan menghampirinya. Sontak Lyra yang mengekor pun menyambut kedatangan sang suami, walau tanpa ada senyuman di sana. "Kukira kamu tak akan pulang," kata Lyra yang telah cemas sejak terbangun sendirian. Pria itu lantas mengecup kening sang istri dan menjawab, "Tentu saja aku harus pulang untukmu. Memangnya kau tak senang?"
Di saat para model J.D Entertainment berlomba-lomba berlatih demi bisa menjadi yang terbaik guna mengikuti fashion show di Paris, Violet tampak kesal berdiri di tempat parkir. Wanita itu sedari tadi memainkan ponsel tanpa menemukan satu pun hal menarik di sana. Ia tengah menunggu Axe yang berkata akan menemuinya. Pria itu bilang jika ada hal mendesak yang harus diomongkan dengan sang kekasih secepat mungkin. Maka dari itu, rival Lyra sengga melewatkan makan siang demi bisa menemui sang tunangan yang tak biasa mengajaknya bertemu lebih dulu. Namun, sudah sepuluh menit berlalu, yang dinanti tak kunjung terlihat. Violet memastikan lagi melalui jam tangan bahwa waktu istirahat hanya tersisa 20 menit lagi. Saat dirinya hendak berpaling dan masuk ke gedung utama, tampak mobil Axe muncul dengan sinar menyilaukan sembari membunyikan klakson. Alhasil, wanita yang sudah diliputi rasa kesal itu memutuskan untuk sedikit lebih bersabar. Ia lantas masuk ke dalam mobil yang terparkir 400 meter dari
Violet masih terduduk diam usai melihat lembaran foto yang diambil dari CCTV koridor hotel. Ia tak menyangka bahwa pria yang begitu dicintai tega berdusta. Pdahal dirinya telah melakukan banyak hal demi Axe, mulai dari menolak perjodohan dengan putra sulung penguasa tambang batu bara yang bisa membuatnya berfoya-foya seumur hidup tanpa takut kehabisan uang, berselisih pendapat dengan sang ayang, hingga merelakan keinginannya untuk mewarisi perusahaan keluarga dan malah menjadi model dengan susah payah. "Aku tak peduli walau kau menangis," ucap Alvindra kala melihat mata wanita di depannya semakin merah. "Keluar sebelum satpamku menyeretmu.""Apa kau puas?" tanya Violet dengan nada rendah. Ia masih saja melotot seolah berusaha menyangkal pengkhianatan Axe. "Puas? Andai pacarmu itu tak punya keluarga, aku pasti sudah membuangnya ke laut. Aku hanya memikirkan ibu dan ayahnya yang mungkin akan menyalahkan diri atas kelakuan bejad sang anak." Tiba-tiba terdengar suara pintu yang diketuk
Lyra bangun lebih awal dari biasa. Ia menatap diri di cermin selama lebih dari sepuluh menit, memastikan jika dirinya benar-benar siap menghadapi perangkap yang pasti telah disiapkan keluarga iparnya begitu kembali. Ia juga telah membayangkan akan diomeli habis-habisan oleh Meta. Belum lagi sarkasme dari Rendra yang pasti membuat telinga berdengung saking menusuknya. Namun, itu semua membuat ia tersenyum, bersemangat akan segera kembali ke kehidupan normal dan kembali pada rutinitasnya yang padat. "Aku juga mau melihat wajah cantik itu yang lama," ucap Vindra sembari memberi pelukan hangat. "Kamu akan bosan melihatnya mulai sekarang.""Mana mungkin," sahut pria bercelana jins, "dilihat 200 tahun pun tak akan membuatku jenuh.""Memangnya kamu akan hidup selama itu?""Tentu saja tidak. Tapi jika kau berumur panjang, aku pasti akan menemanimu terus.""Bagaimana jika aku mati duluan," celetuk Lyra yang membuat si pendengar terganggu. Pria tersebut pun langsung menutupi bibir merah itu
Alvindra duduk sembari meminkan bolpoin dengan jarinya, ia merasa penat karena tidak memiliki waktu sendiri sejak memasuki kantor pagi tadi. Namun, seolah lupa bahwa itu adalah rapat, pria malah menghela napas panjang, membuat orang-orang yang hadir pada rapat rutin pun melirik ke arahnya. Para tetua yang telah bekerja lama di Grasln Company lantas mulai berbisik, mereka mengkhawatirkan nasib perusahaan bila dipegang oleh penerus yang dianggap tidak bisa menjaga wibawa di hadapan para karyawan. "Bicaralah yang keras, ini kan rapat. Kalau bisik-bisik begitu, tak akan ada yang mendengar gagasan luar biasa yang Anda sampaikan, Pak," cakap putra Malik kala tahu dirinya tengah diomongkan. "Di mana tata krama Anda dalam mengikuti rapat? Bisa-bisanya Anda bernapas sekeras itu.""Memang kenapa?" Suami Lyra menyandar ke kursi. "Orang yang menasehatiku tentang tata krama itu sedang mempertaruhkan posisinya di sini."Sontak semua orang terdiam. Mereka merasa jengkel dengan perlakuan Alvindra y
Langit kian mendung kala Vindra dan Lyra berjalan menuju mobil. Bahkan terpanaan angin begitu kencang hingga membuat rambut Lyra yang tak diikat, terbang menutupi pandangan. Sesekali ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, tetapi masih saja belum cukup. Sementara itu, Vindra tertawa melihat istrinya yang cemberut karena rambutnya susah diatur. Akan tetapi, mendadak pria tersebut merasakan aura aneh dari belakang, seakan ada orang yang menatap punggungnya dengan tajam. Seolah tak cukup, kini tampak beberapa orang berpakaian serba hitam berpapasan dengan mereka. Para pria bertubuh tinggi dan sedikit kurus, dengan kulit yang mulai berkeriput karena tak pernah dirawat. Mereka semua menatap pasangan tersebut dengan aneh, bak memastikan jika tak salah mendatangi tempat."Mereka itu target kita?" bisik salah satu pria yang memikul tongkat baseball. "Benar. Kalau berhasil membunuh pria itu, kita bisa kabur ke luar negeri dan hidup enak selamanya," jawab seorang yang lain sembari terse
"Dasar pria brengsek!" gerutu Lyra, lirih nyaris tanpa suara. Ia terus memegangi kepala yang serasa hampir pecah, perutnya juga bergejolak hebat. Entah dari gelas siapa ia minum semalam. Seumur hidup, wanita berparas ayu itu tak sekali pun mengkonsumsi alkohol. Ia takut melakukan hal bodoh dalam keadaan mabuk, sehingga citranya akan tercoreng. Namun, tadi malam adalah pengecualian. Tanpa sengaja dirinya hilang kendali dan berakhir di tempat yang aneh. Sebuah kamar dengan nuansa putih, bahkan seprai yang dipasang pun berwarna putih polos. Pendingin udara juga disetel agar menciptakan suhu rendah, terlalu rendah malahan. Lyra dapat merasakan dingin yang mengelus setiap jengkal pori-porinya. Masih setengah sadar saat dirinya menarik selimut hingga ke leher. Ia terpejam lagi, membayangkan hal indah seperti dalam dunia dongeng. Di mana para peri terbang sambil tertawa riang. Itu jauh lebih baik jika dibanding dengan berusaha memikirkan hal rumit, seperti bagaimana bisa ia bisa sampai di