Langit kian mendung kala Vindra dan Lyra berjalan menuju mobil. Bahkan terpanaan angin begitu kencang hingga membuat rambut Lyra yang tak diikat, terbang menutupi pandangan. Sesekali ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, tetapi masih saja belum cukup. Sementara itu, Vindra tertawa melihat istrinya yang cemberut karena rambutnya susah diatur. Akan tetapi, mendadak pria tersebut merasakan aura aneh dari belakang, seakan ada orang yang menatap punggungnya dengan tajam. Seolah tak cukup, kini tampak beberapa orang berpakaian serba hitam berpapasan dengan mereka. Para pria bertubuh tinggi dan sedikit kurus, dengan kulit yang mulai berkeriput karena tak pernah dirawat. Mereka semua menatap pasangan tersebut dengan aneh, bak memastikan jika tak salah mendatangi tempat."Mereka itu target kita?" bisik salah satu pria yang memikul tongkat baseball. "Benar. Kalau berhasil membunuh pria itu, kita bisa kabur ke luar negeri dan hidup enak selamanya," jawab seorang yang lain sembari terse
"Dasar pria brengsek!" gerutu Lyra, lirih nyaris tanpa suara. Ia terus memegangi kepala yang serasa hampir pecah, perutnya juga bergejolak hebat. Entah dari gelas siapa ia minum semalam. Seumur hidup, wanita berparas ayu itu tak sekali pun mengkonsumsi alkohol. Ia takut melakukan hal bodoh dalam keadaan mabuk, sehingga citranya akan tercoreng. Namun, tadi malam adalah pengecualian. Tanpa sengaja dirinya hilang kendali dan berakhir di tempat yang aneh. Sebuah kamar dengan nuansa putih, bahkan seprai yang dipasang pun berwarna putih polos. Pendingin udara juga disetel agar menciptakan suhu rendah, terlalu rendah malahan. Lyra dapat merasakan dingin yang mengelus setiap jengkal pori-porinya. Masih setengah sadar saat dirinya menarik selimut hingga ke leher. Ia terpejam lagi, membayangkan hal indah seperti dalam dunia dongeng. Di mana para peri terbang sambil tertawa riang. Itu jauh lebih baik jika dibanding dengan berusaha memikirkan hal rumit, seperti bagaimana bisa ia bisa sampai di
Itu adalah lamaran yang amat mendadak, membuat Lyra yang rambutnya setengah acak-acakkan pun tersentak. Ditatapnya lagi Vindra dengan penuh seksama, tak tampak gurauan di raut garang tersebut. Justru penuh kepercayaan diri, seolah mustahil pinangannya diolak. Namun, Lyra harus cepat bertindak. Sekarang bukan masa yang tepat untuk sekadar kebingungan. Ia pun menarik napas dalam, lalu memberi tanggapan. "Apa yang kau dapat dengan menikahiku? Orag sepertimu pasti tidak mengambil langkah yang tidak memberi manfaat, bukan?" tanya sang wanita dengan lantang. "Kukira hanya wajah dan tubuhmu yang cantik. Ternyata kau menggunakan otakmu dengan baik." Vindra tersenyum. "Jangan pikirkan aku, fokuslah untuk bahagia. Jadi apa jawabanmu?" "Aku bersedia menikah, tapi apa profesimu? Kamu tentu harus menafkahiku nanti. Aku mana sudi menikahi gembel yang pura-pura kaya," ceteluk Lyra dengan penuh kejujuran. "Bisa saja biaya sewa hotel ini kamu limpahkan padaku dan kabur," imbuhnya. Vindra tersen
"Ayo, jangan bengong begitu." Vindra buru-buru menarik tangan Lyra.Wanita itu pun bangkit, ia berpamitan pada rekannya yang kebingungan. Namun, ia belum sempat mengakatan apa-apa. Calon suaminya sudah tak sabar lagi, mereka pun beranjak dari restoran tersebut."Tinggalkan mobil jelekmu di sini, kau naik mobilku saja." Kalimat tersebut terdengar angkuh, membuat yang mendengar merasa tak nyaman."Maaf, Tuan, tapi mobil jelekku itu dibeli dengan uang. Memangnya kamu akan menyumbang kendaraan baru yang lebih bagus?""Ide bagus, kita sekalian saja beli mobil. Berikan kuncinya pada supirku, biar dia yang memungut barang bekasmu."Lagi-lagi mulut Lyra menganga. Ia berhenti sejenak, berpikir mengapa bisa ada orang yang sesombong itu di dunia? Akan tetapi, fakta yang lebih membuat miris adalah or
"Apa-apaan anak ini?!" gumam Diana dalam hati. Ia mereguk pelan air putih, lalu sesekali melirik Lyra. Meski telah berusaha untuk tak acuh, pesona model tersebut memang tak tertolak. Namun, ini hanya berlaku bagi anggota lain di sana. Ibunda Romi mulai memotong chicken grill dan menguyahnya dengan rasa terpaksa. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa Vindra membawa seorang wanita asing ke pertemuan penting ini. Dirinya cemas pada sang putra tiri yang mau menjalin hubungan serius, sementara Romi lebih senang berganti-ganti pacar seolah mereka adalah barang yang bisa ditukar kapan pun. Tentu saja ini membuat jantung wanita beranak satu itu berdebar. "Jadi, kapan kalian akan menikah?" tanya paman Vindra. Pria itu pun tersenyum. "Pertanyaan yang bagus, Paman. Aku memang telah siap untuk meminangnya di jauh hari, tapi gadisku ini terlalu khawatir. Tempatnya bekerja melarangnya terlibat dengan skandal apa pun, karena itulah baru sekarang kami terlihat bersama.""Memang apa pekerjaan Lyra?""
Alvindra berlari bak seorang atletis. Tanpa peduli jika handuk yang membalut bagian bawah tubuhnya hampir terlepas. Rumah itu terlalu sepi, dalam benaknya bertanya, mungkinkah ada pencuri? Dua penjaga di gerbang depan memang baru saja meminta izin untuk pulang, sementara penjaga lain malah ditugaskan di gerbang belakang. Jadilah pria tersebut kalang kabut saat mendengar teriakan nyaring dari sang model. "Hentikan, tolong hentikan. Kamu menakutkan," kata Lyra dengan suara bergetar. Mendengar hal itu, Vindra makin risau. Ia berusaha memutar gagang pintu, tetapi gagal. Lanjut dirinya pun segera mendobrak pintu yang dikunci. Satu kali gagal, ia mencoba lagi dan kini ....Aaa!!! Wanita berpiyama motif daun mapple itu kembali berteriak. "A--apa-apaan kamu?!"Tuan rumah pun segera bangkit usai tersungkur, rasa sakit tak dipedulikan sama sekali. Kemudian, ia menatap wanita yang duduk di lantai. Rupanya kucing peliharaannya masuk ke kamar Lyra dan membuatnya terkejut. Setelah mendengar sang
Netra Lyra masih terbelalak. Ia langsung meraih lengan Vindra, lalu mendekapnya. Ia terguncang, tapi berusaha mengembalikan kontrol diri. Disekanya rambut dengan angkuh, ia tersenyum dan memilih untuk menyapa sang mantan kekasih. Biarpun hampir pingsan karena gugup, model kesayangan J.D Entertainment itu ingin menunjukkan sosok kuat pada orang-orang yang telah mengkhianatinya dengan sangat buruk. "Kebetulan sekali, Axe. Sepertinya kalian akan segera menikah, selamat untuk kalian. Sepertinya aku orang bertama yang mengucapkan selamat," tuturnya dengan nada bergetar. Vindra yang biasanya tak peka pun merangkul pundak calon istrinya. Ia ingin memberi dukungan. Sekaligus menunjukkan jika wanita tersebut masih bernapas, meski Axe yang tak tahu malu itu meninggalkannya. "Ayo, Sayang. Giliran kita mendaftar." Setelah memberi ajakan, Vindra langsung beranjak."Apa kau akan menikah, Ra?" tanya Axe."Benar, ada apa? Mau memberiku selamat juga?" Lyra berbalik. "Mustahil. Aku bahkan tak mengen
Lyra gagal mengontrol emosinya. Ia lantas menampar wajah pria yang telah berani mengatainya sebagai wanita jalang. Mau bagaimana pun juga, sebutan itu sungguh tak bermoral. Putri Burhan merasa perlu untuk membela harga dirinya sendiri. Tak peduli jika harus melakukan hal yang kasar sekalipun. "Pergi saja, aku tak mau melihatmu wajahmu lagi!" teriaknya sambil melotot. "Ra ...."Nanar Axe menatap lantai, ia tak percaya jika mendapat pengusiran. Ditambah, ini kali pertama Lyra memperlakukannya demikian. Ia tak membalas tamparan tersebut, tapi malah menggenggam tangan pemilik rumah dengan tatapan memelas. "Maafkan aku, Ra. Aku tak berniat untuk berkata begitu. Aku hanya ....""Pergi!" ulangnya. "Pergilah saja, Axe. Anggap kita tak pernah mengenal."Lyra pun masuk, membiarkan sang tamu tak diundang berdiri di teras. Pria berjaket jins itu lantas pergi, seperti yang diminta. Di sisi lain, Lyra kehilangan tenaga. Ia sampai terduduk di lantai sambil memegangi kenop pintu. Perasaannya campur