Alvindra berlari bak seorang atletis. Tanpa peduli jika handuk yang membalut bagian bawah tubuhnya hampir terlepas. Rumah itu terlalu sepi, dalam benaknya bertanya, mungkinkah ada pencuri? Dua penjaga di gerbang depan memang baru saja meminta izin untuk pulang, sementara penjaga lain malah ditugaskan di gerbang belakang. Jadilah pria tersebut kalang kabut saat mendengar teriakan nyaring dari sang model.
"Hentikan, tolong hentikan. Kamu menakutkan," kata Lyra dengan suara bergetar.Mendengar hal itu, Vindra makin risau. Ia berusaha memutar gagang pintu, tetapi gagal. Lanjut dirinya pun segera mendobrak pintu yang dikunci. Satu kali gagal, ia mencoba lagi dan kini ....Aaa!!!Wanita berpiyama motif daun mapple itu kembali berteriak. "A--apa-apaan kamu?!"Tuan rumah pun segera bangkit usai tersungkur, rasa sakit tak dipedulikan sama sekali. Kemudian, ia menatap wanita yang duduk di lantai. Rupanya kucing peliharaannya masuk ke kamar Lyra dan membuatnya terkejut. Setelah mendengar sang hewan berbulu mengeong, Vindra mengembuskannya napas lega. Akan tetapi, ada masalah lain yang tercipta."Kenapa menatapku dengan wajah seperti kepiting rebus, Ra? Wajahmu memerah," tanyanya, lalu meletakkan kedua tangan ke pinggang dengan angkuhnya.Ironis, pria itu tak merasakan adanya kain yang membalut pinggang. Dengan ragu, dirinya menunduk untuk memastikan jika satu-satunya handuk yang dikenakan masih ada di posisi awal. Nyatanya, handuk tersebut turut terlepas saat pemakainya tersungkur. Lyra pun segera menutup netranya dengan kedua tangan."Cepat keluar!" teriak sang model.Teriakan itu menambah panik. Buru-buru Vindra berbalik, ia mengambil kain putih yang terbaring di lantai, lalu berusaha meninggalkan kamar tamu. Saking gugupnya, kepala pria tersebut sampai membentur dinding. Tentu saja rasa sakit yang tercipta, kalah oleh malu yang telah hinggap di ubun-ubun.Setelah kejadian absurd itu, keduanya enggan bertemu. Mereka mengunci diri di ruangan terpisah. Sampai beberapa menit, ingatan itu masih melintas seperti kereta api yang melaju tanpa hambatan. Anak tiri Diana juga kehabisan akal. Ia tak tahu lagi bagaimana cara menghadapi Lyra esok hari. Namun, fajar belum terbit ketika dirinya tak sabar untuk menunggu. Ia pun segera beranjak dari ranjang dan menemui sang model."Kau sudah tidur?" tanya Vindra dari balik dinding. Pintu kamar memang tak lagi ditutup karena engselnya rusak."Jangan berani masuk!"Pria itu menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal. "Ini hal mendesak, Ra. Tolong izinkan aku masuk.""Tidak!" tolaknya lagi, "Minta maaf saja besok, jangan sekarang.""Memangnya aku salah apa?" Sang pemilik rumah mulai dilema."Apa maksudmu, salah apa? Tentu saja kau salah karena menerobos kamar wanita tanpa izin. Jujur saja, kau memang berniat buruk, 'kan? Aku tak pernah melihat pria yang lebih rendah darimu, Al!"Kejantannya langsung terusik. Alvindra tak pernah tahan jika ada orang yang mempertanyakan niat dari ketulusannya. Terlebih semua ini terjadi di luar kendali, sama sekali tak disengaja, apalagi direncanakan.Ia pun masuk ke kamar tersebut, meski belum diizinkan. "Aku tak pernah berpikir seburuk itu. Aku baru saja selesai mandi. Aku tak sempat memakai baju karena kukira ada maling yang masuk. Teriakanmu itu sangat kencang!""Hah?! Alasan konyol apa itu?" Kening Lyra mengerut."Memangnya kenapa jika aku masuk seenaknya, kau kan sudah melihat semuanya," goda Alvindra.Wanita itu pun segera mengubah topik pembahasan. "Kenapa kau datang?"Ia lantas mendekat dan mengambil kucing yang ada di pangkuan Lyra. Segera dirinya mengatakan jika hewan imut itu belum diberi makan. Dengan berat hati, Lyra mengiyakan dan membiarkan kawan barunya dibawa pergi. Sekalipun ingin ikut memberi makan, dirinya merasa tak enak. Oleh karena itu, Lyra memilih untuk tidur saja. Ia pasti dapat membiarkan kucing berbulu orange itu bersama pengurusnya.***Keesokan pagi, Lyra bersiap untuk pulang. Dirinya dipaksa berendam air hangat oleh para pelayan, tanpa memberi tahu apa pun. Sifat baik wanita cantik itu lantas membuatnya menuruti permintaan mereka. Setelah melepas pakaian, ia memakai kain sebagai jarik dan mencelupkan kaki jenjangnya ke bath up, memasrikan jika suhu air tidak terlalu tinggi.Para pelayan pun mulai menggosokkan lulur ke seluruh tubuh sang model. Ada rasa tak nyaman yang mengganjal di tenggorokan, Lyra merasa malu karena harus mandi di hadapan dua wanita yang lebih tua. Akan tetapi, itu bukanlah sesuatu yang buruk. Mengingat dirinya tak sepenuhnya telanjang karena memakai handuk putih yang menutup bagian tengah tubuh. Ia tahu jika para bangsawan biasa melakukan hal semacan ini, mandi dibandu oleh beberapa pelayan. Masalahnya mantan Axe tidak memiliki darah putih. Ia pun memejamkan netra sambil menikmati pijat pagi tersebut.Setelah selesai, para pelayan mempersiapkan calon nyonya Grason. Mereka membantu menata rambut dan merias wajah rupawan yang sedap dipandang. Lyra menjelma menjadi seorang bidadari. Dengan drees biru navy selutut dan sepatu heels putih. Ia turut mengenakan gelang safir di tangan kanan, benda impian yang tak akan bisa dibeli sendiri. Bukan karena tak memiliki uang, tapi karena ia memang menghindari gaya hidup yang terlalu mewah."Apa jepit rambutnya sudah kencang, Nona?" tanya sang pelayan.Lyra pun meraba rambutnya untuk memastikan jika jepit mungil itu telah cukup kuat untuk menahan posisi tatanan rambut. Kemudian, mengakhiri sesi make up dengan mengoleskan lipstik merah ke permukaan bibirnya."Cantik sekali," celetuk Alvindra dari samping pintu. Ia baru saja datang untuk mengecek karena setengah jam masih belum datang. "Tinggalkan kami."Dengan satu perintah, dua pelayan tersebut keluar dari kamar. Vindra lantas berdiri mendekap Lyra dari belakang. Sontak perbuatan itu membuat sang wanita terkejut, tapi ia tak berusaha menolak. Diam-diam Lyra merasa senang dengan pelukan tersebut."Kenapa? Sekarang kamu jatuh cinta padaku?" tanya sang gadis.Vindra menyeka rambut panjang itu agar tak menghalangi wajah. "Ya, sepertinya aku mulai gila karena tidur serumah denganmu.""Tahan saja kegilaanmu, Tuan Grason. Kita akan hidup bersama sebentar lagi. Bukanlah kamu bilang, dua hari lagi kita menikah?"Pemilik hunian pun tertawa. Ia menggandeng Lyra dan membawanya keluar. Saat perlakuan Vindra manis seperti ini, wanita terbibir seksi itu tahu jika akan ada hal buruk yang terjadi. Mungkin dirinya akan dipaksa menghadiri pertemuan baru yang membuatnya tak bisa mengatakan apa pun seperti semalam. Namun, masih terlalu awal untuk menghadiri pesta. Jam bahkan baru menunjukkan pukul sepuluh lagi.Jadi, ke mana mereka pergi?Jawabannya adalah Kantor Urusan Agama. Sepasang sejoli itu menatap gedung bercat hijau yang ramai disambangi orang. Mereka pun turun selepas sang sopir membukakan pintu. Lyra merasakan tekanan aneh, ia merasa jika sebentar lagi hidupnya akan berubah. Menjadi menantu dari keluarga kaya raya tentu membutuhkan usaha.Namun, bukan itu yang dipikirkan Lyra. Ia hanya berharap agar perjanjian ini segera usai, tepat ketika sang mantan brengsek itu hancur. Ah, memikirkannya saja sudah membuat Lyra menjadi sangat bahagia. Sayang sekali, senyumannya pupus saat menatap pasangan muda yang duduk menghadap petugas KUA.Ingin rasanya keluar, tapi kaki Lyra terlalu kaku untuk melangkah. Bahkan saat keduanya bangkit dan membalikkan badan, ia masih terpatung. Ia merasa ada jarum es yang membidik dadanya saat berjumpa orang tersebut. Dari punggungnya saja, wanita itu sudah tahu jika sosok berbaju putih yang sedang bersama seorang wanita itu adalah Axe!Netra Lyra masih terbelalak. Ia langsung meraih lengan Vindra, lalu mendekapnya. Ia terguncang, tapi berusaha mengembalikan kontrol diri. Disekanya rambut dengan angkuh, ia tersenyum dan memilih untuk menyapa sang mantan kekasih. Biarpun hampir pingsan karena gugup, model kesayangan J.D Entertainment itu ingin menunjukkan sosok kuat pada orang-orang yang telah mengkhianatinya dengan sangat buruk. "Kebetulan sekali, Axe. Sepertinya kalian akan segera menikah, selamat untuk kalian. Sepertinya aku orang bertama yang mengucapkan selamat," tuturnya dengan nada bergetar. Vindra yang biasanya tak peka pun merangkul pundak calon istrinya. Ia ingin memberi dukungan. Sekaligus menunjukkan jika wanita tersebut masih bernapas, meski Axe yang tak tahu malu itu meninggalkannya. "Ayo, Sayang. Giliran kita mendaftar." Setelah memberi ajakan, Vindra langsung beranjak."Apa kau akan menikah, Ra?" tanya Axe."Benar, ada apa? Mau memberiku selamat juga?" Lyra berbalik. "Mustahil. Aku bahkan tak mengen
Lyra gagal mengontrol emosinya. Ia lantas menampar wajah pria yang telah berani mengatainya sebagai wanita jalang. Mau bagaimana pun juga, sebutan itu sungguh tak bermoral. Putri Burhan merasa perlu untuk membela harga dirinya sendiri. Tak peduli jika harus melakukan hal yang kasar sekalipun. "Pergi saja, aku tak mau melihatmu wajahmu lagi!" teriaknya sambil melotot. "Ra ...."Nanar Axe menatap lantai, ia tak percaya jika mendapat pengusiran. Ditambah, ini kali pertama Lyra memperlakukannya demikian. Ia tak membalas tamparan tersebut, tapi malah menggenggam tangan pemilik rumah dengan tatapan memelas. "Maafkan aku, Ra. Aku tak berniat untuk berkata begitu. Aku hanya ....""Pergi!" ulangnya. "Pergilah saja, Axe. Anggap kita tak pernah mengenal."Lyra pun masuk, membiarkan sang tamu tak diundang berdiri di teras. Pria berjaket jins itu lantas pergi, seperti yang diminta. Di sisi lain, Lyra kehilangan tenaga. Ia sampai terduduk di lantai sambil memegangi kenop pintu. Perasaannya campur
Hari pernikahan pun tiba. Lyra harus bangun jam empat subuh untuk mempersiapkan diri. Berulang kali menguap saat berendam di bak air hangat yang bertabur aneka kelompak bunga. Netranya bahkan terpejam, membiarkan para pelayan memijat kulit putihnya dengan lulur mandi. Ia tak menunjukkan ketertarikan di momen yang normalnya terjadi seumur hidup sekali. Baginya ini hanyalah acara formal yang mengatarkan ke gerbang impian. Hingga selesai pun, ekspresinya masih datar. Sang model berdiri di depan cermin yang setinggi dirinya, menatap bayang rupawan bergaun putih nan panjang. Selanjutnya, tim make up profesional mulai memoles wajah putri Burhan. Bulu mata palsu turut dilekatkan, menambah kesan lentik. Sayang sekali, ia tak takjub sekalipun semua yang ada di ruangan tersebut berdecak kagum. Setelah selesai, Lyra kembali memastikan jika riasan itu sudah sesuai seleranya. Ia pun beranjak. Seorang ajudan memegangi tangannya, kala bidadari dunia itu berusaha mengenakan heels berhiaskan permata
Segera Lyra memalingkan wajah. Suaminya pun kembali tersenyum melihat ekspresi tersipu itu. Meski telah melewati malam bersama, sang menantu keluarga Grason belum terbiasa dengan sentuhan yang diberikan. Ia memang tak menyukai semua itu, lebih tepatnya belum. Bahkan ketika bersama Axe pun, nyaris tak ada kontak fisik berlebihan di antara keduanya. Sontak suana menjadi teramat canggung. Beruntung gawai Vindra bergetar. Pria beralis tebal itu langsung menjauh untuk menerima panggilan. Lyra pun menghela napas, lalu lanjut membaca kontrak setebal dua belas halaman. Ia teramat teliti. Dipastikan jika tak ada hal yang merugikan, barulah ia memberi tanda tangan. Setelah itu, dirinya mengecek ponsel. [Ra, kau pasti belum membuka hadiahku, 'kan?] tanya Meta melalui pesan singkat. Penerima pesan lantas tersenyum. [Belum. Memang apa isinya?][Bukalah! Kau pasti akan mentukainya, itu adalah barang kesukaanmu.]Putri Burhan merasa penasaran. Ia menatap puluhan kado yang berjejer di sudut kamar d
Lyra amat cepat beradaptasi. Kebiasaannya melakukan semua dengan sempurna menjadikan kontrak ini tak sekadar mainan. Ia ingin menghilangkan seluruh keraguan yang ada dalam benak anggota keluarga Grason yang lain. Menjadi menantu ideal, istri yang dapat diandalkan, sekaligus wanita karir yang sukses adalah sesuatu yang harus diwujudkan demi memenuhi ambisi. Vindra pun tersenyum, dipenuhi mood positif setelah mendapat morning kiss. Ia bertaruh dalam hati bila ini akan menyenangkan. Sayangnya Diana masih berusaha mencari cela dalam hubungan sang anak tiri. Ia yakin bila pernikahan tersebut hanyalah taktik agar bisa lolos sebagai pemilik perusahaan yang lama dikembangkan oleh Malik, suaminya. Biar kata Romi adalah putra sulung, tapi kasih sayang Malik tetap dikuasi Vindra. Sebab, mendiang ibunya merupakan sosok tegar yang menemani Malik meniti karir dari nol usai mengalami kebangkrutan. Tentu saja ini tak akan bisa disaingi oleh Diana, sekalipun ia istri sah pertama. Ia teramat membenci
Lyra merasa tercekik. Ia memiliki fobia terhadap kesendirian di tengah gelap. Berulang kali jarinya meraba tembok, sementara tangan lain memegangi dada. Rasa cemas membuatnya lupa untuk menyalakan sorot ponsel. Kaki jenjangnya pun menabrak tempat sampah di sudut ruangan, membuat keseimbangan goyang. "Aaa!" teriaknya saat merasakan sebuah benturan. Beruntung, seseorang menangkapnya sebelum jatuh ke lantai. Gemuruh petir kembali datang. Sekelebat cahaya menyambar langit, membuat ruangan terang untuk beberapa saat. Lyra langsung memeluk tubuh di depannya. Ia berusaha yakin bila itu adalah sang suami yang akhirnya teringat akan dirinya. "Tenanglah, aku sudah meminta supir untuk mengecek sambungan listrik. Ayo, bangun," ajaknya lembut sambil memegangi lengan Lyra. "Ti-tidak, aku terlalu takut." Wanita itu sampai menggigil, ia sama sekali tak memiliki kekuatan untuk beranjak dari posisi. Bahkan kakinya lemas. "Baiklah, jangan khawatir." Vindra lantas mendekap putri Burhan. Ia bersadar p
Surya bersinar amat terang, menembus sela-sela gorden yang terbuka separuh. Pagi itu, sepasang sejoli beranjak untuk pulang ke rumah pribadi. Lembut Vindra memegangi sang istri dan menuntunnya menuju balkon. Ia menarik kursi, memastikan jika Lyra tak mengalami kesulitan berarti untuk duduk. "Tunggulah di sini, aku akan ambil sarapan." Usai mengatakan hal tersebut, anak Malik menuju pintu. Asistennya telah menanti di depan kamar bersama seorang pelayan yang bertugas mengantarkan makanan. Meja beroda pun didorong Vindra menuju balkon. Sejenak dirinya terperanjat kala mendapati sosok putri Burhan yang duduk terpejam, menikmati petrikor yang memberi rasa tenang. Namun, jantungnya malah berdebar kencang. Adik Romi seperti melihat malaikat berbaju tidur putih. Segera pria berpostur tegap itu mengalihkan fokus. "Apa kau yakin hanya makan salad? Aku menyuruh mereka memasak beberapa menu. Ada nasi goreng kesukaanku juga."Lyra membuka netra. "Ya, sayuran memiliki kadar lemak dan karbohidrat
Sigap investor itu mengambil kertas tersebut, lalu membacanya. Seulas senyum pun menghiasi wajah yang berseri. "Anda sangat teliti, Pak. Saya menyukai projek ini." "Terima kasih, jadi kita sepakat?" balas Vindra turut tersenyum pula. "Tentu saja, hubungi sekertaris saya jika ada berubahan dalam kontrak." Kedua pria berjas itu pun bangkit dan berjabat tangan, diikuti oleh anggota rapat lain. Romi sekilas melirik berkas yang tergeletak di depan Andrian, jelas menunjukkan jika 80% tanah di Desa Kembang telah sang adik miliki. Itu berarti kesempatan Grason's Company untuk mengambil alih lahan luas tersebut menjadi kian besar. Memang itu berita yang bagus. Namun, tetap saja gundah kian menerkam hati Romi. Putra Diana menatap adiknya yang tampak sumringah. Ia merasa jika usahanya dalam menarik perhatian investor kali ini pun gagal, anak kesayangan Malik sudah pasti akan memonopoli kekuasan yang harusnya menjadi bagian Romi. Namun, tak masalah, sejak awal Romi memang tak begitu tertarik