Setelah kejadian malam itu, Sarita menjadi gadis yang pendiam. Gadis itu terus menghindar agar tidak bertemu langsung dengan Bagaskara yang sekarang sedang menjadi dosennya. Baik di kampus maupun di rumah, Sarita selalu menghindar. Dia tidak ingin melihat wajah lelaki yang sulit untuk dia raih. Namun, berbeda dengan Bagaskara.
Pria muda matang dengan segala pesonanya makin mendekat dan selalu inginkan bercinta dengan Sarita. Suatu malam, Bagaskara menyelinap masuk ke kamar gadis itu. Tanpa bicara dia langsung berbaring di sisi kosong Sarita. Tangannya memeluk pinggang sang wanita sedangkan tapak tangan yang lain membekap mulut Sarita agar si gadis tidak berteriak."Tu-tuan!" ucap Sarita, "Jangan sentuh aku lagi, lihat dulu ini!" pinta Sarita.Iya, gadis itu tidak bodoh. Selama satu bulan ini dia selalu menghindari Bagaskara karena tidak ingin tubuhnya tersentuh lagi. Apalagi pagi ini dia sudah mengecek kesehatannya yang dia rasa ada perubahan pada beberapa titik di tubuhnya. Dan apa yang dia khawatirkan benar terjadi, Sarita hamil."Apa ini? Kau ... hamil, bagaimana mungkin?" kata Bagaskara sambil bangkit dam duduk di tepian ranjang."Tuan tahu saya hanya tidur dengan Anda, satu kali dan itu pertama juga terakhir. Sejak saat itu saya tidak pernah menggoda Anda satu kali pun," kata Sarita dengan nada tegas.Bagaskara menyunggar rambutnya yang sedikit panjang. Pria itu mendengus lirih. Lalu menarik tangan Sarita dan membawanya keluar dari rumah tersebut. Simbok Marni hanya diam menatap kepergian putrinya yang ditarik paksa oleh anak majikannya itu. Bagaskara membawa Sarita hingga ke rumah inti, lebih tepatnya di depan sebuah pintu megah bergagangkan emas. Kamar Madam Anne.Bagaskara mengetuk kamar bundanya berulang kali, bahkan terdengar tidak sabar ingin segera berbicara dengan sang bunda. Setelah ketukan yang ke tiga kali baru pintu terbuka dan menampilkan sosok Madam Anne yang seram. Tatapan tajam menusuk, sepertinya dia merasa terganggu akan ketukan pintu. Namun, setelah melihat wajah putranya seketika wajah itu melunak."Ada apa, Bagas?" tanya Anne."Aku ingin bertanggung jawab atas hamilnya Sarita, Bunda!" kata Bagaskara.Anne terdiam, pikirannya yang masih terbawa mimpi menepuk kedua pipinya silih berganti. Apa yang dia dengar membuatnya tidak percaya. Mana ada seorang anak pembantu telah berhasil memperdaya putranya yang selama ini menjadi casanova. Anne menggelengkan kepala."Apa maksud kamu, Sarita?" tanya Madam Anne."Maafkan saya, Madam. Saya hamil!" kata Sarita."Kau jebak putraku agar menikahimu untuk menaikkan derajatmu. Benar 'Kan?" tekan Madam Anne."Tidak Bunda, kami saling Cinta!" jawab Bagas."Cuih, Cinta?!"Anne kembali diam, wanita itu menatap tajam kedua anak menusia yang sudah dewasa. Putranya yang baru saja mengalami perceraian beberapa bulan yang lalu kini sudah berhasil menghamili wanita. Apakah ini artinya menantunya yang dulu itu mandul? Semua diluar dugaan, justru disaat dia inginkan seorang cucu malah hadir dari rahim keturunan pembantu. Anne tidak terima, tetapi semua sudah jelas.Anne memgeram kecewa, tetapi semua sudah terlanjur. Dengan berat hati wanita itu pun melangkah ke ruang keluarga, mencari tempat yang lapang. Bagaskara masih menggenggam jemari Sarita dan berjalan mengikuti langkah bundanya."Bukankah Bunda inginkan penerusku sejak lama, kini aku dapatkan. Sekarang restui pernikahan kami!" pinta Bagaskara tegas."Ini adalah anak haram, Bagas, dan kau tahu hukuman di keluarga kita untuk pezina sepeerti kalian!" kata Anne tegas. "Marni, bawa cambuk itu!" teriak Anne.Marni sejak putrinya ditarik oleh Bagaskara tadi dia mengikuti dari belakang dan mengintip putrinya, ketika mendengar teriakan permintaan majikannya maka dia pun gegas berbalik badan dan berjalan ke gudang. Setelah mengambil apa yang diminta oleh majikannya, dia pun kembali ke ruang keluarga masih dengan derai air mata."Ini cambuk itu, Madam!" kata Marni saat menyodorkan cambuk tersebut.Anne menerima cambuk leluhurnya itu, dia menggerakkan dengan tenaga penuh. Terdenhar suara ujung cambuk yang menyentuh lantai. Suaranya membuat hati wanita bagai teriris pisau tajam, perih. Sarita bergidik ngeri membayangkan jika punggungnya terpecut hingga 100 kali cemeti."Tuhan, tolong-lah hamba!" batin Sarita.Tubuh Sarita bergetar, sangat terlihat jika jemarinya saling bertaut untuk menetralkan kegelisahan hatinya. Bagaskara meraih jemari wanitanya dengan berbisik lirih, "Tenanglah, jangan khawatir!"Madam Anne berjalan memutari tubuh kedua anak manusia yang masih berdiri tegak di depannya. Terlihat tubuh Sarita bergetar, hal ini membuat senyum penuh misteri terukir di bibir tipis wanita keturunan Turki. Otak wanita itu berputar memikirkan cara agar keduanya bisa berpisah setelah keturunan putranya lahir."Baik, aku luluskan keinginanmu, Bagas. Tapi ada syaratnya. Apa kalian siap?" tanya Anne."Apapun itu, kami harus siap, Bunda!""Baik, sekarang tengkurap di sofa. Terima hukuman cambuk masing-masing 80X!" kata Anne dengan nada datar.Sarita pun menurut, gadis itu segera melakukan apa yang dikatakan oleh Anne. Wanita keturunan Turki tanpa hijab itu pun segera menggerak cemetinya dan memukul tepat pada punggung Sarita sebanyak sepuluh kali, lalu berganti pada punggung putranya sendiri. Anne memang terkenal adil dan tegas, tetapi terkadang juga julid.Dia tidak memedulikan nasib kaum sudra, apalagi sekedar pembantu. Anne hanya memukul cambuknya pada sang putra sebanyak sepuluh kali, sedangkan pada Sarita dia memukulnya hampir 50 X. Itu pun tidak ada niat untuk berhenti jika bukan teriakan henti dari sang putra."Kau! Aish, urus wanitamu dan suruh si Marni siapkan arsip anaknya kalian nikah malam ini juga!" kata Anne dengan nada tegas dan kasar.Bagaskara segera menghampiri tubuh wanitanya, direngkuhnya kedua bahu Sarita lalu ditarik agar bisa berdiri. Dengan lembut dipapahnya tubuh itu menuju ke kamar pribadinya. Sarita hanya diam saja mengikuti apa yang dilakukan oleh Bagaskara, dia tidak ingin berontak. Hingga sampai di dalam didudukkan gadis itu di tepian ranjang."Maafkan aku, semua gara-gara aku tidak bisa menahan hasrat hingga kau dapatkan nista seperti ini!" lirih Bagaskara sambil membuka perlahan pakaian atas Sarita.Tampak luka lebam dan memerah akibat cambuk, ada aliran darah di antara luka tersebut. Bagaskara pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke kotak obat yang diletakkan pada sudut kamar. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan maka dia pun kembali dan duduk memulai mengoleskan salep.Setelah semua luka tertutup oleh salep, Bagaskara pun bangkit lagi. Kali ini dia menuju ke sebuah almari untuk mengambil sesuatu. Dia sudah mendapatkan barang tersebut, sebuah paper bag berwarna hitam diserahkan pada Sarita."Pakai ini saat ijab nanti!" kata Bagaskara."Apa harus sekarang, Mas?" tanya Sarita.Bagaskara termangu mendengar Sarita memanggilnya dengan sebutan Mas. Sungguh tidak dia kira, suara gadis tersebut sangat merdu begitu menyuarakan kata mas. Hingga dia inginkan lagi dan lagi. Sarita menunduk malu."Segera kamu pakai!""Di sini, Mas?" tanya Sarita polos."Iya, mau di mana lagi. Cepat, sebelum bundaku teriak!"Sarita pun mulai melepas pakaian miliknya yang tersisa. Pandangan Bagaskara tidak bisa berpaling. Tubuh wanitanya lebih indah dari malam kemarin. Dia tidak menyangka akan keindahan ini, apalagi setelah gaun itu lengkap dipakai oleh Sarita."Cantik! Ayo segera kita ke depan!" ajak Bagaskara.Keduanya pun berjalan ke ruang kerja Madam Anne, di sana sudah berkumpul semua penghuni mansion tanpa kecuali bahkan ada seorang ustad yang akan menjadi naib nya. Tampak Simbok berdiri dengan map yang dia dekap erat, seakan tidak mau sesuatu terjadi dengan map tersebut."Maaf, apakah semua sudah siap? Benar inginkan nikah siri saja?" tanya Pak Ustad."Nikah siri ini secara hukum agama sah, tetapi rentan dan merugikan pihak wanita. Apakah tidak lebih baik langsung secara dua hukum yaitu agama dan negara?" tanya Pak Ustad lagi."Lakukan saja apa yang aku inginkah, Pak Ustad. Jangan mempersulit!" kata Anne dengan nada tinggi.Pak Amir selaku ustad di kampung itu pun akhirnya memulai acaranya. Dia meminta berkas yang resmi secara hukum negara. Kedua belah pihak sudah mengumpulkan berkas dan dijadikan satu di atas meja depannya. Tangannya membuka berkas tersebut dengan bergetar. Kedua bola matanya membulat dan mengerjab, lalu menatap pada manik mata Sarita."Apakah ini semua benar, kau terlahir tanpa nasab? Jika boleh saya tahu di mana ayah kandungmu?" tanya Pak Amir.Anne membulatkan kedua matanya, dia tidak percaya akan pendengarannya. Seorang wanita tua yang begitu baik ternyata memiliki seorang anak tanpa nasab. Dulu, wanita itu sempat pulang le kampung karena suatu alasan dan kembali dengan membawa bayi perempuan. Rupanya ini yang disembunyikan. Anne menggeleng keras."Mati!" jawab Mbok Marni datar."Tanpa nasab, bagaimana nikahnya dan siapa walinya?" Anne bertanya dengan nada kecewa."Bisa diwalikan denga
"Aneh!" "Sarita!" teriak Anne memanggil nama gadis itu.Sarita gegas berlari menuju ke asal suara. Dia termangu menatap kehadiran pria paruh baya yang masih terlihat gagah dan tegap. Anne mempersilakan tamunya untuk masuk ke ruang kerja. Lalu menyuruh Sarita untuk menyiapkan minuman dan cemilah ringan agar dibawa ke ruang kerjanya. Sarita pun segera melangkah meninggalkan keduanya. Dia langsung menuju ke dapur menyiapkan apa yang diperintah oleh Anne. Setelah semua tersedia di nampan, maka gegas dibawa ke ruang kerja Anne. Tanpa mengetuk pintu, Sarita langsung masuk. Pakaian atas yang basah akibat keringat juga masih menyisakan bulir keringat pada leher jenjangnya membuat si tamu menelan salivanya."Bagaimana tawaranku semalam, Anne?" tanya pria itu. "Apakah dia yang pernah kamu tawarkan? Jika iya siapkan saja nanti malam," lanjut tamu itu.Pandangan pria itu tidak lepas dari sosok wanita muda yang terlihat buncit perutnya. Seulas senyum terukir di bibir sang pria, ekor matanya memb
Bagaskara masih saja meluapkan emosinya hingga suara lembut memanggilnya."Mas!" Tangan lembut Sarita terulur menyentuh lengan suaminya, "Aku bisa jelaskan semua, percayalah!" lanjut Sarita."Apa yang ingin kau jelaskan? Semua sudah terlihat jelas," kata Bagaskara."Aku dijebak, dan yang menjebak adalah Madam Anne. Aku harap Mas bisa mengerti posisiku," ungkap Sarita.Bagaskara berbalik badan menghadap istrinya, dia mengkerutkan dahi. Tampak gesturnya menolak apa yang dijelaskan oleh Sarita. Lelaki itu tidak percaya akan semua penjelasan Sarita. Baginya apa yang terlihat di depan mata adalah nyata dan istrinya terlihat begitu menikmati sentuhan pria itu. Bagaskara berjalan mengitari tubuh Sarita, dilihatnya dari ujung kepala hingga kaki. Tangan kanannya terulur menyibak helai rambut sang istri. Kedua bola matanya membulat kala melihat adanya kismark. Kedua tangannya mengepal. Bagaskara seketika berbalik badan dan pergi tanpa suara.Setelah kepergian mereka berdua, pintu lain mulai te
Sarita keluar dari mansion aneh milik Madam Anne, kakinya berjalan tanpa arah. Dua hari dua malam wanita muda itu terus menyusuri trotoar tanpa tujuan. Hingga di hari ketiga perutnya berbunyi cukup nyaring."Akhirnya rasa lapar itu datang juga!" gumam Sarita. Pandangannya menyapu alam sekitar, rupanya kaki jenjang itu sudah membawa raganya pada sebuah taman yang terdapat air mancur. Gegas Sarita berjalan menuju kolam berhias air mancur. Ditengadahkan kedua tapak tangannya pada kucuran air mancur, lalu direguknya dengan puas. Setelah beberapa teguk, ditengadahkan lagi kedua tapak tangannya. Kali ini tidak untuk di teguk, melainkan untuk membasuh mukanya yang terasa tebal oleh debu dan asap kendaraan."Ough, segar. Rasanya aku ingin makan buah yang segar. Nah, di sana ada yang jual buah irisan." Sarita pun melangkah menuju ke penjual buah tersebut. Dia membeli beberapa buah iris dari uang mahar nikahnya yang sejumlah lima ratus ribu. Berbekal uang itu, Sarita meninggalkan mansion. Se
Cukup lama Sarita pingsan, jam sepuluh pagi saat sinar mentari masuk dalam kamar melalui jendela yang terbuka tirainya. Perlahan tubuh Sarita menggeliat, kedua matanya membuka. Pandangannya menyapu ruangan yang berwarna biru laut. Warna yang sudah lama dia dambakan sejak masih kecil. Tapak tangannya meraba hamparan sprei biru langit berhias gemerlap bintang, kemudian pandangannya beralih pada selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Seketika dibuka selimut tersebut, lalu Sarita bangkit dari tidurnya. "Ini ... Kamar siapa? Nuansanya sangat indah," gumam Sarita.Kemudian kakinya mulai bergerak memutari keseluruhan isi kamar tersebut. Bibirnya sesekali berdecak kagum akan semua yang ada di kamar itu. Bagai bulan yang jatuh di pangkuan, semua yang pernah muncul di mimpinya kini nyata ada di depan mata. "Selamat pagi, Nona. Sudah lamakah Anda bangun?" tanya wanita muta dengan name tag Aulia."Pagi, saya ada di mana?" "Ini mansion Tulip milik keluarga Waluyo," jawab Aulia, "Saya yang a
"Aku sendiri tidak tahu cerita mengenai liontin itu. Yang pasti benda itu sudah melingkar di leherku sejak aku bayi. Itu keterangan yang kudapatkan dari simbok," jawab Sarita." Aku Sagara Arnold Waluyo, tunggu satu minggu hasil tes dna. Sementara satu minggu ini kamu bisa lakukan apa saja sesuka hatimu," papar Sagara."Apa yang harus aku lakukan, pertama bagaimana caraku memanggilmu, Tuan?" tanya Sarita dengan nada bingung."Cukup panggil aku Saga. Jika hasil dna itu cocok baru kita bahas selanjutnya."Setelah berucap, ujung jari Sagara pun menekan lagi tombol merah. Pintu terbuka dan menampilkan wajah Aulia. Gadis itu berjalan mendekat pada Sarita dan mengajak perempuan itu untuk keluar. "Permisi Tuan Muda!" pamit Aulia sambil membungkukkan badannya.Sarita yang tidak mengerti tata cara keluarga tersebut hanya diam. Dia langsung berjalan keluar dari ruang kerja dan menunggu Aulia di luar, berdiri di samping pintu. Aulia pun keluar sambil menutup pintu dengan gerak pelan."Mari ikut
Sarita terdiam, matanya menatap deretan huruf yang menyatakan kecocokan 100%. Wanita itu menatap pada pria di depannya, lalu mengangguk."Bagaimana langkah kamu selanjutnya, Sarita?" tanya Sagara."Aku ingin lahiran lebih dulu, kemudian perbaiki sikapku untuk membalas semua ini!" "Bagus. Apa perlu kamu pegang salah satu perusahaan milik Bibi Alinsky? Kebetulan ada butik juga, mungkin pas buat lancarkan rencana kamu," ungkap Sagara.Sarita terdiam. Dia belum berfikir ke sana. Yang jelas wanita itu inginkan lahiran dengan selamat, untuk pertama itu yang terlintas di otaknya. Mengenai kuliahnya hanya nunggu proses wisuda."Boleh aku bertanya, bukan, lebih tepatnya meminta bantuanmu, Saga!""Hemm!""Dua minggu lagi aku wisuda, di sana ada pria itu sebagai pendamping dekan. Aku ingin tidak datang, tolong ambilkan ijazahku. Bisakah?" tanya Sarita dengan nada rendah."Jika soal itu tidak masalah bagiku. Jangan khawatir, semua pasti akan beres.""Baiklah, aku lelah dengan kabar mendadak ini.
Sarita menuriti langkah putranya meninggalkan wanita bersama putrinya yang cantik itu. Tanpa Sarita tahu, Sagara telah melihat dan mendengar semua kalimat perempuan itu. Dahinya mengernyit, seakan dia pernah melihat wajah perempuan tersebut."Paman!" teriak Alifian saat dilihatnya Sagara berdiri dengan bersedekap dan bersandar pada badan mobil. Alifian pun berjalan cepat cenderung berlari menuju ke Sagara, dia segera memeluk kaki panjang pria tersebut. Sagara membungkuk dan meraih tubuh mungil ponakannya itu."Hai jagoan om, apa kabar?" tanya Sagara sambil berjalan menujubke sisi mobil yang lain untuk membukakan pintu Sarita. "Silakan masuk, Mama!" kata Alifian."Hehe, terima kasih, Sayang!" balas Sarita. Kemudian Sagara membukakan pintu lainnya untuk Alifian. "Masuk dan duduk yang baik!""Siap, Paman!"Sagara tersenyum, lalu berjalan memutar menuju ke kursi kemudi. Ekor matanya sempat melihat wajah kaget wanita yang menghina Sarita tadi. Senyum tipis bahkan hampir tidak terlihat t