LOGINSoraya Estenne hidup dalam bayang-bayang diplomasi. Sebagai istri seorang diplomat berpengaruh, ia telah belajar bertahan dalam dunia yang penuh senyum palsu, pesta resmi, dan rahasia yang harus ia kubur dalam-dalam. Hingga suatu malam, segalanya runtuh. Nama Soraya terseret dalam skandal penggelapan dana bantuan internasional. Rekening pribadinya menjadi bukti utama, dan seluruh dunia menatapnya dengan tuduhan. Damien Vargan adalah satu-satunya pengacara yang bisa menyelamatkannya. Pria yang reputasinya sekuat tatapannya, yang memenangkan kasus paling mustahil dan menghancurkan lawan-lawannya tanpa berkeringat. Mereka hanya perlu bekerja sama. Menjaga jarak. Tetap profesional. Tapi setiap pertemuan larut malam di ruang strategi, setiap argumen tajam, setiap tatapan yang terlalu lama, menarik mereka semakin dalam ke dalam permainan berbahaya. Mereka harus memilih… menyelamatkan reputasi, atau membakar segalanya demi Skandal terlarang yang tak pernah mereka rencanakan.
View MoreHujan menghantam kaca gedung pencakar langit malam itu, mengubah kerlap-kerlip kota di bawah sana menjadi lukisan abstrak yang luntur.
Di lantai teratas, di depan pintu mahoni ganda dengan plakat kuningan bertuliskan ‘DAMIEN VARGAN & ASSOCIATES’, Soraya Estenne berdiri mematung. Udara di koridor itu dingin, steril, namun telapak tangannya basah. Bukan hanya karena suhu, melainkan karena namanya baru saja diledakkan menjadi headline di tiga benua. Ia mengetuk. Sekali. Ragu. “Masuk.” Suara bariton itu menembus pintu tebal, rendah dan berwibawa, seolah pemilik suara itu sudah memperhitungkan detik kedatangannya. Soraya mendorong pintu, langkahnya terasa berat. Ruangan itu luas, ditelan bayang-bayang yang hanya dipecah oleh lampu meja temaram. Di balik meja kayu eboni yang masif, Damien Vargan duduk. Jasnya masih melekat sempurna meski jarum jam sudah melewati tengah malam. Tatapannya langsung menyambar Soraya. Tajam. Menilai. Ada jeda yang disengaja. Detik-detik sunyi di mana Damien tidak berkata apa-apa, hanya membiarkan matanya berkelana. Dari ujung rambut Soraya yang sedikit berantakan karena hujan, turun ke leher jenjangnya yang tegang, lalu berhenti, terlalu lama, pada lekuk gaun sutra yang menempel di tubuhnya akibat lembab. Itu bukan tatapan sopan seorang pengacara pada klien. Itu tatapan seorang kolektor yang sedang menaksir harga barang langka. “Madame Estenne,” sapanya. Suaranya pelan, namun mengisi setiap sudut ruangan, membuat oksigen terasa menipis. “Duduk.” Soraya berjalan, bunyi tumit stiletto-nya memecah keheningan dengan ritme yang terlalu cepat, mengkhianati kegugupannya. Ia duduk di kursi kulit di hadapan meja Damien, punggungnya kaku, jemarinya mencengkram tas tangan seolah itu pelampung di tengah badai. “Saya tidak bersalah,” ucapnya cepat, nyaris seperti refleks putus asa. Ia berusaha menatap mata Damien, mencoba mengabaikan bagaimana pria itu baru saja menelanjanginya dengan pandangan. Damien menyandarkan punggung, jemarinya bertaut santai di depan bibir, membentuk piramida. Senyum tipis, nyaris tak terlihat namun sarat ejekan, terbit di sudut bibirnya. Tatapannya turun lagi, kali ini terang-terangan jatuh ke belahan dada Soraya yang naik-turun karena nafas yang memburu. “Itu kalimat pembuka favorit semua klien saya.” Nada suaranya datar, bosan. Wajah Soraya memanas. Campuran antara amarah dan rasa malu yang aneh menyengat kulitnya. “Nama saya diseret tanpa sepengetahuan saya. Saya…” “…menjadi wajah cantik dari skandal penggelapan dana bantuan internasional terbesar dekade ini,” potong Damien, suaranya tenang namun mematikan. Kali ini, Damien bangkit. Ia tidak berjalan memutar meja, melainkan melangkah perlahan, mengitari ruangan seolah seekor predator yang sedang mengamankan teritorialnya. Bunyi langkahnya mantap, bergaung di lantai marmer. Ia berhenti tepat di belakang kursi Soraya. Soraya menahan napas. Ia bisa merasakan panas tubuh pria itu memancar, menembus gaun tipisnya. Aroma sandalwood dan tembakau mahal menguar, maskulin dan memabukkan. “Masalahnya, Soraya,” bisik Damien, membuang gelar formalnya begitu saja. Suaranya kini terdengar tepat di samping telinga Soraya, rendah dan intim. “Dunia tidak peduli pada kebenaran. Mereka hanya peduli pada cerita yang bagus. Dan malam ini, kau adalah cerita paling menarik yang mereka miliki.” Soraya menelan ludah, tenggorokannya kering. Ada dorongan liar untuk lari, namun kakinya terasa dipaku ke lantai. Ketakutan itu nyata, namun di bawahnya, ada getaran lain yang asing, sesuatu yang hangat dan berbahaya. “Apa… apa yang akan Anda lakukan?” suaranya bergetar. Damien terkekeh pelan, suara gelap yang mengirimkan sensasi dingin ke tulang punggung Soraya. “Pertanyaan yang salah. Pertanyaan yang benar adalah… apa yang akan kau izinkan aku lakukan?” Ia bergerak lagi, kini berdiri menjulang di hadapan Soraya, memaksanya mendongak. Jarak di antara mereka melanggar semua batas profesionalitas. “Saya bisa membersihkan namamu,” ucap Damien, nadanya kembali dingin dan tajam. “Tapi saya butuh kejujuran mutlak. Tentang semuanya. Termasuk suamimu.” Soraya membeku. “Suamiku?” “Ya.” Damien mencondongkan tubuh, kedua tangannya bertumpu pada lengan kursi Soraya, mengurungnya. Wajah mereka kini hanya berjarak inci. “Siapa pemain sebenarnya di sini? Kau? Dia? Atau kalian berdua hanyalah pasangan serakah yang sial karena tertangkap?” Mata kelabu Damien menusuk, mencari retakan di pertahanan Soraya. “Ini bukan permainan!” Soraya tersentak, matanya berkaca-kaca karena frustasi. Damien menatapnya lekat, seolah menikmati kerapuhan itu. “Bagus,” gumamnya, kepuasan samar terdengar dalam suaranya. “Pertahankan emosi itu. Itu wajah yang menjual kepolosan. Kita butuh itu untuk sidang media besok.” Soraya menghela nafas gemetar. “Dan jika kita gagal?” Damien menegakkan tubuh, mengambil sebuah map hitam dari mejanya dan menjatuhkannya di pangkuan Soraya. “Jika kita gagal,” katanya tanpa emosi, “kau bukan hanya kehilangan reputasi. Kau akan kehilangan segalanya. Kebebasanmu. Masa depanmu. Hidupmu yang nyaman. Dan atas keinginan siapa kau datang kemari? Aku penasaran.” Petir menyambar di luar, cahayanya memutihkan ruangan sesaat, membuat siluet Damien terlihat seperti dewa kegelapan yang sedang menjatuhkan vonis. “Suamiku…” Soraya memejamkan mata, berusaha mengusir air mata yang mengancam tumpah. “Suamiku yang memintaku datang padamu.” Keheningan kembali merajai. Damien tidak terkejut. “Ah… tentu saja. Bajingan itu tahu siapa yang harus dihubungi saat kapal mulai karam.” “Dia bilang hanya kau yang bisa menang. Apapun caranya.” Soraya memberanikan diri menatap pria itu lagi. “Tapi kenapa kau menekanku seperti ini?” Sudut bibir Damien terangkat, membentuk seringai yang tidak mencapai matanya. “Karena aku perlu tahu apakah kau layak diselamatkan, atau hanya beban yang akan menenggelamkan kapalku.” Ia berbalik, berjalan menuju jendela besar yang menampilkan kota yang sedang menangis. “Mulai detik ini, hidupmu adalah milikku, Soraya. Setiap kata yang keluar dari mulutmu, setiap pakaian yang kau kenakan, setiap nafas yang kau ambil, semuanya harus melalui persetujuan ku.” Soraya menatap punggung lebar itu, merasakan jerat tak kasat mata mulai melilitnya. “Kenapa begitu? Syarat macam apa itu? Itu bukan pilihan.” Damien menoleh sedikit, profil wajahnya tajam terkena bias cahaya lampu kota. “Kalau begitu, kau bisa keluar dari pintu itu sekarang dan menghadapi serigala-serigala di luar sana sendirian.” Soraya menggigit bibir bawahnya, rasa besi darah terasa di lidahnya. “Artinya aku tak punya pilihan.” Damien berbalik sepenuhnya, berjalan mendekat dengan langkah lambat yang disengaja. Ia berhenti tepat di depan Soraya, menunduk hingga napas mereka bercampur. “Tepatnya, kau tak punya hak memilih. Dan satu hal lagi,” bisiknya, suaranya turun menjadi geraman rendah yang membuat bulu kuduk Soraya meremang. “Jasa ku mahal. Sangat mahal. Dalam hal ini, bukan soal uang.” Jantung Soraya berhenti berdetak sesaat. Tangan Damien terulur, jari telunjuknya yang hangat menyentuh dagu Soraya, mengangkat wajahnya. “Aku ingin pembayaran pribadi. Di muka. Dengan tubuhmu.” Mata Soraya melebar, syok melumpuhkan sarafnya. “Dan jika kau berani membocorkan percakapan ini,” lanjut Damien, ibu jarinya kini mengusap bibir bawah Soraya dengan gerakan posesif yang mengerikan, “kupastikan kau dan suamimu akan membusuk di penjara dengan skandal yang akan membuat setan pun tersipu malu.” “Kau…”Kehadiran itu datang tanpa suara, seperti bayangan yang memisahkan diri dari kegelapan untuk berdiri di samping cahaya. Tidak ada sapaan, tidak ada denting gelas yang beradu, hanya perubahan drastis pada tekanan udara di sekitar Soraya. Bulu kuduk di tengkuknya meremang, bukan karena dinginnya pendingin ruangan ballroom Hotel Lux, melainkan karena radar instingnya mendeteksi bahaya yang familiar, bahaya yang kini menjadi candu baginya.Aroma musk yang tajam bercampur dengan tobacco mahal dan hint aroma laut yang dingin menyusup ke indra penciumannya, menyingkirkan aroma parfum citrus ringan milik tamu-tamu lain. Aroma itu adalah tanda tangan Damien Vargan.Soraya langsung menoleh, gerakan lehernya cepat dan antisipatif.Soraya bertemu tatap dengan Damien yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya. Pria itu tampak menjulang, mengenakan tuksedo hitam pekat yang dipotong sempurna mengikuti tubuh atletisnya, dengan dasi kupu-kupu yang sedikit miring, memberikan kesan rogue yang m
Limo hitam mengkilap itu berhenti tepat di depan lobi utama Hotel Lux, membelah karpet merah yang telah digelar untuk menyambut para tamu kehormatan malam itu. Pintu mobil dibuka oleh seorang doorman berseragam lengkap, dan detik berikutnya, kilatan lampu blitz dari puluhan kamera wartawan meledak serentak, mengubah malam yang gelap menjadi siang yang menyilaukan dan kacau.George melangkah keluar lebih dulu, sosoknya yang tinggi tegap dalam balutan tuksedo hitam klasik langsung menarik magnet perhatian. Ia tersenyum, melambai sekilas dengan karisma yang sudah dilatih selama puluhan tahun, sebelum berbalik dan mengulurkan tangan ke dalam mobil.George dan Soraya tiba di acara tepat waktu. Soraya menyambut uluran tangan itu, tangan yang sama yang semalam ia tepis, tangan yang sama yang meremasnya dengan ancaman. Namun malam ini, di hadapan lensa kamera yang lapar, tangan itu terasa seperti sutra. Soraya keluar dengan anggun, gaun malam berwarna hitam backless membalut tubuhnya dengan
Bunyi klik pelan dari pintu kamar tidur utama yang tertutup itu terdengar lebih nyaring daripada ledakan meriam di telinga George. Pria itu berdiri mematung di tengah ruangan yang luas, tepat di sisi ranjang tempat ia baru saja mengusir istrinya dengan arogansi yang biasa ia miliki. George menduga, bahkan sangat yakin, bahwa langkah kaki Soraya akan terhenti di ambang pintu. Dalam benaknya, ia sudah membayangkan skenario di mana Soraya akan berbalik, wajahnya basah oleh air mata, lututnya gemetar, lalu menjatuhkan diri di kaki George sambil memohon ampun karena telah lancang menolak sentuhan suaminya. George sudah menyiapkan skenario pemaafan yang agung di kepalanya, ia akan mendiamkan istrinya selama lima menit, membiarkannya menangis, lalu mengangkatnya kembali ke ranjang, menunjukkan bahwa dialah satu-satunya pemberi rasa aman bagi wanita itu.Tapi skenario itu hancur berantakan.Soraya keluar kamar begitu saja. Dia berjalan tanpa menoleh. Punggungnya tegak, langkahnya tidak ragu,
Udara di dalam bangunan raksasa itu terasa sejuk, berbau lilin yang terbakar, kayu tua, dan kesunyian yang mengintimidasi. Langit-langit yang menjulang tinggi dengan lukisan-lukisan para kudus seolah menatapnya dari atas, menghakimi sosok wanita kecil yang berlutut sendirian di tengah deretan bangku kosong. Cahaya matahari sore menembus kaca patri berwarna-warni, menjatuhkan bayangan ungu dan merah darah ke lantai, seolah mewarnai jalan yang Soraya lalui dengan memar dan luka.Soraya berlutut di baris depan, tepat di hadapan altar yang agung. Di sana, patung Sang Juruselamat tergantung dengan kepala tertunduk, ekspresi penderitaan yang abadi terukir di wajah-Nya. Soraya tidak langsung berlutut. Dia berdiri di sana sejenak, meremas tas tangannya, merasakan kontradiksi yang menyakitkan antara kesucian tempat ini dan kekotoran yang ia bawa di dalam jiwanya.Tubuhnya masih mengingat sentuhan Damien, kulitnya masih menyimpan jejak keringat dan aroma dosa yang baru saja ia lakukan di pentho






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.