Share

5. Rencana (I)

Semburan warna jingga menyebar, menutupi kecerahan biru begitu saja. Warna yang seterang nyala api justru begitu teduh saat awan selembut kapas turut tersapu dengan warna yang senada.

Selangkah demi selangkah, sosok remaja yang mengenakan seragam SMA berjalan di trotoar yang ramai. Beberapa anak berlarian, saling mengejar dan tertawa. Sesekali, suara motor yang melewati terdengar, melintasi jalan tanah yang belum diaspal sama sekali. Jalan yang tidak terlalu lebar, memiliki perkebunan di sisi kiri dan perumahan di sisi kanan.

Pepohonan rimbun menutupi senja yang menjangkau hari, memberikan aroma sejuk yang membuat nuansa nostalgia. Saat akhirnya kaki sang remaja berhenti di sebuah pagar besi setinggi 1 meter yang tertutup, kepala yang sejak tadi menunduk kini terangkat.

Rumah satu lantai yang memiliki halaman luas itu terlihat sejuk. Hamparan rumput terlihat mengelilingi rumah sederhana. Ada sebuah pohon Nangka di sisi kiri, dengan beberapa tanaman lain yang turut tumbuh. Semuanya terawat dan tersusun dengan baik, mengikuti hobi salah satu pemilik rumah yang suka berkebun.

Tidak ada sentuhan kaya atau bahkan luar biasa pada rumah tua berdinding bata ini. Semuanya terlihat sederhana, tidak kaya atau miskin. Sama seperti rumah-rumah di sekitarnya. Namun entah bagaimana, ada perasaan rindu yang tak tertahankan menghantam. Kesejukan yang aneh memeluk, meninggalkan rasa aman yang dinanti.

Mungkin ... inilah pengertian dari sebuah 'rumah'.

Corin menarik napas dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Sungguh ... bukankah pagi ini, ia keluar dari rumah dengan lesu? Menganggap pergi ke sekolah seperti sebuah beban. Ia harus ke sekolah, menuntut ilmu dan menganggap pekerjaan itu sangat melelahkan. Berpikir untuk kembali ke rumah begitu bel pulang berbunyi dan akan mengurung diri di dalam kamar, membaca berbagai macam novel online dan menghabiskan waktunya sama seperti biasa.

Saat sebelah tangan pucat terulur untuk membuka pintu pagar, Remaja itu membeku. Jemari putihnya berkeringat dan gemetar, terasa begitu berat untuk mendekati bangunan yang ia sebut ... rumah.

Rasa takut mendadak kembali menghantamnya.

Perasaan ini terasa mencekik tenggorokan, membuatnya sulit untuk bernapas. Tanpa sadar, kedua tangan jatuh kembali ke sisi tubuh. Entah bagaimana ... dengan semua hal yang mendadak begitu saja menimpa, Corin merasa hari ini berjalan dengan sangat lambat ...

Menatap warna jingga langit, sore yang teduh terlihat sama seperti biasa. Dipenuhi dengan canda tawa anak-anak desa yang berkeliaran, saling membuat janji untuk bermain kembali esok hari. Suara motor dan mobil sesekali terdengar di belakangnya, melaju dengan perlahan melewati tanah merah berbatu. Hirup pikuk orang dewasa dan ibu-ibu bergosip turut terdengar. Saling membicarakan para tetangga dan anak orang lain yang begitu mencolok dan menarik untuk dibahas.

Biasanya, Corin tidak pernah menyukai ini. Ia tidak suka berada di luar rumah ketika sore hari. Ibu-ibu tetangga begitu usil, kerap menyapa dan menanyakan hal yang membuatnya merasa sakit hati. Atau anak-anak tetangga yang cerewet dan nakal. Corin tidak menyukainya. Tidak pernah sedikit pun menyukainya. Itu sebabnya, ia lebih suka mengurung diri di rumah ketimbang keluar. Terlalu malas untuk berinteraksi dengan mereka yang begitu menyebalkan.

Namun ...

Baru kali ini, Corin benar-benar merasakannya.

Mereka berisik, sangat berisik. Namun mereka hidup, bergerak, berinteraksi, dapat berbicara apa pun yang mereka inginkan begitu saja. Tanpa mereka, Ibunya mungkin akan merasa kesepian di rumah. Tanpa mereka juga ... adiknya tidak mungkin bermain di luar dengan begitu bahagia.

"Kakak mau masuk atau gak sih?!"

Suara cempreng sukses membuat Corin berjenggit. Ia refleks menoleh, menatap bocah lelaki 10 tahun yang berdiri tepat di belakangnya. Sebelah tangan bocah itu memegang bola kaki. Dengan kulit cokelat dan rambut pendek dipotong cepak, ekspresi bocah kurus itu terlihat kesal.

Alvin?

Corin ingin memanggil nama adiknya, tetapi begitu melihat penampilan si hitam yang penuh lumpur dan debu, Corin refleks menyingkir, menjaga jagak seolah takut bocah Sekolah Dasar itu akan mengotori seragamnya.

"Jangan deket-deket!"

Alvin melotot. "Apaan sih! Berani kotor tuh baik, tahu gak!"

"Jangan seenaknya ambil iklan orang lain," Corin berujar jutek. Membuka pintu pagar dan melenggang masuk. "Jangan masuk lewat depan!" peringatnya, memerintah bocah itu untuk masuk melalui pintu belakang.

"Gak, tadi Al udah cuci kaki duluan sebelum pulang," Alvin menolak. Dengan arogan menunjukkan salah satu kakinya yang masih basah dan sudah dicuci bersih tanpa lumpur. "Lihat? Bersih kan?"

Sulung Yudhistira menatap adiknya dengan jijik. "Pakek air apa? Comberan?"

"Gak lah!" Alvin melotot galak. "Dah ah, gatel ni!" ujarnya tidak sabar, lalu berlari masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan kakaknya kembali. Corin cemberut, mengekori adiknya dengan langkah lamban dan ikut masuk ke dalam rumah. Pintu kayu itu tidak terkunci sama sekali, membuat sepasang saudara langsung menemui ruang tamu dan ruang makan yang dijadikan satu.

Alvin lebih dulu masuk, melihat pisang goreng di atas meja. Tanpa ragu mencuri satu pisang dan berlari menuju dapur sebelum kakaknya berteriak. Namun, tidak mendapatkan teriakan kakaknya, sosok wanita di dapur sudah melotot menatap putra bungsunya.

"Al! Cuci tangan dulu!"

"Al laper Ma!" bocah SD itu melahap besar pisang goreng, lalu berseru kesakitan.

Wanita itu tertawa. "Tuh kan! Gak nurut apa kata Mama sih!"

Alvin meringis. Sibuk membuka mulut lebar-lebar dan mencari udara saat pisang goreng yang panas terasa membakar lidah. Namun bocah itu dengan keras kepala menolak untuk membuang makanan yang sudah masuk ke dalam mulut. Tetap mempertahankan pisang yang panas untuk mendingin dengan sendirinya di dalam mulut yang terbuka lebar.

"Taro di piring kecil dulu," Mama mengkulum senyuman, menyerahkan piring kecil dan dengan patuh, si bungsu menaruh pisang goreng yang telah digigitnya. "Mandi dulu, baru makan!"

"Nanti pisangnya dihabisin Kakak!"

Mendengarnya, membuat Mama yang di dapur refleks menoleh ke arah pintu. Dapur dan ruang tengah terpisah oleh dinding. Hal ini membuat sang wanita tidak menyadari keberadaan anak sulungnya. "Rin udah pulang?"

"Udah Ma!" mendengar namanya dipanggil, Corin refleks berteriak. Ia, yang sejak tadi berdiri mematung, langsung menggelengkan kepala. Berbalik dan buru-buru masuk ke dalam kamar.

Tepat ketika pintu tertutup dan terkunci, seluruh tubuh remaja itu langsung terasa lemas.

Menjatuhkan tas di atas lantai, sosok remaja itu berjalan perlahan menuju kasur. Selangkah demi selangka, entah bagaimana terasa berat. Terseret-seret seolah kasur merupakan tempat tujuannya yang begitu putus asa.

Bruk!

Corin membiarkan gravitasi menariknya. Membuat tubuh remaja itu jatuh di atas kasur yang empuk.

Menarik napas panjang, Corin menoleh ke sisi kiri, menatap kosong ke arah meja belajar yang rapi. Terdapat berderet komik dan novel di sana, tersusun dan terjaga dengan baik. Mengingat ia lebih suka membuka cerita ketimbang membuka buku pelajaran, beberapa kamus dan buku pelajaran terlihat berdebu di sisi yang lain.

Mengatup rapatkan bibirnya, Corin kembali merasakan gelisah yang terus menggerogoti dada. Ia takut. Sangat. Namun ia tidak bisa melakukan apapun. Semua sudah terjadi, ia tidak mungkin mundur. Perasaan putus asa ini entah bagaimana membuatnya merasa ... tercekik.

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Corin. Remaja itu melirik ke arah pintu, lalu dengan malas bangkit dan mengubah posisi berbaring menjadi duduk di atas kasur.

"Ya?"

"Rin tumben pulang telat, dari mana aja, Nak?" Suara lembut seorang wanita terdengar di luar pintu. Corin merasa bersalah begitu mendengar pertanyaan Mamanya. Tanpa sadar, remaja ini ingin mengelak. Sangat tidak nyaman dengan pertanyaan sederhana itu. Oh, untunglah ia mengunci pintu. Setidaknya, wanita itu tidak akan melihat ekspresi putri sulungnya.

"Tadi ada kerja kelompok Ma, jadi Rin pegi ke rumah kawan dulu," kepala remaja itu menunduk. Menatap kakinya yang dengan gelisah bergerak-gerak di permukaan lantai yang dingin. "Rin lupa nelfon Mama."

"Ooh ... ," wanita dibalik pintu bergumam. "Lain kali kasih tahu Mama ya, untung aja kamu pulang bareng adekmu. Kalau gak, tadi Mama mau nelfon Papa tuk nanya kamu dimana."

"Rumah kawan Rin deket sekolah kok Ma."

Jeda beberapa detik. Mendadak, tidak ada sahutan kembali dari balik pintu. Corin menghela napas lega. Namun, baru saja ia ingin kembali berbaring, suara wanita di balik pintu kembali terdengar.

"Rin, kamu gak bisa buka pintu untuk Mama?"

Corin panik. Jantungnya mencelos. Ia refleks melompat dari kasur dan buru-buru melepaskan seragam dan mengganti pakaiannya dengan piyama.

"Corin lagi ganti baju Ma," suara remaja itu agak gemetar. Karena terlalu panik dan terburu-buru, remaja itu tidak sempat menyisir rambutnya. Hanya dengan kasar melepaskan kuncir dan menyisir jari helai rambutnya yang panjang.

Ceklek.

Pintu terbuka, menampakkan seorang wanita cantik yang mengenakan daster orange-hitam. Sosok itu lebih pendek, tetapi dengan wajah yang begitu terawat dan terlihat awet muda. Rambut wanita itu dipotong pendek, menyuarakan pemikiran sang pemilik yang jelas lebih menyukai hal-hal sederhana dan praktis.

"Kamu gak mandi dulu?" alis wanita itu terpaut, jelas heran kenapa anak gadisnya berganti baju dulu. Hari sudah sore, bukankah lebih praktis langsung ke kamar mandi untuk mandi?

"Kan ada Al," sang remaja mengelak. Tanpa ragu melangkah ke luar dari kamar dan mengambil pisang goreng yang menganggur di atas meja. "Pisang gorengnya enak," tanpa ragu, si sulung memuji setelah satu gigitan.

"Ya kan?" Mama menyeringai bangga. "Tadi ko Aceng dateng, bawa pisang. Pisang-pisangnya dah mateng. Ini masih ada segepok lagi di dapur."

Tetangga mereka memiliki kebun pisang di halaman belakang rumahnya. Sesekali, sosok tua yang begitu bersemangat itu memang kerap membagikan hasil panennya. Terutama untuk Alvin yang suka pergi ke halaman ko Aceng yang luas sebagai penolong dadakan bila lelaki tua itu ingin menyingkirkan beberapa hama di kebunnya.

"Hm ... pantesan enak," menghidupkan TV, Corin mencoba bertingkah seperti biasa. Di layar datar, sebuah berita sore ditampilkan. Mama sesekali mengajak putrinya berbicara, tetapi anak sulungnya jelas terlihat terlalu fokus. Tidak mendengarkan dan dengan serius menatap ke layar.

Hal ini mau tidak mau membuat wanita itu menghela napas. Ikut menonton berita sambil ngemil pisang goreng yang manis dan kriuk yang berada di atas meja. Keduanya tidak ada yang berbicara, hanya suara TV yang menjadi pemecah suasana di ruangan besar itu.

Namun pikiran Corin sudah melayang. Jantungnya berdebar dengan menyakitkan. Sesekali ia melirik wanita cantik di sebelahnya, perasaan rindu dan ingin memeluk wanita itu untuk berkeluh kesah membuatnya merasa sangat sesak. Namun tidak mungkin. Corin tidak bisa melakukannya. Ia tidak mau Mamanya khawatir.

"KAN!!! PISANG GORENGNYA HABIS!"

Teriakan membahana sukses membuat Corin berjengit. Remaja itu menoleh, menatap ke arah dapur dan menemukan bocah hitam yang hanya mengenakan handuk. Tubuhnya basah kuyup, menatap nyalang ke arahnya.

"AL GAK DISISAIN PISANG GORENGNYA!"

Corin, yang semula menahan sakit, tidak bisa menahan tawa melihat ekspresi ingin menangis tetapi tetap memasang wajah galak adiknya. Sosok kecil itu berlari marah. Buru-buru meraih piring dan menyelamatkan pisang terakhir di atas meja. Ia melotot, menuduh Mama dan juga Kakaknya karena tidak berniat menyisakan pisang goreng untuknya.

Mama tertawa, dengan lembut membujuk sosok kecil itu. Namun si bungsu jelas tidak berkompromi. Menganggap Mamanya berkhianat karena menghabisi pisang goreng. Akhirnya, Mama kembali ke dapur untuk menggoreng pisang, sementara si bungsu, dengan wajah penuh kemenangan, mendengus ke arah Kakaknya, lalu berlari menuju kamar untuk mengenakan baju.

Melihat Ibunya yang berjalan ke dapur dan adiknya yang masuk ke kamar, entah bagaimana Corin kembali merasa ... sedih.

Oh, tanpa ia sadari, hari-harinya tidak semembosankan itu, bukan? Ia juga memiliki warna ... warnanya sendiri. Tidak sekaku itu. Tidak semonoton itu. Namun ... kenapa ia baru menyadarinya sekarang?

Tersenyum miris, dapat ia rasakan matanya terasa panas. Panik, Corin langsung masuk ke dalam kamar. Mengunci pintu sebelum Mama atau adiknya sadar bahwa ia ... kembali menangis.

Dibalik lapisan kayu yang tertutup rapat, remaja yang mengenakan piyama duduk berjongkok, memeluk kedua lutut, membenamkan wajah yang telah memerah. Bahu mungilnya gemetar, mencoba meredam suara isak tangis yang kian lama, kian menyedihkan.

Mulai sekarang semua berubah.

Semua hal tidak akan sama kembali.

Corin merinding memikirkannya. Rasa takut akan perubahan kembali mencengkram. Membuatnya sulit bernapas. Saat dengan percaya diri ia mengatakan menerima semuanya dengan berlapang dada ...

Ia berbohong.

Tidak mungkin Corin bisa menerimanya. Tidak mungkin ia bisa memikulnya begitu saja. Ia hanya anak SMA biasa. Anak pendiam yang suram, seorang remaja yang memiliki keberanian kecil. Bagaimana mungkin ia yang seperti ini tidak merasa ... takut.

Oh, sungguh, tidak bisakah ia ... menarik kata-katanya kembali?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status