Share

4. Aku (IV)

Perlu beberapa waktu untuk membuat Corin Yudhistira lebih tenang. Setidaknya, remaja yang mengenakan seragam SMA itu tidak akan mendadak berteriak dan histeris kembali. Yah ... dengan catatan, gadis kecil dan pria tampan tidak di dalam jarak yang terlalu dekat dengannya. Setidaknya, dari percakapan, Corin tahu bahwa Caroline Weish dan adiknya, Edle Weish masih ... 'manusia'.

Corin benar-benar hampir mati. Ya, itu yang ia tahu dengan pasti. Setidaknya, remaja ini ingat bahwa ia refleks ingin melindungi seekor anak kucing. Berlagak sok pahlawan dengan berlari memeluk seekor kucing liar yang hampir dilindas truck.

Lalu, disaat itulah keajaiban terjadi.

Ia tidak mati menjadi daging cincang karena lindasan truk, tidak juga menjadi arwah penasaran karena konon membawa kucing yang dipercaya pembawa sial karena warna bulu hitamnya.

Corin ... masih hidup.

Itu semua karena kedua makhluk yang membuatnya mati ketakutan. Gadis kecil dan juga pria berjas hitam itu. Kedua sosok yang katanya bukan manusia, melainkan seekor kucing hitam tanpa sehelai pun bulu putih di tubuhnya.

"Banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat di dunia ini," Perempuan blesteran duduk di pinggir kasur, berujar lembut dan terlalu tenang untuk ukuran remaja seumurannya. Ia begitu lembut, cantik dan dengan sabar mengatakan beberapa hal dengan jelas. "Termasuk keberadaan kita, Penyihir, dan juga mereka, Kucing Hitam."

Sekarang Corin benar-benar sadar apa yang berbeda dari Caroline Weish yang dikenalnya di sekolah.

Bukankah Lin menggunakan bahasa terlalu baku?

Mendengarnya membuat Corin merasa berada di kelas Bahasa Indonesia dimana guru selalu menekankan untuk menggunakan bahasa baku yang jelas selama 2 jam pembelajaran.

"Aku ... ," Corin ragu-ragu. Sepasang irisnya menatap ke arah remaja cantik yang berdiri di dekat Lin. "Kalian ... penyihir?"

"Kau juga termasuk penyihir," Edle buka suara, bersedekap dan menatap remaja yang masih meringkuk di atas kasur. "Bukan cuma kami, tetapi juga kau. Kita adalah Penyihir."

Corin mengkatup rapatkan bibir mendengarnya. Tanpa sadar, kedua tangannya kembali mencengkram selimut. Bagaimanapun ... ini masih agak sulit diterima. Bagaimana bisa ia menjadi Penyihir? Meski Lin sudah dengan sabar memberitahukannya bahwa mereka adalah Penyihir dan dua orang sisanya adalah makhluk jejadian--alias siluman kucing, remaja SMA ini masih merasa tidak nyata.

Apakah ia bermimpi?

"Nona ... ," gadis kecil bersuara. Ekspresi wajahnya terlihat ingin menangis. "No-nona ... jangan takut, aku ... aku akan patuh, aku ... aku ... ."

Corin tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan perasaannya.

Mendadak, ia dinobatkan menjadi seorang Penyihir dan juga Tuan dari gadis kecil ini. Terlebih, ia selamat dari kecelakaan yang mengancam nyawa. Hal yang wajar untuk berterima kasih karena Phoenix--pria berjas yang tampan-- dan juga gadis kecil ini, menyelamatkannya.

Namun, harus terseret ke dalam hal-hal supranatural seperti ini ...

APAKAH AKU BENAR-BENAR TIDAK SEDANG BERMIMPI?!

Remaja SMA itu mendadak frustasi. Ia baru saja merana, menggerutu dan mengutuk hidupnya yang begitu membosankan. Sekarang, impiannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih ... lebih berwarna, terwujud. Namun ketimbang senang, Corin merasa frustasi dan takut.

Bagaimana bisa ia menjelaskan ini dengan keluarganya?

Lin, menjelaskan semuanya dengan cukup detail. Namun remaja belsteran itu jelas ingin membuatnya mencerna dan menerima dengan perlahan. Ia menjelaskan tentang Penyihir, bahwa orang-orang yang mampu melakukan hal-hal luar biasa itu benar-benar ada. Mereka bisa terbang, mereka bisa melakukan hal-hal ajaib. Tersembunyi dan bercampur dengan manusia biasa. Telah ada sejak dahulu dan bukan hal yang aneh, hanya ... hanya terlalu tersembunyi sehingga manusia biasa tidak menyadari keberadaan mereka.

Lalu untuk kedua siluman itu, hanya beberapa kata yang Gadis Weish katakan.

Kucing Hitam tanpa bulu putih, merupakan 'Pelayan Penyihir' yang paling setia. Di mana mereka hanya akan patuh dan setia kepada Tuan yang mereka pilih. Artinya ... tidak semua Penyihir dapat memiliki Kucing Hitam karena mereka lah yang memilih Penyihir untuk menjadi Tuan mereka, bukan sebaliknya.

Lalu anak kecil ini ... gadis kecil loli yang sekitar berumur 5 tahun, adalah Kucing Hitam yang Corin selamatkan. Gadis kecil yang mengenakan pakaian bergaya victoria terlihat seperti boneka Prancis. Begitu indah, menawan dan cantik. Namun sayang ... bukan manusia.

Ini adalah Siluman. Seekor kucing yang menganggap Corin sebagai Tuannya. Memilih Corin begitu saja, menyelamatkan hidupnya, mengubah sosok manusia, menjadi seorang Penyihir ...

"Jangan menangis," Corin berujar lirih. Ia memalingkan wajah, tidak mau melihat gadis kecil yang begitu lucu dan imut, menangis. Bagaimanapun, penampilan kucing kecil itu begitu menipu. Hal ini membuat remaja SMA merasa tidak nyaman. Seolah-olah ia begitu jahat, membuat bocah batita menangis.

"Aku tahu itu sulit," Lin kembali buka suara. Remaja itu masih berujar dengan sangat lembut, mencoba menenangkan. "Tetapi kau harus menerimanya."

Corin menunduk. Sepasang netranya menatap sendu selimut yang menutupi tubuh bagian bawah. Saat ini, ia duduk bersandar di kepala tempat tidur, pucat dan berantakan. Tidak indah sama sekali. Lebih terlihat seperti pasien rumah sakit jiwa yang baru saja dikeluarkan dan hampir mengamuk kembali.

"Aku ..."

"Yah, kau benar-benar harus menerimanya," Edle menyela. Tidak sedikitpun merasa empati. "Anggap saja kau mendapatkan sedikit keberuntungan, setidaknya kau tidak jadi mati muda kan?"

"JAGA UCAPANMU!" Suara gadis kecil itu melengking, siap untuk melakukan perang kembali.

"Apa? Aku mengatakan yang sebenarnya kan?" Bocah lelaki itu membalas acuh tak acuh.

"Apanya yang benar?! Aku akan melindungi Nona! Aku pasti akan melindungi Nona!"

Bila bukan karena Phoenix, gadis kecil yang tengah ditahan itu pasti akan langsung maju dan menerkam remaja cantik yang berada di dekat kasur.

"Heh, bila bukan karena Kakakku, apa kau yakin bisa menolong Nonaku ini?"

"AKU BISA!"

Mengabaikan keributan di sekitarnya, Corin kembali menyadari sesuatu.

Benar ...

Bukankah karena ini, ia tidak jadi mati? Ia baru saja selamat dari maut. Sedikit saja ... sedikit saja, mungkin keluarganya akan menerima berita kematiannya. Mendapati dirinya yang hanya pergi ke sekolah, pulang dalam keadaan tidak bernyawa.

Memikirkan hal ini membuat Corin gemetar.

"Aku tidak akan membuat Nona mati! Aku akan melindungi No--"

"Berhenti bertengkar! Bisakah kalian--"

"Aku ..., " Corin menyela. Suaranya kecil, tetapi sukses membuat kedua kubu yang siap berperang, terdiam. Menatap fokus sosok remaja yang masih menunduk. Sosok itu menautkan kedua tangan, jemari putih bergerak dengan gelisah dan saling terjalin. "Aku ingin belajar lebih banyak lagi."

Hening.

Masih tidak ada yang berbicara.

Hal ini mau tidak mau memberikan sedikit keberanian kepada sosok yang begitu pengecut. Menelan liur paksa, kepala yang sejak tadi menunduk, kini terangkat. Sepasang netra gelap masih terlihat gelisah, tetapi jelas telah mengambil sebuah keputusan.

"Tolong ... tolong ajari semuanya, tolong jelaskan semuanya kepadaku."

Caroline terdiam selama beberapa saat. Mendengarnya, tanpa sadar ia melirik ke arah Kucing Tanpa Nama yang terdiam. Sosok mungil itu tercenga, lalu beberapa saat kemudian, setetes demi setetes kristal cair membasahi pipinya.

Caroline mengerti. Ia sangat mengerti kenapa ... gadis kecil itu kini menangis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status