Perlu beberapa waktu untuk membuat Corin Yudhistira lebih tenang. Setidaknya, remaja yang mengenakan seragam SMA itu tidak akan mendadak berteriak dan histeris kembali. Yah ... dengan catatan, gadis kecil dan pria tampan tidak di dalam jarak yang terlalu dekat dengannya. Setidaknya, dari percakapan, Corin tahu bahwa Caroline Weish dan adiknya, Edle Weish masih ... 'manusia'.
Corin benar-benar hampir mati. Ya, itu yang ia tahu dengan pasti. Setidaknya, remaja ini ingat bahwa ia refleks ingin melindungi seekor anak kucing. Berlagak sok pahlawan dengan berlari memeluk seekor kucing liar yang hampir dilindas truck.
Lalu, disaat itulah keajaiban terjadi.
Ia tidak mati menjadi daging cincang karena lindasan truk, tidak juga menjadi arwah penasaran karena konon membawa kucing yang dipercaya pembawa sial karena warna bulu hitamnya.
Corin ... masih hidup.
Itu semua karena kedua makhluk yang membuatnya mati ketakutan. Gadis kecil dan juga pria berjas hitam itu. Kedua sosok yang katanya bukan manusia, melainkan seekor kucing hitam tanpa sehelai pun bulu putih di tubuhnya.
"Banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat di dunia ini," Perempuan blesteran duduk di pinggir kasur, berujar lembut dan terlalu tenang untuk ukuran remaja seumurannya. Ia begitu lembut, cantik dan dengan sabar mengatakan beberapa hal dengan jelas. "Termasuk keberadaan kita, Penyihir, dan juga mereka, Kucing Hitam."
Sekarang Corin benar-benar sadar apa yang berbeda dari Caroline Weish yang dikenalnya di sekolah.
Bukankah Lin menggunakan bahasa terlalu baku?
Mendengarnya membuat Corin merasa berada di kelas Bahasa Indonesia dimana guru selalu menekankan untuk menggunakan bahasa baku yang jelas selama 2 jam pembelajaran.
"Aku ... ," Corin ragu-ragu. Sepasang irisnya menatap ke arah remaja cantik yang berdiri di dekat Lin. "Kalian ... penyihir?"
"Kau juga termasuk penyihir," Edle buka suara, bersedekap dan menatap remaja yang masih meringkuk di atas kasur. "Bukan cuma kami, tetapi juga kau. Kita adalah Penyihir."
Corin mengkatup rapatkan bibir mendengarnya. Tanpa sadar, kedua tangannya kembali mencengkram selimut. Bagaimanapun ... ini masih agak sulit diterima. Bagaimana bisa ia menjadi Penyihir? Meski Lin sudah dengan sabar memberitahukannya bahwa mereka adalah Penyihir dan dua orang sisanya adalah makhluk jejadian--alias siluman kucing, remaja SMA ini masih merasa tidak nyata.
Apakah ia bermimpi?
"Nona ... ," gadis kecil bersuara. Ekspresi wajahnya terlihat ingin menangis. "No-nona ... jangan takut, aku ... aku akan patuh, aku ... aku ... ."
Corin tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan perasaannya.
Mendadak, ia dinobatkan menjadi seorang Penyihir dan juga Tuan dari gadis kecil ini. Terlebih, ia selamat dari kecelakaan yang mengancam nyawa. Hal yang wajar untuk berterima kasih karena Phoenix--pria berjas yang tampan-- dan juga gadis kecil ini, menyelamatkannya.
Namun, harus terseret ke dalam hal-hal supranatural seperti ini ...
APAKAH AKU BENAR-BENAR TIDAK SEDANG BERMIMPI?!
Remaja SMA itu mendadak frustasi. Ia baru saja merana, menggerutu dan mengutuk hidupnya yang begitu membosankan. Sekarang, impiannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih ... lebih berwarna, terwujud. Namun ketimbang senang, Corin merasa frustasi dan takut.
Bagaimana bisa ia menjelaskan ini dengan keluarganya?
Lin, menjelaskan semuanya dengan cukup detail. Namun remaja belsteran itu jelas ingin membuatnya mencerna dan menerima dengan perlahan. Ia menjelaskan tentang Penyihir, bahwa orang-orang yang mampu melakukan hal-hal luar biasa itu benar-benar ada. Mereka bisa terbang, mereka bisa melakukan hal-hal ajaib. Tersembunyi dan bercampur dengan manusia biasa. Telah ada sejak dahulu dan bukan hal yang aneh, hanya ... hanya terlalu tersembunyi sehingga manusia biasa tidak menyadari keberadaan mereka.
Lalu untuk kedua siluman itu, hanya beberapa kata yang Gadis Weish katakan.
Kucing Hitam tanpa bulu putih, merupakan 'Pelayan Penyihir' yang paling setia. Di mana mereka hanya akan patuh dan setia kepada Tuan yang mereka pilih. Artinya ... tidak semua Penyihir dapat memiliki Kucing Hitam karena mereka lah yang memilih Penyihir untuk menjadi Tuan mereka, bukan sebaliknya.
Lalu anak kecil ini ... gadis kecil loli yang sekitar berumur 5 tahun, adalah Kucing Hitam yang Corin selamatkan. Gadis kecil yang mengenakan pakaian bergaya victoria terlihat seperti boneka Prancis. Begitu indah, menawan dan cantik. Namun sayang ... bukan manusia.
Ini adalah Siluman. Seekor kucing yang menganggap Corin sebagai Tuannya. Memilih Corin begitu saja, menyelamatkan hidupnya, mengubah sosok manusia, menjadi seorang Penyihir ...
"Jangan menangis," Corin berujar lirih. Ia memalingkan wajah, tidak mau melihat gadis kecil yang begitu lucu dan imut, menangis. Bagaimanapun, penampilan kucing kecil itu begitu menipu. Hal ini membuat remaja SMA merasa tidak nyaman. Seolah-olah ia begitu jahat, membuat bocah batita menangis.
"Aku tahu itu sulit," Lin kembali buka suara. Remaja itu masih berujar dengan sangat lembut, mencoba menenangkan. "Tetapi kau harus menerimanya."
Corin menunduk. Sepasang netranya menatap sendu selimut yang menutupi tubuh bagian bawah. Saat ini, ia duduk bersandar di kepala tempat tidur, pucat dan berantakan. Tidak indah sama sekali. Lebih terlihat seperti pasien rumah sakit jiwa yang baru saja dikeluarkan dan hampir mengamuk kembali.
"Aku ..."
"Yah, kau benar-benar harus menerimanya," Edle menyela. Tidak sedikitpun merasa empati. "Anggap saja kau mendapatkan sedikit keberuntungan, setidaknya kau tidak jadi mati muda kan?"
"JAGA UCAPANMU!" Suara gadis kecil itu melengking, siap untuk melakukan perang kembali.
"Apa? Aku mengatakan yang sebenarnya kan?" Bocah lelaki itu membalas acuh tak acuh.
"Apanya yang benar?! Aku akan melindungi Nona! Aku pasti akan melindungi Nona!"
Bila bukan karena Phoenix, gadis kecil yang tengah ditahan itu pasti akan langsung maju dan menerkam remaja cantik yang berada di dekat kasur.
"Heh, bila bukan karena Kakakku, apa kau yakin bisa menolong Nonaku ini?"
"AKU BISA!"
Mengabaikan keributan di sekitarnya, Corin kembali menyadari sesuatu.
Benar ...
Bukankah karena ini, ia tidak jadi mati? Ia baru saja selamat dari maut. Sedikit saja ... sedikit saja, mungkin keluarganya akan menerima berita kematiannya. Mendapati dirinya yang hanya pergi ke sekolah, pulang dalam keadaan tidak bernyawa.
Memikirkan hal ini membuat Corin gemetar.
"Aku tidak akan membuat Nona mati! Aku akan melindungi No--"
"Berhenti bertengkar! Bisakah kalian--"
"Aku ..., " Corin menyela. Suaranya kecil, tetapi sukses membuat kedua kubu yang siap berperang, terdiam. Menatap fokus sosok remaja yang masih menunduk. Sosok itu menautkan kedua tangan, jemari putih bergerak dengan gelisah dan saling terjalin. "Aku ingin belajar lebih banyak lagi."
Hening.
Masih tidak ada yang berbicara.
Hal ini mau tidak mau memberikan sedikit keberanian kepada sosok yang begitu pengecut. Menelan liur paksa, kepala yang sejak tadi menunduk, kini terangkat. Sepasang netra gelap masih terlihat gelisah, tetapi jelas telah mengambil sebuah keputusan.
"Tolong ... tolong ajari semuanya, tolong jelaskan semuanya kepadaku."
Caroline terdiam selama beberapa saat. Mendengarnya, tanpa sadar ia melirik ke arah Kucing Tanpa Nama yang terdiam. Sosok mungil itu tercenga, lalu beberapa saat kemudian, setetes demi setetes kristal cair membasahi pipinya.
Caroline mengerti. Ia sangat mengerti kenapa ... gadis kecil itu kini menangis.
Semburan warna jingga menyebar, menutupi kecerahan biru begitu saja. Warna yang seterang nyala api justru begitu teduh saat awan selembut kapas turut tersapu dengan warna yang senada. Selangkah demi selangkah, sosok remaja yang mengenakan seragam SMA berjalan di trotoar yang ramai. Beberapa anak berlarian, saling mengejar dan tertawa. Sesekali, suara motor yang melewati terdengar, melintasi jalan tanah yang belum diaspal sama sekali. Jalan yang tidak terlalu lebar, memiliki perkebunan di sisi kiri dan perumahan di sisi kanan. Pepohonan rimbun menutupi senja yang menjangkau hari, memberikan aroma sejuk yang membuat nuansa nostalgia. Saat akhirnya kaki sang remaja berhenti di sebuah pagar besi setinggi 1 meter yang tertutup, kepala yang sejak tadi menunduk kini terangkat. Rumah satu lantai yang memiliki halaman luas itu terlihat sejuk. Hamparan rumput terlihat mengelilingi rumah sederhana. Ada sebuah pohon Nangka di sisi kiri, dengan beberapa tanaman lain yang
Kembali ke beberapa jam yang lalu ... 3 Penyihir dan 2 Kucing berwujud manusia berkumpul. Di sebuah kamar mewah, mengelilingi sebuah kasur berukuran King Size di mana seorang Penyihir berseragam SMA menjadi pusatnya. Sosok yang masih duduk di atas kasur itu dengan bodoh menatap teman sekelas yang memiliki kepribadian berbeda. Caroline Weish tidak terlihat seperti remaja ababil lainnya. Ia tenang, berpikiran jernih dan terlihat terlalu dewasa untuk ukuran anak seumurannya. Hal ini membuat Corin merasa lebih nyaman untuk berbicara dan berinteraksi dengan teman sekelasnya yang penyabar. "Bila aku memang seorang penyihir, sihir apa yang bisa aku keluarkan sekarang?" Lin menceritakan hal-hal ajiab perihal Penyihir. Tentu saja, Corin tidak akan mungkin berpikir ia akan langsung bisa melakukan hal-hal luar biasa. Namun setidaknya, apa yang biasa dilakukan Penyihir ... sesuatu yang sederhana dan kecil, seharusnya juga bisa ia lakukan, bukan? "Kau belu
"Aku akan melindungi Nona!" gadis kecil dengan sepasang iris kelabu mendadak berteriak, melotot galak ke arah Edle. Suaranya yang melengking jelas memecahkan keheningan ruangan itu. "Aku tidak akan membiarkan satupun Penyihir menyakiti Nona!"Edle terkekeh mendengarnya. Ia tidak henti bereksting menjadi sosok Antagonis. "Oh, benar. Kau akan melindungi Nonamu sampai kapan? Bahkan tanpa adanya Penyihir, Nonamu—“"Edle," Carolin mengkerutkan alis, memanggil nama adiknya dengan penuh peringatan. "Cukup.""Kenapa?" bocah itu menatap kesal kakaknya. "Kau tidak mau menjelaskannya? Bukankah lebih baik dia tahu bahayanya? Setidaknya—“"Apa lagi yang belum aku tahu?" Corin menyela. Tertawa miris saat mendengar apa yang bocah lelaki itu katakan. Nyawanya terancam. Banyak Penyihir akan ... mengincarny
Sosok itu gelisah. Berbaring di kasur singel, remaja yang mengenakan piyama, tidak henti mengubah posisi terus menerus. Memeluk guling, lalu berbalik dan melepaskannya dengan kesal. Terlentang, merasa tidak nyaman, kembali mengubah posisi menjadi meringkuk ke sebelah kiri. Beberapa menit kemudian, remaja berhelai panjang itu akan kembali mengubah posisi meringkuk ke sebelah kanan. Tidak ada rasa kantuk. Hanya ada debaran yang terus meningkat tidak senada dengan detak jam yang bergerak dengan konstan. Desiran yang membuat perut tidak nyaman terus merayap, kian membuat tidak nyaman. Hanya ada keheningan di tengah malam yang kian larut. Seluruh anggota keluarga di rumah bata itu seharusnya telah terlelap ke alam mimpi. Namun sayangnya, Corin Yudhistira tidak mengantuk sama sekali. Corin menyesal. Sejujurnya, ia benar-benar menyesal kenapa begitu penurut dan pengecut. Ini masalah nyawa, bukan sesuatu yang bisa dipermainkan. Namun pada kenyataanny
Berganti dari satu posisi menjadi posisi lain. Remaja yang mengenakan piama benar-benar tidak bisa diam di kasurnya. Ia terus bergerak dengan gelisah. Tidak merasa kantuk sama sekali saat malam telah larut. Ada kekesalan yang bergelayut di dada. Mencengkeram hingga membuat Corin ingin mengamuk. Terutama saat mengingat perlakuan seenaknya Caroline kepadanya. Seenaknya memutuskan, seenaknya merahasiakan sesuatu. Sungguh, bukankah ini hidupnya?! Remaja ini ingin marah, mengamuk. Namun ia hanya bisa menelan kekesalannya bulat-bulat. Rasanya sangat tidak menyenangkan ... sungguh, rasanya sangat tidak nyaman hingga ia merasa ingin kembali menangis. Mau bagaimana lagi? Ia hanya bisa bergantung dengan gadis Weish. Ia tidak bisa berbuat apa pun ... ia hanya pengecut. Bahkan untuk protes dan sedikit menyuarakan ketidak setujuan, Corin membutuhkan kepercayaan diri ekstra, keberanian yang ekstra. Tahu pasti bahwa matanya tidak mau terpejam, Corin tanpa ragu bangkit berdi
Rimbunnya pepohonan memenuhi mata, warna gelap yang kentara meneduhi semua hal yang berada di bawahnya. Cahaya bulan yang lebih bersinar seolah memanjang, menembus dedaunan tebal guna menerangi gulita yang tercipta. Corin Yudhistira seharusnya tidak memiliki penglihatan sebaik ini, tetapi dengan anehnya ia bisa melihat suasana yang tercipta dari malam yang hanya mengandalkan penerangan bulan. "Hutan?" tanpa sadar remaja itu membeo, tercenga dengan apa yang ada di sekitarnya. "Ya," Phoenix mengangguk, sukses mengalihkan perhatian remaja yang masih tercenga. Corin berkedip, sulung Yudhistira menoleh menatap sekelilingnya dan mendapati bahwa ... ada sebuah kereta kuda beberapa meter dari tempat mereka berdiri. Kereta itu terlihat megah dan tua, tanpa kuda yang seharusnya menjadi hewan penariknya. Warna gelap pada kereta bersamaan dengan derit ketika Joshua membantu Lin untuk menaiki kereta tertutup itu sekali lagi membuat remaja berkuncir satu menelan li
"Penyihir memiliki 3 tipe kemampuan, masing-masing adalah Element, Makhluk hidup dan Ramalan. Tipe kekuatan yang paling umum adalah Element, Makhluk Hidup cenderung jarang dan tipe Ramalan adalah yang paling langka." Pria dengan helai gelap dan sepasang iris biru itu menjelaskan dengan sabar. Nadanya lambat, tidak terburu-buru dan cukup menyenangkan untuk didengar. Bahkan dengan wajah tampan yang dibingkai rambut hitam ditata klimis, Corin secara bertahap mulai merasakan pengikisan dirinya untuk menolak mengetahui perihal Sihir dan hal-hal ajaib lainnya. "Tipe Element terdiri dari 4 unsur yang bisa digabungkan dan saling berkait, yaitu Api, Air, Tanah dan Udara. Sementara untuk Tipe Makhluk, ada 2 Unsur yang bisa dikuasai, yaitu Hewan dan Tumbuhan. Namun untuk Ramalan ... ." Jeda beberapa detik, pria tampan itu menghela napas. "Saya sendiri kurang mengetahuinya. Karena tipe ini sangat langka, sekali mereka ditemukan, biasanya akan diisolasi dan menjadi Penyih
Corin Yudhistira akui bahwa dirinya terlalu suka membaca komik dan Novel. Meski kebanyakan adalah genre Fantasi, tetapi selalu ada bumbu Romance yang membuat malting. Namun mendengar langsung apa yang Pheonix katakan dan melihat betapa Joshua sangat memperhatikan Caroline ... Tebakannya benar, mereka memang pasangan dalam artian Romantis. Namun, Corin tidak pernah menyangka bahwa hubungan mereka ternyata ... jauh lebih serius ketimbang pacaran. "Partner Sihir memiliki arti yang sangat dalam. Ini bukan hanya partner dalam artian Romantisme, keberadaan sepasang Penyihir sangat penting karena kecocokan sihir mereka juga menyangkut kemampuan Sihir mereka." Tersenyum, Phoenix kembali menatap sepasang penyihir yang terlelap. "Kemampuan Sihir adalah hal yang sangat berharga ... karena tidak peduli di mana pun itu, bahkan di lingkungan yang terlihat aman dan damai sekalipun ... kekuatan akan selalu menjadi simbol kepercayaan diri dan harga diri setiap orang."