Hati yang hancurJantungku berdetak lebih cepat. Kenapa dada rasanya begitu sesak. Melihatnya bersanding dengan orang lain? Sakit, seolah ada ribuan duri yang menancap di hati ini."Maaf Mas, kenapa berdiri saja di situ? Ayo, silakan masuk ..." ajak penerima tamu itu saat tahu aku hanya berdiri di balik pagar. Aku terkesiap dan sadar dari lamunan.Meski ragu kaki ini untuk melangkah, akhirnya aku masuk juga. Aku memandangi mereka yang masih asyik berfoto mesra. Memang Arini dan Fabian tampak serasi sekali. Tapi aku sangat menyayangkan atas sikap Arini yang cepat sekali membuka hati untuk pria lain. Apa semudah itu dia jatuh cinta? Bukankah seperti yang kudengar dari Elvina, kalau Fabian itu suka dengan banyak perempuan? Aku hanya takut Arini kecewa karena dipermainkan oleh Fabian. Memang sih dia sangat kaya, tak seperti aku yang kini jadi gembel tak punya apapun. Bila seperti ini bukankah benar pandangan orang kalau Arini matre!Sesekali aku mencari sosok ibu yang tak kunjung kutemui
"Tolong maafkan kesalahan kami, Bu. Aku sudah sadar sekarang, segala hal yang kualami saat ini karena kesalahan fatalku pada ibu dan juga Arini."Kali ini aku berani mendongak, melihat wajah wanita yang telah melahirkanku. Wajahnya tampak sendu, dengan mata berkaca-kaca."Aku tahu, mungkin sangat berat bagi ibu untuk memaafkan kesalahanku dan Elvina. Tapi, aku hanya ingin meminta maaf yang tulus pada ibu. Aku tidak akan meminta apapun selain itu. Karena aku tak pantas mendapatkannya."Ibu masih mematung. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Aku beranjak, mengambil sesuatu dalam koper. Sebuah map yang berisi sertifikat sawah milik ibu. Untunglah aku tak jadi menggadaikannya. Jadi inilah yang masih tersisa dari sekian banyak harta yang kupunya."Bu, ini kukembalikan lagi surat sawah milik ibu. Aku pamit ya Bu, terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk berbicara dengan ibu lagi."Kuraih tangannya yang sedikit gemetar. Lalu kucium punggung tangannya dengan takdzim."Jaga ke
Part 53Kami duduk berdampingan di singgasana pengantin yang sudah didekorasi sedemikian rupa, khas perkawinan adat jawa. Tak pernah terbayangkan akan menjadi seorang istri lagi. "Rin, ada sesuatu di matamu," ucap pria yang ada di sebelahku ini. Aku menoleh."Hah? Apa? Mana?" tanyaku, tanganku mencari-cari apa yang dimaksud oleh lelaki yang kini jadi suamiku itu. Dia justru menarik tanganku. "Coba pejamkan matamu," pungkasnya.Tak ada rasa curiga, aku menurutinya, kupejamkan mata ini, malu juga kalau terlihat oleh tamu undangan. Kali aja ada kotoran mata atau sesuatu di mataku yang indah ini.Entah kenapa aku justru merasakan sentuhan bibirnya di keningku. Spontanitas aku membuka mata. Dia justru tersenyum melihat mimik wajah heranku."Kok dicium sih? Katanya ada sesuatu di mataku? Ada apaan, Mas?" tanyaku seraya memegang kening bekas kecupannya."Hahaha. Itu cuma alasanku aja, aku pengen cium kamu!" sahutnya. "Ih gak sabar banget, malu tau dilihat tamu!" cebikku kesal. Dia mencuri
Dia langsung berbaring di atas ranjang. "Kok masih bengong aja disitu? Sini tidur dulu. Jangan pikirkan yang lain."Aku mengangguk dan berbaring di sampingnya. Mas Bian terus saja tersenyum sambil memandangku. "Wajahmu ternyata sangat cantik. Rambutmu panjang, aku baru lihat sekarang lho.""Ya iyalah.""Aku beruntung banget ya.""Beruntung kenapa?""Ya, sangat beruntung karena bisa menjadi suamimu. Walaupun hubungan kita terasa begitu singkat. Aku benar-benar bahagia. Terima kasih ya, Rin, sudah menjatuhkan pilihanmu kepadaku," ungkapnya kemudian membuatku bergetar.Aku tersenyum mendengarnya, dia bisa juga ya berkata manis seperti itu. "Sekarang tidurlah, sayang. Kamu pasti sangat lelah."Aku mengangguk lagi. "Aku juga sangat berterima kasih padamu, Mas. Karena kamu begitu pantang menyerah sampai benar-benar bisa membuatku luluh.""Kalau diingat-ingat, hubungan kita itu lucu ya. Pertemuan yang tidak disengaja, kamu yang selalu ketus dan menghindar dariku. Tapi akhirnya ijab kabul ya
"Mas, kamu mempersiapkan ini semua?"Dia hanya tersenyum. Tiba-tiba segerombolan anak-anak datang menghampiri kami. "Om, tugas kami sudah selesai, Om!" celetuk salah satu diantara mereka."Ah iya, ini buat kalian. Terima kasih ya atas bantuannya." Mas Bian memberikan lembaran uang seratus ribuan pada lima bocah kecil itu."Mas, kamu nyuruh anak-anak turun ke bawah sana? Terus menerbangkan balon-balon?" tanyaku heran. "Ya, dari pada mereka main di jalanan gak jelas kan?""Tapi kan bisa berbahaya!" pungkasku."Enggak kok, emang ada jalan buat turun ke bawah. Mereka sudah biasa hidup di jalanan, kamu gak usah khawatir. Aku juga tiap bulan udah sering berinteraksi dengan mereka," sahut Mas Bian."Oh." Aku mengangguk pelan, lalu kembali mendongak, melihat balon-balon itu sudah terbang dengan tinggi seolah menyongsong langit biru.Senyumku mengembang dengan sempurna. Manis juga suamiku ini. "Masih mau di sini atau jalan-jalan lagi?" tanyanya menghenyakkanku. Aku sedikit terkesiap saat ta
Aku mengangguk. Kembali memasukkan dompetku ke dalam tas. Selesai belanja baju di butik, mas Bian kembali membawaku pergi."Kita makan siang dulu ya, aku sudah laper.""Iya, Mas.""Kamu mau makan di mana?""Emmh Mas, gimana kalau makan nasi padang?""Kamu tinggalnya di Solo tapi pengennya makan nasi Padang?""Haha, iya Mas. Gak apa-apa kan?""Iya, iya, ayo ikut lagi. Kita cari warung nasi Padang."Aku mengangguk dan kembali naik ke boncengan motornya. Mas Bian berhenti di depan warung nasi Padang yang cukup besar. Aneka makanan matang terpajang di etalase."Kamu mau apa, Yang?" tanya Mas Bian."Sama rendang, Mas.""Oke. Mbak, nasi plus rendangnya dua ya. Makan di sini."Kami duduk di tempat yang tersedia. Makan bersama saat pesanan kami datang, menikmati hidangan makan siang, nasi plus rendang daging. Selesai makan, kami kembali menyusuri jalanan dengan kuda besinya yang seolah tanpa lelah dan letih membawa kami keliling kota. Dan kali ini, Mas Bian justru membawaku ke salon. "Mbak
"Rin, mulai minggu depan, aku ada agenda rutin lagi setelah satu bulan libur," ujar Mas Bian usai pulang dari pekerjaannya."Agenda apa, Mas?""Memberikan paket makan siang gratis, tiap hari minggu. Biasanya kalau bukan untuk anak-anak panti, anak-anak jalanan, kami ke jalan-jalan bagi-bagi gratis buat para pengendara motor atau tukang becak. Cuma agenda minggu ini kita mau bagi-bagi buat tukang dan kuli proyek yang kerja di proyek jembatan. Kamu mau gak bantuin nanti?""Jadi sebelum ini kamu suka bagi-bagi makan siang gratis?" tanyaku. Aku tak pernah tahu sisi Mas Bian yanh seperti ini. Sungguh rasanya aku hatiku begitu kecil tanpa tahu dia yang sebenarnya. "Iya, seminggu sekali biasanya, cuma sebulan kemarin libur.""Kamu gak pernah bilang-bilang kalau suka berbagi seperti ini, Mas?""Buat apa bilang? Lakukan saja lalu lupakan gak perlu diingat atau diungkit-ungkit."Aku mengangguk. Pantas saja hartanya gak habis-habis, ternyata mereka orang-orang yang dermawan. Selain bagi-bagi ma
"Oalah, Mas Tiar? Kamu kerja disini?" ujarku heran. Kenapa dia belum kembali ke Jakarta? Dan apa yang dia lakukan di kota ini?Mas Tiar mengangguk. "Iya, aku ikut kerja di proyek. Jadi ini kamu yang membagikannya?" tanyanya. Ia tersenyum kikuk. Wajahnya sungguh sangat berbeda. Tak seperti dulu lagi. Lebih kurus dan tak terurus."Iya. Alhamdulillah, aku bantuin suami, Mas."Kamu hebat, sekarang tambah cantik, mempesona sampai pangling lihatnya.""Seorang istri akan bertambah cantik bila mendapatkan lelaki yang tepat dan menghargainya, Mas."Kamu bahagia dengan suamimu?""Tentu saja, kau bisa melihatnya dari raut wajahku."Dia mengangguk dan tersenyum masam. "Usahamu juga kayak makin maju ya ... Usahaku gagal, aku bangkrut. Dan sekarang aku berakhir di tempat seperti ini. Elvina juga menghilang entah kemana.""Mbak El menghilang?" Keningku berkerut. Kok bisa dia menghilang.Lelaki itu mengangguk. "Woi, buruan gantian, kami juga mau makan!" teriak antrian di belakang. "Iya, tunggu sebe