Dua hari kemudian ...
Nara tinggal di rumah Pras sebelum pernikahan itu dilangsungkan.Acara yang akan dibuat, sangat sederhana. Hanya mengundang tetangga dekat rumah saja.Seperti biasa, Dinta sedang sibuk mengambilkan barang permintaan para pembeli."Kok pernikahan Pras mendesak sih Bu? Memangnya ada apa?" celetuk salah seorang pembeli di warung itu."Iya malah yang perempuannya udah nginap di sini lagi." Sambung yang lain.Dinta yang mendengar itu tidak menjawab. Ia hanya bisa menarik napas berat. Keluarga mereka saat ini sedang menjadi bahan gosip satu kampung.Andaikan ia mempunyai dua kepala, mungkin ia sudah membuang salah satunya sekarang, anak lelaki yang ia banggakan selama ini, kini telah berhasil melemparkan kotoran tepat ke mukanya."Ibu-Ibu, maaf sebelumnya ya, warung saya ini bukan tempat untuk menggosip, kalau urusan kalian sudah selesai, Ibu-Ibu semuanya boleh pulang!" halaunya dengan menahan emosi yang bergejolak."Ih, gitu aja marah, Bu. Kami kan cuma nanya, jangan sensi gitu dong, Bu ..." sahut seorang diantaranya sebelum mereka semua pulang ke rumah masing-masing."Gara-gara perempuan gatal itu, yang menggoda anak saya. Akhirnya semua menjadi kacau begini." racaunya di dalam hati.**"Ra ... kita harus pulang ke rumah orang tuamu untuk meminta restu," ujar Pras yang baru pulang dari kantor urusan agama untuk mengurus berkas-berkas pernikahan."Percuma, Mas. Ayah nggak akan pernah merestui." ungkapnya datar."Tapi pernikahan ini tidak bisa dilaksanakan jika tanpa wali, Nara ..." jelas sang pria berkulit kuning langsat itu."Ya terus gimana, Mas?" Kening Nara mengerut."Tak ada pilihan lain, selain mengatakannya pada ayahmu." ungkapnya."Oke kalau gitu aku akan bujuk papa, kamu temenin aku ya, Mas.""Pasti, Sayang." Pras menyahut seraya membel4i rambut panjang Nara.**Dengan menggunakan motor butut peninggalan almarhum ayahnya puluhan tahun silam, mereka pun berboncemgan menuju ke rumah Surya. Berharap agar lelaki itu mau membukakan pintu hatinya untuk menerima Pras sebagai menantunya. Meski pria itu sekarang pengangguran."Semoga saja beliau mau merestui pernikahan kita, ya, Mas." tutur Nara di balik punggung bidang Pras.Pria itu memilih diam, ia tetap fokus menyetir di jalan yang sangat ramai itu."Andaikan papa bersedia untuk menjadi wali, maka pernikahan kita akan dilangsungkan besok ya, Mas. Tak perlu menunggu lebih lama lagi, bukankah lebih cepat lebih baik, Mas?"Nara begitu terburu-buru. Ia takut kalau Pras tidak jadi menikahinya dan ia tidak menginginkan anaknya lahir tanpa seorang ayah."Semua itu tergantung keputusan ayahmu, Nara. Jika ia tidak mau menjadi wali, aku juga nggak tau lagi harus gimana." tutur pria itu, suaranya tidak begitu jelas karena diterpa angin motor yang melaju kencang.**Sedangkan Surya masih berdiam diri di rumahnya. Semenjak kejadian itu ia tidak masuk kantor. Pikirannya begitu terpukul. Ia tak menyangka, gadis yang ia sayangi dari kecil sudah dirusak oleh pria lain."Aarrgghhh!" Ia menendang kaki meja. Emosinya belum reda. Ia benar-benar merasa kecewa yang sangat luar biasa.Ingin rasanya ia memukul dirinya sendiri sebagai pelampiasan atas rasa marahnya.Ia sudah gagal menjadi seorang ayah untuk Nara.Ia merasa tak bisa menjaga anak gadisnya dengan baik, sampai-sampai bisa terjadi hal seperti ini."Maafin aku, Lidya, aku tak bisa melindungi putri kita, ini semua salahku yang tak memperhatikan pergaulannya selama ini, aku begitu abai karena sangat sibuk di kantor hingga lupa menanyakan tentang Nara."Surya membatin penuh haru. Setetes air mata turun di pipi yang mulai menua itu. .Beberapa waktu kemudian, Pras melenggang penuh semangat berjalan ke dalam rumah seraya menenteng surat cerai dari kantor pengadilan agama yang didapatnya tadi siang. Ia begitu lega bisa lepas dari wanita jahat itu. Kalau sampai berlama-lagi ia bersama perempuan itu bisa-bisa ia kehilangan ibunya. Beruntung semua itu cepat ketahuan, hingga kejadian buruk bisa diminimalisir.Ia berniat akan mendatangi buah hatinya. Sudah tak ada lagi yang ia takuti. Biasanya dia selalu bergerak secara sembunyi-sembunyi. Yang membuat ia sangat merasa tidak nyaman dan terkungkung.Ia sudah mendapatkan seorang suster baru untuk ibunya. Yang kali ini pasti berbeda, bukan perawat abal-abal. Karena ia memesannya dari suatu yayasan terkenal di daerahnya.Ia pun pamit kepada Dinta untuk pergi menemui Rio, cucu yang selama ini tak pernah dia akui. Wanita itu lantas memanggut saja bagai seeokor ayam yang sedang memakan butiran beras. Lalu dia harus bagaimana lagi? Mau mencegah sang anak pergi, itu juga sangat t
“Lisa, jadi kau sudah mengetahui se-semuanya?” ucapnya terbata. Ia bingung akan menjelaskan apa kepada wanita yang duduk di hadapannya itu.“Serapat-rapatnya kau menyimpan bangkai, pasti suatu saat akan terbongkar juga, Mas. Seperti sekarang ini. Kau sudah berhasil membohongiku selama sepuluh tahun lamanya, kau sangat hebat dan luar biasa.” sarkasnya menyindir.“Aku bisa jelaskan ini semua sama kamu, Lisa. Aku sengaja tidak mem-”“Sudah, cukup, Mas. Aku tak mau mendengar alasan apapun yang keluar dari mulutmu.” potongnya dengan cepat, sebelum pria itu menyelesaikan perkataannya. Sudah tak ada lagi yang perlu dibahas. Sampai jumpa di pengadilan Mas,” tutupnya, lalu beranjak pergi menuju pintu keluar cafe itu.Pras hanya bisa menatap punggung wanita yang sebentar lagi akan resmi menjadi mantan istrinya itu. Ia merasa sedikit kehilangan, meski bapak hakim pengadilan belum mengetuk palunya.Dia sedih. Semua tak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkannya ketika di rumah tadi. Perlahan
“Sudah Mas, jangan kau lanjutkan lagi ucapanmu. Aku sudah paham, maksud dari perkataanmu itu apa. Tak perlu kau bicara panjang lebar lagi. Intinya kau memang tak pernah mencintaiku.” pungkasnya kecewa.Sepuluh tahun lamanya ia mendampingi pria itu. Namun setitik cinta pun sama sekali tak ia dapatkan. Wanita mana yang tak akan bersedih jika berada di posisi seperti dirinya?“Jadi, kapan kamu akan pulang? Ingat ya, aku ini suamimu, kau harus mengurus segala yang aku perlukan, jadilah istri yang baik,” tukasnya tanpa memperdulikan perasaan istrinya yang sedang kesal kepadanya.“Jangan ditunggu, Mas. Karena aku tidak akan pernah kembali!” tegasnya.“Hah? Maksud kamu gimana? Jangan aneh-aneh, deh!” cetusnya dengan jantung yang sedikit berdebar, karena suara wanita itu terdengar sangat serius. Tangannya sedikit bergetar saat menggenggam benda pintar yang biasa disebut smartphone itu.“Aku ingin kita cerai, Mas.”Deg!Jantung Pras seketika lepas dari tempatnya, saat mendengar penuturan d
“Kamu melupakan istrimu yang ada di rumah. Jangan suka menyakiti hati wanita lah!” ucapnya nyelekit.“Iya, kamu benar. Aku tidak lupa kok, aku hanya merindukan anakku, itu saja. Tak ada maksud lain.” tutupnya.Melihat Rio yang baru selesai berganti pakaian, Nara langsung mengajaknya pulang. Tanpa menoleh lagi ke belakang untuk memperhatikan pria yang pernah berarti di masa lalunya itu.“Kita kok pulang duluan, Ma? Terus ayah sendirian dong, di sini?” “Sudahlah, Rio. Tak perlu kamu pikirkan dia. Ayahmu sudah dewasa, dia tau mana yang baik dan buruk untuk hidupnya.” jelas wanita yang memakai baju kaos hitam itu.“Tapi besok, ayah datang lagi kan, Ma?” Dia bertanya pada sang ibu dan berharap ia akan mendapatkan jawaban iya. Namun ternyata sebaliknya.Wanita itu malah menjawab lain, yang sama sekali tak sesuai dengan harapan bocah itu.“Rumah ayahmu itu jauh Nak, dia tidak bisa setiap hari datang ke sini.”“Ya sudah, kita aja yang datang kesana, Ma.” serunya antusias, karena ia juga ingi
“Kenapa diam Om? Tolong jawab pertanyaan Rio tadi?” Rio merengek setengah memaksa. Ia ingin sebuah penjelasan yang sebenarnya.“Bukan apa-apa kok, Sayang, Om Pras tadi hanya salah sebut.” ucap Nara menyela diantara percakapan mereka.“Nggak! Aku mau dengar dari Om Pras sendiri.” Rio menolak alasan ibunya, ia yakin pria itu tak mungkin berkata sembarangan. Dia pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu yang menyebut dirinya sebagai ‘ayah’.“M-jadi begini, Rio, sebenarnya-”“Kamu jangan percaya ucapan laki-laki ini, Nak. Dia orang jahat.” potong Nara di saat Pras sedang berbicara untuk menjelaskan segalanya.“Stop, Ma! Aku tak ingin mendengarkan apa pun dari mulut Mama. Aku ingin mengetahui yang sebenarnya, Om tolong bicara Om, katakan yang sejujurnya.” Anak itu terus memaksa Pras untuk berterus terang. Seketika pria berusia matang itu pun menghela napasnya dengan berat.“Baiklah, Nak. Kali ini Om akan bicara yang sebenarnya sama Rio. Tapi sebelum itu Om mau tanya dulu, seandainya meman
“Om, Rio boleh minta sesuatu nggak?” lirihnya seraya menggenggam pergelangan tangan pria berbadan sedikit berisi itu.“Mau minta apa, Sayang. Kalau Om mampu, maka Om akan turutin.” sahutnya yang membelai rambut anak itu. Begitu indah yang ia rasakan. Saat menyentuh sang anak hatinya menjadi bergetar.“Rio pengen jalan-jalan sama Om, dan juga mama.” pintanya, kini kedua tangannya memegang tangan kedua orang tuanya, di kiri dan kanannya.“Tapi, Mama belum ada waktu libur, Rio!”Mendengar kata penolakan itu yang keluar dari mulut ibu kandungnya membuatnya emosi dan menghempaskan tangan wanita itu.“Mama memang selalu sibuk sama pekerjaan! Mama nggak pernah punya waktu buat aku!” sergahnya, kemudian dia berlari entah kemana.“Rio … tunggu Nak!” Pras berusaha mengejar, mengikuti setiap jejak langkah kaki anak itu.Betapa sedih hatinya. Bahkan di saat sedang sakit seperti ini pun wanita itu masih tidak mau meluangkan waktu untuknya. Anak mana yang tidak akan merasa kecewa jika berada di pos