Mereka telah sampai di bibir pagar rumah Surya. Pras sedikit merasa canggung, sebab ia belum pernah bertemu dengan sang calon mertua sebelumnya.
Setiap Nara ingin mengenalkannya pada sang ayah, pria itu tak pernah ada di rumah. Ia selalu sibuk mengurus bisnisnya di sana sini. Sehingga tak memiliki waktu luang untuk bertemu.Nara juga segan mengatakannya kalau ia sudah memiliki kekasih, karena ia menduga, Surya tak terlalu ingin tahu tentang dirinya. Mereka hanya bicara sekedarnya ketika bertemu di meja makan. Selebihnya pria itu super sibuk, hingga sangat jarang ada obrolan basa basi diantara mereka.Saat Nara baru saja ingin mulai berbicara tentang kesehariannya, baru sepatah kata sudah terdengar dering ponsel sang ayah, yang menelpon agar ia segera pergi untuk urusan kerjaan.Seketika Nara menghembuskan napas kasar. Itu bukan hanya sekali. Sudah tak terhitung jumlahnya ia ditinggal seperti itu oleh papanya.Saat gadis itu ngambek, pria itu selalu mengatakan bahwa dirinya seperti itu juga karena untuk mencukupi kebutuhan Nara, uang jajan dan juga biaya kuliahnya.Sehingga saat lelaki berusia kepala lima itu menjelaskan semuanya, Nara sudah tak bisa mengatakan apapun lagi."Papa kerja buat kamu, Nara. Buat keluarga kita. Semua yang kamu punya sekarang, dari mana coba? Kalau bukan dari hasil bisnis Papa selama ini?""Memang rezeki itu datangnya dari Tuhan, tapi kalau kita hanya berdiam diri di rumah dan tak mau berusaha, apakah bisa uang itu datang sendiri?"Entah berapa kali telinga Nara harus mendengar penuturan itu dari bibir hitam ayahnya, yang disebabkan oleh terlalu banyak menghisap rokok.Ia sudah tahu tanpa harus dijelaskan secara detail seperti itu.Tapi, sebagai seorang anak yang sudah tidak memiliki ibu, tak bisa dipungkiri ia sangat merindukan sebuah kasih sayang.Perhatian kecil, dan ingin bermanja dipangkuan orang yang terkasih.Namun selama bertahun-tahun hal itu tak pernah ia dapatkan. Sebelum akhirnya ia menemukan Pras, lelaki penyayang dan perhatian sehingga bisa menghapus sedikit lukanya.Sosok seperti Pras lah yang ia dambakan selama ini. Tempatnya bermanja, mencurahkan segala isi hatinya, yang menjadi pendengar yang baik saat ia tengah asyik menceritakan sesuatu.Pras selalu mendukung setiap keputusan yang diambil oleh Nara. Hal itulah yang membuat wanita dengan kulit putih itu luluh.Ia bagai menemukan sesuatu yang hilang selama ini.Sesuatu yang tidak ia dapatkan saat berada di dalam rumah.Pras selalu ada menyediakan tissu saat ia tengah menangis.Dan pria itu juga nomor satu yang mengucapkan selamat saat ia meraih suatu kemenangan di kampusnya.Tugas ayahnya sudah digantikan oleh Pras.Hubungan mereka begitu dekat. Dan mereka juga melakukan hal yang diluar batas, layaknya suami isteri hingga sesuatu yang hidup ... sedang tumbuh di dalam rahim Nara saat ini.Pras menatap manik mata Nara. Yang menandakan ia telah siap untuk berbicara kepada ayahnya.Wanita itu mengangguk setuju.Mereka berjalan beriringan menuju pintu rumah. Rasa kekhawatiran justru bergejolak dalam hati perempuan berwajah manis itu. Ia berharap agar sesuatu yang buruk tidak terjadi."Pa ..." Nara memanggil di depan pintu. Ia sudah tau kalau ayahnya sedang berada di dalam. Karena ia tak sengaja melihat mobil putih milik lelaki itu berada di garasi.Di hati gadis itu sedikit ada rasa tanya. "Kok tumben papa di rumah, dan tidak sibuk seperti hari biasanya?" batinnya dengan dahi mengerut.Tak berselang lama pintu pun terbuka."Kamu?" ujar ayahnya terkejut.Beberapa waktu kemudian, Pras melenggang penuh semangat berjalan ke dalam rumah seraya menenteng surat cerai dari kantor pengadilan agama yang didapatnya tadi siang. Ia begitu lega bisa lepas dari wanita jahat itu. Kalau sampai berlama-lagi ia bersama perempuan itu bisa-bisa ia kehilangan ibunya. Beruntung semua itu cepat ketahuan, hingga kejadian buruk bisa diminimalisir.Ia berniat akan mendatangi buah hatinya. Sudah tak ada lagi yang ia takuti. Biasanya dia selalu bergerak secara sembunyi-sembunyi. Yang membuat ia sangat merasa tidak nyaman dan terkungkung.Ia sudah mendapatkan seorang suster baru untuk ibunya. Yang kali ini pasti berbeda, bukan perawat abal-abal. Karena ia memesannya dari suatu yayasan terkenal di daerahnya.Ia pun pamit kepada Dinta untuk pergi menemui Rio, cucu yang selama ini tak pernah dia akui. Wanita itu lantas memanggut saja bagai seeokor ayam yang sedang memakan butiran beras. Lalu dia harus bagaimana lagi? Mau mencegah sang anak pergi, itu juga sangat t
“Lisa, jadi kau sudah mengetahui se-semuanya?” ucapnya terbata. Ia bingung akan menjelaskan apa kepada wanita yang duduk di hadapannya itu.“Serapat-rapatnya kau menyimpan bangkai, pasti suatu saat akan terbongkar juga, Mas. Seperti sekarang ini. Kau sudah berhasil membohongiku selama sepuluh tahun lamanya, kau sangat hebat dan luar biasa.” sarkasnya menyindir.“Aku bisa jelaskan ini semua sama kamu, Lisa. Aku sengaja tidak mem-”“Sudah, cukup, Mas. Aku tak mau mendengar alasan apapun yang keluar dari mulutmu.” potongnya dengan cepat, sebelum pria itu menyelesaikan perkataannya. Sudah tak ada lagi yang perlu dibahas. Sampai jumpa di pengadilan Mas,” tutupnya, lalu beranjak pergi menuju pintu keluar cafe itu.Pras hanya bisa menatap punggung wanita yang sebentar lagi akan resmi menjadi mantan istrinya itu. Ia merasa sedikit kehilangan, meski bapak hakim pengadilan belum mengetuk palunya.Dia sedih. Semua tak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkannya ketika di rumah tadi. Perlahan
“Sudah Mas, jangan kau lanjutkan lagi ucapanmu. Aku sudah paham, maksud dari perkataanmu itu apa. Tak perlu kau bicara panjang lebar lagi. Intinya kau memang tak pernah mencintaiku.” pungkasnya kecewa.Sepuluh tahun lamanya ia mendampingi pria itu. Namun setitik cinta pun sama sekali tak ia dapatkan. Wanita mana yang tak akan bersedih jika berada di posisi seperti dirinya?“Jadi, kapan kamu akan pulang? Ingat ya, aku ini suamimu, kau harus mengurus segala yang aku perlukan, jadilah istri yang baik,” tukasnya tanpa memperdulikan perasaan istrinya yang sedang kesal kepadanya.“Jangan ditunggu, Mas. Karena aku tidak akan pernah kembali!” tegasnya.“Hah? Maksud kamu gimana? Jangan aneh-aneh, deh!” cetusnya dengan jantung yang sedikit berdebar, karena suara wanita itu terdengar sangat serius. Tangannya sedikit bergetar saat menggenggam benda pintar yang biasa disebut smartphone itu.“Aku ingin kita cerai, Mas.”Deg!Jantung Pras seketika lepas dari tempatnya, saat mendengar penuturan d
“Kamu melupakan istrimu yang ada di rumah. Jangan suka menyakiti hati wanita lah!” ucapnya nyelekit.“Iya, kamu benar. Aku tidak lupa kok, aku hanya merindukan anakku, itu saja. Tak ada maksud lain.” tutupnya.Melihat Rio yang baru selesai berganti pakaian, Nara langsung mengajaknya pulang. Tanpa menoleh lagi ke belakang untuk memperhatikan pria yang pernah berarti di masa lalunya itu.“Kita kok pulang duluan, Ma? Terus ayah sendirian dong, di sini?” “Sudahlah, Rio. Tak perlu kamu pikirkan dia. Ayahmu sudah dewasa, dia tau mana yang baik dan buruk untuk hidupnya.” jelas wanita yang memakai baju kaos hitam itu.“Tapi besok, ayah datang lagi kan, Ma?” Dia bertanya pada sang ibu dan berharap ia akan mendapatkan jawaban iya. Namun ternyata sebaliknya.Wanita itu malah menjawab lain, yang sama sekali tak sesuai dengan harapan bocah itu.“Rumah ayahmu itu jauh Nak, dia tidak bisa setiap hari datang ke sini.”“Ya sudah, kita aja yang datang kesana, Ma.” serunya antusias, karena ia juga ingi
“Kenapa diam Om? Tolong jawab pertanyaan Rio tadi?” Rio merengek setengah memaksa. Ia ingin sebuah penjelasan yang sebenarnya.“Bukan apa-apa kok, Sayang, Om Pras tadi hanya salah sebut.” ucap Nara menyela diantara percakapan mereka.“Nggak! Aku mau dengar dari Om Pras sendiri.” Rio menolak alasan ibunya, ia yakin pria itu tak mungkin berkata sembarangan. Dia pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu yang menyebut dirinya sebagai ‘ayah’.“M-jadi begini, Rio, sebenarnya-”“Kamu jangan percaya ucapan laki-laki ini, Nak. Dia orang jahat.” potong Nara di saat Pras sedang berbicara untuk menjelaskan segalanya.“Stop, Ma! Aku tak ingin mendengarkan apa pun dari mulut Mama. Aku ingin mengetahui yang sebenarnya, Om tolong bicara Om, katakan yang sejujurnya.” Anak itu terus memaksa Pras untuk berterus terang. Seketika pria berusia matang itu pun menghela napasnya dengan berat.“Baiklah, Nak. Kali ini Om akan bicara yang sebenarnya sama Rio. Tapi sebelum itu Om mau tanya dulu, seandainya meman
“Om, Rio boleh minta sesuatu nggak?” lirihnya seraya menggenggam pergelangan tangan pria berbadan sedikit berisi itu.“Mau minta apa, Sayang. Kalau Om mampu, maka Om akan turutin.” sahutnya yang membelai rambut anak itu. Begitu indah yang ia rasakan. Saat menyentuh sang anak hatinya menjadi bergetar.“Rio pengen jalan-jalan sama Om, dan juga mama.” pintanya, kini kedua tangannya memegang tangan kedua orang tuanya, di kiri dan kanannya.“Tapi, Mama belum ada waktu libur, Rio!”Mendengar kata penolakan itu yang keluar dari mulut ibu kandungnya membuatnya emosi dan menghempaskan tangan wanita itu.“Mama memang selalu sibuk sama pekerjaan! Mama nggak pernah punya waktu buat aku!” sergahnya, kemudian dia berlari entah kemana.“Rio … tunggu Nak!” Pras berusaha mengejar, mengikuti setiap jejak langkah kaki anak itu.Betapa sedih hatinya. Bahkan di saat sedang sakit seperti ini pun wanita itu masih tidak mau meluangkan waktu untuknya. Anak mana yang tidak akan merasa kecewa jika berada di pos