Share

Sebuah Lirik, Mendung Musim Panas, dan Ruang Tersayat

Selembar kertas, bolpoin, dan tarian jemari di atas layar ponsel menghentikan langkahku sore ini. Pada waktu yang serupa biasanya kukunjungi bangku itu, aku memilih untuk memikirkannya. Dia, bayang-bayang perempuan berparas cantik, bernada liris dengan suaranynya yang dalam. Dia, yang setelah sekian ratus hari hanya membiarkan kelebat rambutnya. Senyum dan sapanya yang lebih dahulu menyimpan kata-kata, kini telah reda. Ia menyebut, "Camelia!" kata yang mungkin adalah namanya, mengalihkan kekosongan kertasku pada masa sebelum lamunanku.

"Hoe Gav!" Seorang laki-laki melewatinya tanpa melupakan sebuah sapaan. Kurasa, dia kakak angkatanku. Dia belum lulus ya? Atau, lagi bekerja jadi staff di sini? Ah, untuk apa aku membingungkan diriku sendiri. Bagiku, sore ini bukan kakak angkatan itu yang penting.

Pena di tangan kananku sedang asik menuliskan kata Camelia. Aku hanya menulis untuk melihat apakah aku akan mengingat sesuatu sebelum bayangannya. Biasanya, ketika aku sedang melupakan sebuah step dari rencanaku pada suatu waktu, aku melakukan itu, kutulis saja apa yang kuingat untuk membuka rangkaian ingatan lainnya. Kadang, aku berhasil dan merangkai jadwal seharianku menjadi cerita. Kadang, aku tak menemukan apa-apa dan berlalu begitu saja.

"Loh Mas Gavin!" kali ini seorang perempuan yang menyapaku, seolah hendak berbicara namun ia tak menghentikan langkahnya..

Sekilas pandang aku merasa harus melihatnya. Oh... Kurasa aku mengenalnya, tapi lupa siapa namanya. "Oh iya, lagi nyari inspirasi nih," kataku sembari mengangguk, memberi sedikit senyuman, dan tatapanku kembali pada satu kata yang kutulis di atas kertas putih, Camelia.

"Heladalah... Lah kok ono Sam Gavin neng kene," langkahnya pelan, namun mantap. Otot kakinya yang besar bisa diibaratkan pembuat gempa di pelataran pafing kampus. Dia Kurnia, satu di antara seniman kampus yang masih aktif sampai harus menunda setahun lagi untuk lulus.

"Oh hoe hoe," meskipun aku menangkap kehadiranya, namun aku masih terpaku pada secarik kertas di atas meja. Kurnia pun tahu aku tidak sedang bisa diganggu. Ia berlalu dengan isyarat tatapan mata. Seketika itu, aku sadar pula kalau langit sedang mendung. Kelakar perasaanku berlanjut dengan menganggap bahwa hari yang pengap ini sudah tak kuasa meneteskan banyak keringat. Jika satu tubuhku ini sudah kuyup bagaimana dengan yang lain? Langit seolah sedang mengumpulkan evaporasi dari setiap keringat manusia untuk menciptakan hujan.

Kriek... Kriek... Aku seperti mendengar suara jendela tua yang dibuka. Sejenak nama Camelia lebur dalam sepersekian detik bunyi itu. Kualihkan pandanganku ke berbagai jendela yang mungkin bisa di tangkap mataku. Aku tahu, ini seharusnya sia-sia. Namun, instingku mengatakan untuk tetap melakukannya.

Mana ada? Sudah pasti, gak mungkin jendela kampus ini ada yang terbuka. Semua jendela di kampus ini sudah memiliki peredam. Bahkan, tempat yang kududuki ini saja jauh dari jendela. Hanya ada tembok batu dan lalu lalang mahasiswa yang hendak memhakhiri senjanya hari ini.

Kriek.... Kreek... Apakah mengingat Camelia membuatku bukan hanya terbayang wajahnya, tetapi kehadirannya yang mengeluarkan suara. Setiap dera suaranya yang hanya satu kata itu pelan-pelan mengguratksn sketsa kehadirannya, yang apakah hanya sekedar lamunan atau kenangan silam.

Tulisan di atas kertasku berlanjut begitu saja. Jemariku menangkap inspirasi lebih cepat daripada otakku. Tak lagi kuhiraukan suara gemeretak jendela tua yang terbuka. Oh... Aku tahu, dari Elegi Esok Pagi sampai tetra lirik Camelia. Bukankah penyanyi itu pernah berkata...

Esok pagi kau buka jendela

Kan kau dapati seikat kembang merah

...

Dan kenangan

Disini kau petikkan kembang

Oh Camelia, katakanlah ini satu mimpiku

Seolah aku menemukan cerita yang kusambung sekenanya dari Ebiet G.Ade yang samar-samar memetik gitar dalam lamunanku. Aku sendiri tak menyangka, pada lirik itu kutemuan pintalan cerita ringkas.

Andai ada secangkir kopi di hadapanku sekarang. Andai secangkir cokelat yang menggantikan kopi. Andai, ah setidaknya, teh sajalah tak apa. Di sini tak akn bisa kutemukan minuman itu. Aku pun memutuskan berjalan. Dengan cepat gerakan jariku mencari kedua lagu itu di youtube sembari memasang headset di telingaku. Harus cepat, sebelum segala yang terangkai kembali memudar.

Aku tak mau muluk-muluk menganggap ini sebagai sebuah kekuatan spiritual atau semacamnya. Masih sangat mungkin ingatanku terbuka dengan sebuah cara yang tak pernah kusangka. Bagaimanapun, aku cuma manusia. Jika aku penah mengalami sebuah kecelakaan dan gagar otak, mungkin saja ingatanku hilang, bahkan sampai peristiwa yang tidak kuinginkan itu terjadi. Bagaimana jika aku pernah koma, namun ketika tersadar aku hanya mengingat keesokan hari yang kualami. Bagaimana jika bercak-bercak kehadiran Camelia di bangku cokelat Malioboro adalah bagian dari ingatanku yang terbuka? Apakah aku perlu ke psikolog? Atau, ke Kyai? Aku yakin keduanya punya caranya maisng-masing untuk menarasikan peristiwa yang kualami.

Bayang kehadirannya di atas bangku cokelat itu harus kuingat. Selain rambutnya, apa yang ia lakukan? Ia melihat arah yang berlawanan dari tatapanku. Jika harus kulihat peta Malioboro dalam ingatanku, kurasa ia sedang menatap Hotel Garuda Indonesia di sebalah utara.

Arah kibar rambutnya menunjukkan datangnya angin dari arah selatan. Jika kurunut kembali pesisir pantai adalah bibir kehidupan di selatan Yogyakarta. Tanpa ada tetes hujan yang berbulir di kilat bola matanya. Meski hanya sekilas, kurasa aku tahu angin itu berembus di penghujung musim panas. Umumnya setiap penghujung musim panas, di hotel itu seringkali diadakan event kesenian. Lima tahun silam, aku pun pernah mendapat undangan hanya untuk sekedar meenonton penganugerahan teater pada seorang seniman kawakan yang sekarang sudah almarhum, Djaduk Ferianto. Jika kurunut tanda-tandanya, apakah ini sebuah perpisahan? Sebuah salam terakhir sebelum akhirnya terpaan hujan pun berdatangan. Apakah pada masa itu, ketika ia duduk di sini dan memalingkan wajahnya adalah sebuah akhir dari perjalanan kata-kataku kepadanya?

Kriek... Kriek... Suara itu terdengar lagi dengan volume yang lebih tinggi. Kutoleh ke berbagai arah. Aku tak menemukan apa-apa. Kulihat ke atas dan ke bawah, tak juga kutemukan sesuatu yang janggal. Sampai... Pada suatu arah yang sudah kutoleh tadi. Tatapanku sekilas melihat kembali arah selatan, mengambang sampai 3 meter-an di atas permukaan tanah. Ruang di depan mataku tersayat. Sepasang mata dengan jelas melihat ke arahku. Sepasang mata berwarna kekuningan dengan bola mata berwaena putih susu.

Suuuet... Ruang yang terbelah itu lenyap, begitu pula sepasang mata itu. Seperti seseorang yang kalut dan mencoba menutupi tetes keringat dingin di kepalaku, aku berlari ke arah suara itu. Kepada retakan yang memunculkan sepasang mata, namun tak ada yang menyadarinya. Aku berjalan dalam kelalahan pikiranku, mempertarungkam kewarasan dan diorama ilusi yang terlalu sering bermunculan. Tapi, jika itu ilusi kenapa hanya kulihat Camelia di bangku Cokelat Malioboro? Jika memang ilusi, kenapa kulihat retakan itu di kampus dengan sepasang mata yang tajam menatapku? Atau, ini hanyalah bagian dari serpihan ingatanku yang masih harus kugali lebih dalam lagi? Tak ada gunanya aku cuma berdiam, hanya dengan melangkah bisa kucerna lagi jala kehidupan ini.

Dalam langkah yang mengikuti tiupan angin senja. Mendung yang tipis pun telah menggelap. Aku tahu tak seharusnua kuhabiskan waktuku di jalanan. Tapi, harus kuterima setiap tetes hujan, membiarkan serbuan mereka sebagai pembuka ingatanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status