Dika tidak menjawab, ia menerobos masuk mendahuluiku. Aku berusaha mengejar. Namun, aku kalah cepat. Dika sudah masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamarnya.”Dik, kamu kenapa?” Aku mengetuk pintu kamar Dika berulang kali. Namun, tetap tak ada jawaban. ”Diiik!””Ganti bajumu lalu makanlah! nanti aku cerita,” ucap Dika dari dalam kamar.Aku menuruti kemauan Dika tanpa bertanya lagi. Dika tidak suka diintrogasi. Dika akan cerita semua ketika ia mau, bukan dengan paksaan. Aku sangat mengenal watak Dika, ia memang keras, tetapi hatinya sangat baik. Ia bisa dengan mudah memukul, tetapi bisa dengan cepat meminta maaf. Mungkin, sifat kerasnya turun dari Bapak. Namun, hatinya sangat baik. Dan aku tahu, tidak mudah menjadi Dika yang kini juga punya tanggung jawab untuk menjagaku, meski usia kami sama.Usai mengganti baju, aku menggoreng dua telor mata sapi. Aku sudah menanak nasi tadi pagi dan membuat omlet untuk sarapan. Aku tidak punya bahan makanan lain untuk dimasak kecuali telor dan m
Bab 9Usai mengambil kartu ujian di sekolah aku menunggu Dika untuk pergi ke kantor polisi. Aku izin pulang lebih awal, karena tepat jam sepuluh kami harus sudah sampai di sana. Tidak kuduga, mobil silver milik Dokter Darel sudah terparkir di depan gerbang sekolah. Melihatku keluar dari sekolah, ia pun keluar dari mobilnya sambil melambaikan tangan.Persis adegan dalam drama korea yang pernah kutonton. Dokter Darel terlihat sangat tampan dengan kaos putih dan luaran kemeja bermotif kotak halus yang lengannya dilipat hampir sampai siku. Andai ia seumuranku, dan status sosial kami tidak jauh berbeda, mungkin aku sudah jatuh cinta padanya. Cinta monyet mungkin, karena sampai usiaku delapan belas tahun, aku belum penah merasakan jatuh cinta itu seperti apa. Aku hanya mendengar cerita dari Ghea yang sudah berpacaran sejak di bangku SMP.Pernah sekali waktu aku mendapat kiriman coklat di hari valentine disertai dengan ungkapan cinta dari salah satu teman sewaktu duduk di bangku SMP. Namun,
Sekian detik, Ibu menatap Dokter Darel. Lalu tiba-tiba menutup mulutnya.”Kamu ... Arka, bukan?””Iya, aku Arka, adiknya Mahesa.”Aku kembali dibuat melongo oleh pengakuan Dokter Darel. Ia mengaku sebagai Arka, dan Ibu mengenalnya.”Bagaimana kamu bisa ...?” ucap Ibu tertahan.”Kebetulan, Vio pasienku di rumah sakit. Kejadian hari itu gempar dan viral. Saat kulihat wajah pelaku tersebut aku dibuat kaget karena sangat mirip dengan Mbak Ningsih. Sampai aku mencari sumber berita yang valid untuk memastikan kalau itu Mbak Ningsih. Dan wajah Vio, sangat mirip denganmu, Mbak.”Aku melihat mata ibu berkaca-kaca. Aku semakin penasaran dengan Dokter Darel. Kalau hanya hubungan biasa, Dokter Darel tidak akan memperlakukanku sampai sebaik ini.”Kamu sudah menjadi Dokter?” tanya Ibu sambil mengusap air mata yang jatuh di pipinya.”Iya, berkat Mas Mahes. Sayangnya, sekarang Mas Mahes--””Ada apa dengan Mahes?” potong Ibu”Nanti setelah semuanya lebih baik, aku akan mengajak Mas Mahes menemui Mbak
[Selamat pagi, Vio. Ada rencana apa hari minggu ini?] Sebuah chat dari Dokter Darel menghentikan sarapanku.[Pengen jenguk Ibuk, tapi kalau hari Minggu nggak ada jam Besuk. Jadi mau belajar saja, besok ujian hari pertama.] jawabku.[Anak pinter harus rajin belajar, ya. Oya, kamu punya hutang nilai yang bagus. Harus dibayar lunas, ya.] Dokter Darel mengingatkan.[Siap, Dok. Meski nggak pernah rangking satu, saya akan berusaha mendapatkan nilai yang bagus.][Ada kabar untuk kamu dan Dika.][Apa, Dok?][Besok bapak kamu sudah boleh pulang. Apapun yang terjadi, kamu harus tetap belajar, ya.][Dok ....][Iya, kenapa, Vi?][Memang pulangnya nggak bisa ditunda sampai aku selesai ujian, ya?][Nggak bisa. Dokter yang menangani Pak Beni bukan aku. Aku tidak bisa melakukannya untukmu. Apa yang kamu khawatirkan? Kamu takut apa?][Nggak ada, Dok. Cuma ....][Cuma apa? Kalau kamu merasa terganggu dengan kehadiran bapakmu, kamu bisa tinggal bersamaku.][Enggak, kok. Cuma malas berisik saja. Pengen f
”Assalamualaikum,” ucapku pelan. Tidak ada yang menjawab. Dua orang dewasa itu menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala.Aku melangkah masuk. Tanpa melihat mereka aku berjalan ke arah kamar. Namun, belum sampai di kamar Mita menghadangku.”Duduk!” perintahnya. Aku menatap matanya.”Kamu tidak ada hak memerintahku,” ketusku.”Vio!” bentak Bapak. ”Mita istriku, berarti dia ibumu juga. Turuti perintahnya. Duduk!” Bapak melotot ke arahku. Ia membuang rokok, lalu memukul meja.”Ibuku ya cuma ibu, bukan dia,” ujarku sambil mengalihkan tubuh wanita itu dari hadapanku.”Sudah berani kurang ajar kamu, ya? Duduk kataku!” Bapak kembali menggebrak meja. Beruntung mejanya terbuat dari kayu. Andai dari kaca, pasti sudah hancur berkeping-keping.Aku tidak mau Bapak benar-benar mengamuk. Aku duduk berseberangan dengan Bapak. Mita duduk di sebelah Bapak, ia menekuk wajah. Seperti ada kemarahan yang ingin ia lepaskan kepadaku.”Apa kamu tidak merasa bersalah? Kamu tidak ingin minta maaf ke Bapakmu
Aku masuk ke kamar, mendengar sumpah serapah Bapak untuk Dika entah kenapa aku menangis. Sesak rasanya. Aku tidak menduga Dika akan benar-benar pergi meninggalkan rumah ini. Namun, ke mana Dika pergi? Ia hanya punya uang lima puluh ribu yang kemarin kuberi. Ponselnya telah dirampas Om Hengki untuk biaya berobat Bapak, bagaimana cara menghubunginya? Aku bahkan tidak tahu siapa teman dekat Dika selama ini.Entah kenapa tiba-tiba yang terlintas dalam pikiranku adalah Dokter Darel. Barangkali, ia bisa membantuku mencari Dika.[Dok ....]Setelah sepuluh menit, centang dua tetap belum berubah warna. Apakah Dokter Darel sibuk? Aku menghapus pesan itu. Mungkin aku harus berusaha mencari Dika sendiri. Beberapa hari ini aku sudah terlalu merepotkannya. Padahal sebagai seorag Dokter, tentu saja ia mempunyai jam yang sangat sibuk.”Viooo!” Bapak berteriak memanggilku, padahal tanpa berteriak pun aku akan mendengar, karena rumah ini yang tidak seberapa besar.”Iya.” Aku masih berdiri di depan kama
“Sudah sampai. Kerjakan ujian dengan baik, ya!“ ucap Dokter Darel memecah keheningan. “Dok, kenapa Dokter diam setelah tahu nama lengkapku dan Dika?“ tanyaku sebelum keluar dari mobil. “Kalau kamu anak yang pintar, kamu pasti bisa menebak apa yang sedang aku pikirkan. Sudah sana, fokus dengan ujianmu dulu! Nanti selesai ujian kita bahas soal ini.“Aku hanya menggaruk kepala. Aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Entahlah! Dokter Darel memang senang membuat teka-teki. Aku hanya ingin ujian hari ini segera berakhir dan bertemu dengan Dika.Enam jam berlalu, ujian sekolah hari ini cukup membuatku memeras otak. Tentu saja karena aku tidak bisa belajar sedikit pun. Beruntung, aku masih tetap bisa mengerjakannya. Aku menghubungi nomor Dika. Dua kali tidak dijawab. Namun, yang ketiga kalinya aku bisa mendengar suara Dika dari seberang. “Halo.““Dik, ini aku. Aku pengen ketemu. Kamu bisa jemput ke sekolahku? Atau aku naik angkot ke sekolahmu?““Kamu tunggu saja di h
Bab 15Setengah jam berlalu. Dokter Darel benar-benar datang. Ia membawa makan siang, makanan ringan dan beberapa botol soft drink merk terkenal. ”Makasih untuk ponselnya, Dok. Ini pasti mahal,” ucap Dika begitu Dokter Darel datang. ”Pakai saja. Yang penting bisa untuk berkomunikasi dengan Vio. Kamu tinggal di sini, Dik?” tanya Dokter Darel. ”Sementara, iya, Dok. Ini kosan temen, saya cuma numpang. Nantilah sampai selesai ujian baru saya cari tempat kos sendiri.””Mau kubantu untuk mencari?” Dokter Darel kembali menawarkan bantuan. ”Nggak usah, Dok. Anak laki-laki harus mandiri. Lagian kosan ini kosong. Temanku berangkat dari jam 6 pagi pulangnya kadang sampai larut malam.””Baiklah kalau begitu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi aku.””Katanya, Dokter mau menunjukkan sesuatu?” aku mengingatkan tujuan Dokter Darel kemari. ”Kalau aku mengajak kalian menemui seseorang, apa kalian mau?” tanya Dokter Darel. Ia menatap kami bergantian.”Siapa, Dok?” tanyaku penasaran. ”Ayo kita ke