“Pak, ayok kita pulang!“ Aku mencoba mengulangi ucapanku sekali lagi. Aku memegang tangan Bapak, tetapi Bapak menepisnya. Tatapan Bapak kepadaku semakin tajam. Mulutnya bergetar. “Kamu yang sudah bunuh Ningsih! Pasti kamu yang sudah membunuh Ningsih!“ Bapak berusaha meraih tubuhku. Namun, dengan sigap Dokter Darel menarik tubuhku ke belakang. Tidak dapat meraih tubuhku, Bapak mengambil batu di sebelahnya, lalu melempar ke arahku dan Dokter Darel. Beruntung kami dapat menghindar. Dokter Darel lantas meraih tanganku, membawaku berlari meninggalkan tanah pemakaman. Aku duduk di dalam mobil, napasku masih tersengal. Saat Dokter Darel hendak memajukan mobil, aku melarangnya. “Sebentar, Dok! Aku ingin melihat Bapak sebentar.“Aku melihat Bapak duduk di sebelah makam Ibu, tak lama, Bapak berbaring sambil memeluk makam Ibu. Entah apa yang Bapak rasakan saat ini, sebuah kehilangan atau rasa penyesalan? Karena di sepanjang usia pernikahan mereka, Bapak tidak pernah membahagiakan Ibu. “Kit
Bab 33RUMAH SAKIT JIWA "BAHAGIA"Lelaki yang kupanggil Bapak itu duduk mendekap kedua kaki di sudut ruang. Sesekali berteriak. Sesekali memukul-mukul teralis sambil mengumpat. Pernah sekali waktu ia menangis sangat lama. Memanggil-manggil nama Ningsih--Ibuku, yang sudah berpulang beberapa hari lalu. Menurut Dokter, Bapak mengalami gangguan bipolar. Namun, sikap Bapak terkadang terlalu ekstrim. Bapak kerap mengamuk dan tidak segan menyakiti orang lain. Hari ini aku mengunjunginya, tetapi aku hanya bisa menatapnya dari jauh. Bapak yang kerap menyakiti Ibu, aku dan Dika, nyatanya harus berakhir di rumah sakit jiwa usai Ibu meninggal. Seperti inikah cinta? Aku bahkan tidak bisa mengartikan perasaan Bapak kepada Ibu selama ini. Jika benar cinta, kenapa harus saling menyakiti. Namun, jika itu bukan perasaan cinta, kenapa Bapak bisa sesakit itu saat Ibu pergi? Dokter Darel merangkul bahuku. Ia juga tengah memandang Bapak.“Mungkin, aku bisa akan lebih gila jika kamu meninggalkan aku, Vi
Aku benci ketika lelaki itu di rumah. Aroma tuak murahan selalu menguar dari mulut yang kerap mengeluarkan kata-kata kotor itu. Jika tidak mengumpatku, ia akan memaki Dika, bahkan tidak segan memukul Ibu.Ia pulang jika uangnya sudah habis. Entah habis untuk membayar tubuh perempuan atau habis di meja judi. Aku hanya mendengar kasak-kusuk dari tetangga tentang kebiasaan buruk Bapak. Ya, lelaki bertubuh kekar dengan banyak tato di tubuhnya itu adalah lelaki yang membuatku ada di dunia ini. Namun, aku membencinya.***Kali ini ia pulang tanpa makian. Ia datang dengan membawa empat bungkus nasi goreng dan sepotong martabak telor berukuran jumbo. Ibu menyambutnya dengan senyum. Wajah yang biasanya menunduk takut, malam ini tampak ceria. Lelaki yang kerap membuat lebam di sekujur tubuh Ibu, malam ini bersikap manis, sangat manis.”Ning, kemarin aku menang besar. Kita bisa makan enak malam ini. Panggil Dika dan Vio, kita makan bersama!”Aku mendengarnya. Aku bahkan mendengar ibu berjalan ke
Aku dan Ibu saling melempar pandang. Banyak pertanyaan yang tersimpan dari tatapan Ibu.”Iya benar. Mana Mas Beni? Sudah hampir sebulan Mas beni nggak pulang.””Memangnya Mas Beni tidak pernah cerita tentang aku? Kamu ini, bagaimana sih jadi istri? Makanya punya suami itu diurus, dirawat. Bukan sibuk ngurus diri sendiri!”Mendengar ucapan wanita itu, aku dan Ibu kembali saling melempar pandang.”Jangan asal ngomong, ya!” Rasa kesal membuatku menaikkan nada bicara. Ibu menarik tanganku. Meredam emosiku.Suara motor Bapak menghentikan percakapan kami. Semua mata menatapnya.”Kenapa berdiri di luar? Mau jadi tontonan tetangga, hah? Masuk!” perintah Bapak dengan mendorong tubuh Ibu yang berdiri di depan pintu.Bapak, Ibu dan wanita itu duduk di ruang tamu. Sedangkan aku memilih masuk kamar. Aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan dari kamar. Karena rumah kami tidak besar, hanya berukuran enam kali delapan meter persegi.”Siapa dia, Mas?” tanya ibu pelan. Sepertinya rasa penasaran Ibu
Ruangan serba putih, dengan jarum infus di tangan kiri. Rasa sakit menyebar di sekujur tubuh, terutama di telapak kaki kanan yang ternyata sudah terbalut perban. Aku memegang kepala, denyutnya sudah reda. Namun, benjolan di dahi akibat terbentur menyisakan rasa sakit yang berbeda. Aku mengedarkan pandang. Dika duduk di sudut ruang memainkan ponselnya.”Dik ....” panggilku pelan.”Kamu sudah bangun?” Dika berjalan mendekat, memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jaket. Lalu, duduk di sebelahku.”Ini jam berapa, Dik? Ibuk di mana?””Jam 12 malam. Kalau masih pusing tidur saja!””Ibuk di mana?” Aku mengulang pertanyaan yang diabaikan oleh Dika.”Di kantor polisi.””Bapak?””Sudah jangan banyak tanya! Tidur saja biar besok boleh pulang.”Aku menghela napas. Aku memunggungi Dika yang kembali berkutat dengan ponselnya usai notifikasi pesan berbunyi lirih.’Bagaimana keadaan Ibu di kantor polisi, dengan siapa Ibu di sana?’ Pikiran itu menari-nari di otakku.Bagaimana Dika bisa setenang itu
Matahari mengintip dari balik tirai yang tersingkap. Rupanya aku tertidur lagi. Dika sudah tidak ada di kursi. Jatah sarapan dari rumah sakit sudah ada di atas nakas. Jam 07.00 WIB. Aku meregangkan otot. Rasa sakit di tubuhku sudah banyak berkurang, yang masih terasa nyeri hanya telapak kaki kanan. Mungkin luka pecahan piring cukup dalam menembus kulitku.”Sarapannya dimakan dulu, Mbak.”Seorang perawat membuka pintu, memeriksa suhu tubuh dan tekanan darah. ”Mau dibantu, Mbak?” lanjutnya. Aku menggeleng. ”Apa hari ini aku sudah boleh pulang, Mbak?” tanyaku lirih.”Sepertinya sudah. Nanti kita tunggu Dokter visit dulu, ya. Untuk suhu tubuh dan tekanan darah Mbak Vio normal, kok. Apa ada keluhan lain?” terang perawat cantik itu. Lagi-lagi aku menggeleng.Aku duduk di tepi ranjang. Makanan yang disediakan oleh rumah sakit belum kusentuh. Aku mencoba berdiri dan berhasil, tetapi hanya sekian detik. Rasa nyeri menyerang hingga ke ubun-ubun. Aku duduk sebentar, lalu mencoba lagi. Percobaan
Aku masuk ke kamar. Menghidupkan ponsel yang sejak tadi malam kumatikan. Bukan tanpa sebab, aku ingin menghindari banyak pertanyaan tentang keluargaku. Seperti yang kuduga, banyak pesan masuk. Gea, Sashi, dan teman-teman sekolah lainnya. Hampir semua pesan yang masuk intinya sama--bertanya kabar. Namun, Ada satu pesan yang menarik perhatianku, dari nomor tanpa nama itu. Ada sembilan belas panggilan tak terjawab dari nomor yang sama.[Aku sampai di rumah sakit, tapi kata perawat kamu sudah pulang.][Rumahmu di sebelah mana?][Aku boleh, kan, ke rumahmu?][Kenapa ponselmu mati?]Aku menghela napas. Siapa ia sebenarnya. Tidak ada foto profile, tidak ada nama. Namun, aku seperti tidak asing dengan gaya bicaranya.[Aku sudah pulang.] jawabku singkat.[Aku boleh ke rumahmu? Maaf aku lancang bertanya alamatmu di rumah sakit.][Gak usah repot-repot. Aku sudah membaik.]Tidak ada balasan lagi, padahal layar chat centangnya sudah berwarna biru. Mungkin ia sudah menyerah.Aku mengambil celengan
Orang itu membantu Dika menepikan motor, lalu berlari ke arahku. Tubuhnya juga sudah basah, kemeja putih yang ia pakai, mencetak bentuk tubuhnya yang atletis.”Kamu gakpapa, 'kan? Kakimu?””Saya gakpapa.” potongku cepat.”Tapi perban di kakimu basah,” lanjut Dokter Darel. Ya, lelaki yang mengendarai mobil tadi adalah Dokter Darel. Orang yang kemarin merawatku di rumah sakit.”Bagaimana, Vi? Bisa jalan?” ucap Dika saat sudah berada bersamaku dan Dokter Darel. Aku mengangguk.”Kita ke rumah sakit. Biar aku lihat kondisi kaki Vio,” ajak Dokter Darel.”Gak perlu, Dok. Nanti biar perbannya saya ganti di rumah,” tolakku.Dika menghidupkan motornya, aku berusaha naik ke atas motor. Namun, rasa nyeri membuatku meringis kesakitan. Dokter Darel menarik pergelangan tanganku.”Kalau tidak mau ke rumah sakit, biar aku antar kamu pulang. Lukamu tidak boleh bertambah basah. Aku takut bisa mengakibatkan infeksi. Nanti biar kuganti perbannya di rumahmu.”Aku menatap Dika, ia mengangguk. Mungkin Dika j