"Ssshhhhhttttt!!"
Tubuhku ditarik, aku tak bisa berontak. Badanku juga dikunci, mulutku ditutup. Aku bergerak-gerak memberi perlawanan tapi si pelaku tak ingin melepaskanku.
Tubuhku didorong untuk bersembunyi dibalik tembok, karena berada dalam posisi lemah, aku akhirnya terdiam dan bernapas lega, ketika akhirnya si pelaku melepaskan tangannya.
Hufh ... Akhirnya.
"Kamu kenapa sih?" tanyaku tak senang.
"Shhhttt! Tadi tuh ada Jovan. Dia beneran nyari kamu, jadi lebih baik kamu sembunyi."
"Anjing, mana sih tuh perek kecil? Kayaknya dia udah tahu deh."
Mataku lamgsung melotot, sialan si buas itu. Harusnya aku keluar dan menyobek mulutnya, agar dia tidak sembarangan bicara seperti itu padaku. Memangnya aku gadis open BO? Ugh ... Aku benci, jika hidupku terus disudutkan, padahal aku tidak tahu menahu urusan mereka."Anjing! Besok harus kesini lagi. Pokoknya, harus sampai dapat. Tikam lubangnya ramai-ramai, sampai longgar." Aku mengepalkan tanganku. Dasar sialan!
"Jangan takut, aku akan melindungi kamu." ujar cowok itu menenangkan. Aku bahkan sudah lupa namanya siapa, tapi dia sudah berkali-kali melindungiku, atau dia juga hanya satu dari sekian dari laki-laki modus yang hanya modus juga?
"Aku lupa namamu."
"Panggil aku bee. Aku akan memanggil kamu honey." aku hanya tertawa, memangnya dia kira kita sedang di alam? Ada-ada saja, tapi kehadirannya membuatku sedikit terhibur. Apa aku boleh menganggap dia teman?
"Dih norak."
"Norak itu lebih menyenangkan."
Aku hanya menggelengkan kepalaku, pada seorang cowok narsis di depanku.Akhirnya kami keluar dari tempat persembunyian, dan berjalan menuju post. Aku hari ini hanya ingin jalan kaki.
"Aku boleh minta nomor hape kamu?" aku pun menyebutkan nomor ponsel yang diminta. Sambil berjalan berdampingan. Hari ini, cuaca sangat panas. Aku hanya menutupi kepalaku dengan tas, panas yang menyengat tubuhku begitu terasa seperti disengat api neraka.
"Aku masih belum lupa siapa nama kamu." Cowok itu menyugar rambutnya, karena aku memang payah mengingat nama orang kecuali dia orang penting dan orang terdekat.
"Ayden. A y d e n. Dipanggil sayang, atau bee." cowok itu mengeja namanya, lagi-lagi aku tertawa. Ah, bisakah kalian menghitung berapa banyak aku tertawa? Di rumah, kotak suaraku dicuri Spongebob, dan bersama dia, aku terus tertawa seperti Patrick. Apakah dia Garry atau Patrick?
"Panas nih, kamu mau makan ice cream?" aku mengangguk, dan kami berdua masuk ke sebuah supermarket yang bercat putih dan merah. Bukan hanya membeli ice cream, kami membeli banyak jajanan, dan juga minuman soda.
Ketika keluar dari supermarket, aku langsung menggigit ice cream coklat tersebut. Saat meleleh dalam mulutku, terasa surga turut hadir di dalam sana.
"Kamu harus banyak makan, nanti dilihat kayak ranting berjalan." aku melotot pada cowok itu, sambil menancapkan stik itu pada bahunya kesal. Bisa-bisanya dia body shamming.
"Ini adalah tubuh yang diinginkan semua wanita."
"Mau tahu, tubuh yang diinginkan semua laki-laki?"
"Jangan! Aku masih di bawah umur." aku menutup telingaku. Cowok itu terkekeh dan mengacak rambutku.
"Panggil aku bee ya." Ia menarik hidungku, dan berjalan duluan. Dasar tak sopan! Sebentar, seharusnya cowok seperti ini membawaa motor atau mobil. Kenapa dia harus jalan kaki?
"Eh, woy! Woy, aku lupa namamu. Kamu nggak bawa motor?" teriakku dari belakangnya. Tapi cowok itu sengaja tak mau mendengarnya. Untuk ukuran anak remaja yang sedang merasakan cinta monyet, menurut pandanganku cowok ini tampan, bahkan sangat tampan. Mungkin saat besar nanti, ia bisa mengalahkan Lee Min Ho. Tapi, aku tak memikirkan itu. Hidupku sudah terlalu rumit, aku tak ingin menambah daftar panjang hal rumit yang lainnya.
"Hey kamu. Tungguin, mana motormu?"
"Aku punya nama." teriak cowok itu. Aku mengepalkan tanganku.
"Aku lupa!" teriakku tak mau kalah.
"Bee. Panggil aku bee atau sayang." Dasar cowok agresif!
"Beruang!" refleks saja aku memanggilnya beruang. Maksudku beruang disini adalah, beruang madu. Karena jika bee cukup menggelikan kurasa.
"Baiklah aku terima beruang. Sebenarnya, lumayan nggak buruk bangat." cowok itu berbalik sambil tersenyum padaku.
"Bukankah, anak SMA boleh bawa kendaraan?" Aku menyamakan langkah kakiku, bersamaan dengannya. Kami berjalan pelan-pelan, menyusuri jalanan yang rindang karena terik matahari yang begitu menyegat.
"Anak SMA belum pulang." Oh iya benar. Untuk SMP pulang, pukul 1.45. Untuk anak SMA pukul tiga atau empat, aku lupa.
"Dan kamu bolos?" tuduhku. Cowok itu mengedihkan bahunya.
"Bolos itu manusiawi." aku hanya mencibir, alasan konyol.
"Itu ada pos, kita minum disana ya."
Kami pun, masuk dalam pos penjagaan yang warna temboknya sudah usang tidak terawat dan atap berbentuk segitiga di depannya.
"Jadi rumahmu masih jauh?" tanya cowok itu, duduk di di tembok yang setengah dibangun dan aku hanya berdiri di bawah.
"Habis ini lurus, belok kiri, lurus, belok kiri dan sampai."
"Kamu tiap hari jalan kaki?"
"Kadang jalan kaki, kadang naik angkot." aku membuka bungkusan keripik kentang dan menawarkan padanya. Cowok itu mengambilnya dan memasukan dalam mulutnya, rambutnya yang hitam legam menambah kesan macho, hidungnya yang mancung, wajahnya yang tampan, tapi tatapan mata itu seperti arus yang membuat siapa saja masuk dalam pusaran tersebut. Kuperhatikan urat-urat tangannya saat memegang kaleng minuman dan meneguknya.
"Kamu pernah pacaran?" aku berhenti mengunyah keripik tersebut dan menggeleng. Memangnya siapa yang peduli, pada pacaran? Aku tahu, banyak laki-laki yang memandangiku lapar, tapi aku tak berminat menjalin hubungan dengan orang lain.
"Nggak papa masih kecil. Jangan pikirin itu, sekolah yang benar biar jadi anak pintar." aku hanya mencibir, dia berlagak seperti orang tua. Ah, membahas orang tua selalu membuatku sakit dan tak percaya, orang tauku seperti iblis. Atau memang mereka bukan orang tuaku? Tapi mereka adalah monster yang menghancurkanku kapan saja.
Aku membuka minuman kaleng punyaku yang berwarna biru dan putih, sambil minuman sedikit asam itu menyapa lidahku. Aku menutup botol dan menyeka bibirku dari sisa-sisa air.
"Habiskan minumnya, nanti kita jalan lagi. Kalau nggak kuat jalan, nanti aku gendong." aku hanya menggeleng, memangnya dia pikir aku orang cacat? Atau aku seorang bayi?
"Nama kamu Lisha bukan?"
"Iya, Lalisa Manoba." cowok itu melompat turun, dan mengacak rambutku. Tiba-tiba, ia meghimpit tubuhku ke tembok aku hanya berjalan mundur dan mentok disana, sambil memperhatikan dirinya yang menunduk melihatku. Dan jantungku bekerja tak sehat, aku masih menatapnya dengan polos.
"Kamu cantik." puji cowok itu sambil mengelus pipiku. Baru kali ini, aku sedekat dengan laki-laki, karena aku memang tak punya teman sebelumnya.
Cup!
Aku membeku, ketika cowok itu mencium pipiku. Bentuk bibirnya masih terbentuk jelas di pipiku, aku hanya mengerjapkan mataku berkali-kali, karena memang bodoh tak mengerti apa yang sedang terjadi.
"Bibir kamu pasti semanis madu." tangan cowok itu sudah bermain di bibirku. Ia memainkan bibirku yang bawah.
"Warna merah alami, dengan bentuk mungil yang mengemaskan dan penuh, pasti rasanya bikin mabuk." Dan aku yang mabuk beneran. Tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Dada cowok itu makin menempel ketat, dan aku bisa merasakan jantungnya yang berdetak tak karuan seperti milikku. Apa ia juga deg-degan?
"Boleh cium?" kupandangi hidung mancung tersebut dengan kumis tipis yang baru tumbuh bibir tipis yang berwarna kemerahan juga, pandanganku turun ke jakunnya yang naik-turun. Kualihkan pandanganku ke atas, menatap tepat di manik matanya yang terasa kelam di dalam sana. Alis matanya yang tersusun rapi seperti ulat bulu, dan rambutnya yang hitam legam.
Tangannya yang bermain di bibirku sudah memeluk pinggangku, dan semakin menunduk. Hidungnya menyentuh hidungku, dan aku bisa merasakan napasnya yang hangat, dan tercium aroma mint dari mulutnya dan juga tubuhnya. Wangi khas cowok yang membuatku betah.
Saat bibir itu menempel, refleks aku menutup mataku. Dan saat, dikecup ringan, aku hanya membatu. Ketika kurasakan, bukan hanya menempel, tapi ia memiringkan wajahnya dan memaksa lidahnya untuk masuk. Karena tak tahu, aku membuka mulutku dan merasakan lidahnya mencari lidahku. Aku mengulurkan lidahku, saat mendapatinya ia menghisap lidahku tanpa ampun. Dengan naluri, aku mengikuti langkahnya aku menghisap lidahnya juga bergantian. Aku tak tahu, jika perutku terasa geli sekarang. Ah, ciuman itu tidak buruk-buruk bangat, walau aku memikirkan saling bertukar penyakit, karena berbagi air liur. Bisa saja, dia menularkan penyakit hepatitis, TBC.
Ia semakin meremas rambutku, dan menempelkan tubuhnya semakin erat. Aku kehabisan napas, tapi dia tak mau melepaskan pangutan kami. Yeah, Delisha kehilangan first kiss pada cowok yang bahkan ia tak ingat namanya.
_________________________________POV 3.
Berkumpul merupakan, kegiatan rutin yang dilakukan semua remaja laki-laki, saat malam hari.
Dan sekarang, gang Abstrak berkumpul, tak ada kegiatan berarti yang mereka lakukan kecuali berbincang apa yang anak remaja laki-laki lakukan sambil merokok.
Ayden melepas helm-nya dan menyimpan di stang motor dan berkumpul di kos Varda. Namanya seperti perempuan bukan? Atau, memang teman-temannya sering mengejek Vrindavan. Hingga membuat Varda jengkel, percayalah tak ada darah India sama sekali dalam darahnya, kebetulan saja namanya unik.
"Akhirnya datang." seru Rian, sambil menghisap batang berasap tersebut sambil mengembuskan.
"Makan apa nih?"
"Lu datang-datang langsung minta makan?"
"Mie doang."
"Masak mil." Aydeng menepuk kepala Varda. Sudahlah numpang, diejek, rasis, dan sekarang menyuruh dirinya untuk masak. Hufh ... Manusia seperti apa Ayden ini?
"Lo kemana sih tadi?" tanya Jovan yang bersandar di sofa usang berwarna maroon, milik Varda yang merupakan sifa hibah dari tentangga kos sebelah yang kebetulan pindah.
"Main basket sendirian." dusta Ayden, sambil membuka jaketnya kulitnya.
Setelah ciuman itu, keduanya merasa asing. Terutama, wajah Delisha yang Ayden perhatikan memerah sepanjang waktu, membuat Ayden semakin gemas pada gadis polos itu.
"Masak la anying, lapar nih." Ayden langsung beranjak dari kerumunan dan melihat rak hijau yang jorok karena jarang dibersihkan, ada bawang merah yang sudah busuk, ada bungkus garam yang isinya sudah habis. Cowok itu, mengambil membuka mie dua bungkus dan memasaknya dengan telur setengah matang. Ya, kebetulan di luar sedang hujan.
Tiba-tiba Ayden memikirkan Delisha. Kira-kira apa yang gadis itu lakukan sekarang? Seandainya mereka berdua yang disini, pasti suasana lebih seru lagi. Walau hanya makan mie rebus.
"Jadi, gimana rencana kita bro?" tanya Jovan. Ayden sudah menduga, jika berkumpul begini, hal-hal buruk yang akan dibahas. Yeah, sudah hal biasa mereka menjadi track record mencicipi semua gadis. Mau bagaimana lagi, pergaulan yang salah dan sudaj terlanjur, membuat mereka tidak bisa berhenti.
"Atur aja." teriak Ayden dari belakang. Mengambil gunting dan membuja bumbu dan memasukan dalam mangkok yang sudah ia sediakan.
"Kalian cari tempat kosong. Atau disini aja?"
"Jangan lah anying. Kos gue mulu, saksi kalian ena-ena disini." protes Varda. Karena kos yang bebas, mereka bebas membawa teman wanita dalam kos ini kapan saja.
"Lo dapat jatah juga setan." sergah Jovan sambil melempar bungkus rokok itu ke wajah Varda yang berbaring di kasur buluknya.
Ya, ke empat manusia gang Abstrak ini saling berbagi rasa. Jika, mereka sudah mendapat satu korban, maka mereka akan menggilirnya semua. Dan semua wanita yang mereka gauli, adalah korban salah pergaualan, dan mereka menerima semuanya dengan senang hati. Bahkan, mereka bisa mengajak dua perempuan sekakigus di kos Varda. Pergaulan remaja sekarang, memang memprihatinkan.
Ayden membawa mangkok berisi mie yang asapnya mengepul, menambah selera. Varda langsung bangun dari posisi nyaman dan nyegir begitu melihat mie yang mengungah selera.
"Jadi, gimana?"
"Libur dulu lah. Gila lu, tuh batang apa nggak patah." seloroh Ayden memasukan telur kuning yang meleleh itu dalam mulutnya. Varda menatap dengan penuh minat, seperti anak anjing minta makan. Ayden mengetuk kepala Varda dengan sendok.
"Dapatin tuh anak kecil itu, aku tobat." Ayden memandanga Jovan yang tampak kusut. Ia tahu, teman yang sudah ia kenal dua tahun ini bicara selalu serius, bukan hanya gertakan.
"Dia masih anak baik-baik. Jangan rusaki anak orang." Ayden pantas disebut manusia munafik ulung, dia yang telah merampas ciuman pertama gadis itu, dan sekarang bicara jangan rusaki, seperti manusia sok suci yang bertapa keluar dari gua naga.
"Kan ini mau tobat sialan! Tapi dapatin dulu, pasti rasanya peret bangat. Ini dapat longgar semua." tukas Jovan, terlalu santai. Seperti ia berbicara tutorial membuka bungkus permen.
"Coba aja. Eh anjing! Diambil juga." maki Ayden saat melihat dua sendok sudah bergabung, menghabiskan mie yang hanya tersisa kuah.
"Jadi, gimana strategi kalian?"
"Dia kayaknya nggak punya kawan."
"Aku tahu, dia Kakak Meisha. Dan kurasa kita bisa kerja sama. Meisha tergila-gila sama lo." timpal Rian yang sibuk berebut sia kuah mie milik Ayden. Cowok itu sudah minum malah.
"Hm, boleh juga bro." Jovan menegakan tubuhnya. Sepertinya ini akan menarik. Setelah mendapatkan apa yang ia mau, si perek kecil itu tidak akan bisa lepas dari cengkramannya. Karena hanya dia yang boleh memguasai Delisha, dan kartu mati gadis itu di tangannya.
Dan sepertinya ini akan menarik.
________________________Tujuan cerita ini kubuat untuk memberitahu, kenakalan remaja yang terlewat batas dan juga akan banyak sex edukasi di dalamnya.
Ya, negara kita masih tabu bahas hal ini, semoga yg membaca disini bisa melek. Kalau, anak-anak kita atau kita sendiri, itu butuh sex edu demi kebaikan bersama. Sex edu, bukan langsung otaknya mikir porno ya. Tapi, dengan belajar sex edu, mereka bisa bertanggung jawab terhadap tubuh mereka masing-masing.
See you🙌🙌🙌
Kasih rate🥰🥰🥰🥰
"Cheryl, jangan cekik adiknya!" Delisha sudah berteriak, melihat Cheryl yang ternyata sangat nakal walau dia perempuan. Hobby manjat, merusak barang, dan membuat adiknya menangis.Delisha mendekat ke arah kedua anaknya dan memisahkan Cheryl dari Auden. Bayi mungil yang nengerjap-ngerjap lucu dan memasukan tangan ke mulut."Mami, makan." Delisha akhirnya mengendong Cheryl dan membawa ke dapur. Putrinya hanya bersandar di bahunya dan terus bergerak-gerak tak nyaman. Delisha merasa Cheryl ini lebih nakal dari Cheryl dan akan jadi preman ketika besar nanti."Mami masak spaghetti. Suka?" Cheryl mengangguk. Di usianya yang yang tiga tahun, Cheryl sudah lancar berbicara dan sangat cerewet."Duduk di meja, atau bantu Mami ngaduk pastanya." Cheryl membantu ibunya mengaduk dengan tangan mungilnya. Bocah itu duduk dekat tungku.Delisha menyiapkan saus untuk pasta mereka. Bayi Auden berusia lima bulan dan harus ekstra menjaganya,
Delisha memperhatikan perut buncitnya. Dengan terusan berwarna abu-abu dia duduk di sofa sambil nonton TV.Sejujurnya, untuk bernapas saja dia kesusahan sekarang. Wanita itu menunduk melihat kakinya yang membengkak."Mami, Sayang." Delisha berbalik melihat suaminya dan tersenyum, Ayden membawa susu di tangannya.Laki-laki itu meletakan gelas berisi susu di atas meja dan menarik kaki Delisha dan memijitnya."Capek bangat, ya?" Delisha hanya mengangguk. Sebenarnya sekarang masih pagi, dia sudah berjalan keliling komplek, disarankan berjalan atau melakukan olahraga kecil agar membantu proses kelahiran. Sedikit takut dan was-was. Saat kehamilan Cheryl dulu, Delisha tidak pernah merasa se was-was seperti ini. Mungkin karena kehamilan dulu tidak dia harapkan dan ketakutan."Kamu ngapaian?" pekik Delisha, ketika merasakan Ayden membuka dress miliknya. Terlihat gumpalan bulat dengan ujung perut yang terlihat memerah, urat-urat
Pesawat lepas landas dari Bandara Leonardo da Vinci di Fiumicino Roma menuju Bandara Punta Raisi di Palermo, ibu kota Sisilia. Cuaca pagi itu sangat cerah.Perjalanan satu jam menuju pulau Sisilia, membuat Mawar menggenggam tangan Juna norak, dia selalu terbayang tempat itu banyak mafia di sepanjang gang dan memegang senjata, salah melangkah, maka kamu akan tewas."Tuh kan, Yang." Mawar berbisik ketika tiba di bandara dan diperiksa langsung oleh seekor anjing herder besar berwarna coklat. Gadis itu mengintip melihat gigi-gigi anjing yang panjang dan tajam, bisa dipastikan semua kulit dan dagingnya koyak.Anjing itu mengendus-endus, jangan sampai ada barang haram yang terbawa masuk ke pulau ini.Setelah mengintip lagi, Mawar melihat banyak turis yang tersenyum cerah sama seperti cuaca di Sisilia pagi ini. Mawar sedikit bernapas lega, tampak tak ada polisi atau tentara bersenjata seperti bayangannya.Sisilia menawarkan keindah
Papergbag berisi banyak makanan, berada di tangannya.Keduanya berjalan sambil tersenyum, dan akan mengumumkan kehamilan Delisha ke orang tua Ayden. Usia yang tak lagi muda untuk mereka semua, tapi, Delisha dan Ayden menyambut antusias kehadiran Cheryl.Dulu sekali, saat masih remaja, bodoh dan naif, mereka merasa kehamilan itu awal bencana, teringat saat keduanya bolos sekolah demi mengugurkan anak walau gagal, berkali-kali menelan pil untuk mengugurkan anak, makan nanas mudah soda seperti yang orang-orang bilang, nyatanya tak berhasil."Mama." Delisha langsung bersorak norak, ketika memasuki ruang tamu.Ibu Ayden yang sudah tua dengan kulit keriput walau masih cantik tersenyum ke arahnya."Mama." Delisha memeluk Ibu Ayden, sosok ibu itu bisa dia rasakan, ketika dia hidup tidak pernah merasakan bagaimana punya ibu yang sayang dan peduli padanya."Papa." Delisha juga memeluk Papa mertua."Mama
"Di antara banyaknya kejadian, di antara semua kejadian yang entah sengaja atau tidak, pertemuan bersama kamu adalah sebuah pertemuan yang selalu membuatku bersyukur di antara semua embusan napas ini.Terima kasih, telah hadir dalam hidupku, terima kasih telah mengisi hari-hariku yang terasa suram dan seolah tak masa depan yang menjanjikan di sana, tapi, kehadiran kamu mencerahkan semuanya." Delisha tersenyum pada Ayden memegangi wajah laki-laki itu. Saat mengingat kisah hidupnya, dan juga perjalanan panjang ini rasanya air matanya terus saja meleleh, Ayden sengaja Tuhan ciptakan untuknya.Ayden menyeka air mata wanita cantik itu. Rumah tangga mereka terasa damai, usia yang matang membuat sama-sama mengerti dan mengalah. Telah saling mengenal nyaris seumur hidup, membuat Delisha dan Ayden sama-sama memahami."Terkadang, kalau dipikir-pikir, semuanya sudah Tuhan atur. Ya, dulu, aku merasa Tuhan kejam dan Tuhan tidak adil, tapi, ketika aku menari
Delisha tidak menyangka, ketika orang lain menikah di usia 20-an, maka, dia akan merasakan jadi pengantin baru di usia 36 tahun. Bukan lagi usia yang muda.Tidak ada acara mewah, tidak ada pesta di gedung seperti menikah banyakan wanita seperti seorang Princess. Cukup, dia terus bersama laki-laki itu.Kerasnya hidup membuat Delisha terus belajar, tak perlu banyak menuntut, asal bersyukur dengan apa yang kamu punya sekarang, maka, semuanya terasa lebih dari cukup.Wanita itu mematut dirinya di cermin. Gaun velvet brokat simple warna putih tulang yang Delisha pilih. Dia akan menambahkan mahkota kecil di kepalanya."Ah, sudah tua." Wanita itu berbicara pada dirinya sendiri dan menggeleng, takdir menuntun hidupnya untuk menemukan belahan jiwanya ketika berusia 36 tahun, setelah melewati banyak hal bersama.Tak terasa, bulir bening setitik merembes melewati pipi kiri. Tidak ada yang dia punya di dunia kecuali Ayden. Wanita
"Anak Mami yang cantik, setahun itu rasanya cepat, lambat, menyiksa, kelam, terpendam. Tidak menyangka, kamu pergi untuk selamanya. Setahun berlalu, tapi, Mami tak pernah lihat senyuman kamu kecuali hanya dalam mimpi. Bahkan, udah jarang mami mimpi. Kenapa? Udah nggak rindu Mami, lagi? Udah bahagia di sana?" Delisha masih bersungut sambil curhat, di kuburan Cheryl."Ah, Mami masih belum ikhlas. Tapi ... Hari ini, dengan segala kelemahan, Mami datang untuk pertama kalinya ke sini. Ini bukan hal yang mudah, Nak. Tapi, perlahan Mami bisa bangkit. Kamu pergi, tapi, penyesalan terdalam dari kami semua takkan pernah kami lupa sama kami menyusulmu. Mami tahu, kamu pernah menyebut, Mami sebagai Mami yang kejam di muka bumi ini." air mata itu tak berhenti mengalir, bahkan semakin deras seperti air terjun Niagara. Padahal, Delisha sudah berjanji untuk melupakan semuanya, tapi kembali lagi ke kuburan, sama seperti kembali mengingat memori lama yang tersimpan, dan luka itu kembali
Enam bulan kemudian.Tidak mudah bagi Delisha untuk melewati ini semua. Dia terus saja menangis seperti orang gila, bahkan Delisha memilih resign dari pekerjaannya. Harusnya dia menyibukkan diri dengan bekerja agar tidak mengingat Cheryl terus-terusan, tapi Delisha tahu dia tidak akan bisa bekerja dengan tenang, daripada dia terus menangis saat bekerja, lebih baik Delisha mengurus anak-anaknya—berbagai macam bunga.Mulai menata diri, dan memperhatikan asupan.Bersama Ayden, Delisha bisa sampai sejauh ini. Jika tidak, mungkin dia sudah tinggal nama. Cheryl adalah alasan dia bertahan hidup, tapi saat putrinya pergi, dia tidak punya alasan lagi.Delisha menyisir rambutnya yang terus saja rontok, tapi dia sudah menata hidupnya, makan dengan teratur dan memberi vitamin rambut.Delisha sekarang jadi pengrajin bunga, dia menanam berbagai tanaman di samping rumahnya, yang ada gazebo. Delisha belum berani untuk mengunjung
Detik ini Delisha tahu hidupnya berubah, menit ini dia tahu putrinya yang cantik hanya tinggal nama. Berkali-kali dia pingsan, terbangun dan kembali pingsan, jika dia belum siap menerima kenyataan yang ada.Wanita itu terbaring lemah di atas kasur, jiwanya dibawa pergi, Cheryl pergi! Cheryl meninggalkan dirinya untuk selamanya, putri yang dia rawat dari kecil, putri cantik yang Delisha cinta sepenuh hati. Hatinya begitu sakit, tidak bersemangat untuk melakukan apa-apa."Lisha!" Delisha tak ingin mendengar apa-apa. Rasanya dia hanya ingin menangis, atau ikut meloncat ke kuburan Cheryl.Tubuhnya lemah. Saat merasakan sapuan itu Delisha semakin menutup matanya, jiwanya serasa ikut terbang, tidak ikhlas sama sekali!"Sayang." Delisha memekakan telinga dan mengunci semua indranya.Ini berat! Sangat berat!Ayden tahu, semuanya berubah dan tak lagi sama. Mungkin seumur hidupnya akan dia habiskan untuk penyesalan.