Sudah beberapa waktu mereka bertarung, Gamya dan adik seperguruan Jiang sedang melihat pertarugan Kencana Emas. Tampak mereka seperti setara dalam pertarungan, tetapi sebenarnya Kencana bisa dengan mudah mengalahkan Jiang hanya dengan beberapa kali tarikan nafas saja. Kencana sedikit terganggu dengan Gamya yang mampu membuatnya jatuh keposisi berlutut kapan saja.
Namun saat ini Gamya hanya melihat dan tidak menunjukkan dirinya ingin ikut campur pertarungan muridnya. Melihat posisi yang menguntungkan itu Jiang berusaha semakin memojokkan Kencana sambil tertawa lantang. Namun Kencana Emas bahkan belum berpindah dari tempat dia berdiri Kencana sedikit berkelit ketika golok Jiang hampir mengenai wajahnya dan secara bersamaan Kencana melancarkan serangan tapak kearah dada Jiang yang menyebabkan benturan yang cukup kuat, serangan itu membuat Jiang mundur beberapa langkah lalu memuntahkan dara segar.
“Kuakui murid Gamya tidak bisa dianggap remeh, selanjutnya giliranku terimalah…” Kencana Emas berkata sambil tersenyum tipis lalu menyusul Jiang. Kencana Emas mulai mengeluarkan serangan tapak kearah Jiang, serangan tapak itu sangat kuat bahkan setiap serangan yang berhasil di hindari Jiang selalu memberikan luka gores seakan angin bisa melukai tubuhnya.
Kencana Emas mengalihkan pandangannya sesaat kepada Gamya ketika sedang berhadapan dengan Jiang. Kini jarak pertarungan antara Jiang dan gurunya semakin jauh, rupanya Kencana mengetahui jika Gamya masih mempengaruhi gerakkannya. Jarak yang sudah cukup jauh membuat Jiang tidak dapat lagi mengandalkan kemampuan Gamya yang selama ini sedikit mempengaruhi gerak Kencana Emas.
Kencana Emas yang melihat Jiang mulai ketir hanya tersenyum tipis tanpa melontarkan kata-kata. Kencana menebak jika Jiang hanya mengandalkan kemampuan Gamya dan berusaha mendapatkan kemenangan tanpa perlu bersusah payah. Namun hal itu tidak bisa dikatakan kemenangan jika akan berdampak buruk kepada diri sendiri, kini Jiang harus menelan kenyataan pahit dan harus menyerahkan nyawanya.
“Cih, jika kau tidak ingin mati cepat serahkan Pusaka Langit dan kami akan membiarkan kau tetap hidup…” Jiang tetap tenang sesaat tubuhnya terkena serangan telak beberapa kali didadanya.
“Kuakui murid Gamya memang seorang pendekar hebat tetapi tidak kusangka jika muridnya juga bisa membual.” Kencana sedikit menaikkan alisnya sambil melipat satu tangannya kebelakang.
Mendengar perkataan Kencana Emas dada Jiang memanas bukan hanya marah tetapi serangan Kencana Emas membuat dada Jiang terasa sempit karena serangan tenaga dalam yang tinggi. Jiang mengambil kuda-kuda dan memutar goloknya, dari gerakkan yang jiang lakukan muncul sebuah rantai yang diikuti api menjalar menyelimuti golok tersebut.
Melihat hal itu Kencana Emas menaikkan alisnya sambil menyambut serangan yang datang. Jiang berusaha mati-matian untuk memberikan satu serangan saja kepada Kencana Emas tetapi tidak ada satu seranganpun yang mampu memberikan luka gores terhadapa Kencana “bagaimana dia bisa sekuat ini.” Jiang bergumam sambil menggigit bibirnya.
Kini Jiang sadar jika dirinya tidak mampu mengalahkan Kencana seorang diri, Jiang sedikit menoleh kekanan namun alangkah terkejutnya Jiang mendapati Gamya dan adik seperguruannya sudah cukup jauh. Wajahnya memucat diiringi keringat dingin berjatuhan dari wajah dan sekujur tubuhnya, sebab baru kali ini dia merasakan serangan yang amat berat.
“Kuucapkan selamat tinggal…” Kencana tidak ingin membuang waktu ketika melihat kesempatan. Dengan cepat Kencana mengarahkan jari telunjuknya tepat kearah kening Jiang yang seketika membuat keningnya berlubang, serangan telunjuk Kencana tidak pernah diduga oleh Jiang dan membuatnya harus meregang nyawa.
Disisi lain Gianjoyo yang saat itu pergi mencari sumber suara mendapati Kencana Emas baru saja membunuh Jiang. Gamya dan adik seperguruannya juga melihat, tetapi mereka tidak dapat menolong Jiang. Untuk membalaskan kematian muridnya Gamya berjanji akan memberikan kematian yang menyakitkan terhadap Kencana Emas. Melihat kedatangan Gianjoyo itu Gamya lalu dengan cepat memerintahkan untuk segera menangkap Gianjoyo demi menghilangkan jejak.
Gianjoyo menyadari jika posisinya dalam bahaya, melihat orang yang sedang mengejarnya Gianjoyo berlari tanpa menoleh kebelakang. Disisi lain Kencana Emas yang melihat kesempatan itu segera melarikan diri masuk kedalam lebatnya hutan.
“Buka pintu, ini aku Gianjoyo cepat buka pintu!” pekik Gianjoyo, Kirana yang mendengar sedikit lega suaminya kembali akan tetapi pirasat buruk mulai mengisi hatinya. Kirana segera memeluk suaminya, tetapi Gianjoyo tidak memberikan expresi apapun melainkan wajahnya begitu pucat dan berkeringat dingin.
“Ki..kita harus cepat pergi dari sini. aku baru saja melihat Kencana Emas bertarung dengan kelompok aliran hitam, salah satu dari mereka mengejarku” ucap Gianjoyo terbata.
Lengkukup yang saat itu berada diruang tamu rumahnya mendengar jelas perkataan Gianjoyo yang telihat sangat ketakutan. Tetapi belum sempat mereka meninggalkan rumah, tiba-tiba pintu terpental menghantam salah satu meja, dari luar tampak seseorang sedang memegang golok. Kirana dengan cepat menarik Lengkukup untuk bersembunyi kedalam kamar dan meninggalkan Gianjoyo sendiri.“Oh, sepertinya aku akan makan enak malam ini.” Ucap orang itu yang tidak lain Xue adik seperguruan Jiang yang beberapa waktu lalu tewas ditangan Kencana Emas.
Gianjoyo berharap tidak akan terjadi apa-apa, dan dapat bernegosiasi dengannya tetapi orang itu sedikitpun tidak tersenyum. Xue melangkah masuk kedalam rumah Gianjoyo tanpa rasa bersalah sedikitpun, sedangkan Gianjoyo hanya bisa mematung karena ketakutan. Gianjoyo merasakan kekuatan yang sangat mengerikan didalam tubuh orang itu, tampak dirinya menjulurkan lidahnya yang cukup panjang, dari situ tampak giginya yang runcing.
Melihat Gianjoyo yang sudah ketakutan Xue semakin beringas, tubuh besarnya menghempas hempas seolah sedang kerasukan. Xue menghancurkan semua yang dia lihat membuat Gianjoyo semakin merasa takut. “Ampun, aku mohon jangan…” Gianjoyo berkata sambil memelas, sungguh tindakan yang tidak patut bagi seorang pendekar.
“Apakah pantas seorang Gianjoyo melakukan hal serendah itu?”
Gianjoyo berpendapat akan lebih baik mengalah untuk sebuah kemenangan tetapi sayangnya Xue berada ditingkat yang berbeda. Dirinya memang murid yang jarang bertarung tetapi soal kekuatan Xue jauh lebih unggul daripada Jiang kakak seperguruannya.
Dilain sisi Lengkukup tidak menyembunyikan ketakutannya dia berusaha memekik, tapi Kirana dengan cepat langsung menutup mulut anaknya dengan kedua tangan. Dalam dekapan ibunya Lengkukup menangis sejadi-jadinya, tapi suaranya tidak bisa keluar hanya butiran air mata yang membasahi wajah kecil Lengkukup.
“Keluar kalian semua, cepat!” Xue berteriak yang membuat ketakutan Kirana semakin menjadi.
Tentu teriakkan Xue itu menyulut api yang sejak tadi sudah membara. Bagi seorang ayah keselamatan keluarganya adalah hal utama, tidak peduli jika dirinya akan mati untuk melindungi mereka. Gianjoyo berniat mati bersama orang itu jika tidak bisa membunuhnya. “Hentikan! Kau manusia Iblis, Selangkah lagi kau maju aku akan membunuhmu.”
Xue seolah tidak mendengar perkataan Gianjoyo, dirinya menyadari tindakan yang Gianjoyo lakukan hanya untuk pengalihan semata. Xue lalu menuju kamar tempat Kirana bersembunyi tanpa perduli Gianjoyo berusaha menahannya.
Gianjoyo tidak memiliki pilihan lain kecuali bertarung hidup dan mati, dirinya mengambil sebilah pedang yang tergantung disalah satu dinding rumahnya dan langsung menghunuskan pedang itu tepat kearah Xue. Tetapi Xue sedikitpun tidak bergeming ketika pedang Gianjoyo menembus bagian dada tepat kearah jantungnya.
Namun serangan Gianjoyo berbalik arah, pedang yang menembus jantung Xue tiba-tiba menembus jantungnya sendiri. Dalam keadaan panik Gianjoyo berusaha menarik pedangnya tetapi Xue justru mendekatkan diri kepada Gianjoyo yang membuat Gianjoyo semakin kesakitan.
“Siapakah orang ini? Batin Gianjoyo.
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”