Sudah berapa banyak orang mati di tanganku. Sudah berapa banyak air mata terjatuh karena tindakanku. Namun sampai saat ini, aku belum menemukan orang yang aku cari untuk membalakan dendam kedua orang tuaku. Perjalanan ini, akan menjadi perjalanan yang panjang sampai aku dapat membunuh orang itu bersama dengan kekuatan yang meluap dari dalam tubuhku ini. Ya, dia adalah teman sekaligus guru bagiku, Manggala. Bersamanya aku akan menjadi pendekar nomer satu di dunia persilatan dan melampaui batas para pendekar terdahulu. Menara kebebasan telah membuatku menjadi orang yang dapat melakukan segala sesuai keinginanku, tetapi untuk itu aku harus membayarnya dengan keringat dan darah demi mendapatkan sumber daya yang aku inginkan. “Hia..”
View MoreGianjoyo dan Kirana bisa dikatakan orang yang beruntung saat mereka mendapatkan seorang anak laki-laki yang mereka namai Lengkukup. Dia memiliki bakat seorang pendekar sejak kecil, Lengkukup diberkahi kemampuan mempelajari sesuatu dengan cepat.Kemampuannya itu tentu menjadi daya tarik bagi sebagian orang, tetapi beberapa dari orang itu menaruh kebencian terhadapnya, mereka iri atas pencapaian yang dilakukan Lengkukup.
Tepat ketika menginjak usia tujuh tahun, sekte Aur Duri mengadakan sayembara untuk anak muda yang berbakat. Banyak yang berpartisipasi disayembara yang diadakan itu dan Lengkukup menjadi salah satu pesertanya.
Lengkukup bukannya menjadi sosok yang membanggakan, tetapi dirinya justru menjadi korban cemoohan dan dianggap curang oleh orang tua anak-anaknya karena Lengkukup dapat dengan mudah mengalahkan musuh-musuhnya. Gianjoyo dan Kirana saat itu melihat Lengkukup dihina bahkan dikucilkan tidak terima atas perlakuan mereka.
“Anakmu tidak mungkin bisa menang, dia pasti curang!” Ucap Shuwan orang tua salah satu peserta.
“Benar, dia tidak mungkin jadi pemenang, anakku bahkan jauh lebih unggul” Sahut orang tua yang lain.
Gianjoyo yang saat itu menemani Lengkukup masih sedikit bersabar dan menahan emosi yang memuncak. Namun tiba-tiba Shuwan melempar Lengkukup dengan sebuah batu yang cukup besar, tetapi belum sempat batu itu mengenai Lengkukup batu itu ditebas oleh Lengkukup dan terbelah menjadi dua bagian.
“Kalian bisa lihat sendiri, anakku bisa melakukannya, kalian bisa bayankan jika batu itu kepala kalian” Gianjoyo berkata dengan nada datar. Beberapa dari mereka hanya bisa terdiam, tetapi tidak dengan Shuwan dirinya tidak terima atas perkataan Gianjoyo. Shuwan kemudian mencabut pedangnya dan menghunuskan pedangnya untuk membungkam Gianjoyo.
“Biadab, tunjukkan kemampuanmu!” Ucap Shuwan menyeringai.
“Lengkukup menjauh dari sini!” Seru Gianjoyo dengan amarah yang memuncak, berusaha menjauhkan anaknya.
Lengkukup seolah mengerti dan dengan cepat menjauh dari tempat pertarungan itu, orang yang tidak bersangkutan segera memberi ruang tanpa berusaha melerai pertarungan yang segera terjadi. Dengan tangan yang memegang pedang, Shuwan langsung menghunuskannya tepat kearah wajah Gianjoyo namun dengan cepat pedang itu seketika ditangkis olehnya.
Pertarungan tidak dapat dihindari, Gianjoyo lantas menendang tepat kearah dada Shuwan, tendangan yang begitu mendadak sehingga Shuwan tidak dapat menghindarinya tepat waktu. Shuwan terpental kebelakang dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Seketika itu juga Gianjoyo dengan cepat menghunuskan pedangnya kearah Shuwan yang masih menghela nafas. Dalam beberapa tarikan nafas, pedang Gianjoyo hendak mengenai tubuh Shuwan, namun dari arah selatan melesat sebuah panah yang membuat pedang Gianjoyo terlepas dari tangannya.
“Cukup ayah, hentikan!” Seru Lengkukup dari kejauhan.
Beberapa detik berlalu ketika Gianjoyo tidak melanjutkan serangannya, Gianjoyo sebenarnya tidak ingin melukai siapapun apalagi untuk membunuh. Disisi lain Shuwan tidak terima atas kekalahannya dan berusaha menusuk Gianjoyo dari belakang, sebuah pisau kecil menancap tepat dibagian belakang Gianjoyo dan membuatnya berlumuran darah.
Serangan Shuwan tidak berlanjut ketika tangannya terasa keram, rupanya pada saat yang hampir bersamaan Lengkukup melemparkan pedangnya, meskipun Lengkukup tidak mempunyai tenaga dalam besar tetapi karena dirinya pandai memainkan pedang sehingga pedang itu dapat dengan mudah menembus pergelangan tangan Shuwan. Shuwan yang terkejut karena tangannya terluka cukup parah langsung menyelamatkan diri sambil mengutuk Lengkukup “Biadab tunggu pembalasanku, hidupmu tidak akan tenang.”
Gianjoyo yang saat itu terluka akibat serangan Shuwan tidak mengejarnya, melainkan langsung menyelamatkan Lengkukup dan istrinya lari dari tempat itu. Setelah beberapa saat mereka melarikan diri, mereka bergegas mengambil barang-barang yang ada dirumahnya, tentu hanya barang yang bisa mereka bawa dengan cepat seperti pakaian dan beberapa koin emas, yang disimpan Gianjoyo dibawah lantai.
Kirana dan Gianjoyo kemudian mencari sebuah desa untuk ditinggali setelah dia meninggalkan sekte Aur Duri demi keselamatan keluarganya. Sudah beberapa saat mereka berjalan tanpa arah dan tujuan, penat dan lelah menghinggapi pundak Gianjoyo sehingga dirinya hampir tidak bisa melanjutkan perjalannya.
Kirana hanya bisa mematung sesaat melihat keadaan suaminya, dirinya ingin membantu tetapi tangan kecil Kirana hampir tidak bisa melakukan apapun untuk Gianjoyo. “Kita akan kesana!” Ucap Gianjoyo yang tersandar dibawah pohon karena darahnya cukup banyak keluar. Kirana dan Lengkukup menoleh hampir bersamaan dan melihat kearah yang sama.
Tepat ditepi hutan tampak sebuah desa kecil, keberadaannya cukup jauh dari sekte Aur Duri, Gianjoyo menduga tidak akan ada yang mengejar mereka, karena jarak yang sudah mereka tempuh sudah cukup lama. Dalam hitungan menit merekapun tiba didesa yang dimaksut, tidak ada penjagaan bahkan desa itu terlihat tidak berpenghuni.
Namun tiba-tiba datang seorang sepuh yang mengagetkan mereka, “mau kemana kalian?” Ucap sepuh itu. Gianjoyo tidak sedikitpun menampakkan dirinya ketakutan tetapi tidak dengan Kirana, dirinya sedikit menyembunyikan muka dibalik tubuh Gianjoyo sedangkan legnkukup hanya bersikap datar.
“Kami ingin tinggal didesa ini, apakah kami bisa…” Gianjoyo menjawab pertanyaan sepuh itu, tetapi belum sempat Gianjoyo melanjutkan perkataannya, datang seorang pria paruh baya “kalian lebih baik pergi dari sini, tempat ini tidak aman buat pendatang baru seperti kalian.”
Gianjoyo berniat dengan sisa uang yang dibawanya, dirinya ingin membeli satu buah rumah yang ada didesa. “Aku ingin membeli satu buah rumah, apakah ini cukup?” Gianjoyo mengeluarkan kepingan emas dari kantong kulit yang dibawanya. Seketika mata sepuh dan pria paruh baya itu tampak berkaca-kaca melihat kepingan emas yang ada ditangan Gianjoyo, “tentu saja, itu lebih dari cukup.” Tanpa perlu menunggu akhirnya mereka sudah dapat tinggal didesa yang bernama Impit Bukit.
Tidak terasa sudah tiga hari mereka tinggal didesa Impit Bukit, luka pada tubuh Gianjoyopun sudah semakin membaik berkat Kirana yang merawatnya dengan sabar, dalam hati Gianjoyo penasaran dengan sebuah rumah yang berada disudut desa, dirinya pernah melihat ada seseorang berada disana. Gianjoyo lantas bertanya kepada sepuh desa yang beberapa hari lalu ditemuinya. “Kencana Emas, dia bukan penjahat kita harusnya beruntung dia ada disini. justru karna dia ada ditempat ini, banyak penjahat dan bandit gunung mengurungkan niatnya” ucap sepuh itu sambil tersenyum. Gianjoyo ingin bertanya lebih banyak namun tiba-tiba seseorang datang melapor kepada sepuh, orang itu merupakan penduduk desa dirinya mengaku melihat Kencana Emas sedang menyandera seorang anak kecil.
“Anak kecil?” pekik Gianjoyo dengan sedikit memucat, sepuh itu juga sempat terkejut atas laporan barusan. Dengan sedikit tergesa mereka memeriksa ketempat kediaman Kencana Emas. Setibanya ditempat itu, Gianjoyo dan sepuh tua melihat Kencana Emas yang dalam keadaan mencekik Lengkukup.
“Lepaskan! Apa yang kau lakukan terhadap anakku?” Gianjoyo berucap dengan nada menantang. Kencana Emas sedikit menaikkan alisnya, dirinya melihat dengan jelas kedatangan Gianjoyo dan sepuh tua kerumahnya,Kencana hanya bisa menebak jika kedatangan mereka untuk anak kecil yang sedang dalam genggamannya. kencana tidak menghiraukan pertanyaan Gianjoyo dia lantas balik bertanya “Siapa kalian, dan apa yang kalian lakukan ditempat ini?”
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments