Share

Hutan Siluman Ilusi

"Apa kita akan menepi di pantai ini? Tanya Arya Dewantara.

"Dari sini bukit Kulon lebih dekat untuk dicapai. Kita butuh berjalan lagi untuk menuju ke sana," ucap Aji Saka. Ia menurunkan jangkar kapal layarnya.

"Aku merasa hutan itu sangat berbeda dari hutan kebanyakannya. Entahlah, aku merasa ada yang aneh di dalam hutan itu," pikir Dewi Kinanti sambil menunjuk ke arah hutan lebat.

Aji Saja menurunkan satu perahu kayu kecil untuk menyeberangi laut menuju pantai. Karena tidak adanya dermaga, jadi kapal layar tersebut harus berlabuh di tengah laut.

"Tenanglah Dewi Kinanti. Itu hanya hutan purba yang konon ada siluman, Buto dan beberapa manusia liar pemakan manusia." Aji Saka mencoba menakuti wanita itu.

Arya Dewantara dan Aji Saka mendayung perahu tersebut hingga akhirnya bisa menepi di tepi pantai. Dewi Kinanti merasa ada yang tidak beres dengan hutan di depan dirinya.

"Kita butuh semalaman untuk berlayar sampai ke sini, bukankah lebih baik untuk mengisi perut dulu sebelum menyusuri hutan purba ini?" Pikir Aji Saka.

"Aku setuju. Perutku sudah seperti orkes gamelan. Aku akan mencari kayu bakar di pinggiran hutan." Arya Dewantara segera menyusuri gelapnya hutan. Namun ia hanya akan menggeledah area tepian hutan untuk berjaga-jaga.

"Aku akan menangkap beberapa ikan. Dewi, kau bisa mengurus perapian dan menu hari ini, 'kan?" Aji Saja tersenyum.

"Baiklah, aku akan mengurus dua bayi tua dengan baik!" Dewi Kinanti menyindir kedua laki-laki itu.

Aji Saka hanya memberi tanda dengan satu ibu jari tangannya terangkat ke atas. Ia menunjukkan rasa setuju atas ucapan dari Dewi Kinanti.

Selagi kedua pria muda itu sibuk, Dewi Kinanti coba merapikan tempat yang akan dibuat untuk perapian. Ia juga mengambil beberapa lembar daun untuk tempat makanan.

Di lain tempat, Arya Dewantara yang sedang memungut beberapa kayu dari ranting dan batang pohon yang jatuh merasa bila dirinya seperti sedang diikuti. Sekilas ia melihat ada penampakan satu sosok di depan dirinya. Agak jauh, namun ia masih tampak jelas melihatnya.

"Apa itu?" Arya Dewantara merasa bingung.

Sosok tersebut memiliki kepala seekor kerbau dan badan seperti manusia. Ia sedang bersantai dan duduk di bawah batang pohon yang besar.

Tanpa pikir panjang, Arya Dewantara menghampiri sosok itu.

"Siapa ka–," ketika ia ingin bertanya, Arya Dewantara langsung merasa tubuhnya melayang jauh ke sebuah tempat yang sangat ia kenal.

"I–ini?" Arya Dewantara terkejut ketika dirinya berada di desa Cikulon.

Di depan dirinya ada sosok Dewi Sekar Harum yang terlihat begitu ceria dan sehat.

"I–ibu?" Arya Dewantara merasa bingung.

"Ada apa, Arya?" Tanya Dewi Sekar Harum.

"Ke–kenapa ibu masih hidup?" Arya Dewantara merasa ada yang salah dengan apa yang ia lihat.

"Apa maksudmu? Ibu memang masih hidup. Ada apa denganmu? Kau tidak mabuk, 'kan?" Dewi Sekar Harum merasa khawatir sampai memegang dahi anaknya.

"Mungkin…." Arya Dewantara merasa benar-benar bingung.

Ia melihat sekitarnya. Desa Cikulon menjadi sangat normal. Mereka yang dilihat oleh Arya Dewantara tewas saat pemberontakan terjadi, malah hidup dan beraktivitas seperti biasanya.

"Ada apa ini? Kenapa desa Cikulon bisa seramai ini?" Arya Dewantara masih sangat bingung dan heran.

"Mungkin sebaiknya kau jangan melakukan kontak dengan mereka yang berada di sini." Sesosok berpakaian putih dengan tudung menutupi wajahnya memberikan peringatan kepada Arya Dewantara.

"Siapa kau?" Tanya Arya Dewantara.

"Salah satu dari penghuni hutan siluman ilusi," jawab pria bertudung putih.

Arya Dewantara terkejut ketika mengetahui bila hutan tersebut adalah tempat tinggal dari para siluman ilusi. Ia pernah mendengar tentang bahayanya sebuah hutan purba di barat desa Cikulon. Sebuah hutan yang ditinggali oleh para siluman yang mencari mangsanya dengan membawa sang mangsa ke dalam dunia ilusi.

"Aku pernah mendengar tentang hutan ini. Aku harus keluar dari sini!" Arya Dewantara menjadi sangat panik. Ia langsung berlarian ke sana kemari dan mencari jalan keluar.

"Hentikan, kau akan menarik perhatian para siluman itu," ucap sosok bertudung putih.

Tiba-tiba semua mata yang berada disekitar Arya Dewantara memandangi dirinya. Bahkan ibunya sendiri juga menatapnya dengan tajam tanpa ekspresi apa-apa.

"Ke–kenapa mereka semua menatapku seperti itu?" Arya Dewantara merasa ada yang aneh.

"Karena mereka semua adalah siluman dan kau adalah mangsanya. Jadi, sangat normal bila pemangsa menatap mangsanya dengan begitu menggiurkan." Sosok bertudung putih berdiri tepat di samping Arya Dewantara. Ia mencoba melindungi pemuda itu.

"Lalu apa yang kau lakukan? Kau bukan salah satu dari mereka?" Tanya Arya Dewantara.

"Tidak, aku berbeda." Pria bertudung putih menoleh ke arah para siluman yang semakin mendekati mereka berdua.

Sosok bertudung putih langsung menciptakan sebuah tongkat berwarna putih panjang yang berasal dari gading gajah. Ia menghentakkannya ke tanah dan secepat mungkin sebuah cahaya berpendar dari pucuk tongkatnya.

Cahaya tersebut terus berpendar dan membuat para siluman tersebut mundur ke belakang secara perlahan-lahan.

"Lu–luar biasa. Siapa kau sebenarnya?" Arya Dewantara merasa takjub.

"Kau akan tahu nanti pada waktunya. Sekarang, pergi temui teman wanitamu dan cegah ia untuk membunuh dirinya sendiri. Tusuk keningnya dengan jarum untuk menyadarkannya," ungkap pria bertudung putih.

Ia menghentakkan sekali lagi tongkatnya ke tanah.

DUK!!!

Seketika Arya Dewantara terbangun dari perangkap ilusi. Ia melihat ada sesosok siluman berkepala kerbau tersenyum lebar ke arahnya tanpa melakukan apa-apa. Hanya tersenyum dan menatap tajam ke arah pemuda itu.

Dengan cepat Arya Dewantara langsung berbalik arah dan lari secepat mungkin dengan perasaan merinding. Ia langsung menuju ke tempat Dewi Kinanti.

"Dewi!" Arya Dewantara langsung menangkap tangan kanan Dewi Kinanti yang sedang mengarahkan pisau bedah ke pergelangan tangan kirinya.

"Apa yang kau lakukan! Kau ingin mati?!" Arya Dewantara langsung mengambil satu jarum dari perlengkapan Dewi Kinanti.

Ia menusukkan jarum kecil itu ke dahi tengah Dewi Kinanti dengan lembut. Ketika darah segar mengalir keluar, seketika saja kesadaran wanita itu kembali pulih.

"A–apa yang terjadi? Kenapa kau di sini? Bukankah kau sedang mencari kayu bakar?" Dewi Kinanti merasa bingung.

"Bodoh! Kenapa kau bisa terperangkap di dalam ilusi! Kau hampir menyayat pergelangan tanganmu sendiri!" Arya Dewantara merasa sangat cemas.

"Hah? Be–benarkah itu?"

"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba aku berada di sebuah desa dan sedang dijamu untuk makan bersama. Di sana ada dirimu dan Aji Saka. Kita bertiga duduk makan di meja kayu panjang. Dan aku sedang ingin memotong daging bakar," ungkap Dewi Kinanti.

"Dewi, tolong tetap sadar. Ini adalah hutan para siluman ilusi. Mereka hadir dengan menggunakan semacam trik dan tipu daya untuk membawa kita masuk ke dalam ilusinya. Aku harus melihat apakah Aji Saka baik-baik saja atau tidak. Tunggu sebentar, dan jangan melamun!" Arya Dewantara segera menghampiri Aji Saka yang sedang menangkap ikan.

Dewi Kinanti yang berada di pinggiran hutan merasa takut akan kuasa dari para siluman ilusi tersebut. Ia tidak tahu bagaimana caranya menjaga agar dirinya tetap terjaga dan tidak membayangkan hal yang aneh-aneh.

"Kau tidak apa-apa!" Arya Dewantara melihat Aji Saka tidak bergerak. Ia hanya berdiri diam di tengah terjangan ombak dan membelakangi Arya Dewantara.

"Aji Saka?" Arya Dewantara mendekati temannya. Ia terkejut ketika melihat Aji Saka melongo dengan tatapan pucat dan pandangan matanya kosong.

AJI!!!

Arya Dewantara segera membopong tubuh temannya di punggung dan membawanya menuju ke tempat Dewi Kinanti.

"Dewi! Tolong!" Arya Dewantara segera meletakkan tubuh Aji Saka di atas pasir.

"Ke–kenapa dengannya? Apa yang terjadi!" Dewi Kinanti merasa bingung ketika melihat tubuh Aji Saka terasa begitu dingin dan kaku. Mulutnya terbuka dan matanya menatap kosong ke depan. Belum lagi, kulitnya tampak putih pucat.

"Coba periksa nadinya!" Arya Dewantara langsung melepaskan satu lapis pakaiannya. Ia meletakkan pakaiannya tersebut di atas tubuh temannya.

Dewi Kinanti masih merasakan denyut nadi dari Aji Saka, meski pun denyut nadinya tidak beraturan. Namun ia tidak mengerti kenapa keadaannya bisa menjadi seperti itu.

"Apa mungkin ini ilusi?" Dewi Kinanti menoleh cepat ke Arya Dewantara.

"Benar juga!" Arya Dewantara langsung menusuk dahi dari Aji Saka.

Ketika darah segar keluar dari dahi tengah Aji Saka perlahan kulit pucat pemuda itu kembali seperti sedia kala. Denyut nadinya yang tidak teratur telah kembali normal.

Perlahan kesadaran dari Aji Saka kembali. Pemuda itu membuka kedua matanya secara perlahan. Ia menoleh ke arah kedua temannya.

"A–apa yang terjadi? Di mana Ki Semar Ismaya? Tadi ia berada di sampingku," ucap Aji Saka.

"Tidak ada Ki Semar Ismaya. Yang ada hanya kami. Kau terkena ilusi dan berada di alam ilusi. Ki Semar Ismaya yang kau lihat adalah sosok siluman ilusi yang mencoba untuk memangsa jiwamu," ungkap Arya Dewantara.

"Ja–jadi begitu…." Aji Saka merasa syok.

"Aji, kau bilang sudah sering berkunjung ke bukit Kulon. Kenapa kau tidak tahu tentang hutan ini?" Arya Dewantara merasa ada yang aneh dengan perkataan Aji Saka sebelumnya.

"Aku tidak pernah melewati hutan ini untuk menuju ke bukit Kulon. Aku melewati jalur utara dan berbelok ke arah barat. Aku baru ingat, hutan ini pernah diperingatkan oleh Ki Semar Ismaya. Maaf, aku tidak tahu bila ternyata hutan ini sangat berbahaya," ungkap Aji Saka.

"Sepertinya ucapan Ki Semar Ismaya ada benarnya juga. Kalian mungkin harus melihat ini. Ada kerbau, kambing, domba dan babi yang memiliki tubuh seperti layaknya seorang manusia!" Dewi Kinanti terkejut ketika menyaksikan penampakan para siluman tersebut.

Arya Dewantara dan Aji Saka sangat terkejut ketika melihat penampakan para siluman itu. Ia tidak menyangka bila mereka bertiga bisa bertemu dengan makhluk jadi-jadian seperti itu.

"Arya, siapkan pedangmu!" Aji Saka langsung menghunuskan goloknya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status