Sebagai panglima muda era kuno yang gagah, Arjanuwanggabrata tak bisa menerima ketika jiwanya terlempar ke zaman modern dan menempati raga CEO pecundang. Namun, dia mendapatkan bonus istri cantik meski cintanya begitu besar pada Ndoro Putri Sarnika. Tak disangka, Dewata memberinya kejutan besar seakan belum puas bercanda dengan nasibnya. Apa itu? ========= Haihai, Diabolickiz! Yuk kulik IG @gauchediablo___ untuk dapatkan berbagai info seputar buku-buku Gauche Diablo di sana. ~*~
view more‘Sang Hyang Widhi! Inikah hidup untuk hamba? Berakhir begini saja? Hamba harus mati di usia muda tanpa keluarga! Inikah keadilanmu, Gusti Sang Hyang Widhi?’ Di detik-detik terakhir kehidupannya, Arjanuwanggabrata menyeru kepada Dewata di hatinya.
Meski begitu, dia masih sempat berbisik lirih, “Tapi … hamba puas karena bisa mati bersama perempuan yang hamba cintai. Tuan Putri Sarnika, maafkan hamba yang tidak berguna menjaga Tuanku. Ndoro Putri adalah cinta sejatiku … selamanya.”
Namun, Arjanuwanggabrata seperti mendengar suara lembut tuan putri di sampingnya, “Tuan Panglima, aku bahagia bisa mati bersamamu. Hari ini sungguh sebuah kebahagiaan terbesar dalam hidupku.”
Hah?
Zap!
Mata Arjanuwanggabrata segera membuka dengan cepat disertai helaan napas keras dan jantung berdegup kencang, seakan-akan dia baru terjaga dari mimpi mengerikan.
Yang dia ingat terakhir kalinya hanyalah pelukan tuan putri pada lengannya dan bisikan Beliau, lalu sinar merah terang membutakan dan menutup pengelihatannya.
Segera saja, usai tubuh Arjanuwanggabrata bergerak karena terkejut, banyak orang lari berhamburan keluar. Keadaan menjadi gempar seketika.
Ada yang berteriak, “Mayat hidup!”
“Mayatnya hidup lagi!” timpal yang lainnya sambil berlari.
Dengan cepat, beberapa orang dewasa masuk ke ruangan tersebut dan menyaksikan orang yang sudah menjadi jenazah dan siap dikubur, saat ini sedang duduk terbatuk-batuk disertai napas tersengal-sengal.
“Ju—Juna? Kamu masih hidup? Apakah kamu masih hidup?” Lelaki berumur pertengahan 50-an mencoba mendekat ke Arjanuwanggabrata yang masih linglung.
‘Juna?’ Hati sang panglima bertanya. Dia menatap lelaki itu dan kemudian sekitarnya. Sebuah tempat yang aneh dan asing. Bahkan, tata rumahnya tidak selayaknya yang lazim di kerajaannya. Apakah ini kerajaan lain? Dia berhasil selamat dari jurang?
Kemudian, muncul wanita cantik dari belakang lelaki paruh baya tadi dan memekik, “Juna hidup lagi, Mas! Dia itu hidup lagi! Tidak jadi mati!”
Lelaki paruh baya menatap ke wanita cantik tadi, berkata, “Kamu yakin?”
“Mas ini bagaimana, sih? Lihat itu, wajahnya tidak pucat seperti tadi, sudah ada rona warnanya, itu tandanya dia hidup lagi!” Demikian kata si wanita. “Mana Nita? Panggil Nita, bilang kalau suaminya hidup lagi!”
‘Juna? Kenapa mereka memanggilku demikian? Tapi lebih baik aku diam dan mengamati situasi dulu.’ Arjanuwanggabrata masih belum paham kerajaan mana yang telah menyelamatkan dia.
Kabar mengenai Juna atau Arjuna telah hidup kembali dan baru saja mengalami mati suri pun merebak di lingkungan tersebut.
Kemudian, muncul sosok wanita muda lainnya, tak kalah cantik dengan yang dipanggil Wen. Wanita muda itu menubruk Arjanuwanggabrata dan terisak keras sembari memeluk. “Juna! Ya ampun, Juna! Ternyata kamu tidak jadi mati! Ya ampun, Juna! Hu hu hu … hampir saja kau dikubur hidup-hidup!”
Mendapatkan pelukan dari wanita muda nan cantik, lelaki mana yang sanggup menolak? Meski kebingungan, tapi Arjanuwanggabrata tidak keberatan dipeluk demikian erat oleh wanita tersebut.
Tak sampai menit berganti, pelukan itu dilepas si wanita dan menatap Arjanuwanggabrata dengan mata yang dikerjap-kerjapkan, membuat dia bertanya-tanya, kenapa tak ada lelehan air mata? Atau mungkin sudah mengering dengan cepat saat memeluk tadi. Dia membalas tatapan itu.
Ya, wanita muda di depannya ini memang cantik, matanya lebar dengan bulu mata panjang dan alis melengkung tipis. Bibirnya cukup tipis tapi tetap terlihat menarik, apalagi diberi pemerah seperti itu. Di zaman Arjanuwanggabrata, hanya wanita dari golongan ningrat saja yang boleh memberi pemerah pada bibir. Apakah wanita ini seorang tuan putri?
Mengingat tuan putri, Arjanuwanggabrata teringat akan tuan putri tercintanya. Apakah tuan putri juga selamat seperti dirinya? Di mana Beliau sekarang? Apakah kerajaan lain menyelamatkannya?
“Juna! Bicaralah! Jangan diam saja seperti orang tolol, kau ini!” Wanita cantik itu berteriak di depan wajahnya, mengakibatkan Arjanuwanggabrata terkejut.
‘Kenapa aku disebut tolol? Apa salahku?’ Arjanuwanggabrata bertanya di hatinya. Dia akhirnya mencoba bersuara setelah wanita bernama Wen memberinya segelas air putih. Dia meneguk dulu air itu, sungguh nyaman sekali ketika membasahi tenggorokannya. “Ahhh!”
“Nita, biarkan suamimu istirahat di kamar, jangan banyak diajak bicara dulu.” Wanita bernama Wen berbicara ke wanita muda yang ternyata bernama Nita.
‘Tunggu dulu! Apa tadi kata si Wen?’ Arjanuwanggabrata menyeru di benaknya. ‘Suami? Suami siapa? Suami dari si cantik ini?’ Mata si panglima kuno menatap lekat pada Nita.
“Nita, bawa Juna ke kamar. Dia pasti masih bingung karena mati surinya.” Lelaki paruh baya tadi berkata kepada Nita.
‘Jadi … dia bernama Nita? Dia istriku?’ Arjanuwanggabrata kini paham. Namun, baru saja dia hendak berdiri dibantu istrinya, mendadak saja kepalanya terserang sakit berdenyut luar biasa. “Erkh!” Dia sampai meremas rambut dengan ekspresi kesakitan. Tubuhnya limbung.
“Juna!” Lelaki paruh baya dan si Wen berteriak bersama-sama sambil meraih tubuh limbung Arjanuwanggabrata sebelum menghantam lantai.
Arjanuwanggabrata mencoba bertahan, berusaha tetap berdiri pada kedua kakinya meski kepala sakit bukan main.
Di saat sakit seperti itu, seperti ada yang melintas cepat di otaknya bagaikan pijar demi pijar adegan yang memercik di sana, memberikan kilasan aneh.
Ada adegan sosok mirip dia bertemu dengan istrinya yang dipanggil Nita tadi, dan mereka sepertinya jauh lebih muda dari saat ini.
Ada pula adegan pernikahan mereka dan malam pertama yang hampa karena si istri menolak disentuh.
Lalu adegan istrinya marah-marah saat hamil dan ada pula adegan sang istri menangis keras ketika dinyatakan keguguran.
Semuanya muncul seperti potongan-potongan memori yang menyerbu kepalanya. Kemudian, ada kilasan ingatan mengenai dia berenang di danau dan kemudian dia seperti panik di dalam air, dan kemudian kilasan itu berhenti.
Ketika kilasan memori yang sangat cepat itu selesai, napas Arjanuwanggabrata tersengal-sengal diiringi peluh mengucur di sekujur tubuhnya. Dia dipapah si lelaki paruh baya dan si Wen ke sebuah kamar.
Setelah mencapai tempat tidur dan duduk tenang di sana, Arjanuwanggabrata menerima suara yang samar di kepalanya, seakan itu memang berasal dari otaknya, bukan dari luar dirinya.
Mendadak saja, dia mendapatkan banyak memori seperti banjir tsunami melanda otaknya, membuat dia sedikit kewalahan menerima luapan informasi yang datang tanpa peringatan.
‘Oh, jadi namaku di tempat ini adalah Arjuna alias Juna. Baiklah.’ Sang panglima mulai menerima namanya berganti menjadi Juna.
‘Lelaki paruh baya tadi bernama Hartono Sasongkojoyo, ayah mertua pemilik badan ini. Lalu, wanita yang dipanggil Wen itu namanya Wenti Karmila, istri muda Hartono.’
‘Hm, jadi mereka suami dan istri.’ Juna bermonolog di dalam hatinya saat dia mulai mengolah informasi yang datang.
‘Istriku di sini bernama Lenita Sasongkojoyo, pemilik tubuh ini memanggilnya Nita atau sayangku. Cih! Panggilan macam apa itu!’ Juna merasa jijik dengan cara Arjuna memanggil istrinya. Secara otomatis, dia menoleh ke wanita yang dikatakan sebagai istrinya.
Namun, informasi yang datang di kepalanya begitu deras hingga dia membatin, “Hei, hei, pelan-pelan, bisa? Aku masih bingung! Tolong pelan agar aku tidak melewatkan satu pun hal yang perlu kuketahui mengenai pemilik tubuh ini.’
Seakan memahami keinginan Juna, mendadak saja informasi yang datang mulai bergulir pelan dan terkadang mengulang jika itu belum sempat ditelaah Juna dengan seksama.
‘Terima kasih! Aku memang butuh semua informasi di sini, karena aku tak tahu, aku berada di mana dan di kerajaan apa ini.’ Si mantan panglima memejamkan mata sambil bergerak patuh ketika tubuhnya direbahkan oleh istrinya, Lenita.
Anehnya, begitu Juna membatin kalimat tadi, seakan sesuatu di kepalanya memberikan informasi yang berkaitan dengan apa yang sedang dipertanyakan.
‘Hah? Tahun 2017? Apakah itu tahun 2017 Jawa Purwa? Bukan? Ini juga bukan kerajaan melainkan kota Samanggi? Negara Nusantara?’
Juna dan ketiga istrinya mengangguk. “Kami akan berusaha untuk itu, Ma. Terus doakan kami agar selalu memiliki hal baik.” Juna menanggapi Wenti. Kemudian, keningnya berkerut, “Ma, apakah Mama akhir-akhir ini sering cepat lelah dan mual?” “Eh, kok tahu?” Wenti terhenyak kaget. Namun, kemudian dia sadar bahwa putra angkatnya ini bukan manusia sembarangan. “Selamat, Ma!” Juna maju untuk memberikan pelukan tulus ke Wenti. Anika dan Shevia paham makna ucapan Juna dan mereka bergantian mengucapkan selamat pula sambil memeluk Wenti. “Eh? Mama kenapa?” Rinjani belum paham. “Mama sudah hamil lagi, Kak.” Shevia menjelaskan. Di antara mereka, Rinjani memang yang paling hebat jika itu mengenai intuisi bisnis, tapi dia payah dalam aspek lainnya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Wenti menanggapinya dengan senyum simpul dan sedikit malu-malu. *** “Ya ampun, lihat mereka! Sungguh keluarga besar yang ramai.” Seseorang menahan pekikannya ketika melihat Juna dan keluarga kecil dia tu
“Ya ampun, lucu sekali dia! Cantiknya ….” Rinjani sambil menggendong bayinya, dia menoleh ke bayi Shevia.“Dedek bayinya Kak Rin juga ganteng, tuh!” Shevia menunjuk bayi di gendongan Rinjani dengan dagunya.Mereka saling memuji bayi milik madu masing-masing.“Mbak Anika masih menyusui anaknya, yah?” tanya Shevia setelah dia berhasil menidurkan bayinya.“Iya. Masih di kamar. Semua anaknya tenang sekali, jarang menangis. Benar-benar bayi kalem seperti ibunya.” Rinjani mengomentari anak kembar Anika.Kemudian, pintu depan terbuka dan masuklah Juna yang baru pulang dari kantornya.“Mana jagoan-jagoanku?” tanya Juna sambil mendekat ke mereka dan mulai mencium bayi-bayinya di gendongan ibunya masing-masing. “BIntang … umcchh! Wulan … umchh! Sudah wangi semua!”“Lah ini anakku masa sih dipanggil jagoan?” Shevia sambil mengangkat sedikit bayi perempuan di gendongannya.“Lho, dia ini nantinya seorang jagoan wanita! Menjadi perempuan kuat yang akan melindungi orang tertindas dan menebar kebajik
“Wah, gedungmu begitu wow sekali, Jun!” Rinjani menatap gedung baru Juna. Matanya berkeliling menelisik semua interior di sana.“Ini juga berkat bantuanmu.” Juna berkata di dekat telinga Rinjani.“Kok aku?” tanya Rinjani sambil menjauhkan kepalanya dari Juna untuk menatap suaminya dari jarak yang tepat.“Kamu kira aku tidak tahu kalau kau mengirim investor gadungan untuk membantu pendanaan untuk gedung ini, hm?” Juna sambil mencubit lembut pinggang Rinjani.Karena sudah ketahuan begitu, Rinjani hanya bisa tertawa. Shevia dan Anika di sebelahnya tersenyum.Siang ini, mereka baru saja mengadakan peresmian gedung baru apartemen Juna yang besar dan spektakuler. Meski bukan merupakan apartemen paling wah dan nomor satu di Samanggi, namun tetap mencuri perhatian publik karena dimiliki oleh pengusaha muda dengan berbagai gonjang-ganjing isu di belakangnya.Isu paling sering dibicarakan publik mengenai Juna belakangan ini tentu saja tidak lain dan tak bukan adalah mengenai ketiga istrinya yan
“Hah? Om Fer yakin dengan berita yang Om terima?” tanya Juna saat dia berbicara dengan pengacaranya, Ferdinand, di telepon. “Sangat yakin, Jun! Periksa saja ke rutan kejaksaan. Oh, atau untuk lebih akuratnya, datang saja ke rumahnya, pasti sedang ramai di sana.” Ferdinand menyahut dari seberang. Juna tak bisa berkata-kata. Dia segera mengakhiri teleponnya dengan si pengacara. “Ada apa, Jun?” tanya Rinjani dengan wajah ingin tahu. “Berita apa? Ada berita apa dari Om Fer?” Dia semakin mendekat ke Juna di sofa ruang tengah. Anika datang sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir wedang cokelat jahe dan camilan buatannya seperti kue pukis dan bakwan jagung. “Bobby meninggal tadi sore.” Juna berkata sambil menatap Anika dan Rinjani secara bergantian. “Hah?!” pekik Rinjani karena terlalu kaget dengan berita yang diucapkan suaminya. Juna mengangguk ke istrinya. “Ada apa? Siapa yang meninggal?” Shevia keluar dari kamarnya karena suara pekikan Rinjani terdengar hingga ke telinganya.
“Ti—Tidak begitu! Ular sialan!” geram Nyai Mirah dan dia mulai mengejar Nyai Wungu yang melarikan diri sambil tertawa melengking meledek permaisuri Ki Amok itu.Kemudian, Ki Amok memanggil Nyai Mirah untuk pulang bersamanya ke istana mereka. Nyai Mirah segera berdiri melayang di sebelah Ki Amok dengan wajah merona menyebabkan kulitnya semakin memerah.“Kami pulang dulu. Nanti jika Mirah dibutuhkan lagi oleh istrimu, panggil saja, tak apa, tapi itu harus benar-benar gawat. Kalian pasti mengerti maksudku, ‘kan?” Ki Amok berkata ke Juna yang masih membopong Anika.‘Ya, ya, ya, aku paham. Intinya kami tidak boleh mengganggu kemesraan kalian berdua kecuali sangat gawat darurat.’ Juna membatin menanggapi Ki Amok.“Ya, kami paham, Ki. Terima kasih, sekali lagi untuk Anda dan pasukan, juga terima kasih pada Nyai Mirah atas bantuannya.” Juna mengangguk sebagai tanda dia menghargai mereka.Kemudian, kereta kencana Ki Amok pun pergi dari sana.Juna menoleh ke Nyai Wungu dan bertanya, “Apakah Nya
‘Apakah Dewi Salwapadmi menyaksikan aku dan Nik … bercinta selama ini?’ Juna memiliki pemikiran demikian. Ya ampun, Juna mendadak saja super malu jika mengingat seperti apa dia memesumi Anika selama ini. Belum lagi tingkah dia saat menggauli Anika. Dia bertanya-tanya, apakah itu disaksikan dan juga dirasakan sang dewi? Mendadak saja senyum lebar dan menahan geli dari Dewi Salwapadmi muncul saat dia bertutur ke Juna, “Jangan khawatir mengenai itu, Tuan Panglima. Aku selama ini tertidur di raga Anika dan mulai terbangkitkan ketika bertarung melawan mantan istrimu.” Mendengar ucapan Dewi Salwapadmi melalui mulut Anika, Juna merasa sangat lega sekaligus malu karena pikirannya ternyata bisa dibaca sang dewi. “A—Ah, iya, baiklah, Ndoro Dewi. Terima kasih penjelasannya.” Juna sedikit merona karena malu. Kemudian, Dewi Salwapadmi menoleh ke Nyai Mirah, dia berkata, “Nyai Mirah, aku sungguh tersentuh dengan pengabdianmu yang luar biasa pada ndoro putrimu ini. Tingkah lakumu sejak dulu jug
“Semua sudah usai?” Juna terengah-engah sambil menanyakan itu pada dirinya sendiri meski itu sebuah gumaman rendah. Anika bergegas terbang ke suaminya dan menyebelahinya di angkasa. Sedangkan Juna mulai merasakan armor yang melingkupi tubuhnya mulai memudar hilang secara perlahan. “Mas … semua sudah selesai. Pertarungan telah Mas menangkan.” Anika tersenyum lembut. Benar, semua sudah usai. Segala ancaman bahaya dan mimpi buruk yang pernah ditakutkan Anika, yang telah menjadi momok baginya selama beberapa minggu ini sekarang lenyap. Seakan batu besar yang mengimpit dada Anika, kini telah terangkat dengan kematian Lexus. Juna menengok ke istrinya sembari dia ikut tersenyum. “Kita yang memenangkan ini, Nik. Kita. Bukan aku saja. Kau, dan semua yang lainnya.” Tentu saja dia tidak boleh mengambil semua kredit yang ada. Bergegas, tangan Juna meraih Anika untuk memeluk wanita itu sembari hatinya berucap syukur pada semesta dan penciptanya yang telah memberikan restu sehingga dia bisa m
“Hm?” Juna mendadak saja merasakan dirinya menjadi lebih bertenaga, energi murninya melonjak tinggi.Setelah dia berpikir cepat, dia merasakan adanya energi dari Shevia dan Rinjani.‘Ternyata mereka.’ Juna tersenyum setelah memahami dari mana energi tambahan untuknya datang secara tak terduga.Saat ini, pedang di tangan Juna menebas tegas ke depan sehingga dengan cepat menyebabkan udara mengalir berputar mengakibatkan munculnya pusaran udara hanya dari ayunan pedang tersebut.Wusshh!Kibasan pedang Juna memicu beberapa ledakan bunyi memekakkan telinga ketika gelombang udara yang tadinya hanya memunculkan pusaran angin, kini berubah menjadi badai, menyapu udara di sekitar Lexus.Energi petir beserta angin badai dari kibasan pedang Juna menyerbu ke Lexus, bagaikan ular raksasa membuka mulutnya hendak menelan Lexus untuk mengunyahnya menjadi ketiadaaan.“Jangan harap semudah itu!” seru Lexus ketika dia juga mengibaskan pedang api hitam di tangannya sehingga energi api miliknya bertabraka
“Jangan sombong dulu, manusia bangs4t!” teriak Lexus pada Juna. “Jangan kau kira karena kau memiliki zirah itu maka kau bisa sekuat aku!”Lexus merobek udara hampa dan mengempaskan angin panas yang bisa membakar kulit manusia biasa dengan segera meski hanya dari hempasan anginnya saja.Juna tidak gentar meski fisik Lexus sudah semirip iblis. Dia memiliki banyak dendam terhadap sosok di depannya. “Kau yang akan berakhir mengenaskan, Lexus!”Zirah di tangan Juna mengumpulkan energi murni yang kini bermuatan energi keilahian.Dhuaarr!Ketika pukulan Juna bertabrakan dengan tinju iblis Lexus, mereka berdua sama-sama terdorong ke belakang. Tapi Juna lekas menerjang maju lagi, tak memberi kesempatan Lexus untuk menarik napas berikutnya.“Kau sudah tak sabar mati, hah?” teriak Lexus sambil mendorongkan energi iblisnya ke arah Juna.Tangan berzirah Juna menangkap kepalan tangan Lexus dan mendorongnya ke samping agar dia bisa menyarangkan tinju di tangan lain ke tubuh Lexus.Dhaakk!Betapa kag
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments