Share

Pencarian Sang Murid 

Golok hitam milik pria bertopeng hampir saja mengenai tubuh dari Arya Dewantara. Namun untungnya Arya bisa menghindar dan mundur ke belakang. Namun ia segera melancarkan serangan lagi dengan mengandalkan teknik bela diri dari perguruan Cikulon. Meski masih belum terlalu luwes, Arya Dewantara berhasil mencegah pria bertopeng bergerak semaunya.

"Dasar pemula! Kau pikir bisa melawanku hanya dengan jurus rendahan seperti itu?!" Ungkap pria bertopeng menggunakan ilmu Kanuragan miliknya.

Ia menggunakan ilmu macan kumbang untuk menangkis serangan dari Arya Dewantara.

SHAT!!!

Tebasan golok hitam mengenai bagian lengan kanan Arya. Ia masih kurang pengalaman untuk melawan pria itu.

"Sial!"

Arya Dewantara kehilangan konsentrasinya. Pisau energi miliknya perlahan menghilang dari kedua tangannya.

"Gawat, Arya belum cukup pengalaman untuk bertarung melawan pria itu!" Pikir Dewi Kinanti. Ia merasa khawatir.

"Bagaimana rasanya golok hitamku? Bukan hanya sakit, tapi golok ini juga dikenal karena memiliki racun yang mematikan. Bila bilah golok ini bercampur dengan darahmu, maka racun yang ada di bilah golok akan langsung menyerap ke dalam tubuh dan mengalir ke seluruh pembuluh darah." Ungkap pria bertopeng itu yang diawali dengan tawa yang keras.

Mendengar hal itu, Arya Dewantara langsung memegangi lukanya. Ia mulai merasakan tubuhnya terasa lumpuh.

"Tanda pertama adalah tubuhmu terasa lumpuh, mata mulai kabur, telinga berdengung dan napas terasa sesak. Lalu secara perlahan kulitmu berubah menjadi biru tua. Ada lebam dan bercak-bercak merah tua. Dan setelah itu, kau akan mati!" Jelas pria itu. 

"Sial! Aku harus segera mengalahkannya!" Ucap Arya Dewantara. Ia menjadi terlalu panik untuk mengumpulkan energinya kembali. Sayangnya, Arya Dewantara tidak mempelajari ilmu kanuragan apa pun dari gurunya.

Namun…

Ia masih ingat tentang satu ilmu kanuragan yang diajarkan oleh kakeknya yang telah tiada. Sayangnya ilmu tersebut masihlah mentah. Tapi dengan teknik pisau energi, ia mungkin bisa menyempurnakan ilmu tersebut.

"Aku harus mencoba ilmu milik kakek! Ada Dewi Kinanti yang harus aku lindungi!" Teriak pemuda itu.

Arya Dewantara membiarkan lukanya terbuka dan darah mengalir ke lengan tangannya. Ia mengumpulkan energi tenaga dalam miliknya. Teknik pernapasan yang digabung dengan energi miliknya membentuk sebuah ilmu kanuragan yang dinamakan ilmu tapak dewa.

Teknik ini masih mentah dan belum sempurna. Tapi dengan teknik pisau energi yang mampu memusatkan energi ke kedua telapak tangan, Arya Dewantara mampu melapisi tangan kanannya dengan energi berwarna hijau dan terus berpendar.

"Apa itu?" Tanya Dewi Kinanti yang merasa terkejut.

"Ilmu tapak dewa. Ini adalah ilmu yang masih mentah dan terlalu riskan untuk menggunakannya, namun aku tidak akan kalah dari pria bertopeng itu!" 

Arya Dewantara mendorong telapak tangannya ke depan.

"Jangan sombong dulu!" Teriak pria bertopeng itu sambil maju untuk menyerang.

Dengan cepat tapak dewa milik Arya Dewantara melemparkan energi besar yang terkumpul di telapak tangan ke arah pria bertopeng. Energi yang terlempar langsung menghantam tubuh pria bertopeng hingga ia terlempar jauh ke belakang.

BUAK!!!

"Ku–kurang ajar!"

Pria bertopeng itu memuntahkan darah dari mulutnya. Ia membuka pakaian di dadanya, sebuah tapak tangan berwarna merah kehitaman membekas di dada pria itu. Dan hebatnya, pembuluh darah milik pria itu mulai pecah satu per satu.

Ilmu tapak dewa milik Arya Dewantara ternyata telah berevolusi karena bergabung dengan teknik pisau energi. Ia tidak hanya menyerang fisik saja, tapi juga menyerang organ dan jaringan di dalam tubuh.

"Lu–luar biasa. Ilmu tapak dewa milikku bisa melakukan hal itu," ucap Arya Dewantara. Ia sangat terkejut.

Seketika pria bertopeng itu langsung tewas karena seluruh pembuluh darah di bagian dadanya pecah.

AAAARGH!!!

Efek dari racun golok hitam milik pria bertopeng mulai dirasakan oleh Arya Dewantara. Ia mulai kehilangan keseimbangan dan berakhir jatuh terduduk.

"Arya!" Teriak Dewi Kinanti yang langsung menghampirinya.

"Ini gawat, racunnya sudah mulai menyebar. Sepertinya aku akan mati di sini," ungkap Arya Dewantara sambil tersenyum. Ia tidak menyangka akan tetap mati setelah berhasil meloloskan diri dari pembantaian itu.

"Jangan bodoh! Aku adalah murid dari ibumu. Aku pasti akan mengobatimu!" Ujar Dewi Kinanti segera yang segera membuka perlengkapan pisau bedahnya.

Ia juga mengambil beberapa tanaman obat yang berada di tas selempang miliknya.

"Kau selalu membawa pisau-pisau itu?" Tanya Arya Dewantara. Pemuda itu merasa takut dengan banyaknya penampakan pisau yang dimiliki oleh Dewi Kinanti.

"Semua ini adalah pemberian ibumu. Mungkin ia tahu bila nanti anaknya yang bodoh akan membahayakan dirinya seperti ini. Makanya ia menyuruhku untuk mempelajari teknik pengobatan dan bedah." Dewi Kinanti mencuci pisau-pisau itu dengan sebuah arak murni yang mengandung alkohol fermentasi.

Ia segera memanaskannya sebentar ke api untuk menetralisir kuman. Setelah itu, Dewi Kinanti langsung membedah luka dari Arya Dewantara. Ia mencoba mengeluarkan serbuk hitam dari golok pria bertopeng agar tidak meresap masuk ke dalam aliran darah.

"Aw! Sakit!"

Arya Dewantara menahan rasa nyilu saat kulitnya disayat.

"Tahan! Kita harus mengeluarkan darahnya!" 

Dewi Kinanti segera menghisap darah dari luka Arya Dewantara dan membuangnya. Ia terus menyedotnya secara terus-menerus. Terlihat wajah Arya begitu malu dan tidak mampu melihat aksi yang dilakukan oleh temannya itu.

"Aku akan merebus dan meracik tanaman obat yang berguna sebagai penawar racunnya. Sementara kunyah ini untuk menghentikan racun semakin menyebar." Dewi Kinanti langsung menyuapkan sebuah daun ke mulut Arya.

"Hah?!"

"Eh…?

"Tu–tunggu!"

UOOK!!!

"Jangan dibuang!" Teriak Dewi Kinanti. Ia segera merebus dan meracik obatnya.

Arya Dewantara merasakan rasa pahit yang teramat parah dari daun yang diberikan oleh Dewi Kinanti. Ia hampir memuntahkan daun itu.

Setelah beberapa lama Dewi Kinanti meracik obatnya, ia langsung menempelkan tumbukan daun obat yang ia racik ke luka milik Arya Dewantara.

AARGH!!!

Obat tersebut sangat perih. Bahkan Arya Dewantara sampai menggigit pakaiannya untuk menahan perihnya.

"Tahan! Atau kau lebih memilih untuk mati?" Ucap Dewi Kinanti. Ia langsung menyayat pakaiannya untuk membungkus obatnya itu. Ia segera mengikat kain itu ke lengan Arya.

"Apa ini akan lama?" Arya bertanya.

"Butuh waktu seharian hingga obatnya mengering. Untuk sementara waktu istirahat dahulu dan jangan banyak bergerak, mengerti?" Dewi Kinanti selesai dengan pengobatannya.

"Bukankah lebih cepat bila aku langsung menutup lukanya?" Tanya Arya Dewantara sambil menatap temannya.

"Kau benar. Namun bila luka itu ditutup dengan pisau energi milikmu, maka racun akan tetap di dalam darahmu dan tetap saja akan membuatmu mati," jelas Dewi Kinanti yang segera membersihkan dirinya.

"Kita harus segera pergi dari gua ini. Aku takut penjahat bertopeng lainnya akan mengikuti kita. Dewi, bantu aku berdiri. Kita sebaiknya melanjutkan perjalanan ke arah selatan," ungkap Arya Dewantara.

Dewi Kinanti tidak memahami maksud dari Arya Dewantara. Baru saja ia selesai mengobati pemuda itu. 

"Apa maksudmu? Ke arah selatan? Untuk apa?" Tanya Dewi Kinanti.

"Untuk bertemu dengan pemuda yang ibuku bilang pernah bertemu dengan Ki Semar Ismaya," jawab Arya Dewantara.

Mendengar hal itu, Dewi Kinanti baru sadar akan perkataan dari temannya. Namun untuk melanjutkan perjalanan setelah hujan reda sangatlah berbahaya. Apa lagi keadaan Arya Dewantara masih begitu riskan. Fisiknya kemungkinan tidak akan kuat menopang tubuhnya yang masih dipenuhi oleh racun. 

"Kau yakin ingin melanjutkan perjalanan dengan keadaan seperti itu?" Tanya Dewi Kinanti. Ia menatap ke arah temannya.

"Aku yakin. Apa lagi ada kau yang mendampingiku. Lagi pula, bila kita terus berada di sini, maka para penjahat itu pasti akan menemukan kita dan mayat dari orang itu," ujar Arya Dewantara yang menunjuk ke arah mayat dari kelompok bertopeng itu. 

Di lain tempat, seorang pria yang menunggangi kuda dan mengenakan topeng barong sedang memerintahkan kepada beberapa anak buahnya untuk segera menyebar menyusuri hutan selatan. 

"Aku tahu kau pergi ke mana, dasar bocah biadab!" Pria bertopeng barong tersebut segera memacu kudanya ke arah pedalaman hutan selatan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status