Share

Bab 9

Brum ... brum ... brum ...

Mustang segera melaju dengan kecepatan yang sangat tinggi, menuju ke arah lereng yang curam.

Melihat lereng curam di depannya makin dekat, Danu pun buru-buru menginjak pedal gas.

Namun, rem pada mobil Mustang ini sudah dimanipulasi oleh seseorang ...

Tiba-tiba saja wajah Danu berubah pucat pasi, mobil itu langsung menuruni lereng yang curam bersama dengan Danu di dalamnya.

Brak ... brak ... brak ...

Suara jungkir balik yang keras bergema di seluruh penjuru Gunung Aruna.

Semua orang terkejut mendengarnya. Segera, mereka berlari menuju lereng yang curam sambil berteriak cemas, "Cepat, cepat panggil ambulans!"

...

Jam delapan malam.

Rina yang tegang melangkah keluar dari rumah sakit bersama Shinta.

Dia duduk di kursi pengemudi, sementara Shinta duduk di kursi samping pengemudi.

Di sisi lain, Teguh masuk ke mobil dan duduk di kursi belakang.

Setelah mobil melaju cukup jauh, melalui kaca spion, Rina melihat Teguh yang sedang menatap ponselnya dengan saksama.

Urat-urat di tangan Rina yang sedang mencengkeram kemudi langsung menonjol karenanya. "Teguh, besok kamu minta maaf pada Danu," tuturnya geram.

"Kenapa?"

Teguh mendongak, bertanya dengan bingung.

Nada bicara Rina menjadi jauh lebih dingin. "Ya, karena kamu sudah mengutak-atik rem mobil Mustang, hingga membuat Danu celaka!"

"Bantalan remnya sudah bermasalah saat Mustang itu sampai di tanganku," kata Teguh sambil mengangkat bahu.

Mendengar penjelasan Teguh, Shinta pun langsung bisa memahaminya.

Saat Teguh mengendarai Mustang itu sampai ke garis finis, dia berhenti dengan cara berputar 360 derajat. Jika digabungkan dengan apa yang dikatakan Danu mengenai rem mobil Mustang yang rusak, semua itu hanya bisa berarti satu hal.

Teguh tidak berbohong.

Rem mobil memang sudah tidak berfungsi saat mobil itu Teguh pakai.

Itu sebabnya Teguh menggunakan cara berputar 360 derajat untuk menghentikan mobil dengan memanfaatkan hambatan dari putaran tersebut.

Bakat Teguh memang luar biasa. Bukan hanya bisa berbahasa Perancis dengan fasih, Teguh juga sangat akrab dengan kinerja mobil balap.

Apakah Teguh benar-benar seorang bocah miskin yang berasal dari pegunungan tandus?

Sementara itu, Rina tidak begitu memahami olahraga balap seperti Shinta.

Sehingga, Rina langsung marah dan mengangkat alisnya yang panjang dan indah begitu mendengar jawabannya. "Teguh, bisakah kamu membuat skenario dulu sebelum berbohong?"

"Kalau bukan kamu yang merusak rem Mustang itu, jelaskan padaku bagaimana kamu bisa menghentikan mobil itu dengan selamat?"

Teguh hanya mengedikkan bahu. "Aku bisa menghentikan mobil itu karena aku memang berbakat. Kalau dia nggak bisa, artinya bukan urusanku, 'kan?" jawabnya dengan nada tak acuh.

"Kamu ..."

Kata-kata Teguh yang begitu santai langsung menyulut kemarahan Rina.

Ciiitttt ...

Detik berikutnya, gesekan antara ban yang berkecepatan tinggi dan tanah menimbulkan decitan yang memekakkan telinga.

"Keluar!"

Rina berteriak.

Pintu mobil terbuka dan Teguh terlempar ke pinggir jalan.

Melihat mobil yang pergi menjauh, wajah Teguh langsung dingin.

Betapa memalukan. Raja Serigala yang memiliki jutaan pasukan yang hebat, berkali-kali dianiaya.

Meskipun Teguh memiliki mental yang sangat baik, tetap saja sekarang dia sangat marah.

Setelah beberapa saat, Teguh menarik napas dalam-dalam dan menekan amarah di dalam hatinya.

Lupakan saja.

Mengingat Pak Yulianto pernah menyelamatkan Pak Yudha, sebagai laki-laki dewasa, Teguh memutuskan untuk tidak mempermasalahkan tindakan Rina yang kasar itu.

Setelahnya, Teguh pun bersiap-siap untuk kembali ke Bahari Indah dengan berjalan kaki.

Setelah berbelok di sebuah persimpangan, tiba-tiba saja Teguh melihat sosok yang sudah dikenalnya.

Bukankah itu Pak Husada?

Pada saat ini, terdapat sebuah pikap yang diparkir di samping Pak Husada. Selain itu, juga ada banyak kotak yang ditumpuk di tanah.

Pak Husada sendiri juga melihat Teguh. "Nak Teguh, kenapa kamu ada di sini?" tanyanya terkejut.

"Aku hanya lewat saja."

Ketika Teguh menghampiri Pak Husada, dia mencium aroma familier yang menyeruak keluar dari kotak-kotak tersebut.

"Pak Husada, apa kotak-kotak ini berisi Eliksir Penyembuh?"

"Wah, kemampuan medis Nak Teguh memang luar biasa. Hanya dengan mencium aromanya saja kamu bisa mengidentifikasi obat."

"Memang benar. Kotak-kotak ini berisi Eliksir Penyembuh dan akan dikirim ke rumah sakit lapangan," jawab Pak Husada.

"Rumah sakit lapangan?"

Teguh terkejut mendengarnya.

Pak Husada menjelaskan, "Banyak penduduk Kota Senggigi yang berakhlak mulia mengabdikan hidup mereka menjadi prajurit. Akan tetapi, setiap tahun, makin banyak prajurit yang diberhentikan karena terluka. Pemerintah mendirikan sebuah barak khusus untuk menampung mereka yang terluka."

"Lantaran banyak prajurit yang diberhentikan karena terluka, kebutuhan akan Eliksir Penyembuh menjadi makin banyak. Eliksir Penyembuh ini semuanya disumbangkan oleh Klinik Obat Husada untuk rumah sakit lapangan itu."

"Sebenarnya, aku sudah memanggil beberapa orang untuk mengangkut kotak-kotak ini, tapi mereka bilang kotak-kotak ini terlalu berat. Akhirnya, mereka semua kabur begitu saja," keluh Pak Husada dengan kesal.

"Biar aku bantu Pak Husada."

"Nak Teguh, kotak-kotak ini agak berat. Kita angkat bersama-sama saja ..."

"Tidak perlu."

Teguh langsung berjalan ke depan dan mengangkat kotak itu dengan mudah.

Pak Husada tercengang melihatnya.

Kotak-kotak tersebut memang berat. Dua orang dewasa saja terlihat begitu kewalahan mengangkatnya.

Namun, Teguh berhasil mengangkat satu kotak dengan satu tangan.

Dalam waktu kurang dari dua menit, semua kotak tersebut sudah diangkut oleh Teguh ke dalam pikap.

Teguh menaiki pikap itu dan mengikuti Pak Husada pergi ke rumah sakit lapangan.

Rumah sakit lapangan terletak di pinggiran kota sebelah barat. Bangunan itu sendiri adalah rumah beratap genting yang sangat sederhana.

Hati Teguh langsung terenyuh begitu tiba di sana.

Para prajurit ini rela mengorbankan nyawa dan menumpahkan darah mereka demi negara. Namun, setelah terluka dan diberhentikan, mereka semua tinggal di tempat seperti ini ...

Dipandu oleh Pak Husada, Teguh membawa masuk barang-barang tersebut ke dalam rumah sakit lapangan.

Teguh melihat banyak dokter yang mengenakan jas putih sedang mengganti perban dan mengobati para prajurit yang terluka.

Di antara sekelompok dokter yang mengenakan jas putih, ada satu sosok gadis cantik yang sangat menonjol.

Gadis itu tengah membungkuk, mengganti perban seorang prajurit yang kehilangan kaki kanannya.

Setelah selesai mengganti perban, Pak Husada memanggil gadis itu, nada suaranya lembut. "Hanum."

"Kakek."

Gadis itu berteriak kegirangan berlari menghampiri Pak Husada.

Melihat Teguh yang mengikuti di belakang, gadis itu bertanya dengan rasa ingin tahu, "Kakek, siapa dia?"

"Hanum, perkenalkan dia dokter muda yang pernah Kakek ceritakan kepadamu."

Setelah memperkenalkan Teguh, Pak Husada kemudian memperkenalkan gadis itu kepada Teguh, "Nak Teguh, ini cucuku. Namanya Hanum Husada."

"Jadi, kamu dokter jenius yang sudah menyelamatkan Pak Yulianto."

Hanum sangat terkejut.

Ketika mendengar cerita sang Kakek, entah mau dibilang seberapa muda, Hanum mengira penyelamat Pak Yulianto pasti berumur kisaran 30 atau 40 tahun. Tak disangka, ternyata masih begitu muda.

"Nona Hanum bercanda."

Teguh mengangguk pada Hanum. "Pak Husada, apa kalian sedang memberikan pengobatan gratis?" tanyanya.

"Ya!"

"Para prajurit ini telah melindungi negara kita. Aku hanya bisa melakukan sedikit hal untuk membantu," jawab Pak Husada.

"Pak Husada sangat mulia. Aku benar-benar kagum."

Setelah menundukkan kepala kepada Pak Husada, Teguh juga ikut bergabung dengan tim pengobatan gratis. Dia merawat para prajurit yang terluka dengan menggunakan akupunktur.

Pengobatan gratis tersebut begitu ramai. Hingga lebih dari jam 10 malam, barulah pengobatan gratis itu selesai.

Dalam perjalanan kembali ke kota, Teguh tidak kuasa bertanya, "Pak Husada, para prajurit yang terluka ini telah mengorbankan nyawa mereka untuk negara. Tapi, pemerintah hanya menempatkan mereka di tempat seperti ini?"

"Nak Teguh, kamu nggak perlu khawatir."

Rasa lelah terpampang jelas di wajah keriput Pak Husada. "Dhika, walikota Senggigi, sudah memberikan perintah untuk mengalokasikan dana guna membangun gedung Menara Jayandara, yang khusus untuk menampung para prajurit yang sudah pensiun."

"Proyek ini masih dalam proses tender. Diperkirakan akan selesai dalam waktu satu setengah tahun."

"Saat ini, perusahaan yang paling berpeluang memenangkan proyek Menara Jayandara adalah Grup Jagaraga milik keluarga Yulianto dan Grup Yarindo milik keluarga Casugraha. Kalau dibandingkan dari segi kekuatan secara keseluruhan, kemungkinan besar Grup Yarindo yang akan memenangkan tender."

"Tapi ..."

Pak Husada terdiam sebentar. "Kalau dibandingkan dengan Grup Yarindo milik keluarga Casugraha, aku lebih memilih Grup Jagaraga milik keluarga Yulianto yang berhasil memenangkan tender itu," lanjutnya.

"Kenapa?" tanya Teguh.

"Grup Yarindo milik keluarga Casugraha mengikuti tender proyek ini hanya demi mendapatkan keuntungan. Tidak seperti Grup Jagaraga."

Pak Husada menjelaskan, "Pak Yulianto adalah seorang pensiunan sersan. Dia bertanggung jawab atas proyek ini, jadi sebagian besar adalah demi para prajurit yang terluka."

Teguh mengerti.

Sepertinya dia harus menemui Dhika dan memintanya untuk memberikan proyek ini kepada keluarga Yulianto.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status