"Jak, Harumi kemana?" Tanya Rinto. Kami sedang istirahat siang di pabrik dengan melahap makan siang yang sudah disediakan. Kebetulan aku dan Rinto sedang duduk di pojok kantin sambil menatap salju yang berguguran dari balik jendela kaca. "Pulang ke rumah orang tuanya di Hyogo." Jawabku sembari kembali malahap okonomiyaki. "Pantes nggak pernah nyamperin kamu ke asrama." Aku mengangguk. "Tapi kenapa kamu mesti keluar lagi setelah dari pabrik kalau Harumi nggak ada di Miyazaki?" Aku tersedak mendengar pertanyaan Rinto lalu buru buru meneguk air mineral. Jika kemarin aku diinterogasi Dina, sekarang giliran Rinto. "Kenapa Jak? Aku salah tanya ya? Atau kamu emang punya gebetan baru di belakang Harumi?" Tanyanya curiga. Aku melemparnya dengan bungkus kertas sumpit. "Ngawur! Siapa juga yang punya selingkuhan." "Lha ya gimana lagi. Kamu pulang dari pabrik langsung cabut lagi. Terus pulangnya malem banget." Aku tetap mengunyah makanan sambil memikirkan alasan yang tepat. Astaga apa
Baru saja aku mengambil ponsel di loker saat jam istirahat pabrik, lalu panggilan dari seseorang yang sangat berjasa dalam kehidupanku belakangan ini menginterupsi siangku yang dingin. "Halo selamat siang nyonya." "Siang juga Jayka. Apa hari ini kamu pulang cepat?" Hari ini hari sabtu, kebetulan tidak ada jadwal lembur sehingga aku bisa pulang cepat. "Iya nyonya, mungkin jam 2 saya baru keluar pabrik." "Minaki sudah membuat janji dengan pemilik kelas roti Kahoko. Mereka akan bertemu pukul 5 sore. Kamu bisa menemaninya kesana kan?!" Sebelumnya aku berkata pada Minaki jika tidak bisa menemaninya karena aku sedang galau memikirkan Harumi yang mulai curiga dengan aktivitasku. Bagaimana bisa aku bertukar pesan dengannya selama bersama Minaki. Oleh karena itu aku meninggalkan ponsel yang kugunakan untuk berkomunikasi dengan Harumi di lemari asrama. Aku menghela nafas panjang. "Saya...kurang enak badan nyonya. Jadi saya tidak bisa menemani Minaki." Bohongku. "Biar sopir yang menjem
"Ehm..." Lenguhan ciuman kami keluar bersamaan dengan laju mobil Minaki yang membelah lebatnya salju. "Ehem, nona maaf." Sopir Minaki menginterupsi kegiatan kami. Kami melepas ciuman satu sama lain dengan tangannya masih di kedua pundakku dan tanganku berada di pinggang rampingnya. "Ada apa?" Tanyanya malu-malu. "Kita langsung pulang atau kemana?" Minaki menatap wajah dan bibirku sayu seakan terlena dengan ciumanku. Tanpa disangka jemarinya mengusap sudut bibirku yang basah karena saliva lalu menjilatinya. Betapa kagetnya aku melihat ulah Minaki yang mulai berani melakukan kontak fisik lebih intim tanpa rasa canggung. "Sudah, jangan begini Minaki, sopirmu menunggu jawaban." Aku menahan wajahnya yang hendak menciumku lagi. Minaki tersenyum malu lalu mengalungkan tangannya di leherku. "Jayka, tidur rumahku saja ya? Saljunya lebat." Bisiknya di telingaku. Astaga, wahai singa kecil tidurlah dulu, aku tidak bisa konsentrasi jika kamu menggeliat nakal begini. Tanpa Minaki sadari,
Mobil kuning buatan Eropa milik keluarga Minaki telah terparkir di garasi. Namun hatiku masih dag dig dug tidak karuan membayangkan tatapan dan ucapan kedua orang tuanya. Ini sangat gila! Padahal aku sudah menolak ajakannya. "Jayka." Bisiknya lembut dengan tangan halusnya membelai leherku. Aku mengambil kedua tangan nakalnya yang sejak tadi mengusap bagian sensitif tubuhku. "Jangan menggoda." Minaki menatapku heran. "Nanti aku jelaskan. Sekarang kita turun." Ucapku tegas. Sangat tidak nyaman berdiri dengan posisi singa kecil masih mengeras seperti ini. Kalau tidak tahu tempat ingin rasanya kugantung Minaki di kaca spion. Setelah mendudukkannya dengan benar aku mendorong kursi rodanya ke dalam rumah. Rencananya, aku tetap pulang ke asrama meski bis terjebak salju sekalipun. Harga diriku tidak akan kugadaikan seutuhnya. "Ayo masuk." Sambut Nyonya Tatsuo dengan senyum mengembang. Aku kikuk sekali, pasalnya Nyonya Tatsuo seperti tidak masalah dengan kehadiranku yang akan berma
Minaki tersenyum sambil menggeleng lalu kembali meletakkan kepalanya di dadaku dengan tangan memainkan kaosku. Andai yang sedang bersamaku ini adalah Harumi, aku pastikan sudah benar-benar hilang kendali. Rela melepas keperjakaan demi meraih kenikmatan dengan kekasih tercinta. "Aku mengerti Jayka." Ucapnya diselingi tawa kecil yang menyebalkan. "Sudah, jangan dibahas. Ini begitu menyakitkan Minaki." Minaki terkekeh lalu menatapku. "Benarkah?" Aku mengangguk lalu teringat satu tema pembelajaran tentang alat reproduksi klien. "Minaki, dalam buku yang kubaca, apa sekarang kamu sudah siap untuk kuajak berbicara mengenai cara mengeksplorasi dan mempraktekkan keintiman dan..... s*ks?" Minaki tampak gugup. "Itu...hal yang sangat... baru untukku Jayka." "Aku bertugas untuk membuatmu nyaman dengan s*ks, keintiman, kencan, dan sentuhan. Termasuk seperti ini. Agar kamu tidak merasa tidak diinginkan, tidak percaya dengan diri sendiri, termasuk tidak percaya ketika jatuh cinta pada seorang
"Minaki, kamu mau apa?" Minaki sedikit merangkak lalu meraih sesuatu dari balik kepalaku dengan dadanya hampir menyentuh wajahku. Juga, parfum mahalnya yang menelusup indra penciuman lalu membangkitkan gairahku. Jika Minaki tidak tahu aku memiliki sensitivitas pada indra penciuman yang bisa merangsang gairahku, aku bisa menolerir. Tapi jika ia sengaja menggoda hasratku, akan kubuat dia mendesah tidak berdaya hingga aku memenangkan pertempuran panas itu. "Kenapa ini bisa disini?" Minaki kemudian duduk dihadapanku dengan membolak-balik sebuah kartu nama. "Apa itu?" Tanyaku. Minaki tersenyum tipis. "Kartu nama cinta pertamaku." Aku tergelak. "Boleh aku melihatnya?" Minaki mengangsurkan kartu nama itu padaku. "Hiroshi Takazawa." Minaki mengangguk. "Wow, dia bekerja di sebuah hotel?" Sedetik kemudian aku ingat nama hotel yang tertera di kartu nama itu. "Hotel depan Yokoha Club?" Tanyaku memastikan. Minaki mengangguk. "Aku bertemu dengannya saat pertama kali mengajakmu bertem
Aku beranjak dari ranjang Minaki lalu mengambil sebuah kertas dan bulpen. "Untuk apa Jay?" "Aku mau menulis hal apa saja yang membuatmu suka dan tidak suka saat kita bersentuhan. Kelak, jika kamu menemukan seseorang, kamu bisa mencatat hal yang ia sukai dan tidak." "Itu kuno sekali Jayka?" Aku terkekeh. "Aku ini penjaga sekaligus terapismu Minaki. Selain bekerja disini, aku juga bekerja di pabrik dan club. Aku khawatir akan lupa jika tidak mencatatnya." Minaki terkekeh lalu aku duduk di hadapannya. "Bolehkan aku duduk dipangkuanmu saat menjelaskan apa yang kusukai dan tidak kusukai?" Aku kembali memposisikan diri bersandar di headboard lalu Minaki duduk di depanku. "M*****basi. Apa kamu pernah melakukan dan bagaimana rasanya?" "Jayka, aku malu menjawabnya." Aku terkekeh. "Ini masih satu pertanyaan bagaimana jika aku bertanya tentang s** oral, s** anal, permainan pu***g su**, pembicaraan kotor, tamparan, permainan mainan s**." Minaki menoleh lalu menatapku tidak perc
"Pencuri! Berhenti!" Aku tetap berlari sekencang mungkin hingga menghilang di belokan lalu bersembunyi di halte dengan nafas ngos-ngosan. Berbagai umpatan meluncur dari mulutku karena ulah tamu sialan itu. Bagaimanapun, aku ini juga tamunya Minaki. Bukan pencuri seperti yang dia pikirkan. Belum reda ketengangan yang mendera jantung, sebuah pesan muncul dari Harumi. Harumi Jika kamu mencintaiku dan tidak selingkuh, maka tunjukkan kehadiranmu hari ini di Hyogo. Aku tunggu Jayka. -maps Tatsunono Tominaga Prefektur Hyogo- Aku menepuk jidat berkali-kali karena tekanan kanan kiri. Mementingkan Minaki membuat Harumi curiga lalu membahayakan hubungan kami. "Sial! Sial! Sial!" Kekesalan Harumi ternyata tidak main-main ketika dia tidak mau menerima panggilan dariku. Masalahnya jarak dari Miyazaki ke Hyogo itu sangat jauh, sekitar 7 jam perjalanan. Ditambah esok hari aku masuk kerja di pabrik dan malamnya ada jadwal manggung di Yokoha. Mau dibagi menjadi berapa tu