Tugasku menjadi terapis sekaligus pelayan dalam tanda kutip untuk seorang seorang perempuan bernasib malang akibat keterbatasan fisik, Minaki Siraga. Dia mau membayarku mahal demi mendapatkan keturunan dariku. Namun hubungan mendalam bersifat profesional ini berubah tidak menyenangkan sejak Minaki mengatakan cintanya padaku. "Aku tidak mau hidup bersama perempuan nggak utuh kayak dia."
Lihat lebih banyakKami semua duduk di meja makan yang tidak besar ini selepas aku pulang sholat magrib dari mushola dekat rumah. Aku sempatkan berdoa dengan khusyuk agar keinginanku ini direstui bapak ibu. Semoga melalui restu mereka nantinya bisa membawa keberhasilan untukku.
Aku harus memberanikan diri mengutarakan apa yang menjadi niat baikku ini. Bahkan aku siap membujuk mereka demi mendapat restu. Sekali lagi, aku melakukan ini demi keluarga.
"Pak, bu. Aku mau bicara."
Semua yang masih melahap menu makan malam pun berhenti lalu menatapku.
"Apa Jak?" Tanya bapak.
"Pak, bu, restui keinginanku. Aku mau berangkat jadi TKI."
Raut wajah bapak dan ibu langsung berubah terkejut. Pun dengan kedua adik angkatku. Reaksi seperti ini sudah kuduga sebelumnya.
"Nak, apa maksudnya?" Tanya ibu.
"Ibu tau Pak Man adiknya Pak Yit kan?"
Ibu mengangguk.
"Aku ingin sukses seperti Pak Man bu. Aku mau jadi TKI demi merubah nasib keluarga kita."
Aku menatap bapak dalam. "Juga untuk mengobati kaki bapak."
Setelahnya bapak tertunduk lalu mengusap air mata.
"Jak, bapak minta maaf karena sekarang menjadi beban di keluarga kita."
Aku bangkit dari duduk lalu bersimpuh di kaki bapak.
"Aku yang banyak merepotkan bapak dan ibu. Kasih sayang kalian nggak bisa aku bayar dengan apapun. Jadi, tolong ijinin aku merubah nasib jadi TKI demi keluarga kita. Juga demi membalas budi baik ibu bapak."
Aku menatap bapak dan ibu dengan mata berkaca kaca. Mereka sulit mengambil keputusan tapi keluarga ini butuh uang untuk merubah keadaan. Dan saat ini hanya menjadi TKI yang bisa kulakukan.
"Kalau bapak ibu mengijinkan, aku akan bilang ke Pak Man setelah ujian nasional selesai."
Bapak mengangguk haru. "Bapak merestui nak."
"Ibu juga Jak. Tapi jaga diri disana. Kasih kabar ke rumah sesering mungkin."
Aku tidak bisa menyembunyikan raut bahagia ini. Restu mereka adalah segalanya bagi perjalanan hidupku.
Tanpa campur tangan bapak ibu mungkin aku sudah mati mengenaskan sedari bayi. Mereka adalah segalanya dan yang utama dalam kehidupanku.
๐ป๐ป๐ป๐ป๐ป
Setelah ujian nasional selesai, aku mengunjungi Pak Man dirumahnya untuk menanyakan segala persyaratan menjadi TKI.
Syaratnya tidak rumit hanya saja membutuhkan banyak uang untuk mengurus dokumen resmi dari PJTKI. Seperti visa, paspor, biaya administrasi, dan lain sebagainya.
Syukurlah, Pak Man sangat tahu permasalahan ekonomi keluargaku lalu memberi uang satu juta secara cuma cuma untuk tambahan biaya. Betapa baiknya beliau.
Sisanya aku berhutang pada Pak Bimo, juragan kambing tempatku bekerja. Bayaran merumput untuk semua kambingnya selama enam bulan sebagai gantinya.
Selama menunggu waktu pemanggilan keberangkatan, aku menyempatkan diri belajar komunikasi sehari-hari dalam bahasa Inggris dan Jepang. Kata-kata yang umum diucapkan agar aku tidak mengalami culture lag saat tiba di sana.
Yaah, negara tujuanku merantau adalah Jepang. Negara paling maju di Asia.
Kurs mata uangnya pasti bernilai tinggi jika dirupiahkan.
Setelah penantian selama enam bulan, akhirnya aku mendapat visa, paspor, dan dokumen penting lainnya dari jasa penyalur tenaga kerja legal. Betapa bahagianl dan leganya hatiku.
Namun ada kesedihan mendalam dari raut wajah kedua orang tua angkat melepas kepergianku. Mereka banyak memberi pesan dan petuah agar aku tidak berulah di sana.
"Rajin sholat. Jangan sampai ditinggalkan. Ingat sama Allah agar derajatmu dinaikkan menjadi hamba yang mulia."
"Bapak, ibu, dan adik-adikmu mendoakan dari rumah."
"Jangan lupa telfon, kasih kabar."
Dan kini aku telah sampai di sebuah kota yang tidak terlalu ramai di Jepang, kota Miyako yang berada di prefektur Miyazaki. Aku dan kelompok TKI dijemput pihak jasa penyalur tenaga kerja yang ada disana lalu menaiki kereta cepat, Shinkansen.
Jika orang Indonesia terbiasa naik sepeda motor, maka di Jepang biasa menaiki kereta atau bus.
Aku ditempatkan untuk bekerja di gudang pabrik makanan dengan gaji 15 juta per bulan. Membayangkan nominalnya saja sudah membuatku bersemangat.
Di sebuah asrama kecil bertingkat, aku tinggal dengan para TKI yang lain. Disinilah aku mulai memiliki teman sesama orang Indonesia dengan beragam budaya daerah.
Dua bulan pertama, rute hidupku hanya asrama - pasar - pabrik. Ditambah sekarang menjelang musim dingin. Suhu di Miyazaki maksimal hanya 15 derajat.
Gaji pertama bulan lalu sudah kukirim untuk pengobatan kaki bapak. Aku punya cita-cita mulia demi kesembuhannya.
"Uang yang kamu kirim kemarin sudah bapak pake berobat."
"Gimana kata dokter pak?"
"Secepatnya disuruh operasi."
Aku mengangguk. "Insya Allah secepatnya ya pak. Sabar dulu."
"Iya Jak. Terima kasih."
"Ini nggak seberapa sama pengorbanan bapak ibu untukku."
Begitu sambungan Skype terputus aku berbaring di futon. Kasur tipis lantai yang biasa dipakai orang-orang Jepang tidur.
Membayangkan kesembuhan bapak dan kebahagiaan keluarga angkatku adalah prioritas yang utama.
"Uang dari mana lagi untuk biaya pengobatan bapak?"
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian โฆ Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen