Share

Menikah?

“Nia, mau pesan apa?” Ali menawarkan traktiran siang ini. Kebetulan, ia sedang mengadakan syukuran kecil-kecilan atas lahirnya keponakan pertama. Anak dari kakak perempuannya.

“Untuk makan siang.” Ali menegaskannya kalau Nia tidak mengerti. “Gue traktir,” tambahnya.

Nia meng-oh pendek. “Apa, ya? Geprek, deh!” katanya yang sebetulnya sudah bisa ditebak Ali. “Level rendah aja, lo tau gue sekuat apa.”

Ali tersenyum. Ia beralih tempat untuk menawari teman-temannya yang lain.

Satu jam kemudian, seseorang datang ke lokasi syuting dan membantu Ali membagikan kotak makan siang pesanan Ali. Nia sudah tidak asing dengan si pengantar pesanan, tentu saja ia ingat. Ia tak akan memanggilnya dengan nama yang salah untuk kedua kali.

“Salim!” panggil Nia tanpa ragu.

Orang yang kaget bukan Salim, melinkan Ali. Ia terkejut waktu tahu Nia sudah mengenal temannya, si pemilik kedai yang sedang nge-hits itu. Salim tersenyum. Ali makin keheranan, entah dari mana mereka bisa saling kenal. Perasaannya, Nia bahkan tahu kedai itu karena Ali yang memberi tahu.

***

“Berapa hari lagi kamu akan menyelesaikan syuting series ini?” Daren bertanya saat Nia baru lima detik duduk di sebelah bangku kemudi. Lelaki itu terlihat cukup serius kali ini. “Aku ingin tau, Nia.”

“Sekitar seminggu lagi. Kenapa?” Nia menjawab dengan nada ragu.

Daren menghidupkan mesin mobil, menanti beberapa detik untuk kemudian melenggang pergi dari lokasi syuting Nia. “Setelah itu, apa yang kamu kerjain?” tanyanya.

Nia menggidikkan bahu. “Aku belum menerima tawaran film manapun. Aku pengin istirahat selama beberapa hari.”

Kali ini tingkah Daren semakin aneh saja. Lelaki itu mengajak Nia berbicara, tetapi tidak sekali pun ia menoleh ke samping untuk menatap lawan bicaranya barang sejenak saja. Untuk alasan tertentu, Nia merasa khawatir saat ini.

“Kamu mau tau apa yang aku ingin?” tanya Daren, barulah kali ini ia menatap sang kekasih.

Tidak. Nia ingin menjawab ‘tidak’ karena ia tahu, apa yang Daren ingin tidak pernah sejalan dengan pemikiran Nia sama sekali. Namun, untuk mempercepat menuju akhir percakapan, Nia menjawab, “Kamu ingin apa?”

“Kamu berhenti mengejar karir di dunia hiburan. Istirahatlah di rumah. Temani papa.”

Nia membelalak. Meski ini sudah ke berkian kalinya Daren bertingkah seolah dirinya berhak mengatur segala hal yang berhubungan dengan Nia, tetapi kali ini, kalimat lelaki itu terdengar keterlaluan. Sedikit lagi melewati batas.

“Kalau aku berhenti, siapa yang kerja, Daren? Gimana caraku membayar biaya pengobatan papa? Memenuhi kebutuhan di rumah, membayar asisten rumah tangga. Siapa yang mau cari uang?” Nia mengharapkan pengertian Daren sebagai kekasihnya. Seseorang yang semestinya memberi dukungan penuh atau setidaknya lebih banyak daripada orang lain di sekitarnya.

Bukannya mengatur dan membatasinya.

“Aku. Aku yang akan membayarnya. Aku mau melanjutkan bisnis papaku sembari sesekali nge-vlog untuk tambahan kita. Kamu juga bisa mengambil alih channel-ku kalau kamu mau. Bikin video make up, memasak, berkebun, dan sebagainya.”

Makin bingung lah Nia karena perkataan kekasihnya itu. Kenapa Daren yang harus mencari uang untuk biaya pengobatan papa Nia dan kenapa Nia harus beralih profesi menjadi seorang vlogger? Ada begitu banyak pertanyaan lagi yang bahkan Nia tidak sanggup memikirkannya secara jelas.

“Kamu mengerti apa yang kumaksud nggak, sih?”

Nia hanya memberikan senyuman, menyebalkan bagi Daren. Gadis itu lantas menggeleng dan berkata, “Enggak. Lagipula, kenapa harus kamu yang membayar biaya pengobatan papaku dengan uang penghasilan bisnismu?”

Daren menghela napasnya kasar begitu tahu perkataannya tidak dimengerti. Ada apa dengan kekasihnya?!

“Bisa tolong jelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana, Dear? Aku bener-bener nggak paham.” Nia memohon dengan lembut.

Daren pun luluh. Ia memang tidak bisa berlama-lama bersikap keras pada sang kekasih sekaligus sahabat kecilnya ini. “Aku ingin ... kita segera menikah.”

Nia membelalak begitu mendengar ucapan sekaligus keinginan Daren. Ia ingat, ini bukan kali pertama Daren mekatakan sesuatu yang menjurus ke sana. Pernah waktu itu, waktu mereka merayakan ulang tahun Daren yang ke-26, Daren mengatakan pada seluruh umat yang menghadiri acaranya bahwa impiannya di tahun ini adalah menikah.

M E N I K A H.

Sontak saja seluruh hadirin yang sempat mendokumentasikan momen itu, beberapa fans, media, berita gosip, banyak orang langsung menyebar info ini. Tentu saja Nia yang paling terkena imbasnya. Ada begitu banyak spekulasi, opini, dan ekspektasi dari mereka yang mau tidak mau harus Nia jawab.

Bahkan Daren yang dengan sengaja mengatakan itu, tanpa merasa berdosa ia hanya tersenyum santai dan berkata, “Iyakan saja.”

Tidak bisa dipercaya! Bagaimana bisa Nia mengiakan sesuatu yang belum—tidak—ingin Nia jalani dalam waktu dekat ini? Papa belum tau soal itu, tetapi Nia yakin, Daren akan menyampaikan keinginannya sesegera mungkin.

Tentu saja, papa Nia akan setuju.

“Ini demi kebaikan kita, Nia.” Daren menambahkan.

Bulshit.

***

“Kenapa masih berpikir?” Papa menanyai Nia yang baru saja curhat tentang kebimbangannya akan penawaran Daren. “Terima saja. Niatnya baik.”

“Pa ....”

Nia merasa bodoh telah menanyakan itu pada papanya. Sudah tahu, itu akan percuma. Papa pasti memihak Daren, entah hal heroik apa yang pernah lelaki itu lakukan sehingga papa sebegitu cintanya pada Daren.

“Pinjam laptopmu. Papa ingin mengetik sesuatu.”

Nia tidak begitu mendengarnya dengan jelas, papanya memang sudah mulai sulit berbicara. Namun, perkataan papa selanjutnya membuat Nia mengerti. “Papa lelah jika harus bicara panjang lebar.”

Nia lantas berlari ke kamar untuk mengambil laptopnya. Mereka pindah ke meja makan. Nia menghidupkan laptop dan membuka aplikasi yang bisa digunakan papa untuk mengetikkan apa yang tak bisa ia katakan.

“Kamu pergilah mandi.”

Nia tak yakin, tetapi itulah yang papanya minta. Ia rasa, menunggu Firza selesai mengetik akan menghabiskan waktu yang panjang. Itu sebabnya, sang papa memintanya untuk pergi mandi selagi menunggunya.

***

Dering ponsel Nia menandakan ada panggilan masuk. Namun, tidak seperti biasanya. Itu bukan telepon dari sang kekasih, Daren. Tanpa Nama, itulah yang tertulis di layar.

“Halo, siapa ini?” Nia bertanya ragu.

“Aca, nomor gue ganti, lupa ngabarin. Eh, ada paket, nih, gue udah di depan.”

Aca merupakan sepupu Nia yang juga bertugas sebagai admin utama akun fanbase-nya. Berkat Aca, Nia bisa dekat dan dapat berbagi kasih sayang dengan para fans. Gadis itu pula yang biasanya memberi tahu Nia jika fans mengadakan sebuah event atau datangnya hadiah mendadak dari mereka.

Nia mengernyitkan dahi, meski ia paham bahwa lawan bicaranya tidak mungkin mengetahui itu. “Paket? Paket apa, ya, Ca?”

Sambil bertanya, Nia berpikir. Adakah hari besar yang terjadi dalam waktu dekat ini yang mungkin membuat seorang fans mengiriminya hadiah? Mungkin anniversary fanbase? Tidak. Ulang tahunnya? Jelas bukan. Nia bukan tipe orang yang tidak ingat atau berpura-pura tidak ingat tentang hari ulang tahunnya.

“Dari Daren. Dia nyamperin gue ke tempat kerjaan tadi.”

Nia menghela napas. Kenapa lelaki itu seperti kurang kerjaan? Mereka baru saja bertemu, kenapa harus meminta sepupunya untuk mengirim sesuatu?

“Ya sudah, sebentar.”

Nia keluar dari kamar dengan penampilan ala kadarnya. Celana boxer serta kaus oblong yang terlihat ngepas di tubuhnya yang ramping. Ketika ia menuruni tangga, ia melihat sang papa yang masih terduduk fokus di depan laptop. Sepertinya, hal yang akan disampaikan papa merupakan hal yang cukup serius.

Nia mencoba tidak mengganggu meski ia begitu penasaran dengan apa yang sedang papa ketik.

“Pa, Nia keluar dulu, ya. Ada paket dari Daren.”

“Hmmm ....” Papa hanya mengangguk.

Nia keluar, mengambil paket dan berterimakasih pada Aca lalu kembali masuk. Aca langsung pamit karena buru-buru.

Di dalam, begitu melihat papa yang seperti tidak tertarik menegurnya, Nia pun hanya menyelonong pergi kembali ke kamar dan membuka paket itu. Sebuah gaun bernuansa batik, dengan warna merah marun yang mendominasi.

Nia tahu, itu warna kesukaan Daren. Hanya saja, ia tak mengerti apa tujuan lelaki itu mengirim gaun ini padanya?

Di dalam sana, Nia akhirnya menemukan sebuah surat.

Aku belum mendengar jawabanmu. Jadi, aku akan menunggu. Tiga hari. Kamu hanya punya waktu tiga hari untuk berpikir, aku rasa itu cukup. Dalam tiga hari, aku nggak akan mengganggumu. Aku ingin membiarkanmu fokus untuk memikirkan masa depanmu. Maksudku, masa depan kita.

Setelah itu, aku akan datang ke rumahmu bersama mama dan papaku. Aku ingin kamu memakai gaun ini sebagai jawaban “kamu menerimaku”, tetapi jika tidak, buang saja. Kamu bisa mengenakan gaun lain dan mengatakan bahwa kamu belum siap menikah denganku sekarang.

Nia mengernyit, kaget. Bagaimana bisa, tidak ada pilihan untuk menolak?

Terima atau nanti? Sial. Daren tidak akan memberi celah sampai Nia mengatakan, “Ya”. Ah, ia cukup paham sifat lelaki itu. Nia memilih untuk merebahkan dirinya di tempat tidur, daripada pusing memikirkan jawaban yang akan ia berikan nanti pada Daren. Toh, Nia masih punya waktu 3 hari alias 72 jam untuk berpikir. Ia harap itu adalah waktu yang panjang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status