Dave mendongak saat telinganya menangkap langkah seseorang yang mendekat, Bella tampak canggung saat menghampirinya. Dave tidak berniat membantu Bella yang masih terlihat lemah itu berjalan, dia lebih senang memperhatikan ekspresi yang ditampilkan perempuan itu. Dave meraih cangkir berisi kopi, kemudian meneguknya sambil terus memandang Bella. Perempuan itu tampak manis dengan kaos kebesaran miliknya, tentu bukan Dave yang mengganti. Namun, pria itu terlihat menyukainya. “Pa.. pagi,” sapa Bella. Dave rasanya ingin tertawa, mendengar nada gugup perempuan itu. Dia berdeham seraya meletakkan cangkir itu kembali, Dave menatap Bella. “Kau terbangun?” tanyanya.
Bella tersenyum kaku, “Maaf. Aku menggunakan tempat tidurmu.” Dave mengernyit, “Kau dapat melanjutkan tidurmu.” Bella menggeleng cepat, “Tidak. Aku sudah cukup beristirahat, lagi pula akan sangat merepotkan bila aku hanya tidur.”
“Dave, terima kasih telah menolongku. Maaf merepotkanmu,” ujar Bella seraya memainkan j
Dave kembali menghembuskan napas kasar, matanya tak pernah berpindah ke objek lain. Bella mengusapkan kedua telapak tangannya untuk sekedar memberikan kehangatan, angin malam ini masih berembus kencang. Ia mengeratkan mantel usang di tubuhnya, Bella tidak tahu apa yang dilakukannya. Ia mana mungkin kembali ke apartemen Dave, pria itu sudah sangat baik telah menolongnya ketika sakit. Dan Bella tidak mungkin merepotkan pria itu lebih jauh, ia tidak ingin Dave merasakan hal seperti Ed ketika bersamanya. Bella termenung, sebulan sudah berlalu sejak kepergian Ed. Hingga saat ini Bella tidak mengetahui ke mana Ed pergi, pria itu telah membawa seluruh hatinya. Bella mendongak ketika merasakan seseorang berdiri di depannya, sosok menjulang tinggi itu terlihat di matanya. Ia harus mengernyit untuk menghalau sinar matahari, Bella tidak dapat menebak siapa gerangan sosok itu. “Kau bodoh?” hardik suara tersebut. Bella berdiri, ia mengenal suara tersebut. Pria yang beberapa jam lalu men
~ Dave menyeruput secangkir kopi yang telah dibuatkan Bella, dari aromanya saja dia sudah yakin dengan rasa kopi tersebut. Dave meletakkan cangkir itu kembali, matanya memandang bingung pada Bella yang telah rapi. “Kau akan pergi?” tanya Dave. Dia tidak dapat menahan rasa penasaran, perempuan itu selalu berhasil membuat sisi lain dirinya muncul.Bella menoleh, “Aku akan mencari pekerjaan.” Dave mengernyit, “Pekerjaan?” Bella mengangguk, “Ya. Aku baru kehilangan pekerjaan di restoran, Madam Choo telah menemukan pengganti karena itu sekarang aku mencari kerja.” Ah, Dave ingat sekarang. Bella sudah tidak bekerja selama sebulan waktu itu, tentu saja pemilik restoran tidak ingin rugi dengan terus memperkerjakan karyawan yang menghilang tanpa kabar. “Ke mana kau akan mencarinya?” Bella mengangkat bahunya, “Aku masih belum tahu. Tetapi biasanya mudah menemukan pekerjaan sebagai pelayan di restoran-restoran kecil pinggir jalan.”, Dave menatapnya serius, “Apa kau tidak ing
“Kita akan kembali ke Seoul besok,” ucapan Dave sontak mengejutkannya. Bella menghentikan kegiatan mencuci piringnya, ia menoleh cepat pada Dave yang tengah mengerjakan pekerjaan di dalam laptop. “Kita?” Bella mencoba memperjelas ucapan Dave. Pria itu menghentikan ketikan tangannya, dia ikut menoleh pada Bella. “Ya, aku tidak mungkin memberikanmu gaji bila terus bekerja di apartemen kosong. Kau tentu harus ikut denganku ke mana pun aku pergi,” ujarnya. Bella terdiam, ia kembali berbalik menghadap wastafel dan melanjutkan mencuci piringnya. Ke Seoul, ya? Entahlah, terlalu sulit menjabarkan perasaannya saat ini.Bella merasa enggan pergi ke kota itu, lagi pula ia tidak bisa meninggalkan tempat yang menyimpan banyak kenangan indah dengan Ed. Lalu bagaimana jika Ed kembali ke rumah, sedangkan ia tengah berada di Seoul. Gerakan tangannya yang tengah mengelap piring otomatis terhenti, Bella tidak dapat berpikir jernih saat ini. Ia dengan cepat menyelesaikan p
“Jadi, perempuan ini yang menjadi alasan kau pergi ke Busan meskipun tidak ada pekerjaan di sana? Dia yang membuatmu mengabaikan pesan ibu?” nada tak suka terdengar jelas dari wanita dengan pakaian elegan itu. Bella menunduk, entah mengapa ia merasa tidak nyaman. “Ibu, berhenti mengatakan hal itu. Aku lelah,” balas Dave acuh. Dia menarik tangan Bella memasuki rumah mewah itu, mereka telah tiba di Seoul satu jam yang lalu. Dave sengaja membawa Bella ke kediaman keluarga Lay, hal itu dirinya lakukan karena ada dokumen penting yang tertinggal di kediaman Lay. Tetapi dia harus segera membawa Bella ke rumah miliknya, karena Dave tidak bisa membiarkan orang-orang mengusik Bella. “Dave! Ibu belum selesai bicara!” suara wanita itu terdengar kembali. Bella melirik takut-takut ke arah Dave, pria itu terus menariknya ke lantai dua. Dia bahkan mengabaikan seruan ibunya, Bella menggigit bibir bawahnya. Ia bingung harus melakukan apa, memang seharusnya Bella tid
“Kau tidak pusing terus melakukannya?” tanya Dave. Pasalnya Bella tidak kunjung berhenti mondar-mandir, kini mereka tengah berada di dalam kamar yang ditempati Bella. Perempuan itu sungguh dibuat pusing oleh kejadian di meja makan, bagaimana bisa pria itu mengucapkan hal tanpa mempertimbangkan semuanya. “Kenapa kau mengatakan itu di depan ibumu? Calon istri? Aku bahkan tidak pernah membalas lamaranmu.” Dave menatap datar, “Belum pernah. Bukan tidak pernah, Bella. Jangan mengatakan sesuatu seolah-olah kau memang ingin menolakku.” Bella memandang Dave tidak percaya, “Apa kau tahu arti pernikahan itu apa? Jangan bermain-main dengan hal itu, apa alasanmu melamarku?” Dave melipat tangannya di depan dada, dia memiringkan kepalanya sedikit. “Apakah perlu alasan?” tanyanya. Bella menghela napas pelan, “Tentu. Kau tidak bisa melamar seorang perempuan secara tiba-tiba, bahkan kita baru mengenal kurang lebih lima bulan.” Kedua alis Dave bertautan,
“Pakai itu,” ujar Dave seraya melempar sebuah paper bag ke arah Bella. Perempuan itu mengernyit, kemudian meraih paper bag tersebut. “Untuk apa ini?” tanyanya seraya membentangkan sebuah dress selutut dengan model tumpukan di bagian bawah dan pergelangan tangan. Dress itu tampak cantik dengan warna coklat muda, tetapi harganya terlihat mahal.“Tentu saja untuk kau kenakan,” balas Dave. “Kita akan pergi berbelanja, buang semua pakaian jelekmu itu! Aku akan membelikan yang baru,” sambungnya. Bella mengerutkan alisnya, ia tidak suka mendengar kalimat pria itu. “Aku tidak memerlukan pakaian baru, lagi pula pakaianku masih layak pakai dan semua masih bagus.” Dave menghela napas pelan seraya meletakkan kacamata bacanya ke meja, dia menatap Bella serius. “Jangan bertingkah seperti itu lagi, kau akan menjadi Nyonya di keluarga ini. Aku bisa saja menghentikan para media, tetapi aku tidak ingin melakukan hal merepotkan itu.” Bella memutar bola matanya malas, “Ter
“Bersiaplah,” titah Dave membuat Bella menoleh dengan kening mengernyit. “Kita akan pergi?” tanyanya. Dave mengangguk, dia masih sibuk mengancingkan kemeja putihnya. “Ke mana?” tanya Bella kembali. Dave menghela napas pelan, dia berjalan menghampiri Bella dan duduk di sampingnya. “Kita akan ke California,” jawabnya. Kerutan di kening Bella semakin terlihat, “Untuk apa? Jika untuk masalah pernikahan, kita bisa melakukannya di sini, kan?” Dave menatap Bella datar, “Aku tidak suka orang lain mencampuri urusanku.” Bella terdiam, jawaban Dave membuat hatinya sedikit sakit. Apa Dave masih menganggapnya orang asing? “Aku tidak membicarakanmu... “ sahut Dave yang seolah dapat menebak apa yang ada dalam pikiran Bella. Perempuan itu menoleh, Dave melanjutkan ucapannya. “.. kita akan pindah ke sana. Sekaligus aku akan mulai mengurus perusahaan cabang di sana, kau tidak masalah, ‘kan?” Bella tersentak, ia menggeleng cepat.Kemudian melirik Da
“Kita akan pergi ke panti asuhan tempatmu tinggal dulu,” perkataan Dave sukses membuat Bella terkejut. Perempuan itu menoleh cepat pada Dave, “Kau tahu aku pernah tinggal di sini?” Dave tetap fokus pada jalanan, “Itu tidak penting. Katakan saja di mana alamatnya.” Bella terdiam, inilah alasan mengapa ia tidak mau pergi ke California. Bukan karena dirinya tidak ingin bertemu orang-orang yang sudah seperti keluarga untuknya, tetapi ia takut mereka bertanya tentang Ed. Dave melirik, dia sepertinya tahu apa yang Bella pikiran. Ia mendengus, “Kenapa? Kau takut mereka bertanya tentang mantan kekasihmu?” Bella tersentak, lagi-lagi Dave tahu isi pikirannya. Ia menggeleng kaku, “Baiklah, aku akan memberitahu alamatnya.” “Jika kau tidak suka, kau tidak perlu memberitahuku,” ucap Dave. Bella tersenyum samar, “Aku rasa hal itu perlu aku beritahu, lagi pula aku ingin bertemu dengan anak-anak di panti dan juga ibu.” Dave melirik