~
Dave menyeruput secangkir kopi yang telah dibuatkan Bella, dari aromanya saja dia sudah yakin dengan rasa kopi tersebut. Dave meletakkan cangkir itu kembali, matanya memandang bingung pada Bella yang telah rapi. “Kau akan pergi?” tanya Dave. Dia tidak dapat menahan rasa penasaran, perempuan itu selalu berhasil membuat sisi lain dirinya muncul.
Bella menoleh, “Aku akan mencari pekerjaan.” Dave mengernyit, “Pekerjaan?” Bella mengangguk, “Ya. Aku baru kehilangan pekerjaan di restoran, Madam Choo telah menemukan pengganti karena itu sekarang aku mencari kerja.” Ah, Dave ingat sekarang. Bella sudah tidak bekerja selama sebulan waktu itu, tentu saja pemilik restoran tidak ingin rugi dengan terus memperkerjakan karyawan yang menghilang tanpa kabar.“Ke mana kau akan mencarinya?” Bella mengangkat bahunya, “Aku masih belum tahu. Tetapi biasanya mudah menemukan pekerjaan sebagai pelayan di restoran-restoran kecil pinggir jalan.”, Dave menatapnya serius, “Apa kau tidak ing
“Kita akan kembali ke Seoul besok,” ucapan Dave sontak mengejutkannya. Bella menghentikan kegiatan mencuci piringnya, ia menoleh cepat pada Dave yang tengah mengerjakan pekerjaan di dalam laptop. “Kita?” Bella mencoba memperjelas ucapan Dave. Pria itu menghentikan ketikan tangannya, dia ikut menoleh pada Bella. “Ya, aku tidak mungkin memberikanmu gaji bila terus bekerja di apartemen kosong. Kau tentu harus ikut denganku ke mana pun aku pergi,” ujarnya. Bella terdiam, ia kembali berbalik menghadap wastafel dan melanjutkan mencuci piringnya. Ke Seoul, ya? Entahlah, terlalu sulit menjabarkan perasaannya saat ini.Bella merasa enggan pergi ke kota itu, lagi pula ia tidak bisa meninggalkan tempat yang menyimpan banyak kenangan indah dengan Ed. Lalu bagaimana jika Ed kembali ke rumah, sedangkan ia tengah berada di Seoul. Gerakan tangannya yang tengah mengelap piring otomatis terhenti, Bella tidak dapat berpikir jernih saat ini. Ia dengan cepat menyelesaikan p
“Jadi, perempuan ini yang menjadi alasan kau pergi ke Busan meskipun tidak ada pekerjaan di sana? Dia yang membuatmu mengabaikan pesan ibu?” nada tak suka terdengar jelas dari wanita dengan pakaian elegan itu. Bella menunduk, entah mengapa ia merasa tidak nyaman. “Ibu, berhenti mengatakan hal itu. Aku lelah,” balas Dave acuh. Dia menarik tangan Bella memasuki rumah mewah itu, mereka telah tiba di Seoul satu jam yang lalu. Dave sengaja membawa Bella ke kediaman keluarga Lay, hal itu dirinya lakukan karena ada dokumen penting yang tertinggal di kediaman Lay. Tetapi dia harus segera membawa Bella ke rumah miliknya, karena Dave tidak bisa membiarkan orang-orang mengusik Bella. “Dave! Ibu belum selesai bicara!” suara wanita itu terdengar kembali. Bella melirik takut-takut ke arah Dave, pria itu terus menariknya ke lantai dua. Dia bahkan mengabaikan seruan ibunya, Bella menggigit bibir bawahnya. Ia bingung harus melakukan apa, memang seharusnya Bella tid
“Kau tidak pusing terus melakukannya?” tanya Dave. Pasalnya Bella tidak kunjung berhenti mondar-mandir, kini mereka tengah berada di dalam kamar yang ditempati Bella. Perempuan itu sungguh dibuat pusing oleh kejadian di meja makan, bagaimana bisa pria itu mengucapkan hal tanpa mempertimbangkan semuanya. “Kenapa kau mengatakan itu di depan ibumu? Calon istri? Aku bahkan tidak pernah membalas lamaranmu.” Dave menatap datar, “Belum pernah. Bukan tidak pernah, Bella. Jangan mengatakan sesuatu seolah-olah kau memang ingin menolakku.” Bella memandang Dave tidak percaya, “Apa kau tahu arti pernikahan itu apa? Jangan bermain-main dengan hal itu, apa alasanmu melamarku?” Dave melipat tangannya di depan dada, dia memiringkan kepalanya sedikit. “Apakah perlu alasan?” tanyanya. Bella menghela napas pelan, “Tentu. Kau tidak bisa melamar seorang perempuan secara tiba-tiba, bahkan kita baru mengenal kurang lebih lima bulan.” Kedua alis Dave bertautan,
“Pakai itu,” ujar Dave seraya melempar sebuah paper bag ke arah Bella. Perempuan itu mengernyit, kemudian meraih paper bag tersebut. “Untuk apa ini?” tanyanya seraya membentangkan sebuah dress selutut dengan model tumpukan di bagian bawah dan pergelangan tangan. Dress itu tampak cantik dengan warna coklat muda, tetapi harganya terlihat mahal.“Tentu saja untuk kau kenakan,” balas Dave. “Kita akan pergi berbelanja, buang semua pakaian jelekmu itu! Aku akan membelikan yang baru,” sambungnya. Bella mengerutkan alisnya, ia tidak suka mendengar kalimat pria itu. “Aku tidak memerlukan pakaian baru, lagi pula pakaianku masih layak pakai dan semua masih bagus.” Dave menghela napas pelan seraya meletakkan kacamata bacanya ke meja, dia menatap Bella serius. “Jangan bertingkah seperti itu lagi, kau akan menjadi Nyonya di keluarga ini. Aku bisa saja menghentikan para media, tetapi aku tidak ingin melakukan hal merepotkan itu.” Bella memutar bola matanya malas, “Ter
“Bersiaplah,” titah Dave membuat Bella menoleh dengan kening mengernyit. “Kita akan pergi?” tanyanya. Dave mengangguk, dia masih sibuk mengancingkan kemeja putihnya. “Ke mana?” tanya Bella kembali. Dave menghela napas pelan, dia berjalan menghampiri Bella dan duduk di sampingnya. “Kita akan ke California,” jawabnya. Kerutan di kening Bella semakin terlihat, “Untuk apa? Jika untuk masalah pernikahan, kita bisa melakukannya di sini, kan?” Dave menatap Bella datar, “Aku tidak suka orang lain mencampuri urusanku.” Bella terdiam, jawaban Dave membuat hatinya sedikit sakit. Apa Dave masih menganggapnya orang asing? “Aku tidak membicarakanmu... “ sahut Dave yang seolah dapat menebak apa yang ada dalam pikiran Bella. Perempuan itu menoleh, Dave melanjutkan ucapannya. “.. kita akan pindah ke sana. Sekaligus aku akan mulai mengurus perusahaan cabang di sana, kau tidak masalah, ‘kan?” Bella tersentak, ia menggeleng cepat.Kemudian melirik Da
“Kita akan pergi ke panti asuhan tempatmu tinggal dulu,” perkataan Dave sukses membuat Bella terkejut. Perempuan itu menoleh cepat pada Dave, “Kau tahu aku pernah tinggal di sini?” Dave tetap fokus pada jalanan, “Itu tidak penting. Katakan saja di mana alamatnya.” Bella terdiam, inilah alasan mengapa ia tidak mau pergi ke California. Bukan karena dirinya tidak ingin bertemu orang-orang yang sudah seperti keluarga untuknya, tetapi ia takut mereka bertanya tentang Ed. Dave melirik, dia sepertinya tahu apa yang Bella pikiran. Ia mendengus, “Kenapa? Kau takut mereka bertanya tentang mantan kekasihmu?” Bella tersentak, lagi-lagi Dave tahu isi pikirannya. Ia menggeleng kaku, “Baiklah, aku akan memberitahu alamatnya.” “Jika kau tidak suka, kau tidak perlu memberitahuku,” ucap Dave. Bella tersenyum samar, “Aku rasa hal itu perlu aku beritahu, lagi pula aku ingin bertemu dengan anak-anak di panti dan juga ibu.” Dave melirik
Pernikahan yang diselenggarakan di sebuah hotel bintang lima itu, turut mengundang para pengusaha. Tak jarang beberapa orang penting dan selebriti, ikut hadir. Pernikahan seorang pengusaha sukses di usianya yang masih muda itu, menjadi topik panas di antara para tamu. Siapa yang tidak mengenal Dave Orlando Lay, pria 26 tahun yang sukses menjadi pengusaha dibidang properti. Dave memutuskan untuk menikahi kekasihnya, Bella. Pernikahan itu diselenggarakan dengan begitu mewah, segala pernak-pernik perhiasan terlihat menyilaukan mata. Acara pernikahan sendiri telah selesai 30 menit yang lalu, Dave dan Bella telah sah menjadi sepasang suami-istri. Dave terlihat begitu tampan dengan tuxedo hitam dengan dalaman putih , Bella pula tampak semakin menawan dalam balutan gaun pengantin putih yang menjuntai indah. Gaun putih itu menampakkan bahu putihnya, pernak-pernik berkilau menghiasi sepanjang gaun, rambut cokelat sepinggangnya di sanggul indah dengan hiasan
Sebuah pesawat baru saja melintasi langit kota Busan, sepasang mata menatap penuh harap ke arah luar kaca pesawat. Meskipun hanya awan-awan yang terlihat, pemandangan di bawah sana bahkan tampak seperti miniatur. Namun, tidak dapat memungkiri ingatan masa lalu yang masih membekas hingga sekarang. Dave meringis ketika merasakan sakit di punggung dan juga kakinya, ruang gerak tempatnya duduk saat ini begitu sempit.Bahkan perjalanan panjang itu sungguh membuatnya tidak nyaman, sangat berbeda dengan perjalanan bisnis biasanya. Dave melirik ke samping, Bella tampak terlelap dengan nyaman. Dia benar-benar tidak mengerti, bagaimana bisa seseorang begitu nyaman mendapatkan ruang gerak yang terbatas. Pesawat telah siap mendarat di Bandara Internasional Incheon, setelah memastikan pesawat benar-benar menginjakkan rodanya di tanah, para penumpang telah bersiap turun dengan barang bawaan mereka. Keadaan orang-orang yang hendak turun di kelas ekonomi ini tampak ter